TINJAUAN ULANG PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA (Studi Kasus Proyek Rekonstruksi Peningkatan Struktur Jalan Simpang Peut – Batas Aceh Selatan Km 337)
TINJAUAN ULANG PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN
LENTUR JALAN RAYA
MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA
(Studi Kasus Proyek Rekonstruksi / Peningkatan Struktur Jalan
Simpang Peut- – Batas Aceh Selatan Km 337)
Tugas Akhir Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat
Yang Diperlukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1)
Disusun Oleh :
FAJRI DEDIANSYAH
NIM : 06C10203085
Bidang : Transportasi
Jurusan : Teknik Sipil
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TEUKU UMAR
ALUE PEUNYARENG- – MEULABOH
2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan jalan raya merupakan salah satu hal yang selalu beriringan dengan kemajuan teknologi dan pemikiran manusia yang menggunakannya, karenanya jalan merupakan fasilitas penting bagi manusia supaya dapat mencapai suatu tujuan daerah yang ingin dicapai. Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke tempat yang lain. Arti lintasan disini dapat diartikan sebagai tanah yang diperkeras atau jalan tanah tanpa perkerasan, sedangkan lalu lintas adalah semua benda dan makhluk hidup yang melewati jalan tersebut baik kendaraan bermotor, tidak bermotor, manusia, ataupun hewan.
Beban berlebih, adalah salah satu faktor penyebab utama kerusakan perkerasan jalan, juga jumlah lintasan beban berat (truk bermuatan) yang tidak terdeteksi secara tepat dalam perhitungan lalu lintas, yang mana hal tersebut merupakan salah satu data masukan utama pada sistem perancangan, sehingga yang terjadi di lapangan agak berbeda dengan yang direncanakan.
Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, berupa data lalu lintas, tonase kendaraan, dan kondisi lapangan, yang diperoleh dari Dinas Bina Marga Cipta Karya Kabupaten Nagan Raya serta data CBR tanah dasar, job mix formula, shop drawing, dan data-data pendukung lainnya pada proyek rekonstruksi / peningkatan struktur jalan simpang peut
- –batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur yang diperoleh dari kontraktor pelaksana yaitu PT. Wirataco Mitra Mulia. Berdasarkan data sekunder tersebut, selanjutnya untuk menentukan tebal perkerasan yang direncanakan dengan menggunakan petunjuk perencanaan
- – tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode analisa komponen SKBI 2.3.26.1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga.
1.2 Identifikasi Masalah
Dengan berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, perencanaan jalan pada tugas akhir ini, menghubungkan Barat
- – Selatan Aceh. Jenis kelas jalan yang akan direncanakan adalah jalan arteri kelas II. Jalan raya arteri kelas II adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Lapis permukaan (Surface Course) : Laston MS 744; 2. Lapis pondasi atas (Base Course) : Agg Class ”A” CBR 90%; 3. Lapis pondasi bawah (Sub Base Course) : Agg Class “B” CBR 60 %; 4. Lalu lintas harian rata-rata (LHR) pada jalan Simpang Peut – batas Aceh
Selatan (km 337) 2 jalur; 5. Pengaruh california breating ratio (CBR) tanah dasar pada jalan Simpang Peut
- – batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur; 6.
Tingkat pertumbuhan lalu lintas pada jalan jalan Simpang Peut – batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur.
1.3 Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang menjadi permasalahan disini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana menghitung lalu lintas harian rata-rata (LHR) pada jalan Simpang
Peut
- – batas Aceh Selatan (km 337)? 2.
Bagaimana menentukan tebal perkerasan lentur yang ditinjau dari beban operasional lalu lintas yang terjadi dengan menggunakan metode analisa komponen SKBI
- – 2.3.26.1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga? 3.
Seberapa besar pengaruh CBR tanah dasar dan tingkat pertumbuhan lalu lintas terhadap tebal perkerasan jalan?
1.4 Batasan Penelitian
2. Menghitung tebal perkerasan lentur (Flexible Pavemant) pada jalan Simpang
Peut
Batasan masalah yang akan dibahas pada tugas akhir ini adalah : 1. Menghitung lalu lintas harian rata-rata (LHR) pada jalan Simpang Peut – batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur;
- – batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur; 3.
Pengaruh CBR tanah dasar dan tingkat pertumbuhan lalu lintas terhadap tebal perkerasan jalan;
4. Analisa yang digunakan berdasarkan aspek teknis dan petunjuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode analisa komponen SKBI
- – 2.3.26.1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga; 5.
Tidak membahas masalah rencana anggaran biaya (RAB) dan drainase jalan;
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan menggunakan metode analisa komponen pada proyek rekonstruksi / peningkatan struktur jalan Simpang Peut
- – batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur adalah : 1.
