TAP.COM - PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM ... 842 2626 1 PB

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PENANGGULANGAN
KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA
(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan II B Kotaagung)

( Jurnal Skripsi )

Oleh
HEVI SELVINA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017

JURNAL
PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PENANGGULANGAN
KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA
(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan II B Kotaagung)
Oleh
Hevi Selvina. Nikmah Rosidah. Rini Fathonah
(Email:Heviselvina@yahoo.co.id)

Penelitian dan penulisan skripsi ini bertujuan Untuk mengetahuai peran lembaga
pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana.
mengetahui faktor penghambat peran lembaga pemasyarakatan dalam
penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana.
Jenis penelitian ini adalah penelitian Normatif-Empiris . Dalam pendekatan ini maka
digunakan data primer dan data skunder yang masing-masing bersumber atau
diperoleh dari lapangan dan kepustakaan. Untuk data primer dikumpulkan dengan
wawancara, sedangkan data skunder dengan cara menelusuri literatur-literatur atau
bahan pustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut peran Lembaga
pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana
adalah kenyaataannya bahwa lembaga pemasyarakatan tersebut terkendala oleh
beberapa hal seperti, pasilitas lembaga pemasyarakatan yang kurang memadai
jumlah pegawai/penjaga yang tidak sesuai dengan jumlah warga binaan
pemasyarakatan (WBP) yang di jaga di dalam lembaga pemasyarakatan tersebut,
jumlah narapidana yang melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan, karena
banyaknya warga binaan pemasyarakatan sehingga sarana prasarana yang tidak
memenuhi kebutuhan narapidana yang tinggal di dalam Lembaga pemasyarakatan,
Kurangnya pengawasan juga menyebabkan mudahnya terjadi kerusuhan didalam

Lembaga Pemasyarakatan. Jadi faktor inilah yang menyebabkan banyaknya keributan
yang terjadi didalam Lembaga pemasyarakatan.
Kata kunci: Peran Lapas, kekerasan, narapidana.

JOURNAL
THE ROLE OF CORRECTIONAL INSTITUTION IN THE PREVENTION
OF VIOLANCE PERPETRATED BY PRISONERS
(A Study in Correctional Institution II B Kotaagung)
By
Hevi Selvina. Nikmah Rosidah. Rini Fathonah
(Email: Heviselvina@yahoo.co.id)

The objectives of this research are to find out the role of correctional institution in the
prevention of violence perpetrated by prisoners, and also to identify the inhibiting
factors of the role of correctional institution in the prevention of violence perpetrated
by prisoners.
This research is a Normative-Empirical research. In this approach, the use of primary
data and secondary data were obtained from field study and literature study. The
primary data were collected by conducting interview, while the secondary data were
gathered through literature or library research which comprise a primary law,

secondary law and tertiary legal materials.
Based on the results of the research and discussion, the role of the correctional
institution in the prevention of violence perpetrated by prisoners were in fact
constrained by several things like, the inadequate numbers of facilities within the
prison, the inadequate numbers of staff / guards compared to the numbers of prisoners
guarded, the number of prisoners exceeds the capacity of the prison, the big amount
of prisoners with poor facilities could not meet the needs of prisoners living in the
correctional institution, while lack of supervision made the violation happened among
the prisoners. Those factors causes a lot of disturbances in the correctional Institution.
Keywords: Role of correctional institition, violence, prisoners.

1

I. PENDAHULUAN
Lembaga
pemasyarakatan
atau
disingkat
(LAPAS)
merupakan

institusi dari sub sistem peradilan
pidana mempunyai fungsi strategis
sebagai pelaksanaan pidana penjara
sekaligus sebagai tempat pembinaan
bagi narapidana. Terdapat pada tujuan
pemasyarakatan Pasal 2 UndangUndang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan adalah : “agar
menyadari kesalahan, memperbaiki
diri dan tidak menggulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat,
dapat
berperan
aktif
dalam
pembangunan dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung
jawab”
lain

sisi
pelaksanaan pidana penjara dianggap
sebagai perampasan hak asasi manusia
(HAM). Tujuan dari pemberian
hukuman sendiri tidak lain hanya
untuk menciptakan sutau kedaiaman
yang didasarkan pada keserasian
anatara ketertiban dengan ketentraman.
Tujuan hukum ini tentunya akan
tercapainya apabila didukung oleh
tugas hukum, yakni keserasian antara
kepastian hukum dengan kebandingan
hukum, sehingga akan menghasilkan
suatu keadilan1.
Kasus tindak kejahatan kekerasan yang
kerap terjadi pada saat ini dirasakan
oleh pendatang baru akan bertambah
parah. Faktor lain yang menyebabkan
terjadinya kejahatan kekerasan dalam
lapas ini dikarnakan jumlah napi yang

