BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - MARISATUL H BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dan

  pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Selain itu pajak juga menjadi unsur utama untuk menunjang kegiatan perekonomian, dalam menggerakan roda pemerintahan dan sebagai penyedia fasilitas umum bagi masyarakat.

  Sehingga diharapkan pajak dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat (Ardyansah, 2014).

  Besarnya peranan penerimaan pajak pada jumlah pendapatan negara, sesuai dengan pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada rapat badan anggaran tentang realisasi pendapatan dan belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Dari sisi pendapatan dalam negeri, pada semester I tahun 2017, realisasinya sebesar Rp 718 triliun, terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 571 triliun, meningkat 9,6% dibandingkan semester I di tahun 2016. Sedangkan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 146,1 triliun, meningkat 26,9% dibandingkan semester I tahun 2016. Sampai dengan bulan Agustus ini, APBN 2017 sebesar Rp 2.080,5 triliun dengan sekitar 85,6% atau sebesar Rp 1.498,9 triliun bersumber dari pajak. Dilihat dari postur sumber pembiayaan, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan urat nadi dan sumber penerimaan negara yang utama. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif dari seluruh masyarakat dan stakeholders dalam mewujudkan tercapainya target penerimaan pajak (Indrawati, 2017).

  Dari penjelasan Menteri Keuangan tersebut memaparkan bahwa negara dalam hal ini Direkorat Jenderal Pajak seharusnya mengoptimalkan penerimaan pajaknya demi percepatan pembangunan nasional. Namun upaya untuk mengoptimalkan penerimaan pajak ini mengalami banyak kendala, salah satunya adalah adanya aktivitas penghindaran pajak atau biasa disebut

  

tax avoidance , karena bagi perusahaan pajak adalah beban yang akan

  mengurangi laba bersih yang dihasilkan oleh perusahaan. Penghindaran pajak (tax avoidance) adalah salah satu cara untuk menghindari pajak secara legal yang tidak melanggar peraturan pajak. Penghindaran pajak ini dapat dikatakan persoalan yang rumit dan unik karena disatu sisi diperbolehkan, tetapi tidak diinginkan (Maharani dan Suardana, 2014).

  Pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih pada suatu perusahaan, sedangkan bagi negara pajak adalah sumber pendapatan.

  Perbedaan pengertian tersebut sudah terlihat jelas bahwa sangat bertolak belakang antara kepentingan negara yang menginginkan penerimaan yang besar dan berkelanjutan, sedangkan perusahaan sendiri menginginkan pembayaran pajak seminimal mungkin. Upaya meminimalkan beban pajak yang tidak melanggar Undang-Undang disebut tax planning yaitu memiliki ruang lingkup pada perencanaan pajak yang tidak melanggar Undang- Undang. Sedangkan tax avoidance merupakan pengaturan untuk meminimumkan atau bahkan menghilangkan beban pajak dengan mempertimbangkan akibat pajak yang akan ditimbulkan (Kurniasih dan Sari, 2013).

  Di Indonesia sendiri, fenomena tax avoidance bukan merupakan hal baru lagi. Dibuktikan dengan adanya tax amnesty yang diikuti oleh 415.053 orang Wajib Pajak (WP) yang menyampaikan 420.977 lembar Surat Pernyataan Harta (SPH) sampai dengan tanggal 19 Oktober 2016. Sudah Rp 143 triliun harta luar negeri yang di repatriasi, Rp 982 triliun harta di Luar Negeri yang dideklarasikan, serta Rp 2.725 triliun harta dalam negeri yang dideklarasikan, sehingga pengungkapan harta seluruhnya bernilai Rp 3.850.477 triliun. Fenomena ini mengindikasikan bahwa banyak wajib pajak yang melakukan praktik tax avoidance yang kemudian diperiksa oleh petugas Dirjen Pajak dan kemudian dikenakanlah tax amnesty (www.pajak.go.id)

  Penghindaran pajak sendiri tidak hanya dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Pada perusahaan yang merupakan wajib pajak badan pun melakukan tindakan tax avoidance. Hanya saja wajib pajak badan dalam melakukan tindakan tax avoidance tentu saja harus melalui kebijakan yang diambil oleh pemimpin perusahaan itu sendiri, karena keputusan dan kebijakan perusahaan diambil oleh pemimpin perusahaan tersebut (Budiman dan Setiyono, 2012). Penelitian mengenai hal serupa telah banyak dilakukan, dan salah satunya oleh Dewi dan Jati (2014), untuk membuktikan apakah karakteristik eksekutif yang bersifat risk taker dalam kebijakan perusahaan yang diambil oleh pimpinan perusahaan memiliki pengaruh terhadap penghindaran pajak perusahaan. Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa

  

risk taker berpengaruh terhadap penghindaran pajak (tax avoidance).