Dapat menghitung lalu lintas harian rata-rata (LHR) dengan mengikuti buku petunjuk perkerasan lentur jalan raya Silvia Sukirman 1999, selama 3 x 16 jam atau 3 x 24 jam terus menerus; 2. Dapat merencanakan dan menghitung serta mengetahui hasil nilai tebal perkerasan lentur (Flexible Pavemant) dengan menggunakan metode analisa komponen SKBI
- – 2.3.26.1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga, sesuai dengan petunjuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya; 3.
Dapat mengetahui seberapa besar pengaruh CBR tanah dasar dan beban operasional lalu lintas yang melewati jalan Simpang Peut
- – batas Aceh Selatan (km 337);
(sub grade, LPB, dan LPA); 5.
Dapat mengetahui dan mengevaluasi hasil perhitungan penelitian Tugas Akhir ini dengan kondisi di lapangan.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah : 1. Mahasiswa dapat mengetahui dan merencanakan tebal perkerasan jalan serta nilai tebal perkerasan lentur dengan CBR (California Bearing Ratio) yang sama seperti yang dikerjakan pada proyek rekonstruksi/peningkatan struktur jalan Simpang Peut
- – batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur; 2.
Mahasiswa dapat mendesain tebal perkerasan lentur jalan yang merujuk pada buku petunjuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dan literatur- literatur buku referensi yang ada; 3. Dapat digunakan sebagai referensi untuk evaluasi perencanaan tebal perkerasan jalan lainnya.
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Umum
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 34 Tahun 2006, tentang jalan disebutkan bahwa jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali (jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel).
Jalan raya adalah jalur-jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran-ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan, dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat. (Oglesby, 1999).
Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke tempat lain. Lintasan tersebut menyangkut jalur tanah yang diperkuat (diperkeras) dan jalur tanah tanpa perkerasan. Sedangkan maksud lalu lintas diatas menyangkut semua benda atau makhluk hidup yang melewati jalan tersebut baik kendaraan bermotor, gerobak, hewan ataupun manusia. (Setyawan, 2003).
Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun diatas lapisan tanah dasar (subgrade) yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas. (Hendarsin, 2000).
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan dibawahnya. Beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui bidang kontak roda beban berupa beban terbagi rata. Beban tersebut berfungsi untuk diterima oleh lapisan permukaan dan disebarkan ke tanah dasar menjadi lebih kecil dari daya dukung tanah dasar. (Sukirman, 1999).
Data volume lalu lintas dapat di peroleh dari pos-pos rutin yang ada di sekitar lokasi. Jika tidak terdapat pos-pos rutin di dekat lokasi atau untuk pengecekan data, perhitungan volume lalu lintas dapat di lakukan secara manual ditempat-tempat yang di anggap perlu. Perhitungan lalu lintas harian rata-rata (LHR) dapat dilakukan selama 3 x 16 jam atau 3 x 24 jam terus menerus. Dengan memperhatikan faktor hari, bulan, musim dimana perhitungan dapat diperoleh dari data lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang representatif. (Sukirman, 1999).
2.2 Klasifikasi Jalan
Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Bina Marga dalam tata cara perencanaan geometrik jalan antar kota (TPGJAK) No 038/T/BM/1997, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.1 Halaman 69.
2.3 Konstruksi Perkerasan Jalan
Lapisan perkerasan adalah konstruksi diatas tanah dasar yang berfungsi memikul beban lalu lintas dengan memberikan rasa aman dan nyaman. Pemberian konstruksi lapisan perkerasan dimaksudkan agar tegangan yang terjadi sebagai akibat pembebanan pada perkerasan ketanah dasar (subgrade) tidak melampaui kapasitas dukung tanah dasar. Konstruksi perkerasan jalan dibedakan menjadi dua kelompok menurut bahan pengikat yang digunakan, yaitu perkerasan lentur
(fleksible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). Perkerasan lentur
(fleksible pavement) dibuat dari agregat dan bahan ikat aspal. Lapis perkerasan
kaku (rigit pavement) terbuat dari agregat dan bahan ikat semen, terdiri dari satu lapisan pelat beton dengan atau tanpa pondasi bawah (subbase) antara perkerasan dan tanah dasar (subgrade).
Menurut petunjuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode Bina Marga konstruksi jalan terdiri dari :
2.3.1 Lapis permukaan (surface course) `
Menurut Sukirman 1999, Lapisan permukaan (surface course) adalah lapisan yang terletak paling atas dan berfungsi sebagai : a.
Struktural, yaitu berperan mendukung dan menyebarkan beban kendaraan yang diterima oleh lapis keras; b.
Non struktural, yaitu berupa lapisan kedap air untuk mencegah masuknya air kedalam lapis perkerasan yang ada dibawahnya dan menyediakan permukaan yang tetap rata agar kendaraan berjalan dengan lancar.
2.3.2 Lapis pondasi atas (base course)
Menurut Sukirman 1999, lapisan pondasi atas (base course) adalah lapisan perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan dan berfungsi sebagai : a.
Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban kelapisan dibawahnya; b.
Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah; c. Bantalan terhadap lapisan permukaan.
