BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Hukum dan Perlindungan Hukum 1.1 Pengertian Hukum - ADHIGUNA WIRAYUDHA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Hukum dan Perlindungan Hukum

1.1 Pengertian Hukum

  Definisi tentang hukum menurut Van Apeldoorn adalah sangat sulit untuk dibuat, karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan, kurang lebih 200 tahun yang lalu Immanuel Kant pernah menulis sebagai berikut:

  “ Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht” (masih juga para sarjana hukum mencari-cari

  suatu definisi tentang hukum) (C.S.T. Kansil, 1989: 34).

  Dalam buku C.S.T. Kansil (1989: 38) Utrecht memberikan batasan hukum sebagai berikut: “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”. Selain Utrecht beberapa Sarjana Hukum Indonesia lainnya telah berusaha mendifinisikan tentang apa hukum itu, antara lain: a. S.M. Amin

  Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara; b. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu;

  c. M.H. Tirtaatmadjaja Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan- aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya (C.S.T. Kansil, 1989: 38).

  Menurut Abdul Muhni dalam kutipannya, Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih blogspot. com/ 2012/ 03/ pengertian-hukum.html).

  1.1.1 Unsur-unsur Hukum

  Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan para Sarjana Hukum Indonesia diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapa unsur sebagai berikut: a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;

  c. Peraturan itu bersifat memaksa;

  d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas (C.S.T. Kansil, 1989: 39).

  1.1.2 Ciri-ciri Hukum

  Hukum itu sendiri ada beberapa ciri antara lain:

  a. Adanya perintah dan/ atau larangan; b. Pentah dan/ atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang.

  Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya (C.S.T. Kansil, 1989: 39).

1.2 Pengertian Perlindungan Hukum

  Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechstaat atau konsep Rule Of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, konsep rechstaat muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep Negara hukum (Rule Of Law) yang dipelopori oleh A.V.Licey.

  Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum atau normatif, umum karena berlaku untuk semua orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan kepada kaedah (Sudikno Mertokusumo, 2003:39).

  Perlindungan pekerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja tersebut.

  Dengan demikian perlindungan pekerja ini mencakup:

  a. Norma Keselamatan Kerja Meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat- alat kerja bahan dan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan; b. Norma Kesehatan Kerja Meliputi pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan kerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat, perawatan tenaga kerja yang sakit;

  c. Norma Kerja Meliputi perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja perempuan, anak, kesusilaan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing- masing yang diakui oleh pemerintah; d. Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan atau menderita penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan, ahli warisnya berhak mendapatkan ganti rugi (Zainal Asikin, 2002: 76).

2. Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan

2.1 Pengertian, tujuan dan sifat hukum perburuhan/ketenagakerjaan

  Sendjung H Manulang (2001: 1) berpendapat bahwa, hubungan antara buruh dan pengusaha, termasuk di dalamnya hak dan kewajiban yang timbul secara timbal balik sebagai akibat dari adanya hubungan antara buruh dan pengusaha, diatur dalam hukum ketenagakerjaan. Untuk mengetahui batasan-batasan hukum ketenagakerjaan, akan dikemukakan pengertian hukum ketenagakerjaan dari beberapa sarjana, sebagai berikut : a. Menurut Molenaar Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan antara tenaga kerja dan penguasa; b. Menurut Mr. M. G. Levenbach

  Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, di mana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu; c. Menurut Mr. N. E. H. van Esveld

  Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) tidak hanya meliputi hubungan kerja di mana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri; d. Menurut Iman Soepomo

  Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan- peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.

  Menurut Abdul Rachmad Budiono (1999: 9) secara sederhana berpendapat bahwa, hukum imperatif adalah hukum yang harus ditaati secara mutlak, sedangkan hukum fakultatif adalah hukum yang dapat dikesampingkan (biasanya dengan perjanjian). Dilihat dari segi ini, sebagian besar hukum perburuhan bersifat imperatif. Kenyataan ini sesuai dengan tujuan hukum perburuhan, yakni mengadakan perlindungan terhadap buruh. Tanpa hukum yang bersifat imperatif, yang biasanya dinyatakan dengan perkataan harus, wajib, tidak boleh, tidak dapat, dilarang, tujuan tersebut sulit untuk dicapai.