  Menunjukkan bahwa apabila eksekutif semakin bersifat risk taker maka akan semakin besar tindakan tax avoidance yang dilakukan (Dewi dan Jati, 2014).

  Untuk mengetahui karakteristik yang dimiliki oleh seorang eksekutif atau pimpinan perusahaan dilihat dari besar kecilnya risiko perusahaan yang diambil oleh pimpinan tersebut. Tingkat risiko yang besar mengindikasikan bahwa pimpinan perusahaan lebih bersifat risk taker yang lebih berani mengambil risiko. Sebaliknya tingkat risiko yang kecil mengindikasikan bahwa pimpinan perusahaan lebih bersifat risk averse yang cenderung untuk menghindari risiko (Budiman dan Setiyono, 2012).

  Selain karakteristik eksekutif, corporate governence juga mempengaruhi cara perusahaan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

  

Corporate Governance (CG) menunjukkan perbedaan kepentingan pribadi

  antara manajemen (agen) dan pemilik (prinsipal) suatu perusahaan yang berkaitan dengan keadaan baik-buruknya corporate governance dengan tindakan pengambilan keputusan perpajakannya (Kurniasih dan Sari, 2013).

  Corporate governance bertujuan untuk meminimumkan agency cost.

  Konflik keagenan muncul apabila tujuan yang ingin dicapai oleh manajemen perusahaan tidak sejalan dengan kepentingan pemegang saham (pemilik).

  Pemegang saham (pemilik) mengharapkan pendapatan dividen yang maksimal atas dana yang mereka investasikan. Sedangkan pihak manajemen perusahaan lebih mementingkan aktivitas operasional perusahaan dengan tidak membagikan dividen dan mengalokasikannya sebagai laba ditahan.

  Apabila hubungan antara pemegang saham dan manajemen perusahaan selaras, maka akan mempengaruhi kebijakan perpajakan yang akan digunakan dalam suatu perusahaan tersebut (Darmawan dan Sukartha, 2014).

  Penerapan corporate governance dalam menentukan kebijakan perpajakan yang akan digunakan oleh perusahaan berkaitan dengan pembayaran pajak penghasilan perusahaan. Pembayaran pajak penghasilan perusahaan didasarkan pada besarnya laba yang diperoleh perusahaan.

  Semakin besar laba yang diperoleh suatu perusahaan, maka semakin besar pula pajak yang akan dikenakan atas laba yang besar tersebut, kemudian fenomena tersebut akan menimbulkan kecenderungan bagi para manajer perusahaan untuk berlaku patuh (compliances) atau agresif (aggressive) dalam keputusan perpajakan (Kurniasih dan Sari, 2013).

  Adanya perusahaan yang melakukan penghindaran pajak membuktikan bahwa corporate governance belum sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan- perusahaan go publik di Indonesia (Kurniasih dan Sari, 2013). Proksi dari

  

corporate governance yang digunakan dalam penelitian ini adalah proporsi

dewan komisaris independen, komite audit dan kualitas audit.

  Proksi pertama dari corporate governance dalam penelitian ini adalah proporsi dewan komisaris independen. Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas mengawasi secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar dan memberi nasehat pada direksi (UU PT No. 40 Tahun 2007). Komisaris independen didefinisikan sebagai seorang yang tidak terafiliasi dalam segala hal dengan pemegang saham pengendali, tidak memiliki hubungan afiliasi dengan direksi atau komisaris serta tidak menjabat sebagai direktur pada suatu perusahaan yang terkait dengan perusahaan pemilik menurut peraturan yang dikeluarkan oleh BEI (Pohan, 2008). Jumlah komisaris independen proporsional dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak berperan sebagai pengendali dengan ketentuan jumlah dewan komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari seluruh anggota komisaris (Sandy dan Lukviaman, 2015). Tinggi atau rendahnya variasi penghindaran pajak (tax avoidance) ditentukan oleh variasi variabel proporsi dewan komisaris independen. Dengan kata lain, apabila semakin besar proporsi dewan komisaris independen maka akan semakin rendah tax

  avoidance . Namun sebaliknya, apabila semakin kecil proporsi dewan

  komisaris independen maka akan semakin tinggi tax avoidance (Sandy dan Lukviaman, 2015).

  Proksi dari corporate governance yang kedua yaitu komite audit. Komite audit merupakan suatu komite yang beranggotakan satu atau lebih anggota komisaris dan keberadaannya terbatas dari pengaruh direksi, eksternal auditor dan hanya bertanggungjawab kepada dewan komisaris (Surya dan Yustiavandana, 2008). Perusahaan yang memiliki anggota komite audit yang banyak akan lebih bertanggungjawab dan terbuka dalam menyajikan laporan keuangan karena komite audit akan memonitor segala kegiatan yang berlangsung di dalam perusahaan, sehingga kecil kemungkinan untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) (Maharani dan Suardana, 2014).