2.3.3 Lapis pondasi bawah (subbase course)
Menurut Sukirman 1999, lapis pondasi bawah (subbase course) adalah lapis perkerasan yang terletak antara lapisan pondasi atas dan tanah dasar dan berfungsi sebagai : a.
Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda pada tanah dasar; c.
Mengurasi ketebalan lapis keras yang ada diatasnya; d. Sebagai lapisan peresapan, agar air tanah tidak berkumpul pada pondasi; e. Sebagai lapisan pertama agar memudahkan pekerjaan selanjutnya; f. Sebagai pemecah partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas.
2.3.4 Lapis tanah dasar (subgrade)
Menurut Sukirman 1999, tanah dasar (subgrade) adalah permukaan tanah semula, permukaan tanah galian atau timbunan yang dipadatkan dan merupakan dasar untuk perletakan bagian lapis keras lainnya.
2.4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Perencanaan konstruksi lapisan perkerasan lentur disini untuk jalan baru dengan metode Bina Marga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Gambar A.2.1 Halaman 38.
Adapun untuk perhitungannya perlu pemahaman istilah-istilah sebagai berikut :
2.4.1 Lalu lintas
Di dalam undang-undang nomor 22 tahun 2009, lalu lintas didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang di peruntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung.
2.4.2 Jumlah jalur dan koefisien distribusi kendaraan
Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan jalur, maka jumlah jalur ditentukan dari lebar perkerasan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.4 Halaman 70.
2.4.3 Lalu lintas harian rata-rata (LHR)
Adalah volume lalu lintas yang dua arah yang melalui suatu titik rata-rata dalam satu hari. Lalu lintas harian rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau masing-masing arah pada jalan dengan median. Menurut Sukirman 1999, perhitungan lalu lintas harian rata-rata (LHR) dapat dilakukan selama 3 x 16 jam terus menerus. Dengan memperhatikan faktor hari, bulan, musim dimana perhitungan dapat diperoleh dari data lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang representatif.
- Lalu lintas harian rata-rata permulaan (LHRp)
₁ = ( ) .............................................................. 2.1
1 +
1 Lalu lintas harian rata-rata akhir (LHRA)
- ₂
= ( )
............................................................... 2.2
2
1 + Dimana : LHRp = Lalu lintas harian rata-rata permulaan
LHRs = Lalu lintas harian rata-rata sementara
= Lalu lintas harian rata-rata akhir n = Masa konstruksi dan umur rencana ₁, n₂ , = Pertumbuhan lalu lintas masa konstruksi.
1
2
2.4.4 Rumus-rumus lintas ekuivalen
= =
..................................................................... 2.3
- Lintas ekuivalen akhir (LEA)
- Lintas ekuivalen tengah (LET)
- 2
= =
..................................................................... 2.4
=
. ......................................................................................... 2.5
- Lintas ekuivalen rencana (LER)
= …. .............................................................................. 2.6
=
10 2
n
. .................................................................................................. 2.7 Dimana : j = Jenis kendaraan. n 2 = Umur rencana. C = Koefisien distribusi kendaraan. E = Angka ekuivalen beban sumbu kendaraan. Fp = Faktor penyesuaian n = Jumlah tahun pengamatan
2.5 Umur Rencana
Umur rencana perkerasan jalan ialah jumlah tahun dari saat jalan tersebut dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang
2.6 Koefisien Distribusi Kendaraan
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar tabel koefisien distribusi kendaraan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.2 Halaman 69.
2.7 Angka Ekuivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Angka ekuivalen (E) masing-masing golongan beban umum (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus daftar sebagai berikut : 4 . ..................... 2.8
8160
, =
- 8160
, = ⁴ . .............................. 2.9
2.8 Daya Dukung Tanah Dasar (DDT dan CBR)
Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi DDT dan CBR. Harga CBR disini adalah harga CBR lapangan atau CBR laboratorium. Menurut Wesley (1988), mengemukakan bahwa untuk menentukan nilai CBR sub base atau base course suatu perkerasan secara cepat dan praktis. Biasa dilakukan sebagai pekerjaan quality control pekerjaan pembuatan jalan dapat menggunakan dengan alat DCP (Dynamic Cone Penetrometer).
Tujuan dari pengujian DCP adalah : agar dapat menyelidiki tebal dan jenis bahan untuk setiap lapis perkerasan. untuk mengukur pengaruh pemadatan yang disebabkan oleh lalu-lintas normal.
California Bearing Ratio (CBR) merupakan perbandingan beban penetrasi
pada suatu bahan dengan beban standar pada penetrasi dan kecepatan pembebanan yang sama. Untuk membuat suatu kontruksi yang baik dan kuat diperlukan adanya data-data tanah yang lengkap dan teliti. Data CBR yang digunakan adalah harga- harga CBR dari pemeriksaan lapangan dan uji laboratorium, dari data CBR tersebut ditentukan nilai CBR terendah, kemudian ditentukan harga CBR yang mewakili atau CBR segmen.