melebihi
kapasitas,
kejahatan
kekerasan dalam lapas juga kerap
1

Ibid.hlm 06

terjadi karena kurangnya pengawasan
dari petugas lapas serta perbedaan
antara jumlah petugas lembaga
pemasyarakatan dengan narapidana
yang terdapat dalam lapas sangat jauh
berbeda dimana, jumlah dari napi yang
ditahan didalamnya sudah melebihi
kapasitas. sehingga hal tersebut
mengakibatkan pembinaan terhadap
napi tidak dapat dilakukan secara
maksimal. Kekerasan yang terjadi di
lapas ini hendaknya dapat di tindak

lanjuti dan perlu di simak lebih jauh
untuk tidak dianggap wajar dan biasa,
seakan-akan sudah menjadi denyut
kehidupan dalam lapas. Kondisi ini
tampaknya
mulai
merajalela,
sementara upaya untuk mencari
benang merah dari inti permasalahan
yang sebenarnya belum di lakukan
secara
maksimal,
diperlukan
penyelidikan dengan serius agar tidak
terjadi lagi kasus yang sama sehingga
tujuan utama dari pemasyarakatan itu
dapat berjalan dengan sebagaimana
mestinya dimana Pemasyarakatan.
Terjadi pada saat ini yang berkaitan di
UPT Pemasyarakatan khususnya di

Lapas salah satunya adalah kejahatan
kekerasan yang dilakukan oleh
narapidana terhadap narapidana lain di
dalam Lapas, misalnya pada kasus di
Lapas kelas II B Kota Agung terjadi
kejahatan kekerasan sesama warga
binaan pemasyarakatan (WBP) pada
hari kamis, 18 Februari 2016 sekitar
pukul 16.30. pada jam para warga
binaan pemasyarakatan (WBP) sedang
berada diluar sel menunggu pembagian
jatah makan sore, aksi pemukulan
terjadi yang direkam salah satu napi
dan kecolongan atas aksi kekerasan
yang terjadi antar warga binaan
dilingkungan Lapas, peristiwa tersebut

2

sempat mengebohkan dunia maya

setelah diunggah melalui media sosial
yang berdurasi 8,3 menit. Sebab pada
saat itu berlangsung petugas jaga
sedang melakukan patroli. Sementara
itu, menurut kasubsi keamanan Lapas
Johansyah keterbatasan sumber daya
manusia (SDM) internal Lapas
menjadikan pengawasan terhadap
warga binaan tidak berjalan maksimal.
Dengan petugas yang jumlahnya
sedikit, pihak Lapas harus tetap
membagi para petugasnya untuk
berjaga, sedangkan jumlah narapidana
hingga saat ini hampir mencapai 300
jiwa dan petugas berjumlah 40
sedangkan diterapkan saat ini 1
petugas mengawasi 1 blok atau sekitar
40 warga binaan itulah peristiwa
kemarin lepas dari pengawasan
petugas.


Lapas
merupakan
tempat
melaksanakan pembinaan bagi para
narapidana
seharusnya
menjadi
penghuni yang memiliki pribadi yang
lebih baik lagi, justru menjadi salah
satu tempat yang sering terjadi
kejahatan kekerasan yang dilakukan
sesama narapidana,Tapi kenyataanya
masih banyak narapidana yang belum
merasakan
perlindungan
selama
berada dalam masa tahanan, maraknya
keributan yang terjadi di lembaga
pemasyarakatan

(LAPAS)
antara
sesama napi mendapat perhatian
masyarakat. sehingga dalam hal ini
pemasyarakatan memiliki peran yang
sangat penting untuk menciptakan
suatu
keadaan kondusif
seperti
kedamaian yang didasari keserasian
antara
ketertiban,
pemeliharaan
keamanan dan tata tertib lapas.

