Perbandingan Perjanjian Kredit Dalam Prespektif Perjanjian Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya bank adalah suatu lembaga keuangan yang mempunyai nilai
strategis dalam kehidupan perekonomian nasional yang mana lembaga perbankan
sebagai suatu badan yang berfungsi sebagai financial intermediary atau perantara
keuangan dari dua pihak yakni pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dan
pihak yang kekurangan dana (lack of funds). Dari berbagai lembaga perbankan
tersebut salah satunya yaitu lembaga keuangan bank. 1 Sebagai institusi yang sangat
penting peranannya dalam masyarakat, bank adalah suatu lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang.
Sektor perbankan memiliki andil yang sangat besar dalam menunjang
perekonomian nasional. Kondisi perbankan yang sehat dan kuat sangatlah penting
dalam hal untuk mencapai pembangunan nasional di sektor moneter.Krisis moneter
pernah melanda Indonesia pada tahun 1998 dimana banyak sekali bank-bank
konvensionalyang roboh dikarenakan tidak menjalankan prinsip-prinsip perbankan
dengan baik yang telah diatur oleh Bank Indonesia seperti banyaknya kredit macet
yang terjadi dan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh bank atas ketentuan batas
maksimum pemberian kredit. Sejak terjadinya krisis tersebut bank-bank sudah lama

1

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hal. 77

1

Universitas Sumatera utara

2

tidak mengucur-kan kredit dan ketika program restrukturisasi dan rekapitulasi kredit
sudah berjalan, bank-bank secara selektif baru berani untuk mengucurkan kreditnya.
Berbicara mengenai perjanjian kredit tidak terlepas dari peraturan-peraturan
yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mana relevansi
atas judul tesis ini dapat kita jumpai pada syarat-syarat untuk melakukan suatu
perjanjian yaitu ada 4 (empat) syarat tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
berbunyi:2

1.

2.
3.
4.

“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Suatu hal tertentu.
Suatu sebab yang halal.”
Berdasarkan dengan yang diuraikan dalam pasal diatas yang dikatakan dengan

“cakap bertindak” membuat suatu perikatan dalam KUHPerdata juga diatur mengenai
hal tersebut yaitu diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi: “Setiap orang
adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan cakap”.
Pasal 1330 KUHPerdata berbunyi:
“Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan

pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat persetujuan-persetujuan tertentu.”

2

R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Paramita, Jakarta, 1986, hal. 305.

PT. Pradnya

Universitas Sumatera utara

3

Sedangkan dalam hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad
merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih
berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan kata lain akad adalah perikatan
antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan
kedua belah pihak.Masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa
yang telah mereka perjanjikan dalam suatu akad. Sifat perjanjian Pembiayaan

berdasarkan prinsip Syariah, merupakan perjanjian konsensual dan riel. Dikatakan
bersifat konsensual yang mempunyai arti bahwa perjanjian telah dianggap sah saat
adanya kata sepakat, kemudian ditindaklanjuti dengan penjanjian riel dimana
perjanjian itu dianggap sah bilamana telah ada prestasi misalnya penyerahan uang dan
barang.3
Dari ketentuan pasal-pasal yang ada dalam KUHPerdata dan ketentuan hukum
Islam tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melakukan suatu perjanjian
khususnya perjanjian kredit baik yang ada pada perjanjian syariah Islam maupun
dalam perjanjian kredit bank konvensional syarat dasar yang ada pada KUHPerdata
tersebut harus lebih dahulu dipenuhi oleh para pihak yang akan melakukan suatu
perjanjian kredit. Setelah semua syarat-syarat tersebut dipenuhi para pihak yang
melakukan suatu perjanjian kredit akan menuangkannya dalam suatu kesepakatan
bersama yang mana dalam hal ini untuk membuat suatu kesepakatan tersebut haruslah
dibuat secara tertulis.

3

H.M. Mawardi Muzamil, Persamaan perkreditan pada perbankan konvensional dan
pembiayaan berdasarkan Syariah, Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 3, April 2004


Universitas Sumatera utara

4

Adapun setelah mendapatkan persetujuan dari pihak bank kepada calon
nasabah untuk mengucurkan kredit, pihak bank akan memberikan suatu surat kepada
calon nasabah bahwa permohonannya untuk mendapatkan fasilitas kredit telah
disetujui oleh bank dan pemohon yang bersangkutan akan dimintakan oleh bank
untuk memberikan persetujuannya secara tertulis apakah pemohon bersedia untuk
menerimanya.
Setelah semua syarat yang diuraikan diatas telah dipenuhi oleh para pihak
barulah oleh bank mempersiapkan suatu bentuk “perjanjian kredit” penyebutan dalam
istilah bank konvensional dan “Aqad” dalam istilah Syari’ah.Perjanjian-perjanjian
tersebut oleh pihak bank akan dituangkan dalam bentuk tertulis, kenapa harus dibuat
dalam bentuk tertulis alasannya adalah untuk adanya suatu kepastian hukum dan
sebagai pembuktian. Yang mana menurut pengertian yang ada pada KUHPerdata
tentang

pembuktian


pada

umumnya

dalam

Pasal

1865

KUHPerdata

mengatakan:“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau
guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuk-tikan adanya hak atau peristiwa
tersebut”.
Dan bertalian dengan Pasal 1866 KUHPerdata mengatakan Alat-alat bukti
terdiri atas:
1.