Metode yang digunakan untuk mengukur kekuatan daya dukung tanah dasar dari suatu konstruksi jalan adalah dengan menggunakan penentuan pengujian CBR dengan alat DCP (Dynamic Cone Penetrometer). Dalam penulisan ini nilai CBR akan diuraikan secara grafis dan analitis (Sukirman 1999): a.
Secara Grafis Menentukan data CBR dengan cara grafis adalah sebagai berikut ;
Tentukan nilai CBR terendah; Tentukan berapa banyak nilai CBR yang sama atau lebih besar dari masing-masing nilai CBR dan kemudian disusun secara tabel mulai dari nilai CBR terkecil sampai nilai CBR terbesar; Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan persentase dari 100%; Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentasenya; Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90%.
b.
Secara Analitis Untuk memudahkan dalam menentukan nilai CBR, maka cara penentuannya dapat dibagi dalam beberapa segmen. Dan untuk cara ini kita dapat menggunakan persamaan berikut :
CBRsegmen = CBR rata-rata -
R CBR CBRmaks min
……................ 2.10 Keterangan : CBR segmen = CBR masing-masing segmen; CBR rara-rata = CBR rata-rata keseluruhan; CBR maks = Nilai CBR tertinggi; R = Jumlah yang tergantung pada data CBR berdasarkan tabel koefisien nilai R untuk perhitungan CBR segmen (Sumber : Sukirman 1999).
2.9 Faktor Regional (FR)
Faktor regional bisa juga juga disebut faktor koreksi sehubungan dengan perbedaan kondisi tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain keadaan lapangan dan iklim yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan daya dukung tanah dan perkerasan. Dengan demikian dalam penentuan tebal perkerasan ini, faktor regional hanya dipengaruhi bentuk alinemen (kelandaian dan tikungan). Prosentase kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim (curah hujan). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.5 Halaman 71.
2.10 Indeks Permukaan (IP)
Indeks permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah sebagai berikut :
IP = 1,0 adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat menggangu lalu lintas kendaraan;
IP = 1,5 adalah tingkat pelayanan rendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus );
IP = 2,0 adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang mantap; IP = 2,5 adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.6 Halaman 71.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
2.11 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaan sebagai lapis permukaan pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai
marshall test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan untuk (bahan yang
distabilisasikan dengan semen atau kapur) atau CBR (untuk bahan lapis pondasi atau pondasi bawah). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.8 Halaman 73.
2.12 Batas Minimum Tebal Perkerasan 1.
Lapis permukaan
tebal perkerasan pada lapis permukaan
Batas-batas minimum dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.9 Halaman 74.
2. Lapis pondasi atas Batas-batas minimum tebal perkerasan pada lapis pondasi
dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.10 Halaman 74.
3. Lapis pondasi bawah
Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm.
2.13 Analisa Komponen Perkerasan
Perhitungan ini di distribusikan pada kekuatan relatif masing-masing lapisan perkerasan jangka tertentu (umur rencana) dimana penetuan tebal perkerasan dinyatakan oleh indeks tebal perkerasan (ITP). Rumus :
......................................................................... 2.11
1
1
2
2
3
3 = Dimana :
ITP = Indeks tebal perkerasan;
D
1 , D
2 , D
3
= Ketebalan masing-masing lapis perkerasan;
1 ,
2
,
3 = Koefisien kekuatan relatif.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Persiapan
Tahap persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai pengumpulan dan pengolahan data. Dalam tahap awal ini disusun hal-hal penting yang harus segera dilakukan dengan tujuan untuk mengefektifkan waktu dan pekerjaan.
Tahap persiapan ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Studi pustaka terhadap materi desain untuk menentukan garis besarnya;
2. Menentukan kebutuhan data;
3. Survey pada instansi-instansi yang dapat dijadikan nara sumber data;
4. Pengadaan persyaratan administrasi untuk perencanaan data;
5. Survey lokasi untuk mendapatkan gambaran umum kondisi proyek; 6. Perencanaan jadwal pembuatan desain.
Persiapan diatas harus dilakukan secara cermat untuk menghindari pekerjaan yang berulang. Sehingga tahap pengumpulan data menjadi optimal.
3.2 Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan sarana pokok untuk menemukan penyelesaian suatu masalah secara ilmiah. Dalam pengumpulan data, peranan instansi yang terkait sangat diperlukan sebagai pendukung dalam memperoleh data-data yang diperlukan.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data adalah: 1. Jenis - jenis data; 2. Tempat diperolehnya data; 3.
Jumlah data yang harus dikumpulkan agar diperoleh data yang memadai
Data yang diperlukan untuk perencanaan jalan Simpang Peut-batas Aceh Selatan (km 337) meliputi data primer dan data sekunder.