Aksi pemukulan ini melibatkan para
narapidana yang terjerat kasus
narkoba. Pelaku pemukulan berinisial
As (40) napi pindahan dari Lapas
Kotabumi. Sementara korban TN (34)
sebelumnya merupakan tahanan dari
Lapas
Khusus
Narkotika
Bandarlampung. Sedangkan rekan satu
sel As yang turut memukul berinisial
N (34).Korban dituding telah menjadi
mata-mata aparat sehingga As turut
diciduk. Ketika diketahui korban
dipidahkan ke Lapas Way Gelang,
dendam As yang dipendam cukup
lama diluapkan terhadap korban.
"Terhadap korban langsung diberikan
penanganan medis dan sekarang
kondisinya berangsur pulih.2

Lapas
merupakan
tempat
melaksanakan pembinaan bagi para
narapidana
seharusnya
menjadi
penghuni yang memiliki pribadi yang
lebih baik lagi, justru menjadi salah
satu tempat yang sering terjadi
kejahatan kekerasan yang dilakukan
sesama narapidana,Tapi kenyataanya
masih banyak narapidana yang belum
merasakan
perlindungan
selama
berada dalam masa tahanan, maraknya
keributan yang terjadi di lembaga
pemasyarakatan
(LAPAS)
antara
sesama napi mendapat perhatian
masyarakat. sehingga dalam hal ini
pemasyarakatan memiliki peran yang
sangat penting untuk menciptakan
suatu
keadaan kondusif
seperti
kedamaian yang didasari keserasian
antara
ketertiban,
pemeliharaan
keamanan dan tata tertib lapas.

2

https://www.harianfokus.com/2016/03/01/soal
-video-kekerasan-antar-napi-kepalatanggamus-membenarkan-terjadiditempatnya/. Diakses tanggal 5 mei 2016

3

Berdasarkan uraian di atas, maka
permasalahan penelitian ini adalah:
Bagaimanakah
peran
lembaga
pemasyarakatan
dalam
penanggulangan
kekerasan
yang
dilakukan oleh narapidana, serta
Apakah
yang
menjadi
faktor
penghambat
peran
lembaga
pemasyarakatan
dalam
penanggulangan
kekerasan
yang
dilakukan oleh narapidan?
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normative dan pendekatan
yuridis empiris. Narasumber terdiri
dari Kasubsi Keamanan Lembaga
Pemsayarakatan
Kelas
II
B
Kotaagung, serta Dosen pada bagian
Hukum Pidana Unila. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka
dan studi lapangan. Selanjutnya
dianalisis secara kualitatif.

II. Pembahasan
A. Peranan
Lapas
dalam
Penanggulangan
Kekerasan
yang
Dilakukan
Oleh
Narapidana
Tujuan dari pemasyarakatan adalah
menekan pada pembinaan dan
pendidikan dengan berusaha untuk
mengembalikan kehidupan warga
binaan pemasyarakatan, agar dapat
kembali ketengah-tengah kehidupan
masyarakat
seutuhnya.
Terhadap
keberhasilan pembinaan tersebut,
maka unsur yang sangat berperan
adalah petugas pada Lembaga
Pemasyarakatan, masyarakat dan
tentunya
dari
warga
binaan
pemasyarakatan itu sendiri. Sebab
ketiga unsur tersebut merupakan suatu

hubungan kesatuan yang sangat erat
kaitanya satu sama lainnya.
Namun adakalanya sering terjadi
perselisihan antar warga binaan
pemasyarakatan (WBP) di dalam
Lapas bahkan berunjung pada suatu
perbuatan tindak pidana kekerasan
yang dilakukan oleh warga binaan
pemasyaraktan (WBP). Hal ini terjadi
tentunya karena adanya unsur pada
proses pembinaan yang belum
terpenuhi.
Sanusi menyatakan Peran Lembaga
Pemasyarakatan
dalam
penanggulangan
tindak
pidana
kekerasan yang dilakukan narapidana
adalah dilihat dari persoalan tugas dan
fungsi Lapas, berarti perlu dipahami
terlebih dahulu, Lapas membantu
orang yang sudah dapat pidana dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Jadi dalam hal ini kedudukan Lapas
fungsinya dapat menjalankan pidana
yang merupakan hukum pidana yang
meliputi hukum pidana materil, hukum
pidana formil dan hukum pelaksanaan
pidana, tiga hal ini merupakan
terkaitan dalam fungsi aparatur
penegak hukum Materil dan formil
adalah merupakan tugas dan fungsi
Lapas , dan hukum pelaksanaan pidana
merupakan
berpikirnya
disini,
berbicara mengenai penanggulangan
tindak
pidana
kekerasan
yang
dilakukan oleh narapidana itu artinya
harus dilihat kapan bolehnya Lapas itu
sendiri, kalaupun tidak boleh berarti
melanggar wewenangnya.
Peran Lapas hanya sekedar membantu
untuk penyusutan pendidikan bagi para
WBP yang melakukan tindakan pidana
.jadi peranan dari Lapas yaitu

