Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Fertilitas Pada Pekerja Wanita Di Kota Lhokseumawe

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Landasan Teori

2.1.1

Teori Kependudukan
Tingginya laju pertumbuhan penduduk di beberapa bagian dunia

menyebabkan jumlah penduduk meningkat dengan cepat. Di beberapa bagian di
dunia telah terjadi kemiskinan dan kekurangan pangan. Fenomena ini
menggelisahkan beberapa ahli, dan masing-masing dari mereka berusaha mencari
faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Umumnya para ahli
dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari penganut
aliran Malthusian. Aliran Malthusian dipelopori oleh Thomas Robert Malthus,
dan aliran Neo-Malthusian dipelopori oleh Garreth Hardin dan Paul Ehrlich.
Kelompok kedua terdiri dari penganut aliran Marxist yang dipelopori oleh Karl
Marx dan Friedrich Engels. Kelompok ketiga terdiri dari pakar-pakar teori
kependudukan mutakhir yang merupakan formulasi teori-teori kependudukan

yang ada.
2.1.1.1 Aliran Malthusian
Aliran ini dipelopori oleh Thomas Robert Malthus, seorang pendeta
Inggris, hidup pada tahun 1766 hingga tahun 1834. Pada permulaan tahun 1798
lewat karangannya yang berjudul Essay on Principle of Popoulations as it Affect
the Future Improvement of Society, with Remarks on the Specculations of
Mr.Godwin, M.Condorcet, and Other Writers, menyatakan bahwa penduduk
(seperti juga tumbuh-tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada pembatasan, akan
berkembang biak dengan cepat dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari

8
Universitas Sumatera Utara

permukaan bumi. Tingginya pertumbuhan penduduk disebabkan karena hubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dihentikan.
Pertumbuhan penduduk harus dibatasi. Menurut Malthus pembatasan
tersebut, dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu preventive checks dan positive
checks. Preventive checks adalah pengurangan penduduk melalui penekanan
kelahiran. Preventive checks dapat dibagi menjadi dua, yaitu: moral restraint dan
vice (pengekangan diri), yaitu segala usaha untuk mengekang nafsu seksual,

penundaan dan pengurangan kelahiran: pengguguran kandungan, penggunaan
alat-alat kontrasepsi, homoseksuil, promiscuity, adultery. Positive checks adalah
pengurangan penduduk melalui proses kematian. Positive checks dapat dibagi
menjadi dua yaitu: vice dan mistery. Vice (kejahatan) adalah segala jenis
pencabutan nyawa sesama manusia seperti pembunuhan anak-anak (infanticide),
pembunuhan orang-orang cacat, dan orang-orang tua. Misery (kemelaratan) ialah
segala keadaan yang menyebabkan kematian seperti berbagai jenis penyakit dan
epidemik, bencana alam, kelaparan, kekurangan pangan, dan peperangan.
2.1.1.2 Aliran Neo-Malthusians
Kelompok yang menyokong aliran Malthus tetapi lebih radikal disebut
dengan kelompok Neo-Malthusianism. Kelompok ini tidak sependapat dengan
Malthus, bahwa untuk mengurangi jumlah penduduk cukup dengan moral
restraint saja. Untuk keluar dari perangkap Malthus, mereka menganjurkan
menggunakan semua cara-cara preventive checks, misalnya dengan penggunaan
alat-alat kontrasepsi untuk mengurangi jumlah kelahiran, pengguguran kandungan
(abortions). Menurut kelompok ini (yang dipelopori oleh Garreth Hardin dan Paul

9
Universitas Sumatera Utara


Ehrlich) pada abad ke-20 (tahun 1950-an), dunia baru yang pada zamannya
Malthus masih kosong kini sudah mulai penuh dengan manusia. Dunia baru mulai
tidak mampu untuk menampung jumlah penduduk yang sudah bertambah. Setiap
minggu lebih dari sejuta bayi lahir di dunia.
Paul