  Sehubungan dengan tujuan hukum perburuhan/ ketenagakerjaan, pemerintah ikut serta dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut dengan mengeluarkan berbagai produk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hukum perburuhan/ ketenagakerjaan selain bersifat perdata (privat) juga bersifat publik. Dikatakan bersifat perdata (privat) karena hukum perburuhan/ ketenagakerjaan mengatur kepentingan orang per-orangan, dalam hal ini adalah antara tenaga kerja dan pengusaha. Sedangkan dikatakan bersifat publik (pidana) karena:

  1. Dalam hal-hal tertentu negara atau pemerintah turut campur tangan dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam masalah pemutusan hubungan kerja;

  2. Adanya sanksi-sanksi atau aturan-aturan hukuman di dalam setiap undang-undang/peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan (Sendjung H Manulang, 2001: 2).

2.2 Sumber-sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan

  Menurut Hilman Nugraha dalam kutipannya, Sumber hukum Ketenagakerjaan ialah:

  1. Sumber hukum ketenagakerjaan dalam artian materiil (tempat dari mana materi hukum itu diambil) Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim disebut sumber isi hukum (karena sumber yang menentukan isi hukum) ialah kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seyogyanya atau seharusnya. Soedikno Mertokusumo (1988: 63) menyatakan bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.

  2. Sumber hukum perburuhan dalam artian formil (tempat atau sumber dari mana suatu peraturan itu memperoleh kekuatan hukum). Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber di mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum (Sudikno Mertokusumo, 1988: 63).

  Iman Soepomo (1972: 21) merangkai Sumber formil hukum perburuhan antara lain : a. Perundang-undangan

  Undang-undang merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 45 maka beberapa peraturan yang lama yang masih berlaku karena dalam kenyataannya belum banyak peraturan yang dibuat setelah kemerdekaan, yaitu:

  1) Wet; 2) Algemeen Maatregal van Bestuur; 3) Ordonantie-ordonantie; 4) Regeeringsverordening; 5) Regeeringsbesluit; 6) Hoofd van afdeling van arbeid.

  Setelah Indonesia merdeka ada hal yang perlu dicatat bahwa politik hukum kodifikasi sudah ditinggalkan diganti dengan politik hukum yang mengacu pada unifikasi hukum (Budiyono, 1995: 14).

  b. Peraturan lainnya

  1. Peraturan Pemerintah Aturan yang dibuat untuk melaksanakan Undang-undang.

  2. Keputusan Presiden Keputusan yang bersifat khusus (einmalig) untuk melaksanakan peraturan yang ada di atasnya.

  3. Peraturan atau keputusan instansi lainnya.

  c. Kebiasaan Paham yang mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum hanyalah undang-undang sudah banyak ditinggalkan sebab dalam kenyataannya tidak mungkin mengatur kehidupan bermasyarakat yang begitu kompleks dalam suatu undang-undang. Di samping itu undang- undang yang bersifat statis itu mengikuti perubahan kehidupan masyarakat yang begitu cepat.

  Kebiasaan merupakan kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama dan diterima oleh masyarakat, sehingga bilamana ada tindakan yang dirasakan berlawanan dengan kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran perasaan hukum.

  Masih banyak dan berkembangnya hukum kebiasaan dalam bidang ketenagakerjaan disebabkan antara lain:

  1. Perkembangan masalah-masalah perburuhan jauh lebih cepat dari perundang-undangan yang ada.

  2. Banyak peraturan yang berasal dari zaman Hindia Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan perburuhan sesudah Indonesia merdeka (Budiyono, 1995: 15).

  d. Putusan Putusan di sini ialah putusan yang dikeluarkan oleh sebuah panitia yang menangani sengketa-sengketa perburuhan, yaitu:

  1) Putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat); 2) Putusan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah).

  Panitia penyelesaian perburuhan sebagai suatu compulsory arbitration (arbitrase wajib) mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hukum ketenagakerjaan karena peraturan yang ada kurang lengkap atau tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Panitia ini tidak jarang melakukan interpretation (penafsiran) hukum, atau bahkan melakukan rechtvinding (menemukan) hukum.