4

Penindakan tindak pidana merupakan
patner dari penuntut. Lapas sifatnya
adalah mempasilitasi dan membantu
dalam proses penyelidikan dan yang
paling menonjol bahwa Lapas adalah
menjaga keberadaan WBP, Lapas juga
mempunyai kewenangan penuh untuk
melakukan rehabilitasi dan Lapas
berpegang pada wewenang dari
masing-masing sesuai dengan undangundang yang mengaturnya.3
Johansyah menyatakan peraturan tata
tertib di Lapas ada peraturan dan itu
tidak lari dari Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2013 tentang Tata Tertib Lembaga
Pemasyaraktan dan Rumah Tahanan
Negara. Proses penghukuman yang
terjadi di dalam Lapas yang
melakukan Pelanggaran diatur sesuai
dengan aturan Permen No.6 Tahun
2013 tentang tata tertib Lapas tuntutan.
Artinya semua tindakan mengenai
pelanggaran napi/ tahanan harus sesuai
dengan peraturan Permen itu sendiri.4
Menurut analisis penulis jika dilihat
dari
segi
aturan
hukum
pemasyarakatan
bahwa
sistem
pemasyarakatan di Indonesia sudah
cukup baik, seperti sistem yang
termuat dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Namun perlu diperlu diperhatikan pada
proses pemasyarakatan yang utama
adalah sarana dan prasarana yang ada
di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini
karena banyaknya terjadi kekerasan
antar warga binaan pemasyarakatan
3

Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana. 26
September 2016
4
Wawancara dengan Johansyah, 17 September
2016

(WBP) di dalam Lapas sering
disebabkan kurangnya sarana dan
prasarana yang ada di dalam Lapas itu
sendiri, warga binaan pemasyarakatan
(WBP) yang melebihi kapasitas di
dalam Lapas, yang seharusnya di
dalam satu kamar sel berisi 15 orang
warga binaan pemasyarakatan (WBP)
namun diisi dengan 30 orang warga
binaan pemasyarakatan (WBP). Selain
itu, ketidak sesuaian jumlah petugas
Lembaga
Pemasyarakatan
yang
menjaga warga binaan pemasyarakatan
(WBP) juga berperan sangat penting
untuk mencegah terjadinya kekerasan
antar warga binaan pemasyarakatan
(WBP)
di
dalam
Lembaga
Pemasyarakatan. Berdasarkan uraian
tersebut jelas bahwa tindak kekerasan
yang dilakukan antar warga binaan
pemasyarakatan (WBP) dipengaruhi
yang paling utama dari unsur sarana
dan prasarana yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan.
Apabila terjadi kekerasan antar warga
binaan
pemasyarakatan
(WBP)
didalam Lembaga Pemasyarakatan
maka peran Lembaga Pemasyarakatan
adalah sesuai dengan ketentuan SOP
(Standar Oprasional) yang ada di
dalam Lembaga Pemasyarakatan itu
sendiri.
Misalnya
melakukan
penyelidikan terhadap pelaku dan
korban , melakukan penempatan pada
sel khusus bagi pelaku, melakukan
mediasi antara pelaku dan korban,
melakukan pemberian sangsi terhadap
pelaku. Namun apabila perbuatan
tersebut sudah dapat dikatagorikan
suatu perbuatan pidana dan pihak
korban merasa tidak terima atau
merasa perlu adanya keadilan dan
tidak dapat di mediasi maka korban
dapat melakukan pelaporan ke pidak

5

kepolisian. Jika perkara tersebut
dilanjutkan kepada pihak kepolisian
maka dalam hal ini peran Lembaga
Pemasyarakatan hanyalah memberikan
hasil penyidikan petugas lembaga
pemasnyarakatan dan mempasilitasi
pihak kepolisian dalam melakukan
penyidikan.
B. Faktor
Penghambat
Peran
Lembaga
Pemasyarakatan
dalam
Penanggulangan
Kekerasan yang Dilakukan Oleh
Narapidana.
Lima faktor tersebut harus mengetahui
hakekatnya dari pembinaan dan tujuan
pembinaan dan tujuan pembinaan yang
diberikan. Agar pembinaan dapat
berjalan dengan yang diharapkan,
kelima faktor tersebut harus saling
bekerjasama dan saling terbuka dalam
memberikan
informasi.
Adanya
komunikasi yang baik antara ketiga
komponen tersebut maka dapat
diketahui hambatan-hambatan apa saja
yang ada dalam pembinaan untuk
kemudian dicari solusinya, dengan
demikian pembinaan yang dilakukan
dapat berjalan dengan optimal.5
1. Faktor undang-undang
Johansyah menyatakan peraturan
Permen No 6 Tahum 2013 tersebut
tidak sesuai artinya tidak ada efek
penjera bagi pelaku yang melakukan
tindakan kekerasan (pelanggaran) di
dalam Lapas, contohnya :
Napi melakukan perkelahian hanya
hukuman 18 hari ini dibuktikan terlalu
ringan dalam aturannya. Karena aturan

