Karakterisasi Film Komposit Polikaprolakton Resin Epoksi

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. POLIMER
Polimer berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly berarti banyak dan meros
berarti bagian atau unit. Polimer didefenisikan sebagai suatu senyawa yang terdiri
atas pengulangan unit kecil atau sederhana yang terikat dengan ikatan kovalen.
Struktur unit ulang biasanya hampir sama dengan senyawa awal pembentukan
polimer yang di sebut monomer (Billmayer, 1984).
Panjang rantai polimer dihitung berdasarkan jumlah satuan unit ulang
yang terdapat dalam rantai yang disebut derajat polimerisasi. Polimer dapat
dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan unit-unit ulang pada rantai molekul,
yaitu polimer linier, polimer bercabang, dan polimer ikatan silang. Berdasarkan
sumbernya polimer digolongkan kedalam dua jenis, yaitu polimer alam dan
polimer sintetik. Polimer sintetik diklarifikasikan dalam dua golongan
berdasarkan sifat termalnya, yaitu termoplastik dan termoset. Yang termasuk
termoplastik antara lain polikaprolakton (PCL), poli asam glikolat (PGA), poli
asam laktat (PLA) dan polipropilen (PP) sedangkan silikon merupakan contoh

golongan termoset. Perbedaan utama antara polimer termoplastik dan termoset
ialah termoplastik umumnya berstruktur linier dan termoset berstruktur tiga
dimensi (Cown, 1991).
2.2. POLIMER BIODEGRADABEL
Polimer biodegradabel yang berasal dari alam maupun sintetik dapat
terhidrolisis dalam tubuh baik dengan reaksi enzimatik, non-enzimatik, maupun
gabungan keduanya tanpa menghasilkan dampak yang merugikan dan pada
akhirnya akan musnah melalui jalur ekskresi biasa. Berbagai jenis polimer
biodegradabel baik yang berasal dari alam maupun sintetik telah dikaji untuk
sistem penyaluran obat dalam waktu yang lama. Akan tetapi hanya sedikit

Universitas Sumatera Utara

6

diantaranya yang benar-benar biokompatibel. Polimer biodegradabel seperti
serum bovine albumin (BSA), human serum albumin (HSA), kolagen, gelatin, dan
hemoglobin yang telah dipelajari untuk digunakan dalam sistem penyaluran obat.
Akan tetapi penggunaan bahan-bahan tersebut sangat terbatas dan harganya relatif
mahal, serta masih diragukan kemurniannya (Jalil, 1990).

Kebanyakan dari polimer biodegradabel yang dipelajari berasal dari
golongan poliester. Diantara poli asam-α-hidroksi seperti PGA, PLA dan
kapolimernya mempunyai sejarah cukup panjang sebagai bahan sintetik
biodegradabel (Ashammakhi, 1997). Dalam bidang medis. Polimer ini digunakan
sebagai benang bedah (Cutright, 1971), piring, perlengkapan ortopedik (Mayer
dan hollinger 1995) dan transplantasi sel (Thomson, 1995).
Polimer biodegradabel merupakan bahan yang dapat yang didegradasi oleh
mikroorganisme dan enzim. Pengguna beberapa polimer memberikan suatu
pendekatan untuk menyelesaikan masalah sampah plastik. Polimer biodegradabel
dapat juga digunakan untuk aplikasi medis seperti implantasi jaringan dan sebagai
penyalur obat dan juga untuk aplikasi dalam pertanian seperti jerami dan
agrokimia. Polimer yang secara biologis terdegradasi mengandung gugus fungsi
yang peka terhadap hidrolisis enzimatik dan oksidasi, di antaranya gugs hidroksil
(-OH), gugus ester (-COO-) dan gugus karbonil (C=O). Poliester, seperti
polikaprolakton, poli asam glikolat dan poli asam laktat merupakan contoh
polimer ini. Kebutuhan polimer biodegradabel akan diciptakan untuk memperoleh
waktu hidup tertentu dan kemampuan terdegradasi, sebagai contoh, polimer peka
terhadap radiasi sinar ultraviolet (Stuart, 2003).
2.3 POLIBLEN
Proses blending dalam polimer dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu

blending fisika dan blending kimia. Blending fisika yaitu pencampuran secara
fisika antara dua jenis polimer atau lebih memiliki struktur berbeda dan tidak
membentuk ikatan kovalen antara komponen-komponenya. Hasil pencampuran ini
disebut poliblen. Sedangkan blending kimia yaitu campuran antara dua jenis
polimer atau lebih memiliki struktur berbeda dan dan ditandai dengan terjadinya