  Mengingat bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum maka dikeluarkanlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang menggantikan peraturan sebelumnya. Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 dimungkinkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur yuridis (litigasi) maupun jalur non yuridis (non litigasi) seperti perundingan bipartit, arbitrase, konsiliasi serta mediasi.

  e. Perjanjian Perjanjian merupakan peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, akibatnya pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan.

  Kaitannya dengan masalah perburuhan, perjanjian yang merupakan sumber hukum perburuhan ialah perjanjian perburuhan dan perjanjian kerja. Iman Soepomo menegaskan, karena kadang-kadang perjanjian perburuhan mempunyai kekuatan hukum seperti undang- undang (Soepomo, 1972: 24).

  f. Traktat Traktat merupakan perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih. Lazimnya perjanjian internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang mengikat secara umum. Sesuai dengan asas

  “pacta sunt servanda” maka masing-masing negara sebagai rechtpersoon (publik)

  terikat oleh perjanjian yang dibuatnya.

  Hingga saat ini Indonesia belum pernah mengadakan perjanjian dengan negara lain yang berkaitan dengan perburuhan (Soetikno, 1977: 24). (http:// masukinhilman. blogspot. com/ 2012/ 04/ sumber- hukum - ketenagakerjaan.html di unduh 1 Desember 2012).

2.3 Pihak-pihak dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan

  Para pihak yang terkait dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan bukan hanya orang-orang biasa, yaitu terutama buruh dan majikan, melainkan juga organisasi perburuhan, seperti organisasi buruh dan organisasi majikan serta badan-badan resmi (Iman Soepomo, 2003: 33).

  Badan-badan resmi yang dimaksud tidak lain adalah pemerintah.

  a. Buruh/pekerja Pengertian mengenai istilah buruh/pekerja terdapat dalam Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 1 angka 3. Berdasarkan Undang-undang tersebut, buruh/pekerja adalah setiap orang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan demikian tidak ada pembedaan penyebutan antara buruh atau pekerja, pegawai maupun karyawan atau karyawati. Dengan kata lain penyebutan istilah pekerja atau buruh, pegawai, maupun karyawan atau karyawati hanya seolah kesepakatan atau kemufakatan saja (ofspraak).

  Sehubungan dengan pengertian buruh, peraturan-peraturan mengenai perburuhan juga ada yang memberikan perumusan tentang buruh, di antaranya adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor

  21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat buruh. Perumusan tentang buruh yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 yaitu: “Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain

  ”.

  b. Majikan atau pengusaha Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara implisit tidak memberikan pengertian mengenai istilah majikan. Namun demikian dengan melihat pengertian pemberi kerja dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diketahui bahwa istilah majikan yang telah populer sebelum lahirnya Undang-undang ini, dapat disamakan dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

  Pengertian Pemberi kerja menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu: “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

  Seperti halnya pengertian istilah buruh, pengertian istilah majikan juga terdapat dalam Undang-undang perburuhan yang lahir terdahulu sebelum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang terdahulu yang dimaksud adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh.

  c. Organisasi buruh/pekerja Pengertian Organisasi buruh/pekerja terdapat dalam Undang- undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat

  Buruh, dalam Pasal 1 disebutkan: “Organisasi pekerja adalah organisasi yang dibentuk secara sukarela dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya”.

  Mengenai pengertian organisasi buruh/pekerja, G. Kartasapoetra juga memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan organisasi buruh di Indonesia adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk kaum buruh secara sukarela dalam bentuk:

  1. Serikat buruh Serikat buruh adalah suatu organisasi yang didirikan oleh dan untuk buruh secara sukarela, berbentuk kesatuan dan mencakup lapangan pekerjaan, serta disusun secara vertikal dari pusat sampai unit-unit kerja.

  2. Gabungan serikat buruh Gabungan serikat buruh adalah suatu organisasi buruh yang anggota-anggotanya terdiri dari serikat buruh seperti di atas (G Kartasapoetra, 1986: 211). Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Republik

  Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi sebagai berikut:

  1. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;

  2. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;

  3. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku;

  4. Sebagai sarana penyalur inspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;

  5. Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  6. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan; d. Organisasi pengusaha

  Menurut Iman Soepomo (2003: 49) mengenai organisasi pengusaha, dapat dikatakan bahwa dasar dan tujuannya adalah kerja- sama antara anggota-anggotanya dalam soal-soal teknis dan ekonomis belaka, tidak juga atau semata-mata merupakan badan yang mengurus soal-soal perburuhan, baik atas inisiatif sendiri, maupun atas desakan dari buruh atau organisasi buruh.