atau hukuman yang diberikan terlalu
ringan terhadapa narapidana yang
melakukan kekerasan sehingga tidak
memberikan efek penjera bagi pelaku.
Hal
ini
yang
menyebabkan
perkelahian/kekerasan antar warga
binaan pemasyarakatan (WBP) di
dalam Lapas sering terulang terjadi.
dapat disimpulkan bahwa Lembaga
Pemasyarakatan dalam melakukan
penindakan kekerasan yang dilakukan
antara warga binaan pemasyarakatan
(WBP) terhambat oleh aturan Permen
No. 6 Tahun 2013, sedangkan
Lembaga
Pemasyarakatan
dalam
melakukan penindakan harus sesuai
dengan aturan pada Permen Hukum
dan Ham No. 6 Tahun 2013 tersebut.
Lapas juga untuk menindak mereka
tidak maksimal penjeranya, kecuali
pidana yang disebut dengan delik
aduan termasuk wilayah hukum dan
semua maalah tidaki diharuskan untuk
di pidana.6
Sanusi menyatakan, Ketentuan dari
faktor ini belum terinformasi, karna
banyak orang-orang yang tidak tahu
dan tidak mengerti mengenai aturanaturan yang ada, seperti kejadiankejadian WBP yang ditembak kakinya,
maka perlu diberikan informasi. Tetapi
dalam Lembaga Pemasyarakatan yang
jelas kelemahan hukumnya yang
paling
menonjol
dalam
hal
penanggulangan
harus
diberikan
pendidikan,
termasuk
adanya
penyelidikan terhadap warga binaan
pemasyarakatan, artinya di arahkan
dulu undang-undang yang mengatur
tentang hal ini, diberikan pengarahan.
Berbicara faktor hukum dilihat

5

Dwidja Priyanto. Sistem Pelaksanaan Pidana
Penjara di Indonesia. Bandung. PT. Rafika
Aditama. 2009. Hlm 36

6

Wawancara dengan Johansyah, 1 Oktober
2016

6

bagaimana
terjangkau
tidaknya
peraturan pelaksanaan tempat kejadian
itu sendiri.7
2. Faktor Penegak Hukum
Johansyah
menyatakan
ketidak
sesuaian jumlah warga binaan
pemasyrakatan
dengan
petugas
penjaga. petugas yang menjaganya
hanya 2 orang. Maka dari ini dilihat
bahwa Lapas Kotaagung masih
kekurangan pegawai/penjagaan di
Lapas tersebut, artinya tidak sesuai
yang diharapkan. Dan menyangkut
pembinaan
yang
termasuk
kepegawaian,
disini
gimana
pembinaan itu maksimal kalau
pegawainya kurang, dan penjaganya
saja kurang bagaimana ingin memberi
pembinaan. Maka disini dapat terlihat
dari teknis internal Lapas Kotaagung.
Tidak terpenuhimya standar dan
prosedur pelaksanaan yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan dan
peraturan pelaksanaan yang berkaitan
dengan keamanan dan penegakan
hukum di Lapas Kotaagung, Masih
kurangnya jumlah petugas dan tidak
sebanding dengan jumlah warga
binaan pemasyarakatan (WBP) yang
ada, yaitu dengan perbandingan
jumlah petugas dengan warga binaan
pemasyarakatan (WBP) dalam hal
pengamanan, menangani pelanggaran,
pemahaman tentang psikologi dan
penguasaan teknologi yang masih
kurang. Infrastruktur yang kurang
memadai serta sarana dan alat
pendukung keamanan yang tidak
memenuhi standar pemasyarakatan,
yaitu kondisi pagar pembatas yang
7

Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana
Unila. Senin 26 September 2016

tidak selesai dibangun, kamera
pengaman yang tidak berfungsi dengan
baik, serta tidak adanya alat metal
detector
untuk
mengamankan
terjadinya penyelundupan barangbarang terlarang dan Sosiologis, psikis
dan pola perilaku tahanan ysng
menyebabkan kurang kooperatifnya
perilaku warga binaan pemasyarakatan
dengan para petugas pemasyarakatan.8
Sanusi menyatakan, Tidak seimbang
atau
tidak
sesuai
dengan
penjagaan/petugas yang menjaganya.
Untuk itu penjaga/petugas harus dilihat
dari pendidikannya, agar dapat
memahami masalah-masalah internal
yang terjadi di Lapas, maka perlu
adanya ilmu pengetahuan yang lebih,
supaya informasi lebih jelas dan
mudah di sampaikan.9
3. Faktor sarana atau fasilitas
Johansyah
menyatakan rata-rata
seluruh Indonesia yang pasti di
Lampung terutama di Lembaga
Pemasyarakatan Kotaagung tidak
sesuai antara kapasitas bangunan dan
komisi, dan sudah melebihi kapasitas.
kapasitas yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan
Kotaagung
seharusnya 120 orang dalam 1
ruangan, sedangkan sekarang yang ada
di
Lembaga
Pemasyarakatan
Kotaagung berjumlah 287 orang dalam
1 ruangan, maka dalam hal ini sudah
melebihi kapasitas dan tidak sesuai.
Masalah
kurangnya
pegawai
penjagaan, di Lapas Kotaagung
memiliki 6 blok yaitu A,B,C,D,E,F
8

Wawancara dengan Johansyah, 1 Oktober
2016
9
Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana
Unila. Senin 26 September 2016

7

seharusnya di jaga 6 orang, ini hanya 2
orang penjagaan, pertama A,B,C
(ditempatkan di atas) yang terdiri 1
orang, dan D,E,F (ditempatkan di
bawah) hanya 1 orang. Maka dari ini
dilihat bahwa Lapas Kotaagung masih
kekurangan pegawai/penjagaan di
Lapas tersebut, artinya tidak sesuai
yang diharapkan.10
Sanusi dosen Pidana, menyatakan
bahwa harus adanya suatu monitoring
selaku petugas Lapas dari atasan
sedapat mungkin antara yang di jaga
dengan si penjaga, semacam laporan
kekurangan yang ada, mungkin juga
diberikan saran hanya untuk mereka
yang merasa terlalu sesak diharuskan
dibagi rata, kalau ada warga binaan
pemasyarakatan yang jahat dan di
campurkan dengan warga binaan
masyarakatan yang jahat maka akan
muncul tanggapan menjadi sekolah
kejahatan di dalam lapas. Misalnya
mengenai jadwal-jadwal seperti jadwal
makan, jadwal mandi ini sudah sesuai
belum dengan yang ada di Lapas II B
Kotaagung, karna banyaknya penghuni
yang melebihi kapasitas biasanya tidak
seimbang dan tidak sesuai.11
4. Faktor Masyarakat
Johansyah menyatakan bahwa ada
beberapa
warga
binaan
pemasyarakatan yang tidak pernah
dibesuk keluarganya, banyak keluarga
WBP yang tidak mengakui lagi
tersebut menjadi bagian keluarganya.
Dan tidak diketahui alamat yang pasti

dari WBP karena tempatnya jauh di
perkampungan.
Hal
tersebut
disebabkan karena sebagian dari
penghuni Lembaga Pemasyarakatan
adalah napi yang berasal dari luar
Kotaagung , sehingga demikian jarak
tempuh keluarga jauh dan memerlukan
biaya yang cukup besar untuk
mencapai
ke
lokasi
Lembaga
Pemasyarakatan. Hal yang demikian
mengakibatakan syarat administratif
berupa surat pernyataan kesanggupan
tidak terpenuhi sehingga membuat
kami harus berpikir bagaimana agar
WBP tersebut ada penjaminnya.12
Sanusi menyatakan faktor masyarakat
ini sangat penting karena masyarakat
adalah tempat laboratorium orangnya,
masyarakat juga memiliki yudit yang
terkecil yaitu keluarga dalam arti
orang
terdekat
yang
sering
mengunjungi, kemudian istilahnya
WBP tersebut kalau sering dikunjungi
oleh
keluarganya
maka
akan
mendapatkan remisi dan bebas
bersyarat.13
5. Faktor kebudayaan
Johansyah menyatakan bahwa image
ex warga binaan Pemasyarakatan
masih belum sepenuhnya di terima
oleh masyarakat. Dikarnakan warga
binaan pemasyaraktan telah di cap
tidak baik oleh warga masyarakat, dan
tidak mudah untuk menghapus nama
baik dirinya sendiri.14
Sanusi menyatakan sering terjadi
stikma yang artinya Cap jahat dari
12