Ehrlich

dalam

buku

The

Population

Bomb

tahun


1971,

menggambarkan penduduk dan lingkungan yang ada di dunia dewasa ini sebagai
berikut. Pertama, dunia ini sudah terlalu banyak manusia; kedua, keadaan bahan
makanan sangat terbatas; ketiga, karena terlalu banyak manusia di dunia ini
lingkungan sudah banyak yang rusak dan tercemar. Pada tahun 1990, Ehrlich
bersama istrinya merevisi buku tersebut dengan judul The Population Explotion,
yang isinya bahwa bom penduduk yang dikhawatirkan tahun 1968 kini sewaktuwaktu dapat meletus.
2.1.1.3 Aliran Marxist
Aliran ini dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Marx dan
Engels tidak sependapat dengan Malthus yang menyatakan, bahwa apabila tidak
diadakan pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan
kekurangan bahan pangan. Menurut Marx tekanan penduduk yang terdapat di
suatu negara bukanlah tekanan penduduk terhadap bahan makanan, tetapi tekanan
penduduk terhadap kesempatan kerja. Kemelaratan terjadi bukan disebabkan
karena pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat, tetapi karena kesalahan struktur
masyarakat itu sendiri seperti yang terdapat pada negara-negara kapitalis. Jadi
menurut Marx dan Engels sistem kapitalis-lah yang menyebabkan kemelaratan
tersebut, dimana mereka menguasai alat-alat produksi. Untuk mengatasi hal-hal


10
Universitas Sumatera Utara

tersebut maka struktur masyarakat harus diubah dari sistem kapitalis menjadi
sistem sosialis.
Menurut Marx dalam sistem sosialis alat-alat produksi dikuasai oleh
buruh, sehingga gaji buruh tidak akan terpotong. Buruh akan menikmati seluruh
hasil kerja mereka dan oleh karena itu, masalah kemelaratan akan dapat
dihapuskan. Selanjutnya dia berpendapat bahwa semakin banyak jumlah manusia
semakin tinggi produksi yang dihasilkan, jadi dengan demikian tidak perlu
diadakan pembatasan pertumbuhan penduduk: Marx dan Engels menentang
usaha-usaha moral restraint yang disarankan oleh Malthus.
2.1.1.4 Teori Jhon Stuart Mill
Jhon Stuart Mill, seorang ahli filsafat dan ahli ekonomi berkebangsaan
Inggris dapat menerima pendapat Malthus mengenai laju pertumbuhan penduduk
melampaui laju pertumbuhan bahan makanan sebagai suatu aksioma. Selanjutnya
ia mengatakan, apabila produktivitas seseorang tinggi ia cenderung ingin
mempunyai keluarga yang kecil. Dalam situasi seperti ini fertlitas akan rendah.
Jadi taraf hidup (standart of living) merupakan determinan fertilitas.
Memperhatikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan oleh

manusia itu sendiri, maka Mill menyarankan untuk meningkatkan pendidikan
penduduk tidak saja untuk golongan yang mampu, tetapi juga untuk golongan
yang tidak mampu. Dengan meningkatnya pendidikan penduduk maka secara
rasional mereka mempertimbangkan perlu tidaknya menambah jumlah anak
sesuai dengan karir dan usaha yang ada. Disamping itu Mill juga berpendapat

11
Universitas Sumatera Utara

bahwa umumnya wanita tidak menghendaki anak yang banyak, dan apabila
kehendak mereka diperhatikan maka tingkat kelahiran akan rendah.
2.1.1.5 Teori Arsene Dumont
Arsene Dumont, seorang ahli demografi bangsa Perancis pada tahun 1890
menulis sebuah artikel berjudul Depopulation et Civilization. Ia melancarkan teori
penduduk baru yang disebut dengan teori kapilaritas sosial (theory fo sosial
capilarity). Kapilaritas sosial mengacu kepada keinginan seseorang untuk
mencapai kedudukan yang tinggi di masyarakat. Untuk dapat mencapai
kedudukan tersebut, keluarga yang besar merupakan beban yang berat dan
perintang.
Teori kapilaritas sosial dapat berkembang dengan baik pada negara

demokrasi, dimana tiap-tiap individu mempunyai kebebasan untuk mencapai
kedudukan yang tinggi di masyarakat. Di Perancis pada abad ke-19 misalnya,
sistem demokrasi sangat baik, tiap-tiap orang berlomba-lomba mencapai
kedudukan yang tinggi, sebagai akibatnya angka kelahiran turun dengan cepat.
2.1.1.6 Teori Emile Durkheim
Emile Durkheim adalah seorang ahli sosiologis Perancis. Ia mengatakan,
pada suatu wilayah dimana angka kepadatan penduduknya tinggi akibat dari
tingginya laju pertumbuhan penduduk akan timbul persaingan di antara penduduk
untuk dapat mempertahankan hidup. Dalam usaha memenangkan persaingan tiaptiap orang berusaha untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan, dan
mengambil spesialisasi tertentu.