  Memang pernah, di masa organisasi pengusaha masih merupakan organisasi pengurus (beheerders organisatie) belum menjadi organisasi pemilik (eigenaren-vereniging) karena anggota pengurus ini adalah buruh, organisasi digunakan sebagai jalan untuk mengajukan keinginan-keinginan mereka kepada majikan mereka mengenai peraturan pensiun, pemberhentian, pengangguran, kecelakaan dan sebagainya (Iman Soepomo, 2003: 49).

  Sejak 31 Januari 1985 dalam Musyawarah Nasional di Surabaya, Organisasi pengusaha disahkan dengan nama Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) atau dalam bahasa inggris:

  The Employers’ Association of Indonesia (Iman Soepomo, 2003: 49).

  e. Pemerintah Peran serta pemerintah dalam hubungan ketenagakerjaan sangatlah diperlukan. Pemerintah sebagai pihak yang netral diharapkan dapat ikut serta mewujudkan tujuan hukum perburuhan/ketenagakerjaan itu sendiri, di antaranya adalah menciptakan hubungan ketenagakerjaan yang adil.

  Bukti nyata dari peran serta pemerintah di antaranya adalah dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Dikeluarkannya berbagai peraturan tersebut dimaksudkan untuk memberikan jaminan dan kepastian hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam hubungan ketenagakerjaan itu sendiri. Dengan kata lain peraturan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum, baik bagi buruh/pekerja maupun pengusaha.

  Sehubungan dengan itu Sjachran Basah menyimpulkan, dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum yang diberikan merupakan

  conditio sine quanon dalam menegakkan hukum (Sjachran Basah, 1992: 12).

3. Pekerja dan Pengusaha

3.1 Pengertian Pekerja

  Sebelum adanya istilah pekerja dahulu orang yang bekerja pada orang lain sering disebut dengan buruh, seiring perkeembangan zaman digunakanlah istilah “Pekerja” hal itu dilakukan dengan alasan :

  1. Istilah buruh yang sebenarnya merupakan istilah teknis biasa saja, yaitu tenaga kerja yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah, telah berkembang menjadi istilah yang melekat padanya hal-hal yang kurang menguntungkan seperti: a.

  Dengan adanya kata buruh berarti adanya kata “majikan” yakni tergambar antara buruh dan majikan terdapat hubungan yang tidak setingkat dan terdapat polarisasi yang merupakan 2 kelas yang berbeda kepentingan.

  b. Dengan mendengar kata buruh seolah terbayang dalam pikiran bahwa mereka adalah suatu kelompok tenaga kerja dari golongan bawah yang bekerja hanya mengandalkan otot. Sehingga orang-orang yang bekerja tidak hanya menggunakan otot saja enggan dinamakan buruh seperti yang bekerja administrasi. c. Dengan dipengaruhi oleh Marxisme, buruh dianggap adalah suatu kelas yang selalu dieksploitasi oleh majikan. Buruh juga dianggap suatu kelas yang selalu berusaha menghancurkan majikan dalam perjuangannya.

  2. Memasyarakatkan Hubungan Industrial Pancasila adalah bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan suasana kekeluargaan, kegotong royongan dan musyawarah dalam perusahaan.

  Penggunaan kata buruh yang telah mempunyai konotasi yang kurang baik tentu saja tidak dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya suasana kekeluargaan, kegotong royongan dan musyawarah dalam perusahaan.

  3. Untuk mendapat istilah baru yang sesuai dengan keinginan memang tidak mudah. Karena itu kita harus kembali pada UUD 1945 yang merupakan pedoman pokok. Di dalam UUD 1945 pada penjelasan Pasal 2 disebutkan sebagai berikut: “yang disebut golongan-golongan ialah Badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja dan lain- lain badan kolektif”. Jelas dalam UUD 1945 menggu nakan istilah “pekerja” untuk pengertian buruh. Oleh sebab itu kata “pekerja” disepakati sebagai pengganti istilah “buruh” karena mempunyai dasar hukum yang kuat (Iman Sjahputra Tunggal, 2013: 280).