Universitas Sumatera Utara

7

ikatan-ikatan kovalen antara polimer-polimer penyusunnya. Blending kimia akan
menghasilkan kopolimer. Interaksi yang terjadi dalam poliblen adalah ikatan Van
Der Waals, ikatan hidrogen atau interaksi dipol-dipol (Rabek, 1983).
Polimer ini bertujuan untuk mendapatkan sifat-sifat material yang
diinginkan dan disesuaikan dengan keperluan. Poliblen komersial dapat dihasilkan
dari polimer sintetik dengan polimer sintetik, polimer sintetik dengan polimer
alam, dan polimer alam dengan polimer alam.
Poliblen yang dihasilkan berupa poliblen homogen dan poliblen heterogen.
Pliblen homogen terlihat homogen dan transparan, mempunyai titik leleh tunggal
dan sifat fisiknya sebanding dengan komposisi masing-masing komponen

penyusunya. Sedangkan poliblen heterogen terlihat tidak jelas dan mempunyai
beberapa titik leleh (Brown, 1988).
Di tinjau dari segi termodinamika, kinetika dan keseimbangan mekanik,
suatu poliblen tidak mungkin homogen dalam satu fase. Kompabilitas poliblen
tidak dapat ditentukam secara pasti. Kompatibilitas mempunyai sifat alami dalam
pencampuran dua cairan. Pengertian kompatibilitas dapat digambarkan sebagai
cairan yang dicampur untuk membentuk campuran satu fase dan homogen.
Kompatibilitas dari poliblen ditunjukkan oleh seberapa dekat poliblen tersebut
mendekati campuran fase tunggal dan pengukurannya relatif tergantung pada
derajat heterogenitas poliblen itu sendiri (Rabek, 1980).
Kompatibilitas poliblen menggambarkan kekuatan antaraksi yang terjadi
antara rantai polimer sehingga membentuk campuran homogen atau mendekati
homogen, ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk penentuan poliblen:
1.

Lelehan Film. Film yang rapuh dan kusam menunjukkan tidak
kompatibilitas.

2.


Penampilan

Poliblen.

Sifat

transparan

dari

sifat

menunjukkan

kompatibilitas, sedangkan penampilan yang rapuhmenunjukkan tidak
kompatibilitas.
3.

Suhu Transisi Kaca. Jika poliblen menunjukkan dua suhu transisi kaca
yang beda sesuai dengan asal polimer, maka tidak dinyatakan


Universitas Sumatera Utara

8

kompatibel. Jika poliblen menunjukkan hanya satu suhu transisi, sistem
ini dinyatakan kompatibel.
4.

Pengukuran mekanik-dinamik, ini adalah metode yang paling akurat
(Rabek, 1983).

2.4. FILM
Film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang tidak dapat dimakan,
dibentuk diatas komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer
massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai
bahan makanan atau aditif dan untuk meningkatkan penanganan yang terdapat
pada makanan.
Film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan kemasan seperti
plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah

kehilangan kelembaban produk, memiliki perneabilitas selektif terhadap gas
tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan
warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti
pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan
sehari-hariyang selalu digunakan (Krochta. 1992).
Penggunaan film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis,
buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena
film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap
air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan

kondisi atmosfir

internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas.
Film dapat di aplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan,
pencelupan penyikatan atau penyemprotan. Bahan hidro koloid dan lemak atau
campuran keduannya dapat digunakan untuk membuat film. Hidrokoloid yang
dapat digunakan untuk membuat film adalah protein (gelatin, kasein, protein, dan
gluten jagung) dan karbohidrat (pati, alginat dan pektin), sedangkan lipid yang
digunakan adalah lilin/wax, gliserol dan asam lemak. Adapun ketebalan film dari
0,1 mm (Embuscado. 2009).


Universitas Sumatera Utara

9

Keuntungan penggunaan film untuk kemasan bahan pangan adalah untuk
memperpanjang umur simpan produk serta tidak mencemari lingkungan karena
film ini dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya. Selain film istilah lain
untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil pertanian adalah biopolimer, yaitu
polimer dari hasil pertanian yang digunakan sebagai bahan baku film kemasan
tanpa dicampur dengan polimer sintetis (plastik).
Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam bentuk
tepung, pati atau isolat. Komponen polimer hasil pertanian adalah polipeptida
(protein), polisakarida (karbohidrat) dan lipid. Ketiganya mempunyai sifat
termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak sebagai
film kemasan. Keunggulan polimer hasil pertanian adalah bahannya yang berasal
dari sumber yang terbarukan (reneable) dan dapat dihancurkan secara buatan dan
maupun alami yang terdegrasi (biodegradasi) (krochta.1994).
Komponen penyusun film mempengaruhi secara langsung bentuk
morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama

penyusun film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan
komposit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan film
adalah antimikroba, antioksidan, flavor dan pewarna.
Komponen yang cukup besar dalam pembuatan film adalah plastisizer,
yang berfungsi: :
- meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas film
- menghindari film dari keretakan
- meningkatkan permeabilias terhadap gas, uap air dan zat terlarut
- meningkatkan elastisitas film.
Bahan penyusun film dibagi menjadi 3 katagori yaitu hidrokoloid (protein
dan karbohidrat), lemak dan komposit dari dua atau tiga bahan. Ada beberapa
keunggulan film dari pengemas lain, yaitu :
1.

Meningkatkan retensi warna, asam, gula dan koponen flavor.

2.

Mengurangi kehilangan berat


Universitas Sumatera Utara

10

3.

Mempertahankan kualitas saat pengirim dan penyimpanan

4.

Mengurangi kerusakan akibat penyimpanan

5.

Memperpanjang umur simpanan

6.

Mengurangi penggunaan pengemas sintetik (Nisperos. 1992).


Secara umum parameter yang sering digunakan dalam mengukur sifat
mekanik film adalah ketebalan, kuat tarik (tensiel strength), dan kemuluran
(elongation) (Krisna. 2011).
Ketebalan merupakan sifat fisik film yang besarnya dipengaruhi oleh
konsentrasi hidro koloid pembentuk

film dan ukuran plat kaca pencetak.

Ketebalan film mempengharui laju uap air, gas, dan senyawa volatile lainnya.
Sebagai kemasan, semakin tebal

film, maka kemampuan penahannya akan

semakin besar atau semakin sulit dilewatiuap air, sehingga umur simpan produk
akan semakin panjang (Mc. Hugh 1994).
Kekuatan peregangan

film atau merupakan kemampuan bahan dalam

menahan tekanan yang diberikan pada saat bahan tersebut berada dalam regangan
maksimumnya. Kekuatan peregangnya menggambarkan tekanan maksimum yang
dapat diterima oleh bahan atau sampel.
Perpanjangan film atau elongation merupakan kemampuan perpanjangan
bahan saat diberikan gaya tarik. Nilai elongation film menunjukkan kemampuan
rentangnya (Gortard et al. 1993).

2.5. Resin Epoksi
Epoksi adalah suatu kopolimer, terbentuk dari dua bahan kimia yang
berbeda. Ini disebut sebagai “resin” dan “pengeras”. Resin ini terdiri dari
monomer atau polimer rantai pendek dengan kelompok epoksida di kedua
ujung.

resin epoksi

paling umum yang dihasilkan dari reaksi antara

Universitas Sumatera Utara

11

epiklorohidrin dan bisphenol-A,

meskipun yang terakhir mungkin akan

digantikan dengan bahan kimia yang serupa. Pengeras terdiri dari monomer
polyamine, misalnya triethylenetetramine (Teta). Ketika senyawa ini dicampur
bersama.
kelompok amina bereaksi dengan kelompok epoksida untuk membentuk
ikatan kovalen. Setiap kelompok NH dapat bereaksi dengan kelompok epoksida,
sehingga polimer yang dihasilkan sangat silang, dan dengan demikian kaku dan
kuat. Proses polimerisasi disebut “curing” dan dapat dikontrol melalui suhu,
pilihan senyawa resin dan pengeras, dan rasio kata senyawanya, proses dapat
berlangsung beberapa jam. Beberapa formulasi manfaat dari pemanasan selama
masa berjalan, sedangkan yang lainnya hanya memerlukan waktu, dan suhu yang
tetap.
Dalam bentuk asli yang di atas, resin epoksi adalah termasuk kelompok
plastic thermosetting. Yaitu tidak meleleh lagi jika dipanaskan. Pengerasannya
terjadi karena reaksi polimerisasi, bukan pembekuan. Oleh karena itu resin
epoksi tidak muda di daur ulang.
Resin epoksi mampu bereaksi dengan pengeras yang cocok untuk
membentuk matriks silang dengan kekuatan besar dan daya ikat yang sangat
baik untuk berbagai macam substrat. Hal ini membuat resin epoksi ideal untuk
aplikasi perekat yang membutuhkan kekuatan tinggi. Beberapa karakteristik
unik resin epoksi yaitu hampir tidak mengalami penyusutan selama proses curing,
ketahanan kimia yang baik, kemampuan untuk mengikat substrat yang tidak
berpori dan flesiabilitas yang besar (Goulding. 2003).
Resin epoksi, secara kimia mempunyai daya tahan. Epoksi ini tahan
lama, dapat dibuat lapisan pelindung yang baik. Bahan ini terutama dipakai
untuk cat dasar, pelapis dan pernis, serta sebagian bahan pinggiran kaleng,
drum, pipa tangki, dan mobil – mobil tangki. Sebagai bahan perekat epoksi ini
sangat menonjol. Juga telah semakin meningkat pemakaiannya untuk mencetak,
mengecor, dan melaminasi. Lapisan atau lapisan gabungan, dari produk damar