12
Universitas Sumatera Utara

2.1.1.7 Teori Michael Thomas Sadler dan Doubleday
Kedua ahli ini adalah penganut teori fisologis. Sadler mengemukakan,
bahwa daya reproduksi manusia dibatasi oleh jumlah penduduk yang ada di suatu
negara atau wilayah. Jika kepadatan penduduk tinggi, daya reproduksi manusia
akan menurun, sebaliknya jika kepadatan penduduk rendah, daya reproduksi
manusia akan meningkat.

Jika Sadler mengatakan bahwa daya reproduksi penduduk berbanding
terbalik dengan tingkat kepadatan penduduk, maka Doubleday berpendapat,
bahwa daya reproduksi penduduk berbanding terbalik dengan bahan makanan
yang tersedia. Kenaikan kemakmuran menyebabkan turunnya daya reproduksi
manusia. Menurut Doubleday, kekurangan bahan makanan merupakan perangsang
bagi daya reproduksi manusia, sedangkan kelebihan pangan justru merupakan
faktor pengekang perkembangan penduduk. Golongan masyarakat berpendapatan
rendah, seringkali terdiri dari penduduk dengan keluarga besar, sebaliknya
masyarakat berpendapatan tinggi biasanya jumlah keluarganya kecil.
2.1.2

Teori Fertilitas
Fertilitas merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi

perubahan jumlah penduduk dan komposisi penduduk dalam suatu negara.
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata
dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain, fertilitas ini
menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Fertilitas mencakup peranan
kelahiran pada perubahan penduduk, sedangkan natalitas mencakup peranan
kelahiran pada perubahan penduduk dan reproduksi manusia (Hatmadji, 1971).


13
Universitas Sumatera Utara

Menurut Ida Bagoes Mantra (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya fertilitas dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor demografi dan
faktor non-demografi. Faktor demografi diantaranya adalah; struktur umur,
struktur perkawinan, umur kawin pertama, paritas, disrupsi perkawinan, dan
proporsi yang kawin. Sedangkan faktor non-demografi antara lain; keadaan
ekonomi penduduk, tingkat pendidikan, perbaikan status perempuan, urbanisasi
dan industrialisasi. Dr.Davis dan Dr.Blake (dalam Ida Bagoes Mantra, 2000)
dalam tulisannya berjudul The Social Structure of Fertility: An Analitical
Framework, menyatakan bahwa faktor-faktor sosial mempengaruhi fertilitas
melalui variabel antara (Gambar 2.1)
Gambar 2.1
Skema dari Faktor Sosial yang Mempengaruhi Fertilitas Lewat Variabel
Antara.
Faktor Sosial

Variabel

Antara

Fertilitas

Sumber : Davis dan Blake (dalam Ida Bagoes Mantra, 2000)

Davis dan Blake menyebutkan 11 variabel antara lain dikelompokkan
sebagai berikut.
1)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan hubungan kelamin pada
usia reproduksi;
a.

Umur memulai hubungan kelamin,

b.

Selibat permanen, yaitu proporsi wanita yang tidak pernah
mengadakan hubungan kelamin,


c.

Lamanya masa reproduksi yang hilang, karena:
i.

Perceraian, perpisahan, atau ditinggal pergi oleh suami

ii. Suami meninggal dunia,

14
Universitas Sumatera Utara

d.

Abstinensi sukarela,

e.

Abstinensi karena terpaksa (impotensi, sakit, berpisah sementara yang
tidak bisa dihindari),

f.
2)

Frekuensi hubungan seks (tidak termasuk abstinensi).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan konsepsi;
a.

Kesuburan dan kemandulan biologis (fekunditas dan infekunditas)
yang tidak disengaja,

b.

Menggunakan atau tidak menggunakan alat-alat kontrasepsi
i.

Cara kimiawi dan cara mekanis

ii. Cara-cara lain (seperti metoda ritma dan senggama terputus),
c.

Kesuburan dan kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
disengaja, misalnya strerilisasi.

3)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran selamat;
a.

Kematian janin karena faktor-faktor yang tidak disengaja,

b.

Kematian janin karena faktor-faktor disengaja.