Bukti Tulisan

2.

Bukti dengan saksi-saksi

3.

Persangkaan-persangkaan.

Universitas Sumatera utara

5

4.

Pengakuan.

5.


Sumpah.
Dari bunyi pasal yang diatas pada point pertama dapat dilihat bahwa untuk

sebagai alat bukti yang terkuat adalah dalam bentuk tertulis. KUHPerdata juga ada
membagi mengenai bukti tertulis tersebut dalam 2 (dua) kategori yaitu:
1.

Bukti tertulis yang dibuat dihadapan pejabat umum untuk itu (Pasal 1868
KUHPerdata);

2.

Bukti tertulis yang dibuat secara dibawah tangan tanpa adanya kehadiran dari
pejabat umum. (Pasal 1874 KUHPerdata).
Untuk suatu proses dari persetujuan kredit sampai dengan Perjanjian kredit

ataupun suatu aqad ditandatangani ketentuan yang disebutkan diatas haruslah
dilakukan oleh para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian kredit. Setelah
proses itu dijalani maka perjanjian itu akan mengikat bagi para pihak yang membuat
dan ini merupakan asas kebebasan berkontrak dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat(1)

KUHPerdata dimana pasal tersebut menentukan bahwa “Semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Selain Pasal 1338 ayat (1) mengandung asas kebebasan berkontrak juga
sekaligus mengandung pembatasan terhadap kebebasan itu sendiri.Pembatasan ini
dapat kita simpulkan dari perkataan “yang dibuat secara sah”, yang terletak di tengah
kalimat dari ayat tersebut. Dengan demikian hanya perjanjian-perjanjian yang dibuat
secara sah saja yang mempunyai kekuatan mengikat yang sama dengan mengikatnya
undang-undang.4

4

Mgs. Edy Putra Tje’ Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty
Press,Yogyakarta, 1989, hal. 27

Universitas Sumatera utara

6

Pasal 1339 KUHPerdata berbunyi:“Bahwa persetujuan tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”.
Kredit dalam kegiatan perbankan merupakan kegiatan usaha yang paling
utama, karena pendapatan terbesar dari usaha bank berasal dari pendapatan usaha
pemberian kredit yaitu berupa bunga dan provisi. Menurut ketentuan Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan, dan dalam Pasal 1 ayat (11) mengatakan yang dimaksud dengan
kredit adalah:“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”.
Secara etimologi kata “Kredit” berasal dari bahasa Yunani yaitu “Credere”
yang diindonesiakan menjadi kredit, yang mempunyai berarti “Kepercayaan”,5
maksudnya adalah bahwa seseorang yang memperoleh kredit berarti orang tersebut
memperoleh kepercayaan sedangkan bagi pemberi kredit berarti telah memberi
kepercayaan kepada seseorang dan yakin bahwa uangnya pasti akan kembali sesuai
dengan perjanjian.6Kata Kredit dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan sebagai
kesanggupan dalam meminjam uang atau kesanggupan dalam mengadakan transaksi
5
6


Ibid., hal. 1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,

hal. 92

Universitas Sumatera utara

7

dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan
membayarnya kelak.7
Dalam prosedur pelaksanaan pemberian kredit si penerima kredit diikat
dengan suatu perjanjian. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata "Suatu persetujuan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.
Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata menurut para sarjana
hukum perdata memiliki banyak kelemahan.8Perjanjian kredit tidak mempunyai suatu
bentuk tertentu karena tidak ditentukan oleh undang-undang. Hal ini menyebabkan
perjanjian kredit antara bank yang satu dengan bank yang lainnya tidak sama karena
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank akan tetapi pada umumnya
perjanjian kredit bank dibuat dalam bentuk tertulis baik secara notariil maupun
dibawah tangan.
Pengertian pemberian kredit oleh pihak bank dilihat dari sudut pemberi kredit
dan dari sudut penerima kredit adalah sebagai berikut:9
a.

Dari sudut pemberi kredit.
Mendapatkan keuntungan berupa bunga sebagai balas jasa dari pinjaman yang

diberikan kepada debitur.
b.

Dari sudut penerima kredit.

7

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 5.

8

Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 78.
Prathama Raharjo, Uang dan Bank, PT.Bhineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 107.