Universitas Sumatera Utara

12

epoksi dan eerat kaca telah digunakan secara meluas dalam aliran listrik, pesawat
udara, pipa saluran, perumahan, tangki dan peralatan atau perkakas.
Resin epoksi
kelompok epoksida

adalah

senyawa yang

per molekul

mengandung lebih dari satu

rata – rata. Resin epoksi

komersial

mengandung alifatik, siklo alifatik, atau tulang punggung aromatik dan lebih
baik dari epikhlorohidrinatau dengan epoksidasi langsung olefin dengan peracid.
Yang paling penting perantara untuk resin epoksi adalah diglycidyl ether of
bisphenol-A (DGEBA) yang disintesis dari bisphenol-A dan epikhlorohidrin dapat
dilihat pada gambar 2.2 berikut (crivello, J.V.1977)

O
R

CH

CH2

Gambar 2.1 Struktur Resin Epoksi

Gambar 2.2 Struktur kimia DGEBA (diglycidyl ether of bisphenol A)
Dari gambar 2.2 struktur kimia DGEBA bahwa resin epoksi mengandung struktur
oxirene, dimana resin ini beebentuk cairan kental atau hampir padat, yang
digunakan untuk

material ketika hendak dikeraskan. Resin epoksi jika

direaksikan dengan hardener yang akan membentuk polimer crosslink. Hardener
untuk sistem curing pada temperatur ruang dengan resin epoksi pada umumnya
senyawa poli amid yang terdiri dari dua atau lebih group amina. Epoksi memiliki
ketahanan korosi yang lebih baik dari pada poli ester dari pada keadaan basah,

Universitas Sumatera Utara

13

namun tidak tahan terhadap asam. Epoksi memiliki sifat mekanik, listrik dan
penahan panas yang baik (Darmansyah. 2010).
2.6. POLIKAPROLAKTON
Bahan polimer yang dapat terbiodegradasi di alam dapat dibuat melalui
blending antara polimer sintetik yang sukar terbiodegradasi dengan polimer alam
atau modifikasi struktur polimer sintetik yang sukar terbiodegradasi melalui
pembentukan kopolimer. Beberapa polimer yang dapat terbiodegradasi di alam,
seperti poli hidroksi butirat (PHB), polikaprolakton (PCL), poli valero lakton
(PVL), dan poli asam laktat (PLA), dapat disintesis baik melalui polimerisasi
pembukaan cincin monomer lakton dengan beberapa jenis katalis maupun melalui
fermentasi (biosintesis). Masalah yang terjadi pada biosintesis adalah tidak dapat
mengontrol struktur kimia polimer yang dihasilkan, karena pada sintesis secara
fermentasi/ mikroba hanya menghasilkan struktur isotaktik dengan konfigurasi R
100 %. Melalui pembukaan cincin senyawa lakton dapat menghasilkan poliester
dengan rendaman yang tinggi, akan tetapi memiliki berat molekul yang relatif
rendah, sehingga masih banyak juga yang sangat terbatas untuk penggunaannya.
Polikaprolakton termasuk polimer sintetik yang bersifat biodegradabel.
Polikaprolakton memiliki struktur linear (seperti yang ditunjukkan pada gambar
2.2), bersifat hidrofobik, dan dapat terdegradasi secara lambat oleh mikroba (Lu et
al, 2009).
Polikaprolakton memiliki titik lebur (55-600C) dan temperatur transisi
gelas yg rendah (-600C) selain itu memiliki kemampuan untuk membentuk
campuran yang saling bercampur dengan sejumlah besar bahan polimer.
Polikaprolakton memiliki kekuatan tarik yang rendah (sekitar 2 Mpa) tetapi
memiliki perpanjangan putus yang sangat tinggi (