  Proksi berikutnya dari corporate governance adalah kualitas audit. Dalam penerapan corporate governance, kualitas audit dengan pengungkapan yang akurat (transparansi) menjadi salah satu elemen yang penting.

  Transparansi terhadap pemegang saham dapat dicapai dengan melaporkan hal-hal terkait perpajakan pada pasar modal dan pertemuan para pemegang saham, alasannya adalah adanya asumsi bahwa implikasi dari perilaku pajak yang agresif, pemegang saham tidak ingin perusahaan mereka mengambil posisi agresif dalam hal pajak dan akan mencegah tindakan tersebut jika mereka mengetahui sebelumnya (Sandy dan Lukviaman, 2015). Laporan keuangan yang diaudit oleh auditor KAP The Big Four dipercaya lebih berkualitas sehingga menampilkan nilai perusahaan yang sebenarnya, oleh karena itu diduga perusahaan yang diaudit oleh KAP The Big Four (Price Waterhouse Cooper-PWC, Deloitte Touche Tohmatsu, KPMG, Ernst & Young-E&Y) memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang diaudit oleh KAP non The Big Four. Sebab Auditor yang memiliki kemampuan dan kualitas yang tinggi akan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas audit yang tinggi pula, maka dapat diasumsikan bahwa perusahaan yang laporan keuangannya diaudit oleh KAP

  

The Big Four memiliki tingkat penghindaran pajak (tax avoidance) yang

rendah (Fadhilah, 2014).

  Hal lain yang dapat mempengaruhi tax avoidance yaitu intensitas aset tetap. Intensitas kepemilikan aset tetap dalam suatu perusahaan juga dapat memengaruhi pembayaran pajak perusahaan. Intensitas aset tetap perusahaan menggambarkan banyaknya investasi perusahaan terhadap aset tetap perusahaan. Perusahaan memilih investasi dalam bentuk aset tetap kaitannya dengan perpajakan adalah dalam hal beban depresiasi. Beban depresiasi yang melekat pada kepemilikan aset tetap akan memengaruhi pajak perusahaan, hal ini dikarenakan beban depresiasi akan bertindak sebagai pengurang pajak. Laba kena pajak perusahaan yang semakin berkurang akan mengurangi pajak terutang perusahaan (Mulyani dkk, 2014).

  Bagi wajib pajak dalam bentuk badan hukum maupun orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan mengalami kerugian, maka kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya, sehingga pada tahun-tahun tersebut pajak penghasilannya dapat menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali, hal ini dinamakan dengan kompensasi kerugian (carrying loss).

  Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Keputusan Keberatan (SKK), atau putusan banding sesuai dengan ketentuan

  pasal 6 (2) atau pasal 31 A Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, (www.pajak.go.id). Kompensasi rugi fiskal merupakan proses peralihan kerugian dari satu periode ke periode lainnya yang menunjukkan perusahaan yang sedang merugi. Kerugian tersebut dapat dikompensasikan selama lima tahun ke depan dan laba perusahaan akan digunakan untuk mengurangi jumlah kompensasi kerugian tersebut. Akibatnya, selama lima tahun tersebut, perusahaan akan terhindar dari beban pajak, karena laba kena pajak akan digunakan untuk mengurangi jumlah kompensasi kerugian sehingga perusahaan tidak perlu lagi melakukan penghindaran pajak. (Kurniasih dan Sari, 2013)

  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Budiman dan Setiyono (2012), Kurniasih dan Sari (2013), Dewi dan Jati (2014), Maharani dan Suardana (2014), Dharmawan dan Sukartha, 2014, Fadhilah (2014) serta Sandy dan Lukviarman (2015) yang masih ditemukannya ketidakseragaman hasil penelitian, maka peneliti tertarik untuk meneliti kembali, akan tetapi dengan proksi dan perhitungan yang berbeda. Sehingga dapat diketahui apa sajakah yang menyebabkan perusahaan melakukan penghindaran pajak (tax

  

avoidance ). Selain itu penelitian tentang tax avoidance dan faktor yang

  mempengaruhinya sangat menarik dan unik untuk dilakukan, karena untuk memberikan wawasan bagi perusahaan yang terkait tentang bagaimana cara meminimalisir atau menangguhkan pengenaan pajak dalam upaya mencapai bisnis yang diinginkan tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan.