3.2.1 Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil survey dan penelitian di lapangan. Pada penulisan Tugas Akhir ini yang merupakan data primer yaitu data volume lalu lintas harian rata-rata (LHR), tebal perkerasan lentur jalan raya, dan tingkat pertumbuhan lalu lintas. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan itu akan digunakan untuk mengestimasi jumlah lalu lintas harian rata-rata yang melewati jalan tersebut. Menurut Sukirman 1999, perhitungan lalu lintas harian rata-rata (LHR) dapat dilakukan selama 3 x 16 jam atau 3 x 24 jam terus menerus. Dengan memperhatikan faktor hari, bulan, musim dimana perhitungan dapat diperoleh dari data lalu lintas harian ratarata (LHR) yang representatif.
3.2.2 Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait dari jalan yang ditinjau, adapun data sekunder disini adalah data CBR tanah dasar yang di dapat dari kontraktor pelaksana yaitu PT. Wirataco Mitra Mulia dan terdapat 8 (Delapan) titik pengujian sepanjang jalan Simpang Peut
- – batas Aceh Selatan dari Sta 272+000
- – 273+490 kiri dan kanan. Kemudian disertai dengan peta kota Nagan Raya, layout lokasi penelitian, dan shop drawing.
3.3 Metode Pengolahan Data
Dengan berdasarkan data primer dan data sekunder tersebut, selanjutnya untuk menentukan tebal perkerasan yang direncanakan, adalah dengan menghitung lalu lintas harian rata-rata (LHR), pengaruh CBR tanah dasar dan tingkat pertumbuhan lalu lintas. Pengolahan data dilakukan secara manual
3.4 Metode Analisa Data
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data penellitian ini adalah metode analisa komponen dan petunjuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya SKBI – 2.3.26. 1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab IV ini akan dikemukakan pengolahan data-data yang diperoleh,dengan menggunakan teori-teori dan analisa yang telah dibahas pada bab II dan
III. Hasil pengolahan ini kemudian digunakan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan lentur yang ditinjau.
4.1 Hasil Pengolahan Data Dengan Metode Bina Marga
Hasil pengolahan data meliputi perhitungan kekuatan tanah dasar (CBR segmen), koefisien distribusi kendaraan, volume lalu lintas, perhitungan angka ekuivalen kendaraan, lintas ekuivalen rencana, faktor regional, indeks permukaan dan struktur konstruksi perkerasan.
4.1.1 Umur rencana
Pada perencanaan ini umur rencana yang diambil adalah 10 tahun. Sesuai dengan umur rencana pihak konsultan pada saat jalan tersebut direncanakan. Selama masa pelaksanaan pertumbuhan lalu lintas (i) = 2,88 % dan data CBR rencana adalah 2,41 %. Untuk persentase pertumbuhan lalu lintas dapat dilihat pada pembahasan faktor pertumbuhan lalu lintas dan CBR rencana dapat dilihat pada Halaman 23.
4.1.2 Perhitungan CBR segmen (kekuatan tanah dasar)
Untuk menghitung CBR segmen digunakan metode Bina Marga, yaitu metode analisa komponen SKBI 2.3.26.1987. Jumlah data CBR lapangan dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.4.8 Halaman 79.
- Segmen 1
- – {(CBR
2 ) 49 , 6 (
=
3 50 , 2 (
2 ) 99 ,
=
rata2
CBR
3 = 3,20 %
3 47 , 3 ( 36 ,
1,41 ) 25 ,
=
maks - CBR min )/R}
= 3,36 CBR maks. = 3,47 CBR min. = 3,25 CBR Segmen = CBR rata-rata
2 ) 72 , 6 (
=
3 25 , 3 (
2 ) 47 ,
CBR rata2 =
Dari tabel B.4.1 dengan jumlah titik pengamatan CBR 2 (dua), maka diambil R = 1,41. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.4.1 Halaman 75.
2.10 Halaman 12.
Tabel perkerasan dihitung berdasarkan nilai CBR lapangan yang dibagi dalam enam bagian segmen. CBR segmen dapat ditentukan secara analitis dan secara grafis, dalam perencanaan ini penentuan CBR segmen ditentukan secara analitis. Untuk menghitung nilai CBR secara analitis menggunakan persamaan
- Segmen 2
= 3,24 CBR maks. = 3,99 CBR min. = 2,50
( 3 , 99 2 , 50 ) = 3 , 24
1,41
= 2,18 %
- (
Segmen 3
3 ,
47 4 , 29 )
CBR rata2 =
2 ( 7 , 76 )
=
2
= 3,88 CBR maks. = 4,29 CBR min. = 3,47 CBR Segmen = CBR rata-rata maks - CBR min )/R}
- – {(CBR (
4 , 29 3 , 47 ) 3 , 88
=
1,41
= 3,30 % Segmen 4
- (
3 ,
04 2 , 06 )
CBR rata2 =
2 ( 5 , 1 )
=
2
= 2,55 CBR = 3,04 maks. CBR min. = 2,06 CBR Segmen = CBR rata-rata maks - CBR min )/R}
- – {(CBR 3 ,
04 2 , 06 ) ( 2 , 55
=
1,41
= 1,85 %
- Segmen 5
- – {(CBR
- Segmen 6
1,41
2 ) 81 , 5 (
= 2,90 CBR maks.