9

Universitas Sumatera utara

8

Untuk mendapatkan uang/barang/jasa dengan kewajiban untuk mengganti
bunga pada waktu tertentu.
Bila dilihat dari sudut pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan
dari perjanjian kredit ini termasuk kedalam perjanjian sepihak.Dikatakan perjanjian
sepihak karena tidak dapat tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen, pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.10
Inilah yang disebut perjanjian standar atau perjanjian baku. Perjanjian baku
merupakan perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir.11Didalam formulir tersebut berisi kesepakatan antara si pelaku usaha dan
konsumen, pihak bank sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing
para pihak. Nantinya yang perlu dilengkapi hanya hal-hal yang bersifat subjektif,
seperti waktu dan identitas. Secara praktikal kontrak baku ini sangat praktis dan
ekonomis bagi para pelaku bisnis karena dapat disiapkan dalam waktu singkat bila
kapan saja harus menghadapi kastemernya dalam berkontrak tentang suatu objek
tertentu karena faktor efisiensi serta kecepatan pelayanan bagi nasabah masingmasing bank, akan tetapi patut pula dicermati dan diwaspadai bahwa dengan
penandatanganan akta atau surat perjanjian termasuk kontrak baku ini ternyata telah
menempatkan kedudukan nasabah dalam posisi yang lemah dan tidak seimbang
dengan pelaku bisnis itu sendiri, padahal dari sudut ekonomi pelaku bisnis itu berada
dalam posisi sebagai pihak yang kuat dan yang menurut ajaran atau teori fiducia
10

Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak DalamPerjanjian Kredit Bank Indonesia, Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 3.
11
Ibid.

Universitas Sumatera utara

9

maupun filosofi bangsa kita tidak patut diperlakukan sewenang-wenang. Karena
hukum kontrak menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak dan perjanjian itu harus dilaksanakan dengan
itikad baik.12
Pengertian kredit yang diberikan oleh Savelberg menjurus pada pengertian
kredit pada umumnya.Hal mana dapat dilihat pada kata “setiap perikatan”, sebab
dengan kata setiap perikatan berarti mengandung pengertian bahwa perikatan itu
dapat terjadi atas uang, barang atau kedua-duanyauang dan barang. Dan pengertian
Kredit menurut Muchdarsyah Sinungan memberikan pengertian bahwa Kredit adalah
suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dan prestasi itu akan
dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu
kontra prestasi berupa uang.13
Bank dalam menyalurkan dana yang telah dihimpun dengan cara
mengeluarkan kredit dilaksanakan dengan ditandatanganinya perjanjian kredit yang
dalam hal ini menjadi perjanjian pokok (Obligator) oleh bank kepada masyarakat dan
dengan perjanjian kredit yang telah ditandatangani tersebut karena dengan adanya
suatu jaminan yang diberikan oleh nasabah kepada bank, baik jaminan barang
bergerak dan barang tidak bergerak maupun jaminan berupa piutang dagang, oleh
bank diikat dengan suatu perjanjian (Accessoir) yang diwujudkan dalam berbagai
bentuk antara lain dalam bentuk Hak Tanggungan, Penyerahan Hak Milik atas
12

Syahril Sofyan, Standart Perjanjian Misrepresentasi Dalam Transaksi Bisnis,Program Studi
Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum USU, Ringkasan Disertasi, Medan, 2011, hal. 58.
13
Mgs. Edy Putra Tje’ Aman, Op.cit., hal. 2.

Universitas Sumatera utara

10

Kepercayaan (Fidusia), Gadai (Pand), Pemindahan Piutang (Cessie), Gadai
Pensiun/Tunjangan serta Penanggungan Hutang (Borgtocht).
Pasal 1131 KUHPerdata berbunyi :“Segala kebendaan seorang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.
Pasal inilah yang merupakan dasar dari kreditor (bank) untuk meminta suatu
jaminan harta dari debitor (nasabah) seperti yang disebutkan diatas. Ketentuan
tersebut diatas menunjukan bahwa penanggungan itu adalah suatu perjanjian
“accessoir” seperti halnya dengan perjanjian hak tanggungan dan pemberian gadai
yaitu bahwa eksistensi atau adanya penanggungan itu tergantung dari adanya suatu
perjanjian pokok yaitu perjanjian yang pemenuhannya ditang-gung atau dijamin
dengan perjanjian penanggungan itu.14
Dalam Al-Qur’an ada 2 (dua) istilah yang berhubungan dengan perjanjian
yaitu al-‘aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji).Pengertian akad secara bahasa adalah
ikatan, mengikat.Dikatakan ikatan (al-rabih) maksudnya adalah menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali yang mengikat salah satunya pada yang Iain hingga
keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.15Kata akad (al‘

aqdu) terdapat dalam QS. Al-Maidah (5): 1, bahwa manusia diminta untuk

memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-‘aqdu ini dapat
disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHPerdata. Sedangkan istilah al-'ahdu
14
15

R. Subekti, Aneka Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1987, hal. 164
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muammalah Kontekstual, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,

hal. 72.