  Penelitian yang mendasari penelitian ini adalah penelitian Maharani dan Suardana (2014) yang menggunakan enam variabel independen yaitu kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris, kualitas audit, komite audit, return on assets dan risiko perusahaan. Namun terdapat berbedaan yaitu; pertama, dalam penelitian ini dilakukan pengurangan variabel independen yaitu kepemilikan institusional dan return on assets, serta penambahan variabel independen yaitu intensitas aset tetap dan kompensasi rugi fiskal, sehingga diharapkan akan memberikan tambahan bukti empiris tentang pengaruh karakteristik eksekutif, corporate governance, intensitas aset tetap dan kompensasi rugi fiskal terhadap penghindaran pajak (tax

  avoidance ). Variabel intensitas aset tetap merupakan variabel dari penelitian

  yang dilakukan oleh Dharma dan Ardiana (2016), dan variabel kompensasi rugi fiskal merupakan variabel dari penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih dan Sari (2013).

  Alasan digunakannya variabel intensitas aset tetap dan kompensasi rugi fiskal yaitu karena kedua variabel tersebut diperkirakan berpengaruh terhadap , dimana ketika perusahaan mempunyai banyak aset tetap maka

  tax avoidance

  akan menimbulkan banyak beban depresiasi pula sehingga dapat mengurangi laba usaha yang akan dikenakan pajak, serta dapat dimanfaatkan untuk melakukan tax avoidance. sedangkan alasan penggunaan variabel kompensasi rugi fiskal sendiri karena kompensasi rugi fiskal merupakan proses peralihan kerugian dari satu periode ke periode lainnya yang menunjukkan perusahaan yang sedang merugi tidak akan dibebani pajak sehingga diduga perusahaan akan melakukan tax avoidance.

  Perbedaan kedua adalah sampel penelitian dari penelitian sebelumnya menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2008-2012, sedangkan pada penelitian ini menggunakan sampel pada perusahaan sektor properti dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan periode yang diambil yaitu 2013-2016.

  Alasan penggunaan sektor properti dan real estate sebagai sampel penelitian yaitu karena sektor properti dan real estate merupakan sektor yang sedang berkembang dibeberapa tahun terakhir dan kemungkinan akan semakin berkembang untuk kedepannya seiring dengan berkembangnya jumlah masyarakat yang semakin besar dan juga memerlukan properti dan real estate. Perbedaan ketiga, menggunakan proksi yang berbeda dalam mengukur tax avoidance yaitu CASH ETR.

  Pentingnya dilakukan penelitian ini yaitu karena dengan seiring berkembangnya ekonomi dan tuntutan perkembangan usaha, maka sering kali perusahaan semakin meningkatkan laba usaha akan tetapi sebisa mungkin mengurangi pembayaran pajak karena untuk mengurangi konflik agency di dalam perusahaan. Penghindaran pajak (tax avoidance) saat ini semakin mudah dilakukan dengan melakukan skema-skema transaksi keuangan yang ada di dalam dunia bisnis. Isu kepatuhan perpajakan menjadi penting karena ketidak patuhan secara bersamaan akan menimbulkan upaya penghindaran pajak (tax avoidance). Selain itu praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan tersebut akan berpengaruh juga kepada negara yaitu pada pendapatan pajak negara.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka perumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Apakah karakteristik eksekutif yang direpresentasikan oleh risiko perusahaan berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak (tax

  avoidance )?

  2. Apakah corporate governance yang direpresentasikan oleh proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance)?

  3. Apakah corporate governance yang direpresentasikan oleh komite audit berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance)?

  4. Apakah corporate governance yang direpresentasikan oleh kualitas audit berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance)?

  5. Apakah intensitas aset tetap berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance)?

  6. Apakah kompensasi rugi fiskal berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance)?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk menguji karakteristik eksekutif yang direpresentasikan oleh risiko perusahaan berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak (tax

  avoidance ). b. Untuk menguji corporate governance yang direpresentasikan oleh proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance).

  c. Untuk menguji corporate governance yang direpresentasikan oleh komite audit berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak (tax

  avoidance ).

  d. Untuk menguji corporate governance yang direpresentasikan oleh kualitas audit berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak (tax

  avoidance ).

  e. Untuk menguji intensitas aset tetap berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance).

  f. Untuk menguji kompensasi rugi fiskal berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance).

2. Manfaat Penelitian

  Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : a. Bagi Praktisi

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi dalam pengambilan keputusan terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penghindaran pajak secara legal. b. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi peneliti serta dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.

  c. Bagi Akademik Penelitian ini diharapkan menambah wawasan, ilmu pengetahuan dan referensi bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penghindaran pajak (tax avoidance).