10

Wawancara dengan Johansyah, 17
September 2016
11
Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana
Unila. Senin 26 September 2016

Wawancara dengan Johansyah, 17
September 2016
13
Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana
Unila. Senin 26 September 2016
14
Wawancara dengan kasubsi keamanan
Johansyah, 1 Oktober 2016

8

masyarakat luar, maupun berbuatan
mengenai apa saja yang dilakukan
ketika melakukan kejahatan akan
terlihat jelek dimata masyarakat ketika
WBP keluar dari penjara. Dengan
keadaan hidup terkadang masyarakat
tidak menerima pada saat napi pulang
kekampung
halamannya,
bahkan
sampai ia meninggal masyarakat
terkadang tidak terima mayatnya di
kubur di kampung halamannya. Maka
dari itu budaya seperti ini harus
ditumbuhkan dalam masyarakat dan
dikemblikan lagi pada agama masingmasing. Dan setiap orang tidak
menjamin
baik
kalau
dalam
lingkungan pergaulannya emang tidak
baik. Agar bisa memahami bahwa
WBP mempunyai hak untuk hidup
yang tenang.15
Berdasarkan uraian diatas sudah
dikemukakan
oleh
beberapa
narasumber faktor-faktor penghambat
Peran Lembaga Pemasyarakatan dalam
Penanggulangan
kekerasan
yang
dilakukan oleh narapidana. Menurut
penulis faktor-faktor penghambat
peran lembaga pemasyarakatan dalam
penanggulangan
kekerasan
yang
dilakukan
oleh
warga
binaan
pemasyarakatan (WBP) yang paling
utama adalah dari dalam aturan hukum
itu sendiri. Misnyalnya dalam hal ini,
Undang-Undang yang terkait tentang
Lembaga Pemasyarakatan adalah
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan yang dalam
pelaksanaanya diatur dalam Peraturan
Menteri Hukum dan Ham No. 6 Tahun
2013. Pada proses pelaksanaanya
menurut penulis hal yang paling
15

Wawancara dengan .Sanusi. Dosen Pidana
Unila. Senin 26 September 2016

terlihat adalah lemahnya penetapan
sangsi bagi pelaku pelanggran disiplin
atau kekerasan antar warga binaan
pemasyarakatan
(WBP)
didalam
Lembaga Pemayarakatan. Sehingga
lembaga pemasyarakatan terbatas
untuk menindak pelaku yang pada
akhirnya pelanggaran disiplin atau
kekerasan
antar
warga
binaan
pemasyarakatan (WBP) kerap terulang
terjadi.
Faktor penghampat peran lembaga
pemasyarakatan
dalam
penanggulangan
kekerasan
yang
dilakukan oleh narapidana berikutnya
adalah ketidak sesuaian jumlah warga
binaan pemasyarakatan (WBP) yang
dijaga
dengan
petugas
pemasyarakatan.
Hal
ini
mengakibatkan terbatasnya penjagaan
terhadap
warga
binaan
pemasyarakatan
(WBP)
didalam
lembaga pemasyarakatan. Sehingga
ketika terjadi kekerasan antar warga
binaan
pemasyarakatan
(WBP)
didalam lembaga pemasyarakatan
tidak dapat ditanggulangi secara cepat
dan optimal dikarenakan keterbatasan
petugas pemasyarakatan.
Faktor penghambat selanjutnya adalah
kuranganya sarana dan prasarana yang
ada didalam lembaga pemasyarakatan
itu sendiri. Mislanya, kurangnya
jumlah sel yang ada di dalam lembaga
pemasyarakatan. Jika jumlah sel
tahanan
didalam
lembaga
pemasyarakatan
memadai,
maka
petugas
pemasyarakatan
dapat
menempatkan
warga
binaan
pemasyarakatan (WBP) sesuai dengan
karakter, masa tahanan, da, tindak
kejahatan yang dilakukan. Apabila hal
tersebut dapat direalisasikan didalam