Kesebelas faktor-faktor itu masing-masing dapat mempunyai akibat
negatif dan positif terhadap fertilitas.
Adapun dua macam pendekatan dalam melakasanakan pengukuran
fertilitas menurut Hatmadji (1971), yaitu Yearly Performance (current fertility)
dan Reproductive History (cummulative fertility).

1)

Yearly Performance (current fertility)

15
Universitas Sumatera Utara

Mencerminkan fertilitas dari suatu kelompok penduduk atau berbagai
kelompok penduduk untuk jangka waktu satu tahun. Ini yang disebut current
fertility. Yearly Performance terdiri dari:
a.

Angka Kelahiran Kasar atau Crude Birth Rate (CBR)
Angka kelahiran kasar didefinisikan sebagai banyaknya kelahiran hidup

pada suatu tahun tertentu tiap 1000 penduduk pada pertengahan tahun.
Rumus:
CBR=

B
×k
Pm

Dimana:

b.

CBR

= Crude Birth Rate atau Angka Kelahiran Kasar

Pm

= Penduduk pertengahan tahun

k

= Bilangan konstan yang biasanya bernilai 1.000

B

= Jumlah kelahiran pada tahun tertentu

Angka Kelahiran Umum atau General Fertility Rate (GFR)
GFR adalah banyaknya kelahiran tiap seribu wanita yang berumur 14-59

atau 15-44 tahun.
Rumus:
�=

Dimana:
GFR
B

Jumlah kelahiran pada tahun tertentu
�
Jumlah penduduk wanita umur 1 − 9
pada pertengahan tahun
Atau


�
�� 1 − 9
= Angka Kelahiran Umum
= Jumlah kelahiran
�=

16
Universitas Sumatera Utara

Pf (15-49) = Jumlah penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada
pertengahan tahun
c.

Angka Kelahiran menurut kelompok umur atau Age Specific Fertility Rate
(ASFR)
ASFR adalah banyaknya kelahiran tiap seribu wanita pada kelompok umur

tertentu.
Rumus:
ASFRi =

Dimana:
Bi

Bi
×k
Pfi

= Jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur i

Pfi = Jumlah perempuan kelompok umur i pada pertengahan tahun
k
d.

= Angka konstanta, biasanya 1.000

Angka Kelahiran Total atau Total Fertility Rate (TFR)
TFR adalah jumlah dari ASFR, dengan catatan bahwa umur dinyatakan

dalam satu tahunan.
Rumus:

7

TFR=5 ∑ ASFRi

( i= 1, 2,…)

i=1

Dimana:
ASFR

= Angka kelahiran menurut kelompok umur

i

= Kelompok umur 5 tahunan, dimulai dari 15-19

Reproductive History (cummulative fertility)

2)
e.

Jumlah Anak yang Pernah Dilahirkan atau Children Ever Born (CEB)

17
Universitas Sumatera Utara

CEB mencerminkan banyaknya kelahiran sekelompok atau beberapa
kelompok wanita selama reproduksinya;dan disebut juga paritas.
Rumus:
Rata-rata jumlah anak dilahirkan=

CEBi
Pfi

Dimana:
CEBi = Jumlah anak yang dilahirkan hidup oleh kelompok umur i

f.

Pif

= Jumlah wanita pada kelompok umur i

Child Woman Ratio (CWR)
CWR adalah hubungan dalam bentuk rasio antara jumlah anak di bawah

lima tahun dan jumlah penduduk wanita usia reproduksi.
Rumus:
CWR =

P−

Pf

− 9

×k

Dimana:
P0-4

= Jumlah penduduk umur 0-4 tahun

Pf15-49 = Jumlah wanita umur 15-49 tahun
k

2.1.3

= Bilangan konstan, biasanya 1.000

Pengaruh Pendapatan terhadap Fertilitas
Pendapatan merupakan salah satu variabel pengaruh dalam mempengaruhi

seseorang atau sebuah keluarga untuk membuat keputusan dalam menentukan
atau merencanakan jumlah anak. Apabila ada kenaikan pendapatan, aspirasi orang

18
Universitas Sumatera Utara

tua akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini
berarti biayanya naik. Sedangkan kegunaannya turun, sebab walaupun anak masih
memberikan kepuasan akan tetapi balas jasa ekonominya turun. Disamping itu
orang tua juga tidak tergantung dari sumbangan anak. Jadi biaya membesarkan
anak lebih besar daripada kegunaannya. Hal ini mengakibatkan demand terhadap
anak menurun atau dengan kata lain fertilitas turun (Hatmadji, 2007).
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak
berkurang bila pendapatan meningkat. New household economics berpendapat
bahwa:
(a)

Orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi
dalam jumlah yang hanya sedikit, sehingga ‘harga beli’ meningkat.