  Pengertian mengenai istilah pekerja terdapat pula dalam Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 1 angka 3. Berdasarkan Undang-undang tersebut, pengertian dari pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

  Pengertian buruh/pekerja menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi spekulasi definisi lain dengan tenaga kerja, menurut Maimun dalam definisi pekerja dan tenaga kerja dalam Undang-undang diatas ada dua unsur yaitu unsur orang yang bekerja dan unsur menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal ini berbeda dengan definisi tenaga kerja yaitu setiap orang yang melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat (Maimun, 2004: 13).

3.2 Pengertian Pengusaha

  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara implisit tidak memberikan pengertian mengenai istilah majikan. Namun demikian dengan melihat pengertian pemberi kerja dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diketahui bahwa istilah majikan yang telah populer sebelum lahirnya Undang-undang ini, dapat disamakan dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

  Pengertian pemberi kerja menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu: “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

  Hidayat Muharam berpendapat bahwa pengusaha adalah :

  1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

  2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

  3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 yang berkedudukan diluar wilayah indonesia (Hidayat Muharam, 2006: 1).

4. Perjanjian Kerja dan Hubungan Kerja

4.1 Perjanjian Kerja

  Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul kewajiban suatu pihak untuk bekerja.(Iman Soepomo, 2001: 52). Dengan kata lain perjanjian kerja pada dasarnya memuat ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.

  Perjanjian kerja adalah perjanjian di mana pihak yang satu yaitu buruh mengikatkan dirinya untuk bekerja pada pihak lainnya yaitu majikan untuk selama waktu tertentu dengan menerima upah, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh/pekerja dengan memberi upah (Pasal 1601 a Buku III Bab 7A BW/KUH Perdata). Dari pengertian atau rumusan di atas dapat diuraikan bahwa perjanjian kerja adalah:

  1. Perjanjian antara seorang pekerja (buruh) dengan pengusaha untuk melakukan pekerjaan. Jadi si pekerja itu sendiri harus melakukan pekerjaan itu dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain.

  2. Dalam melakukan pekerjaan itu, pekerja harus tunduk dan berada di bawah perintah pengusaha/pemberi kerja. Jadi antara pengusaha dan pekerja ada suatu hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.

  3. Sebagai imbalan dari pekerjaan yang dilakukan, pekerja berhak atas upah yang wajib dibayar oleh pengusaha/pemberi kerja (Sendjung H Manulang, 2001: 63). Berdasarkan pengertian perjanjian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja meliputi esensi sebagai berikut :

  1. Adanya Upah;

  2. Adanya Pekerjaan;

  3. Adanya Perintah;

  4. Adanya Waktu Tertentu/Batas Waktu (Iman Sjahputra Tunggal, 2013: 27).

  Dalam perkembangan muncul berbagai kritikan terhadap keempat esensi tersebut. Hal ini dikemukakan oleh beberapa sarjana yaitu :

  1. Van de Grintern dan Vander Ven Menurut Van de Grintern dan Vander ven, esensi perjanjian kerja adalah : a. Pekerjaan;

  b. Upah; c. Waktu Tertentu/Batas Waktu.

  Mereka menghilangkan esensi adanya perintah, dengan alasan bahwa : a. Buku ke-III Bab 7A BW lahir dalam rangka mengatur hubungan kerja buruh-buruh kasar, sehingga pekerjaan- pekerjaan intelek tidak tercakup didalamnya.

  b. Perkembangan hubungan kerja pada saat ini telah menunjukkan bahwa hubungan kerja tidak hanya terjadi antara buruh-buruh kasar melainkan juga banyak pekerjaan yang harus menggunakan otak tidak menggunakan fisik semata.

  c. Munculnya sistem Management Co-determination, yaitu buruh dan pengusaha duduk bersama menentukan kebijakan perusahaan.

  2. Sutikno Sutikno menghilangkan unsur waktu tertentu/batas waktu perjanjian kerja, karena menurut dia unsur waktu tertentu juga merupakan unsur dari perjanjian pada umumnya, sehingga dengan demikian ia bukan ciri khusus dari suautu perjanjian kerja.