Universitas Sumatera utara

11

dapat dipersamakan dengan istilah perjanjian overeenkomst, yaitu suatu pernyataan
dari seseorang untuk mengiyakan atau tidak mengiyakan suatu yang tidak berkaitan
dengan orang lain.16Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imran (3) : 76, yaitu
“sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat) nya dan bertakwa, maka
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertakwa”.17Para ahli Hukum Islam
(jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai pertalian antara Ijab dan Kabul
yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
Sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, yang berlandaskan Al-Quran
dan hadist, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam,
pengertian riba merupakan suatu perbuatanyang sangat dilarang sebagaimana yang
tercantum dalam Surah Al Baqarah Ayat 275 yang berbunyi sebagai berikut:
“Orang-orang yang makan (mengambil riba tidak dapat berdiri, melainkan
berdiri seperti orang yang kerasukan setan lantaran terkena penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berpendapat bahwa
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil
riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengurangi
(mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka,
mereka kekal didalamnya).”18
Pada umumnya masyarakat memahami riba sebagai sinonim dari istilah
interest

atau

bunga

yang

banyak

dipraktekkan

pada

institusi

keuangan

16
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal. 247-248.
17
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
FH UI, Jakarta, 2005, hal. 3.
18
Al-Quran Dan Terjemahannya, Gemma Risalah Press, Bandung, 1992, hal. 69.

Universitas Sumatera utara

12

konvensional.19 Prinsip Syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam
antara bank dan pihak yang lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah.
Pada Bank Syari’ah hampir tidak ada hutang atau kredit dan hanya pada Aqad
Murabahah yang ada kredit (hutang) sedangkan pada Mudharabah dan Musyarakah
tidak ada kredit (hutang).Falsafah dasar beroperasinya Bank Syari’ah yang menjiwai
seluruh hubungan transaksinya adalah efisiensi, keadilan dan kebersamaan. Dalam
Bank Syari’ah hubungan bank dengan nasabah adalah hubungan kontrak (akad)
antara investor pemilik dana (shohibul mal) dengan investor pengelola dana
(mudharib) melakukan kerjasama yang produktif yang keuntungannya dibagi secara
adil (mutual investment relationship). Dengan demikian dapat terhindar dari
hubungan eksploitatif antara bank dengan nasabah atau sebaliknya antara nasabah
dengan bank. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk
memperoleh keuntungan sebesar mungkin, keadilan mengacu pada hubungan yang
tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atau proporsi masukan dan
keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan
nasihat untuk saling meningkatkan produktifitas.
Jadi melihat dari latar belakang yang telah diuraikan diatas peneliti merasa
tertarik untuk mengangkatnya menjadi tesis dan peneliti merasa ada suatu benang
merah antara perjanjian kredit bank konvensional dengan perjanjian kredit bank
syari’ah.

19

Zamakhysyari Hasballah, Panduan Bisnis Muslim, Pesantren Al-Manar, Medan, 2011,

hal.36.

Universitas Sumatera utara

13

Untuk membahas lebih lanjut mengenai perjanjian kredit bank konvensional
dengan perjanjian kredit Bank Syari’ah peneliti melihat ada persamaan dan
perbedaannya yang mana dalam hal ini persamaannya adalah :
1.

Sama-sama mengaju pada ketentuan yang telah diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, syarat cakap
dan kewenangan bertindak dalam hukum.

2.

Dari segi sifat perjanjiannya sama-sama mempunyai sifat perjanjian konsensuil
riel.20

3.

Dari segi bentuk perjanjian, baik perjanjian kredit bank maupun aqad
mudharabah, musyarakah dan murabahah mempunyai bentuk perjanjian tertulis
dan menggunakan standar kontrak.

4.

Sama-sama adanya jaminan dalam aqad pembiayaan pada Bank Syariah maupun
perjanjian kredit pada Bank Konvensional, jaminan mempunyai unsur
kepercayaan, tenggang waktu, resiko, prestasi dan kontra prestasi.

5.

Dalam isi perjanjian sama-sama memuat tentang jumlah uang, besar bunga (Bank
Konvensional) atau porsi bagi hasil (Bank Syari’ah), cara pembayaran, waktu
pelunasan dan agunan berupa surat-surat tanah (Sertipikat dan Surat Pelepasan
Hak dan GantiRugi yang dikeluarkan Camat) dan Bukti Kepemilikan Kendaraan
Bermotor.
Sedangkan perbedaannya antara Bank Syariah dan Bank Konvensional antara

lain adalah:
20

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 48

Universitas Sumatera utara

14

1.

Dari segi obyeknya pada perjanjian kredit bank konvensional obyeknya adalah
berupa uang sedangkan pada aqad pembiayaan perbankan syariah obyeknya
tidak selalu uang tapi dapat juga berupa barang atau benda, hal ini terlihat pada
Aqad Murabahah.21

2.

Terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank Syari’ah tidak
melaksanakan sistim bunga dalam seluruh aktifitasnya sedangkan bank
konvensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang
mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkanoleh bank syari’ah,
dimana untuk menghindari sistim bunga maka sistim yang dikembangkan adalah
jual beli atau kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan
demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan dalam bank syari’ah
diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara
sederhana berarti sistim bunga berbunga atau compound interest dalam semua
prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak,
berpotensi mengakibatkan keuntungan besar di suatu pihak namun kerugian
besar dipihak lain atau malah kedua-duanya.

3.

Terletak pada akadnya. Pada Bank Syariah, semua transaksi harus berdasarkan
akad yang dibenarkan oleh syari’ah dan dikenal adanya bermacam-macam
transaksi, lebih bervariasi dari transaksi bank konvensional yang hanya
menawarkan satu produk yaitu kredit dan perjanjian yang dibuat adalah
21

Utary Maharani Barus, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-sama Dengan Hukum
Perjanjian Menurut KUHPerdata Dalam Akad Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia, Program
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Disertasi, Medan, 2004, hal. 23

Universitas Sumatera utara

15

perjanjian kredit, perjanjian pinjam meminjam ataupun perjanjian pengakuan
hutang yang mana untuk keperluan apa saja disebut kredit sedangkan pada bank
syari’ah dikenal 3 (tiga) kategori produk pembiayaan yaitu bagi hasil, jual beli
dan jasa, dimana pada tiap-tiap produk keuntungan yang didapat berbeda-beda,
dari jual beli misalnya bank mendapat keuntungan (margin) dari investasi bank
mendapatkan keuntungan bagi hasil, dan dari jasa bank mendapatkan imbalan
(fee), dari ketiga jenis produk pembiayaan tersebut hanya Aqad Murabahah yang
ada kredit (hutang).
4.

Dalam perbankan Syari’ah istilah kredit tidak dikenal karena Bank Syari’ah
memiliki skema yang berbeda dengan bank konvensional dalam menyalurkan
dananya kepada pihak yang membutuhkan. Bank Syari’ah menyalurkan dananya
kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan, sifat pembiayaan bukan merupakan
utang piutang, tetapi merupakan investasi yang diberikan bank kepada nasabah
dalam melakukan usaha.22

5.

Dalam perjanjian kredit bank konvensional nasabah sebagai debitor harus
mengembalikan kreditnya disertai dengan imbalan bunga, sementara dalam
pembiayaan perbankan syari’ah khususnya dalam aqad murabahah yang mana
prinsip ini merupakan suatu sistim tata cara jual beli, dimana bank akan membeli
terlebih dahulu barang yangdibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen
bank melakukanpembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual

22

Ismail,Perbankan Syariah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal. 106

Universitas Sumatera utara

16

barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah
keuntungan (margin/mark up).23
6.

Pada Aqad Syari’ah dalam aqadnya pemilik dana (shohibul mal) dengan investor
pengelola dana (mudharib) melakukan kerjasama yang produktif yang
keuntungannya dibagi secara adil (mutual investment relationship) dan hubungan
yang terjalin antara bank syari’ah dengan nasabah adalah hubungan berserikat
(partnership) bukan hubungan kreditor dan debitor seperti halnya pada perjanjian
kredit.
Murabahah merupakan produk yang paling popular dalam praktek

pembiayaan pada perbankan syariah.Selain mudah perhitungannya, baik bagi nasabah
maupun managemen bank, produk ini memiliki banyak kesamaan dengan sistem
kredit perbankan konvensional.Penelitian ini berlatar belakang pada adanya
persamaan dan perbedaan antara pembiayaan murabahah di bank syariah dengan
kredit konsumtif di bank konvensional sehingga menimbulkan kritikan dari kalangan
ahli hukum Islam atau ekonomi Islam. Pembiayaan Murabahah dianggap bukannya
meniadakan bunga, tetapi tetap mempertahankan praktek pembebanan bunga dengan
istilah lain, sehingga praktek Murabahah yang berlaku sekarang ini tidak ada bedanya
dengan sistem bunga pada bank konvensional.
Pada awalnya murabahah merupakan transaksi penjualan dimana pedagang
membeli barang yang diinginkan oleh pengguna akhir dan kemudian akan

23

Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman,
Ekonisia, Yogyakarta, 2003, hal. 18