(b)

Bila pendapatan dan pendidikan meningkat, maka semakin banyak waktu
(khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak
menjadi lebih mahal.
Wrong (dalam David Lucas, 1982) percaya, bahwa norma yang

menunjukkan penduduk dari golongan status ekonomi yang lebih rendah
mempunyai fertilitas yang relatif lebih tinggi, hampir dapat dikatakan sebagai
suatu hukum sosial ekonomi. Dalam masyarakat yang berpendapatan rendah
(terutama pada daerah pertanian dan pesisir), anak-anak dianggap sebagai sumber
tenaga kerja dan sumber pendapatan yang penting bagi keluarga. Selain itu, anak
dinilai sebagai investasi hari tua atau sebagai komoditas ekonomi yang dapat
disimpan untuk di kemudian hari. Hal tersebut merupakan hubungan yang positif
antara pendapatan dengan nilai anak. Berkolerasi negatif apabila pendapatan yang

19
Universitas Sumatera Utara

tinggi akan menilai anak bukan sebagai potensi, modal atau rezeki. Mereka
menilai anak sebagai beban dalam keluarga. Sehingga semakin tinggi pendapatan,
maka persepsi nilai anak akan berkurang sehingga fertilitas akan menurun.
Dengan kata lain, jika pendapatan naik maka fertilitas menurun, begitu
juga sebaliknya. Jadi pendapatan berpengaruh negatif terhadap fertilitas.
2.1.4

Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Fertilitas
Hawthorn (dalam David Lucas, 1982) menyatakan, bahwa dalam semua

masyarakat, ”kesadaran akan pembatasan kelahiran memang tergantung pada latar
belakang daerah kota atau tempat tinggal, pendidikan dan penghasilan”.
Tingkat pendidikan wanita dianggap sebagai salah satu variabel yang
penting dalam melihat variasi tingkat fertilitas. Karena variabel ini banyak
berperan dalam perubahan status, sikap dan pandangan hidup mereka didalam
masyarakat. Pendidikan istri merupakan faktor sosial paling penting dalam
analisis demografi misalnya dalam usia kawin pertama, fertilitas dan mortalitas.
Selain itu, pendidikan juga memberikan kesempatan yang lebih luas kepada
wanita untuk lebih berperan dan ikut serta dalam kegiatan ekonomi. Sehingga
faktor tersebut akhirnya mempengaruhi tingkah laku reproduksi wanita karena
diharapkan pendidikan berhubungan negatif dengan fertilitas (Saleh M, 2003).
Menurut Todaro (1994), semakin tinggi tingkat pendidikan istri atau
wanita cenderung untuk merencanakan jumlah anak yang semakin sedikit.
Keadaan ini menunjukkan bahwa wanita yang telah mendapatkan pendidikan
lebih baik cenderung memperbaiki kualitas anak dengan cara memperkecil jumlah

20
Universitas Sumatera Utara

anak, sehingga akan mempermudah dalam perawatannya, membimbing dan
memberikan pendidikan yang lebih layak.
Penelitian mengenai kaitan pendidikan wanita dengan kesuburan di
beberapa negara yang sudah maupun kurang berkembang, mengungkapkan bahwa
adanya kaitan yang erat antara tingkat pendidikan dengan fertilitas dalam hal ini
pada tingkat kesuburan. Semakin tinggi pendidikan maka semakin rendah
kesuburan yang mengakibatkan penurunan pada fertilitas.
Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah
fertillitas, begitu juga sebaliknya. Jadi, tingkat pendidikan berpengaruh negatif
terhadap fertilitas.
2.1.5

Pengaruh Jam Kerja terhadap Fertilitas
Jam kerja adalah waktu yang ditentukan untuk melakukan suatu pekerjaan.