  3. Theodore Thomandel Menurut Theodore Thomandel menambah unsur-unsur lain selain keempat unsur yang tercantum dalam pasal 1601 huruf a BW, yaitu :

  a. Sukarela;

  b. Ketergantungan Ekonomis;

  c. Sesuatu yang memasyarakat;

  d. Kehendak dari para pihak;

  e. Ketergantungan pribadi;

  f. Upah;

  g. Pekerjaan;

  h. Waktu tertentu; i. Perintah (Iman Sjahputra Tunggal, 2013: 28).

  Perjanjian kerja, seperti halnya perjanjian pada umumnya sah jika memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1320. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka perjanjian kerja sah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu (antara buruh/tenaga kerja dan majikan). Jadi tidak boleh ada suatu paksaan dari salah satu pihak, jika ada paksaan maka perjanjian tersebut adalah batal.

  b. Adanya kemampuan/kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian.

  c. Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan (Sendjung H Manulang, 2001: 67). Perjanjian kerja memuat antara lain:

  1. Nama dan alamat pengusaha/perusahaan;

  2. Nama, alamat, umur dan jenis kelamin tenaga kerja;

  3. Jabatan atau macam pekerjaan;

  4. Syarat-syarat kerja, yang memuat tentang:

  a. adanya pengakuan terhadap organisasi pekerja/serikat pekerja,

  b. fasilitas yang diberikan,

  c. jaminan sosial (tunjangan kematian, tunjangan sakit, pensiun/hari tua), d. bagaimana sistem upahnya, e. perselisihan hubungan industrial, dan sebagainya.

  5. Hak dan kewajiban pekerja/tenaga kerja Hak-hak tenaga kerja antara lain:

  • berhak atas upah,
  • berhak atas pekerjaan, - berhak atas perlindungan.

  Kewajiban-kewajiban tenaga kerja antara lain:

  • melakukan pekerjaan dengan baik, - mengikuti perintah atasan (pengusaha).

  6. Hak-hak dan kewajiban pengusaha Hak-hak pengusaha antara lain:

  • berhak atas hasil pekerjaan, - berhak untuk mengatur/memerintah tenaga kerja.

  Kewajiban pengusaha antara lain:

  • membayar upah tenaga kerja, - menyediakan/memberi pekerjaan, memberi perlindungan.

  7. Tempat/lokasi pekerjaan;

  8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat serta tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja tersebut. (Sendjung H Manulang, 2001: 68). Mengenai bentuk perjanjian kerja, tidak ada suatu keharusan untuk dilakukan secara tertulis dalam arti ada surat perjanjian yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak (buruh/pekerja dan majikan/pemberi kerja). Perjanjian kerja dapat dilakukan secara lisan, dengan pengangkatan oleh pihak majikan. Berkaitan dengan bentuk perjanjian kerja, Lalu Husni menyatakan bahwa secara normatif bentuk tertulis lebih menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan di kemudian hari, akan sangat membantu dalam proses pembuktian. Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman, sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan.

  Meskipun pada dasarnya tidak ada aturan khusus mengenai bentuk perjanjian kerja, namun ada pengecualian untuk beberapa perjanjian kerja tertentu seperti perjanjian kerja laut, perjanjian kerja AKAD (Antar Kerja Antar Daerah), dan perjanjian kerja AKAN (Antar Kerja Antar Negara), harus dibuat secara tertulis (Sendjung H Manulang, 2001: 69).

  Perjanjian kerja menurut macamnya dapat dibedakan atas:

  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Selanjutnya disebut PKWT. Perjanjian kerja waktu tertentu ini dapat dibuat:

  a. Berdasarkan jangka waktu; b. Berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu.

  2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap. Selanjutnya disebut PKWTT. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu ini terjadi karena hal-hal berikut: a. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dibuat dalam bahasa

  Indonesia dan huruf latin; b. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

  1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

  2. Pekerjaan yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3 (tiga) tahun;

  3. Pekerjaan yang bersifat musiman;

  4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

  c. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

  d. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu diadakan untuk lebih dari 2 (dua) tahun dan diperpanjang lebih dari satu kali untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun.

  e. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut berakhir tidak memberikan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

  f. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu diadakan tidak melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Pembaruan perjanjian kerja untuk waktu tertentu ini diadakan lebih dari 1 (satu) kali dan lebih dari 2 (dua) tahun (F.X.Djumialdji, 2005: 11).