= 3,89 CBR min. = 1,92 CBR Segmen = CBR rata-rata
maks - CBR min )/R}
=
) 92 , 1 89 ,
3 92 , 1 (
3 ( 90 ,
2 = 1,50 %
CBR rata2 =
2 ) 40 ,
5 14 , 2 (
=
=
2 ) 89 ,
2 ) 54 , 7 ( CBR maks. = 5,40 CBR min. = 2,14 CBR = CBR - CBR )/R}
= 4,98 CBR min. = 3,66 CBR Segmen = CBR rata-rata
CBR rata2 =
2 ) 66 ,
3 98 , 4 (
=
2 ) 64 , 8 (
= 4,32 CBR maks.
maks - CBR min )/R}
=
=
1,41 ) 66 ,
3 98 , 4 ( 32 ,
4 = 3,38 %
CBR
rata2
- – {(CBR
- Segmen 7
Segmen rata-rata maks min
- – {(CBR 5 ,
40 2 , 14 ) ( 3 , 77
=
1,41
= 1,46 %
3 , 20 2 , 18 3 , 30
1 ,
85 3 , 38 1 , 50 1 ,46 CBR = Rencana
7
= 2,41 % Untuk korelasi antara nilai CBR dengan nilai DDT dapat dilihat pada
Lampiran A.4.1 sampai dengan Lampiran A.4.8 Halaman 44 sampai dengan Halaman 51.
4.1.3 Koefisien distribusi kendaraan
Penentuan nilai dari koefisien distribusi kendaraan terhadap jalan ini dibedakan antara kendaraan berat dan kendaraan ringan. Untuk jalan ini jumlah jalur ditentukan 2 jalur 2 arah, dengan menggunakan Lampiran Tabel B.2.2 Halaman 69. Besarnya nilai koefisien distribusi kendaraan (c) untuk kedua jenis tersebut adalah: a.
Untuk kendaraan ringan diambil = 0,5 b. Untuk kendaraan berat diambil = 0,5
4.1.4 Faktor pertumbuhan lalu lintas (i)
Berdasarkan tabel jumlah kendaraan yang dilampirkan, bersumber dari Badan Pusat Statistik Nagan Raya, maka jumlah kendaraan per tahun adalah sebagai berikut;
Tahun 2010 = 12.775 kendaraan
- Tahun 2012 = 15.938 kendaraan
- Tahun 2013 = 18.106 kendaraan
- Total jumlah kendaraan adalah 61.801 kendaraan
- 2010 =
- 2011 =
- 2012 =
- 2013 =
- 24,24 – 20,64 = 3,6 %
- 25,79 – 24,24 = 1,55 %
- 29,30 – 25,79 = 3,51 %
- %
x 100 % = 14,99 % Keterangan; Jumlah kendaraan berat = 1360 kendaraan Jumlah total kendaraan = 9070 kendaraan
1360 9070
(≥ 2 ton) =
Faktor regional dapat dilihat menurut perkiraan persentase kendaraan berat yang melewati jalur rencana. Kendaraan berat
3 ( Jadi angka pertumbuhan lalu lintas (i) adalah 2,88 %.
3 55 , 1 6 ,
3 ) 51 ,
2
x 100 = 29,30 % Untuk mengetahui tren pertumbuhan lalu lintas adalah;
88 ,
18.106 61.801
x 100 = 25,79 %
15.938 61.801
x 100 = 24,24 %
14.982 61.801
x 100 = 20,64 %
12.755 61,801
Untuk menghitung jumlah pertumbuhan lalu lintas (i) dengan menggunakan rumus sebagai berikut;
4.1.5 Faktor regional
Dari hasil persentase kendaraan berat yang didapatkan tersebut dapat kita tentukan besarnya faktor regional dengan menggunakan tabel. Besarnya faktor regional untuk jalan ini adalah 1,5 dapat dilihat pada lampiran Tabel B.2.5 Halaman 71.
4.1.6 Volume lalu lintas
Pada perencanaan ini data LHR diperoleh langsung dari pengamatan di lapangan. Jumlah keseluruhan volume inilah yang akan digunakan dalam desain, untuk lebih jelasnya LHR yang diperoleh dari pengamatan di lapangan dapat dilihat pada lampiran Tabel B.4.2 dan Tabel B.4.3 Halaman 75.