Pada umumnya dorongan wanita bekerja adalah untuk mengisi waktu senggang,
untuk membina karir atau untuk menambah penghasilan pendapatan keluarganya.
Bagi wanita yang sudah berumah tangga partisipasi mereka dalam melaksanakan
urusan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak. Hal ini dapat
berpengaruh terhadap fertilitas (kesuburan), yang tercermin dalam jumlah anak
yang dilahirkan hidup. Kesibukan kerja menyebabkan para ibu lelah dan waktu
untuk beristirahat serta berkumpul bersama keluarga sangat terbatas.
Bakir (1984) mengemukakan hubungan fertilitas dan angkatan kerja:
a)

Partisipasi wanita dalam angkatan kerja mempunyai pengaruh negatif
terhadap fertilitas. Hal ini disebabkan karena terjadi pertentangan atau
konflik antara fungsi dan tugas wanita yang dianggap utama, yaitu sebagai

21
Universitas Sumatera Utara

istri dan ibu serta fungsi dan tugas wanita sebagai pekerja. Orang
beranggapan bahwa meningkatnya kesempatan bagi wanita untuk
berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi di luar rumah dapat digunakan
sebagai salah satu kebijakan di bidang kependudukan yang mendukung
program KB untuk menurunkan fertilitas.
b)

Hubungan antara fertilitas dengan angkatan kerja wanita sebagai hubungan
kausal timbal balik, dimana satu sama lain saling mempengaruhi.
Hatmaji (1971) mengungkapkan bahwa terjadi hubungan negatif antara

pekerja wanita dengan fertilitas. Wanita bekerja di luar rumah cenderung
mempunyai anak lebih sedikit, sedangkan wanita yang mengurus rumah tangga
mempunyai anak yang lebih banyak.
Dengan kata lain, semakin tinggi jam kerja maka semakin rendah fertilitas,
begitu juga sebaliknya. Jadi, jam kerja berpengaruh negatif terhadap fertilitas.
2.1.6

Pengaruh Usia Kawin Pertama terhadap Fertilitas
Umur kumpul pertama sangat berkaitan dengan tingkat fertilitas, karena

umur kumpul pertama menandakan dimulainya masa reproduksi wanita. Oleh
karena itu semakin muda wanita mulai aktif secara seksual, maka semakin
panjang masa reproduksinya, dan semakin besar pula kemungkinan untuk
memiliki anak banyak. Umur kumpul pertama dikelompokkan menjadi; ≤ 15
tahun, 16-17 tahun, 18-19 tahun, 20-29 tahun, dan 30+ tahun (Israwati, 2009).
Sejalan dengan pemikiran, bahwa semakin muda seseorang melakukan
perkawinan semakin panjang masa reproduksinya maka dapat diharapkan semakin

22
Universitas Sumatera Utara

muda seseorang melangsungkan perkawinannya semakin banyak pula anak yang
dilahirkan.
Dengan kata lain, semakin tinggi usia kawin pertama maka semakin
rendah fertilitas, begitu juga sebaliknya. Jadi, usia kawin pertama berpengaruh
negatif terhadap fertilitas.
2.1.7

Pengaruh Pemakaian Alat Kontrasepsi terhadap Fertilitas
Umumnya pasangan suami istri yang belum mendapatkan pekerjaan yang

layak dan pendapatan yang cukup untuk membiayai semua kebutuhan anaknya
cenderung untuk membatasi jumlah anak dan memperpanjang jarak kelahiran
melalui pemakaian alat kontrasepsi. Pemakaian alat/cara kontrasepsi secara
langsung dapat mempengaruhi fertilitas. Semakin tinggi persentase wanita yang
memakai alat/cara kontrasepsi, semakin rendah tingkat fertilitasnya. Dengan kata
lain pemakaian alat kontrasepsi memiliki pengaruh negatif terhadap fertilitas.
2.2 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Nama
Judul
No.
Metode
Variabel
Peneliti
Penelitian
1.
Dian Eka Faktor-Faktor
Regresi
Pendapatan
L (2011)
yang
Linier
(X1),
Biaya
Mempengaruhi Berganda anak (X2), Jam
Fertilitas pada
Kerja
(X3),
Wanita Pekerja
Usia
Kawin
di
Kota
Pertama (X4),
Makassar
Pendidikan
(rumah tangga
(D1), Lokasi
miskin)
Pekerjaan
(D2).
Y= Fertilitas

Hasil
Penelitian
Pendapatan,
Biaya anak,
Jam
Kerja,
Usia Kawin
Pertama,
Pendidikan,
dan
Lokasi
Pekerjaan
mempunyai
pengaruh
signifikan
terhadap

23
Universitas Sumatera Utara

2.