Universitas Sumatera utara

17

menjualnya kepada pengguna akhir tersebut dengan harga yang telah diperhitungkan
dengan menggunakan margin keuntungan yang telah disepakati di luar biaya yang
ditanggung oleh pedagang. Dengan adanya intermediasi keuangan seperti bank, peran
pedagang sebagai penyandang dana diambil alih oleh bank.
Dalam transaksi pada pembiayaan murabahah antara bank, nasabah, dan
developer, setidaknya akan terjadi dua transaksi jual beli. Pertama, jual beli antara
developer (sebagai penjual) dan bank syariah (sebagai pembeli).Kedua, jual beli
antara bank syariah (sebagai penjual) dan nasabah (sebagai pembeli).Dengan demikian, transaksi yang terjadi antara bank dan nasabahnya juga adalah transaksi jual beli
(bukan perjanjian kredit) sehingga di dalam pembiayaan murabahah oleh bank
syariah tersebut, terjadi dua kali perjanjian jual beli, sebagaimana disebutkan di atas.
Kenyataan dalam praktek yang terjadi tidaklah demikian, praktek pembiayaan
murabahah selama ini adalah juga dengan hanya sekali transaksi jual beli yang
terjadi, yaitu hanya antara developer (sebagai penjual) dan nasabah (sebagai pembeli),
sama seperti yang terjadi pada operasional bank konvensional. Hanya saja nasabah di
sini sebagai pembeli bertindak selaku kuasa dari bank syariah yang memberikan pembiayaan tersebut, sebagaimana ketentuan mengenai kuasa tersebut adalah Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah.Namun
demikian dalam akad perikatan jual beli secara notariil antara nasabah dengan
developer tersebut adanya wakalah jugatidak disebutkan dalam akta jual beli, yaitu
bahwa nasabah bertindak mewakili bank syariah. Dengan demikian hal tersebut
menunjukkan bahwa praktek pembiayaan murabahah oleh perbankan syariah selama

Universitas Sumatera utara

18

ini tidak berbeda dengan kredit investasi atau kredit consumer atau kredit
kepemilikan rumah (KPR) bank konvensional.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut
mengenai perbedaan perjanjian kredit antara bank syariah dengan bank konvensional.
Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul
“Perbandingan Perjanjian Kredit Dalam Prespektif Perjanjian Islam danKitab
Undang-Undang Hukum Perdata“.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas maka yang menjadi pokok
permasalahan adalah :
1.

Bagaimana ketentuan hukum perjanjian kredit di bank syari’ah dan bank
konvensional?

2.

Bagaimana bentuk klausul antara akad pembiayaan bank syari’ah dengan
perjanjian kredit bank konvensional?

3.

Bagaimana hubungan hukum perjanjian perbankan syari’ah dengan KUHPerdata
berkaitan dengan perjanjian kredit?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1.

Untuk mengetahui ketentuan hukum perjanjian kredit di bank syari’ah dan bank
konvensional.

Universitas Sumatera utara

19

2.

Untuk mengetahui substansi perjanjian kredit antara akad pembiayaan bank
syari’ah dengan perjanjian kredit bank konvensional.

3.

Untuk mengetahui hubungan hukum perjanjian perbankan syari’ah dengan
KUHPerdata berkaitan dengan kredit.

D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu:
1.

Secara akademis teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak
yang membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya, khususnya
pengetahuan dalam perjanjian kredit perbankan syari’ah dan konvensional.

2.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa
dan masyarakat dalam hal perbandingan perjanjian kredit perbankan syari’ah
dengan perbankan konvensional dengan jelas.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran ke pustaka yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara penelitian mengenai “Perbandingan Perjanjian Kredit Dalam
Prespektif Perjanjian Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata“ belum pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya, akan tetapi ada beberapa penelitian yang
menyangkut perjanjian menurut syari’ah Islam antara lain penelitian yang dilakukan
oleh :

Universitas Sumatera utara

20

1.

Saudara Ridha Kurniawan Adnans (NIM. 057011074), Mahasiswa Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Penerapan
Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah (Studi Terhadap Pembiayaan
Rumah/Properti Pada Bank Negara Indonesia Syariah Cabang Medan)”, dengan
permasalahan yang diteliti adalah :
a. Bagaimanakah konsep jual beli murabahah menurut syariat Islam?
b. Bagaimanakah penerapan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan
rumah/properti pada Bank BNI Syariah?
c. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan sistem jual
beli murabahah terhadap pembiayaan rumah/property pada BankBNI Syariah?

2.

Saudara Azwar (NIM.

027011004), Mahasiswa Magister

Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Penerapan Prinsip Syariah
Dalam Operasional Perbankan Islam (Studi Pada Bank Negara Indonesia Syariah
Cabang Medan dan BPRS Puduarta Insani)”, dengan permasalahan yang diteliti
adalah:
a. Prinsip-prinsip syariah apa saja yang diterapkan dalam pelaksanaan
operasional Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Cabang Medan dan BPRS
Puduarta Insani?
b. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip syariah apa saja yang diterapkan dalam
pelaksanaan operasional Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Cabang
Medan dan BPRS Puduarta Insani?

Universitas Sumatera utara

21

c. Apa yang menjadi kendala dan pendukung dalam penerapan prinsip-prinsip
syariah di Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Cabang Medan dan BPRS
Puduarta Insani?
Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut
berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan
demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi subtansi maupun dari permasalahan,
sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,

teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu
yang terjadi.24
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.25
Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.
Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :26
a.

Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta;

24

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
1986, hal. 122.
25
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju,Bandung, 1994, hal. 80.
26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981, hal. 121.

Universitas Sumatera utara

22

b.

Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;

c.

Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya.
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,

teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman
mengenai suatu fenomena atau teori merupakan simpulan dari rangkaian berbagai
fenomena menjadi sebuah penjelasan.27
Adapun kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam
penelitian ini adalahteori kepastian hukum. Dalam pengertian teori kepastian hukum
yang oleh Roscue Pound dikatakan bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan
adanya “Predictability”.28Dengan demikian kepastian hukum mengandung 2 (dua)
pengertian, yang pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan
bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Selain itu digunakan juga teori positivisme sebagaimana dikemukakan oleh
Jhon Austin, Aliran hukum positif yang dianalitis dari Jhon Austin, mengartikan :
“Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk
undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang
kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai
suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system).
27

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.134.
28
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2009, hal.158.

Universitas Sumatera utara

23

Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada
penilaian baik-buruk”.29
Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam
manifestasinya bisa berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik
jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan
yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.30
Menurut teori positivisme, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan
(rechtsgerechtigheid),

kemanfaatan

(rechtsutiliteit)

dan

kepastian

hukum

(rechtszekerheid).31
Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan ahli
teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750,32 telah melahirkan ajaran
mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk
melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury).33
Satjipto Raharjo menyebutkan bahwa hukum berfungsi sebagai salah satu alat
perlindungan bagi kepentingan manusia. Hukum melindungi kepentingan seseorang
dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam
rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara

29

Rasjidi dan Ira Tania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002,

hal. 55.
30

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993, hal. 79.
31
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung
Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 85.
32
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,
Pidato pada Pengukuhan Guru Besar, USU-Medan, 17 April 2004, hal. 4-5
33
Ibid, sebagaimana dikutip dari R. L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of
Jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982, hal. 9.

Universitas Sumatera utara

24

terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang
demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat
bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan
melekatnya hak itu pada seseorang.34
Allots memandang bahwa hukum sebagai sistem merupakan proses
komunikasi, oleh karena itu hukum menjadi subjek bagi persoalan yang sama dalam
memindahkan dan menerima pesan, seperti sistem komunikasi yang lain. Ciri yang
membedakan hukum adalah keberadaannya sebagai fungsi yang otonom dan
membedakan kelompok sosial atau masyarakat politis. Ini dihasilkan oleh mereka
yang mempunyai kompetensi dan kekuasaan yang sah. Suatu sistem hukum tidak
terdiri dari norma-norma tetapi juga lembaga-lembaga termasuk fasilitas dan proses. 35
Penerapan klausula-klausula terhadap perjanjian bank tersebut, terdapat hal
yang penting dalam perjanjian kredit bank dalam hal mengamankan fasilitas kredit
yang telah diberikan oleh bank yaitu adanya pemberian jaminan oleh debitur kepada
pihak bank.Keberadaan jaminan tersebut merupakan persyaratan untuk memperkecil
masalah bank dalam menyalurkan kredit, pemberian jaminan adalah untuk
memberikan jaminan kepada bank, debitur kepada kreditur untuk melunasi kredit
yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati
bersama.

34

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 53.
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung,2005, hal. 96.
35

Universitas Sumatera utara

25

Ada beberapa syarat yang harus dipahami dalam pemberian fasilitas pinjaman
pada bank yang berbasis Syari’ah yang mana pada bank-bank syari’ah pemberian
pinjaman tidak disebutkan dengan istilah perjanjian kreditakan tetapi dengan Akad
Pembiayaan.Apa yang dimaksud dengan akad di sini ialah ucapan atau tindakan yang
dilakukan oleh pihak yang berakad yang menunjukkan kerelaannya untuk berkontrak.
Jadi yang dimaksud dengan akad pembiayaan yang ada pada bank-bank
syariah adalah adanya hubungan timbal balik berdasarkan persetujuan dan
kesepakatan antara pihak bank syari’ah dengan calon nasabah yang menerima
pembiayaan untuk mengembalikan uang atau tagihan setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalanatau bagi hasil.
Bank Indonesia dalam beberapa ketentuannya telah juga memberikan definisi
akad yaitu perjanjian tertulis yang memuat Ijab (Penawaran) dan Kabul (Penerimaan)
antara bank dan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak,
sesuai dengan prinsip syari’ah. Seperti antara lain yang disebutkan dalam peraturan
Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran
dana bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
Syarat sahnya suatu akad pada Bank Syari’ah ada 3 yaitu:36
1.

Syarat Rukun yang mana rukun adalah suatu unsur yang mutlak harus ada dalam
sesuatu hal, peristiwa atau tindakan. Rukun Akad tidak lain adalah Ijab dan
Kabul sebab Akad adalah suatu perikatan antara Ijab dan Kabul.