4.2 Hubungan kerja

  Pengertian hubungan kerja menurut Pasal 1 angka (15) UU RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hubungan Kerja adalah “hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

  Pengertian hubungan kerja menurut Sendjung H Manulang adalah suatu hubungan antara pengusaha dengan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu maupun waktu yang tidak tertentu. Sehubungan dengan pengertian hubungan kerja, Soepomo menjelaskan pula bahwa:

  Pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dan majikan, di mana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan di mana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah (Iman Soepomo, 2001: 52).

  Dari perumusan hubungan kerja tersebut, dapat dirumuskan beberapa unsur yang menentukan hubungan kerja, antara lain :

  1. Adanya pekerjaan yang harus dilakukan.

  2. Adanya perintah (bekerja atas perintah atasan/pengusaha/majikan).

  3. Adanya upah.

  Ketiga unsur di atas bersifat komulatif, sehingga jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka tidak ada hubungan kerja.

  Kalau dalam perjanjian kerja unsur yang sangat penting adalah adanya atas dan bawah atau yang memimpin dan yang dipimpin yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, maka dalam perjanjian melakukan pekerjaan tertentu pelaksanaannya sama sekali tidak ada unsur atas dan bawah atau yang memimpin dan yang dipimpin. Dalam perjanjian ini, meskipun pelaksanaan pekerjaan dilakukan atas permintaan pihak lainnya, tetapi pelaksana pekerjaan benar-benar merdeka. Ia benar-benar bekerja berdasarkan kualitas dirinya (Abdul Rachmad Budiono, 1999: 25).

5. Hubungan Industrial Pancasila

5.1 Pengertian hubungan industrial Pancasila

  Hubungan Industrial Pancasila (HIP) adalah hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha, dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia (http:// melindasito.blogspot.com/2010/04/hubungan-industrial- pancasila.html, di unduh 19 November 2012).

5.2 Tujuan hubungan industrial Pancasila

  Melindasito dalam kutipannya berkata, mengembangkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 agustus 1945 di dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan pancasila. Dengan demikian jelaslah tujuan hubungan industrial pancasila adalah:

  1. Mensukseskan pembangunan dalam rangka mengembangkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur;

  2. Ikut berperan dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan social;

  3. Menciptakan ketenangan,ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha;

  4. Meningkatkan produksi dan produktifitas kerja;

  5. Meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan martabatnya manusia blogspot. com/ 2010/ 04/ hubungan-industrial-pancasila.html).

5.3 Asas-asas hubungan industrial Pancasila

  Menurut Dwiangga dalam kutipannya, hubungan industrial pancasila dalam mencapai tujuannya mendasarkan diri pada asas-asas pembangunan yang meliputi :

  a. Asas manfaat;

  b. Asas usaha bersama dan kekeluargaan;

  c. Asas demokrasi; d. Asas adil dan merata;

  e. Asas keseimbangan (http: //dwiangghina 31207314. wordpress. com/ 2010/ 04/ 14/ bab- ii- hubungan-i ndustrial- pancasila, di unduh 19 November 2012 ).

  Dalam pelaksanaannya hubungan industrial Pancasila berlandaskan kepada dua asas kerja yang sangat penting yaitu : a. Asas kekeluargaan dan gotong royong; b. Asas musyawarah untuk mufakat (Sendjung H Manulang, 2001: 146).

  5.4 Landasan hubungan industrial Pancasila

  Yulandini dalam kutipannya menulis bahwa, landasan hubungan industrial Pancasila di antaranya adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pancasila dalam hal ini merupakan landasan idiil dari hubungan industrial pancasila, sedangkan Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan konstitusional dari hubungan industrial Pancasila. (http://yulandini. wordpress. Com / 2010 /04 /07 / hubungan

  • – industrial - pancasila. diunduh 19 November 2012).