3.

Survita
Cahyaning
Mirah
(2013)

Analisis Faktor Regresi
yang
Linier
Mempengaruhi Berganda
Fertilitas
Pekerja Wanita
di
Kelurahan
Tegal
Besar
Kecamatan
Kaliwates
Kabupaten
Jember

Pendapatan
keluarga (X1),
Pendidikan
responden
(X2),
Pendidikan
suami
(X3),
Curah
jam
kerja
(X4),
Usia
kawin
pertama (X5),
Lama
penggunaan
alat
kontrasepsi
(X6).
Y= Fertilitas
Endru
Faktor
yang Regresi
Pendapatan
Setia Adi Mempengaruhi Linier
keluarga (X1),
(2013)
Fertilitas
di Berganda Tingkat
pendidikan
Desa
(X2),
Usia
Kandangtepus
perkawinan
Kecamatan
pertama (X3),
Senduro
Kabupaten
Lama
Lumajang
pemakaian alat
kontrasepsi
(X4), Jenis alat
KB
(X5),
Curah
jam
kerja
(X6),
Banyaknya
anggota
keluarga (X7),
Jumlah
saudara
kandung dari
ibu
(X8),
Keinginan ibu

fertilitas.
Pendapatan
Keluarga,
Pendidikan
Suami, Curah
Jam
Kerja,
Usia Kawin
Pertama
mempunyai
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
fertilitas.

Pendapatan
Keluarga,
Tingkat
Pendidikan,
Lama
Pemakaian
Alat
Kontrasepsi,
dan Keinginan
Ibu Memiliki
Anak
mempunyai
pengaruh
signifikan
terhadap
fertilitas.

24
Universitas Sumatera Utara

4.

2.3

Rahmi
Muqsithah
(2015)

memiliki anak
(X9).
Y=Fertilitas
Analisis Faktor- Regresi
Pendapatan
Faktor
yang Linier
keluarga (X1),
Mempengaruhi Berganda Pendidikan
Fertilitas Wanita
responden
Pekerja
di
(X2),
Kelurahan
Pendidikan
Purwoasri
suami
(X3),
Kecamatan
Usia
kawin
pertama (X4),
Singosari
Lama
Kabupaten
penggunaan
Malang
alat
kontrasepsi
(X5).
Y= Fertilitas

Pendapatan
keluarga,
pendidikan
responden,
pendidikan
suami,
usia
kawin
pertama, dan
lama
penggunaan
alat
kontrasepsi
mempunyai
pengaruh
yang negatif
dan signifikan
terhadap
fertilitas.

Kerangka Konseptual
Dengan memperhatikan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal yang dijadikan penulis sebagai
kerangka konseptual untuk kedepannya. Landasan yang dimaksudkan akan lebih
mengarahkan penulis untuk menemukan data dan informasi dalam penelitian ini
guna memecahkan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Untuk itu, maka
penulis menguraikan kerangka konseptual tersebut kedalam Gambar 2.2 dibawah
ini yang akan dijadikan pegangan dalam penelitian ini.

Pendapatan
(X1)

(-)

Tingkat
Pendidikan (X2)
Jam Kerja
(X3)

25
Universitas Sumatera Utara

Fertilitas (Y)

(-)

(-)
(-)
(-)

Gambar 2.2
Kerangka Konseptual
Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka yang berfungsi sebagai
variabel bebas adalah; Pendapatan (X1), Tingkat Pendidikan (X2), Jam Kerja (X3),
Usia Kawin Pertama (X4), dan Pemakaian Alat Kontrasepsi (X5). Sedangkan
variabel terikatnya adalah Fertilitas (Y) pekerja wanita di Kota Lhokseumawe.
2.4

Hipotesis
Berdasarkan pada landasan teori dan tinjauan dari penelitian terdahulu,

maka hipotesis pada penelitian ini adalah:
1.

Pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas pada pekerja
wanita di Kota Lhokseumawe.

2.

Tingkat pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas pada
pekerja wanita di Kota Lhokseumawe.

3.

Jam kerja berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas pada pekerja
wanita di Kota Lhokseumawe.

4.

Usia kawin pertama berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas pada
pekerja wanita di Kota Lhokseumawe.

5.

Pemakaian alat kontrasepsi berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas
pada pekerja wanita di Kota Lhokseumawe.

26
Universitas Sumatera Utara

27
Universitas Sumatera Utara