2.

Syarat Subjek.
36

HR. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hal. 21-31

Universitas Sumatera utara

26

a. Al-muta’aqidain/al-aqidain atau pihak-pihak yang berakad.
b. Shighat al-aqad atau pernyataan untuk mengikatkan diri.
3.

Syarat Objek.
a. Al-ma’qud alaih/mahal al-aqd atau objek akad.
b. Maudhu’ al-aqd atau tujuan akad.
Bank Konvensional dalam hal menyalurkan kredit memakai istilah Perjanjian

Kredit maupun Perjanjian Pengakuan Hutang dan dari perjanjian-perjanjian tersebut
ada memuat mengenai identitas para pihak dan kewenangannya dalam bertindak dan
dalam pasal-pasalnya ada memuat jangka waktu, jumlah atau nilai hutang, bunga
bank, provisi dan biaya administrasi bank serta obyek yang menjadi jaminannya.
2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak
dengan kenyataan.Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.37
Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok atau individu tertentu.38
Adapun uraian konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.

Perjanjian adalah suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana
satu orang atau lebihmengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.39

37

Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal.31.
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19
39
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

38

Universitas Sumatera utara

27

b.

Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan unit usahasyariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara
dan proses dalammelaksanakan kegiatan usahanya.40

c.

Prinsip Syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa dibidang syariah.41

d.

Akad adalah Adalah kesepakatan tertulis antara Bank syariah atau Usaha Unit
Syariah danpihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masingmasing pihak sesuai dengan prinsip syariah.42

e.

Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankankegiatan usahanya secara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional
dan Bank Perkreditan Rakyat.43

f.

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah danmusyarakah, sewamenyewa dalam bentuk ijarah atausewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan transaksi
sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.44

40

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
42
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
43
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
44
Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
41

Universitas Sumatera utara

28

g.

Syariah Islam adalah sistem hidup yang memiliki karakteristik menyeluruh
(komprehensif) dan universal yang mencakup aqidah, syariah, dan akhlaq.45

G. Metode Penelitian
1.

Sifat dan Metode Pendekatan
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat analisis

deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci
dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan
berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat
untuk menjawab permasalahan.46
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan metode
pendekatan yuridis normatif, yang disebabkan karena penelitian ini merupakan
penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi
dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis
atau bahan hukum yang lain.47 maka penelitian ini menekankan pada sumber-sumber
bahan sekunder, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun teori-teori
hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat,
sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum
yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalis permasalahan
yang dibahas,48 serta menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam

45
46

Syahril Sofyan, Op.cit., hal. 38
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994,

hal. 101
47

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, 1996, hal. 13

48

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 13.

Universitas Sumatera utara

29

penulisan tesis ini, yaitu mengenai perjanjian kredit dalam perspektif perjanjian
Syari’ah Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2.

Sumber Data
Bahan penelitian merupakan kajian terhadap objek yang berupa penelitian.

Bahan penelitian merupakan kajian terhadap objek yang berupa penelitian. Untuk
mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan (Library Research) yaitu untuk mendapatkan atau mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian ini. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Untuk menghimpun data sekunder tersebut, maka dibutuhkan bahan
kepustakaan yang merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.
Selain itu penelitian ini didukung oleh data primer yang diperoleh dari
penelitian di lapangan (field research) guna memperoleh dokumen pendukung dan
hasil wawancara yang akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian ini.
Data tersebut diperoleh dari pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau
narasumber yaitu pihak Notaris yang terkait dengan masalah perjanjian kredit dalam
prespektif perjanjian Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata yang akan
diteliti dalam tesis ini.
3.

Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah

sebagai berikut:
a.

Studi Dokumen.

Universitas Sumatera utara

30

Merupakan upaya pengumpulan data yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan atau data sekunder dalam bidang hukum antara lain :
1) Bahan hukum primer.
Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya
adalah peraturan-peraturan terkait perjanjian kredit dalam perspektif perjanjian
Syari’ah Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang terkait dengan masalah perjanjian kredit dalam
perspektif perjanjian Syari’ah Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Bahan hukum sekunder.
Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumendokumen lain yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
3) Bahan hukum tertier.
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap
bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
b.

Pedoman Wawancara.
Sebagai sumber data tambahan dilakukan menggunakan pedoman wawancara,

yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen, yaitu pihak yang telah
ditentukan sebagai informan atau narasumber yaitu pihak Notaris terkait
permasalahan yang diteliti dalam tesis ini.

Universitas Sumatera utara

31

Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan yang telah
disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan sebagai data
pendukung dalam penelitian tesis ini.
4.

Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun
penuh dengan variasi (keragaman).49
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.50 Sedangkan metode kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.51
Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research)
dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian
disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok
permasalahan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, ditarik kesimpulannya
dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus.

49

Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 53
50
Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal. 103
51
Ibid., hal. 3

Universitas Sumatera utara