a. LHR pada awal umur rencana
LHR pada awal umur rencana ini dapat kita cari dengan menggunakan persamaan berikut ini;
n
LHR t = (1+i) × LHR p Dimana:
i
= Pertumbuhan lalu lintas rata-rata = 0,0288 n = Umur rencana awal = 1 tahun LHR p = Lalu lintas harian rata-rata untuk seluruh jenis kendaraan. LHR p diambil dari setiap jenis kendaraan adalah sebagai berikut:
1 Kendaraan ringan 2 ton = (1+0,0288) × 7710 = 7932,05 kendaraan
1 Bus as 8 ton = (1+0,0288) × 84 = 86,42 kendaraan
1 Truk 2 as 8 ton = (1+0,0288) × 841 = 837,44 kendaraan
1 Truk 2 as 13 ton = (1+0,0288) × 208 = 267,90 kendaraan
1 Truk 3 as 20 ton = (1+0,0288) × 227 = 233,54 kendaraan
Jumlah = 9357,35 kendaraan
b. LHR akhir umur rencana
LHR pada awal umur rencana ini dapat kita cari dengan menggunakan persamaan berikut ini:
n
LHR t = (1+i) × LHR p Dimana:
i = Pertumbuhan lalu lintas rata-rata = 0,0288
n = Umur rencana akhir = 10 tahun LHR = Lalu lintas harian rata-rata untuk seluruh jenis kendaraan.
p
LHR p diambil dari setiap jenis kendaraan adalah sebagai berikut:
10 Kendaraan ringan 2 ton = (1+0,0288) × 7710 = 10241,51 kendaraan
10 Bus as 8 ton = (1+0,0288) × 84 = 111,58 kendaraan
10 Truk 2 as 8 ton = (1+0,0288) × 841 = 1117,13 kendaraan
10 Truk 2 as 13 ton = (1+0,0288) × 208 = 276,30 kendaraan
10 Truk 3 as 20 ton = (1+0,0288) × 227 = 301,53 kendaraan
Jumlah = 12048,05 kendaraan
4.1.7 Perhitungan angka ekuivalen kendaraan
Dari data lalu lintas yang diperoleh, dapat dilihat bahwa jenis-jenis kendaraan yang melewati jalan tersebut adalah kendaraan ringan 2 ton, bus as 8 ton, truk 2 as 8 ton, truk 2 as 13 ton, dan truk 3 as 20 ton. Untuk mendapatkan angka ekuivalen kendaraan, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
Beban satu sumbu tung gal dalam Kg 4 E Sumbu tunggal =
8160
Beban satu sumbu ganda dalam Kg
4 E = SumbuGanda x . 086
8160
a.E maks kendaraan ringan 2 ton = E sb depan + E sb belakang
0,5(2000) 0,5(2000 )
4
4
= ( ) + ( )8160 8160
= 0,0002 + 0,0002 = 0,0004 b. E maks bus as 8 ton
= E sb depan + E sb belakang
0,34(8000) 0,66(8000)
4
4 = ( ) + ( )
8160 8160
= 0,0123 + 0,1753 = 0,1876 c. E maks truk 2 as 8 ton
= E sb depan + E sb belakang
0,34(8000) 0,66(8000)
4
4 = ( ) ( )
- 8160 8160
= 0,0123 + 0,1753 = 0,1876 d. E maks truk 2 as 13 ton
= E sb depan + E sb belakang
0,34(13000 ) 0,66(13000)
4
4 =
- x 0,086
( ) ( )
8160 8160
= 0,0861 + 0,1051 = 0,1912 e. E maks truk 3 as 20 ton
= E sb depan + E sb belakang
0,25(20000 ) 0,25(20000)
4
4 = ( ) + ( ) x 0,086
8160 8160
= 0,1410 + 0,9820 = 1,1229
Untuk memudahkan pengolahan data hasil perhitungan angka ekuivalen kendaraan disajikan dalam bentuk tabel, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.4.4 Halaman 76.
4.1.8 Lintas ekuivalen permulaan (LEP)
Untuk mendapatkan berapa besarnya lintas ekuivalen permulaan yang terjadi pada ruas jalan Meulaboh-Banda Aceh ini diperlukan data LHR pada awal umur rencana, data angka ekuivalenkendaraan dan data koefisien distribusi untuk kendaraan ringan sebesar 0,5 serta koefisien distribusi untuk kendaraan berat sebesar 0,5. Maka lintas ekuivalen permulaan dapat dihitung dengan rumus berikut ini :
n
x E x C x (1+i) LEP = Σ A
j j j
LEP untuk masing-masing kendaraan pada awal umur rencana: Kendaraan ringan 2 ton = 7710 × 0,5 x 0,0004 = 1,542 Bus as 8 ton = 84 × 0,5 x 0,1876 = 7,8792 Truk 2 as 8 ton = 841× 0,5 x 0,1876 = 78,8858 Truk 2 as 13 ton = 208 × 0,5 x 0,1912 = 19,8848 Truk 3 as 20 ton = 227 × 0,5 x 1,1229 = 127,449
Jumlah = 235,641
4.1.9 Lintas ekuivalen akhir (LEA)
Untuk mendapatkan berapa besarnya lintas ekuivalen akhir yang terjadi maka dapat dihitung: LEA untuk masing-masing kendaraan pada akhir umur rencana:
Kendaraan ringan 2 ton = 10241,51 × 0,5 x 0,0004 = 2,048 Bus as 8 ton = 111,58 × 0,5 x 0,1876 = 10,466 Truk 2 as 8 ton = 1117,13× 0,5 x 0,1876 = 104,787 Truk 2 as 13 ton = 276,30× 0,5 x 0,1912 = 26,414 Truk 3 as 20 ton = 301,53 × 0,5 x 1,1229 = 169,294
Jumlah = 313,009
4.1.10 Lintas ekuivalen tengah (LET)
Untuk mendapatkan berapa besarnya lintas ekuivalen tengah (LET) yang terjadi ini diperlukan jumlah total LEP dan jumlah total LEA. Data LEP didapatkan sebesar 208,858 dan data LEA didapatkan sebesar 263,367. Maka LET dapat dihitung dengan persamaan berikut ini:
LEP LEA
LET
2 235 , 641 313 , 009
LET
2 LET = 274,325 = 275
4.1.11 Lintas ekuivalen rencana (LER)
Untuk mendapatkan berapa besarnya lintas ekuivalen rencana (LER) yang terjadi ini diperlukan jumlah data ekuivalen tengah (LET) yang didapat sebesar 275 dan data umur rencana selama 10 tahun. LER dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
LET x FP LER
10
275 x
10 LER
10 LER = 275
4.1.12 Indeks permukaan (IP)
Indeks permukaan pada jalan ini dibagi dalam dua jenis yaitu, indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) dan indeks permukaan pada akhir umur rencana(IPt). Besarnya masing-masing indeks permukaan tersebut dapat ditentukan sebagai berikut: a.
Indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) untuk jalan ini, lapisan permukaan direncanakan dari aspal beton (LASTON), dengan menggunakan Lampiran Tabel B.2.7 Halaman 72 tabel indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) ini adalah sebesar
≥ 4.
b.
Dengan menggolongkan jalan yang ditinjau adalah jalan arteri dan besarnya lintas ekuivalen rencana yang terjadi ini sebesar 275, dengan menggunakan Lampiran Tabel B.2.6 Halaman 71 tabel indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt) diperoleh sebesar 2,0-2,5.
4.1.13 Struktur konstruksi tebal perkerasan
Tebal lapis perkerasan direncanakan terdiri dari; a. Lapisan permukaan (surface course) dari aspal beton MS744 kg b.
Lapisan pondasi atas (base course) dari agregat kelas A c. Lapisan pondasi bawah (subbase course) dari agregat kelas B
Besarnya nilai ITP ditetapkan dengan menggunakan grafik nomogram penetapan ITP, dengan menggunakan nilai IPt sebesar 2,0-2,5 dan IPo sebesar ≥
4, maka nilai ITP untuk masing-masing segmen dapat dihitung dengan memasukan nilai daya dukung tanah (DDT), nilai lintas ekuivalen rencana (LER), dan nilai faktor regional (FR). Untuk korelasi nilai DDT dengan nilai FR dapat dilihat pada Lampiran Gambar A.4.9 Halaman 52 sampai dengan Lampiran Gambar A.4.16 Halaman 59.
Selanjutnya hasil perhitungan ITP untuk setiap segmen disajikan dalam bentuk tabel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.4.5 Halaman 76.
4.2 Analisa Penentuan Lapisan Perkerasan Metode Bina Marga
Perhitungan tebal tiap lapisan perkerasan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini :
1.
1 (Sta. 272+300 L)
Segmen
ITP = (a
1 x D 1 ) + (a 2 x D 2 ) + (a 3 x D
3 )
9,9 = (0,40 x 7,5) + (0,14 x 20) + (0,12 x D )
3 9,9 −(3+2,8)
D
3 = 0,12
D
3 = 34,17 = 34 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat pada Lampiran Gambar A.4.18 Halaman 61.
2.
2 (Sta. 272+300 R)
Segmen
ITP = (a x D ) + (a x D ) + (a x D )
1
1
2
2
3
3
10,8 = (0,40 x 10) + (0,14 x 20) + (0,12 x D
3 ) 10,8 −(4+2,8)
D
3 = 0,12
D
3 = 33,33 = 33 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat pada Lampiran Gambar A.4.19 Halaman 61.
3. (Sta. 272+500 R)
3 Segmen
ITP = (a x D ) + (a x D ) + (a x D )
1
1
2
2
3
3
9,7 = (0,40 x 7,5) + (0,14 x 20) + (0,12 x D
3 ) 9,7 −(3+2,8)
D =
3 0,12
D = 32,50 = 33 cm
3 Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat pada Lampiran Gambar A.4.20 Halaman 61.
4. (Sta. 272+700 L)
4 Segmen
ITP = (a
1 x D 1 ) + (a 2 x D 2 ) + (a 3 x D
3 )
11,5 = (0,40 x 10) + (0,14 x 20) + (0,12 x D
3 ) 11,5 −(4+2,8) D
3 = 39,17 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat pada Lampiran Gambar A.4.21 Halaman 62.
5.
5 (Sta. 273+100 L)
Segmen
ITP = (a
1 x D 1 ) + (a 2 x D 2 ) + (a 3 x D
3 )