  5.5 Ciri-ciri hubungan industrial Pancasila

  Dengan memperhatikan pengertian, tujuan, asas dan landasan dari hubungan industrial Pancasila, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan industrial Pancasila mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dengan hubungan industrial lainnya. Ciri-ciri khusus tersebut meliputi : a. Hubungan industrial mengaku dan meyakini bahwa bekerja bukan hanya bertujuan untuk sekedar mencari nafkah saja, melainkan juga sebagai bentuk pengabdian manusia terhadap Tuhannya, terhadap sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.

  b. Hubungan industrial Pancasila menganggap pekerja bukan hanya sekedar sebagai faktor produksi belaka akan tetapi juga sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.

  c. Hubungan industrial Pancasila melihat antara pekerja dan pengusaha bukanlah mempunyai kepentingan yang bertentangan, akan tetapi mempunyai kepentingan yang sama yaitu kemajuan perusahaan, karena dengan majunya perusahaan maka semua pihak akan dapat meningkatkan kesejahteraan.

  d. Di dalam hubungan industrial Pancasila, setiap ada perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan (bukan dengan adu kekuatan).

  e. Di dalam menikmati hasil perusahaan dibagi secara kekeluargaan, secara adil dan merata sesuai dengan pengorbanan masing-masing.

  Dengan demikian hubungan industrial Pancasila pada hakekatnya merupakan pengamalan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam usaha mencapai hubungan yang serasi, aman, mantap dan dinamis dalam sektor industri sehingga diharapkan dapat menjamin keberhasilan program pembangunan nasional (Sendjung H Manulang, 2001: 149).

6. Hotel dan Tipe-tipe Hotel

6.1 Pengertian Hotel

  Dalam suatu kutipan disebutkan pengertian hotel sebagai berikut: a. Menurut kamus Oxford, The advance learner’s Dictionary adalah: “Building where meals and rooms are provided for travelers.” Yang dapat diartikan sebagai bangunan (fisik) yang menyediakan layanan kamar, makanan dan minuman bagi tamu.

  b. Menurut SK Menparpostel No. KM 37/PW.340/MPPT-86 tentang peraturan usaha dan pengelolaan hotel menyebutkan bahwa hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa penginapan, makanan dan minuman serta jasa penunjang lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial.

  c. Menurut the American Hotel and Motel Association (AHMA) sebagaimana dikutif oleh Steadmon dan Kasavana: A hotel maybe

  defined as an establishment whose primary business is providing lodging facilities for the general public and which furnishes one or more of the following services: food and beverage service, room attendant service, uniformed service, Laundering of linens and use of furniture and fixtures.

  Yang dapat diartikan sebagai berikut: Hotel dapat didefinisikan sebagai sebuah bangunan yang dikelola secara komersial dengan memberikan fasilitas penginapan untuk umum dengan fasilitas pelayanan sebagai berikut: pelayanan makan dan minum, pelayanan kamar, pelayanaan barang bawaan, pencucian pakaian dan dapat menggunakan fasilitas/perabotan dan menikmati hiasan-hiasan yang ada didalamnya (http:// smipusi. blogspot. com/ 2011/ 01/ pengertian-perhotelan. html).

  Menurut Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor. PM.86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi pada Pasal 1 angka 3(tiga) menerangkan bahwa hotel adalah penyedia akomodasi secara harian berupa kamar-kamar didalam 1 (satu) bangunan, yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan serta fasilitas lainnya.

6.2 Tipe-tipe Hotel

  Menurut Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No KM.3/HK.001/MKP.02 tentang Penggolongan Kelas Hotel. Tipe-tipe hotel dapat dibedakan berdasarkan:

  1. Berdasarkan kelas

  a. Hotel melati

  b. Hotel bintang satu (*)

  c. Hotel bintang dua (**)

  d. Hotel bintang tiga (***)

  e. Hotel bintang empat (****)

  f. Hotel bintang lima (*****)

  2. Berdasarkan plan atau harga

  a. Full American Plan

  b. Modifield American plan

  c. Continental plan

  d. European Plan 3. berdasarkan ukuran

  a. Hotel kecil (small hotel)

  b. Hotel sedang (medium Hotel)

  c. Hotel besar (large hotel) 4. berdasarkan lokasi

  a. City Hotel

  b. Resort Hotel 5. berdasarkan area

  a. Downton hotel

  b. Suburb hotel

  c. Airport hotel

  d. Country hotel e. Inn.