9

lembaga pemasyarakatan tentunya
akan dapat meminimalisir terjadinya
kekerasan
antar
warga
binaan
pemasyarakatan.
III. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah diuraikan,
maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Peran Lembaga Pemasyarakatan
dalam Penanggulangan Kekerasan
yang dilakukan Oleh Narapidana
menyelidiki dan menindak warga
binaan pemasyarakatan (WBP) yang
menjadi pelaku kekerasan, serta
memberikan sanksi disiplin sesuai
Peraturan Menteri Hukum dan Ham
No. 6 Tahun 2013. Sanksi disiplin
tersebut dibagi dalam tiga tingkatan
yaitu, sanksi displin tingkat ringan,
sedang, dan berat. Apabila perbuatan
warga binaan pemasyarakatan (WBP)
tersebut tergolong dalam tindak pidana
maka
Lembaga
Pemasyarakatan
menyerahkan perkara tersebut kepada
instansi yang berwenang dalam hal ini
kepolisian.
Pasilitas yang ada di dalam Lapas
tersebut sudah memadai akan tetapi
masih terdapat ketidak puasan
narapidana terhadap pasilitas yang ada,
karena banyaknya warga binaan
pemasyarakatan
sehingga
sarana
prasarana yang tidak memenuhi
kebutuhan narapidana yang tinggal di
dalam Lapas. Kurangnya pengawasan
juga menyebabkan mudahnya terjadi
kerusuhan didalam Lapas. Jadi faktor
inilah yang menyebabkan banyaknya
keributan yang terjadi didalam Lapas,

maka peran Lembaga Pemasyarakatan
dalam hal ini harus memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan
oleh
para
warga
binaan
pemasyarakatan.
Lapas
juga
mempunyai kewenangan penuh untuk
melakukan rehabilitasi dan Lapas
berpegang pada wewenang dari
masing-masing sesuai dengan undangundang yang mengaturnya. peraturan
tata tertib di Lapas ada peraturan dan
itu tidak lari dari Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2013 tentang Tata Tertib Lembaga
Pemasyaraktan dan Rumah Tahanan
Negara.
2. Faktor
Penghambat
Peran
Lembaga Pemasyaraktan dalam
Penanggulangan Kekerasan yang
Dilakukan Oleh Narapidana
faktor penghambat peran lembaga
pemasyarakatan
dalam
penanggulangan
kekerasan
yang
dilakukan oleh narapidana adalah
lemahnya sanksi yang ada dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Ham
No 6 Tahum 2013 sehingga tidak
menimbulkan efek jera dan cenderung
mengulangi
perbuatan
tersebut.
ketidak sesuaian jumblah warga binaan
pemasyrakatan
dengan
petugas
penjaga, kurangnya sarana dan
pasilitas yang memadai seperti tidak
sesuai antara kapasitas bangunan dan
komisi,
banyak
warga
binaan
pemasyarakatan (WBP) yang tidak
pernah dibesuk keluarganya sehingga
syarat administratif berupa surat
pernyataan
kesanggupan
tidak
terpenuhi, image ex warga binaan
Pemasyarakatan (WBP) masih belum
sepenuhnya di terima oleh masyarakat.

10

Saran

DAFTAR PUSTAKA

Setelah melakukan pembahasan dan
memperoleh kesimpulan dalam skripsi
ini, maka saran-saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut:

Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem
Pelaksanaan Pidana Penjara
di Indonesia. Bandung: Refika
Aditama.

Diharapkan
demi
terwujudnya
ketertiban yang ada di Lembaga
Pemasyarakat Kelas II B Kotaagung
maka perlu adanya peningkatan
kualitas
petugas
Lembaga
Pemasyaraktan seperti dilihat dari
pendidikan yang sesuai dengan
bidangnya, Meningkatkan jumlah
petugas pemasyarakatan agar sesuai
dengan warga binaan pemasyarakatan
(WBP) yang dijaga. Sehingga warga
binaan pemasyarakatan mendapatakan
hak yang baik dan terciptanya keadaan
kondusif dalam pelaksanaan tugas
selama menjalankan pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B
Kotaagung.. Hendaknya pemerintah
dapat meningkatkan sarana dan
prasarana
pada
lembaga
pemasyarakatan. Agar tidak lagi
terjadi ruang tahanan yang melebihi
kapasitas,
sehingga
dapatlah
ditegaskan bahwa kegiatan pembinaan
tidak mungkin dapat tersenggara tanpa
didukung suasana aman dan tertib.

Presetyo. Teguh 2010. kriminalisasi
dalam hukum pidana. nusa
media
Wawancara dengan .Sanusi. Dosen Pidana
Unila.
Wawancara dengan kasubsi keamanan
Johansyah,
https://www.harianfokus.com/2016/03/01/
soal-video-kekerasan-antar-napikepala-tanggamus-membenarkanterjadi-ditempatnya/.
Diakses
tanggal 5 mei 2016