BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan 1. Penelitian dengan judul Analisis Semantik dalam Syair Kesenian Cowong di - AJI DWI PRATIKNO BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan 1. Penelitian dengan judul Analisis Semantik dalam Syair Kesenian Cowong di Desa Pekuncen Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap. Kajian yang pertama yaitu berjudul Analisis Semantik dalam Syair Kesenian Cowong di Desa Pekuncen Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap. Penelitian ini

  dilakukan oleh Aris Sujarno mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 2010. Penelitian ini relevan karena memiliki persamaan sama-sama menganalisis kajian semantik lirik lagu berdasarkan kajian semantik. Peneliti menggunakan pendekatan Semantik mendeskripsikan makna, maksud dan informasi yang terdapat dalam gaya bahasa bahasa metafora dalam syair Kesenian Cowong di Desa Pakuncen, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap.

  Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada objek dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan lirik lagu suporter sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan syair kesenian cowong. Penelitian ini membahas aspek-aspek makna sedangkan penelitian sebelumnya adalah gaya bahasa. Selain itu, sumber data yang digunakan oleh peneliti juga berbeda dengan peneliti sebelumnya. Penelitian ini menggunakan lirik lagu suporter sepak bola sebagai sumber data penelitiannya sedangkan peneliti sebelumnya menggunakan syair kesenian cowong Pakuncen Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap.

2. Penelitian dengan judul Kajian Semantik Pada Syair Lagu Kesenian

  

Tradisional Klening “ Mekar Rahayu” di Desa Suka Rahayu. Kecamatan

Langen Sari, Banjar.

  Kajian yang kedua yaitu berjudul Kajian Semantik Pada Syair Lagu Kesenian Tradisional Klening “Mekar Rahayu” di Desa Suka Rahayu. Kecamatan Langen Sari.Banjar. Penelitian ini dilakukan oleh Sunyi Artiningsih mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 2013.Penelitian ini relevan karena memiliki persamaan menganalisis kajian semantik lirik lagu berdasarkan kajian semantik.

  Peneliti menggunakan pendekatan Semantik mendiskripsikan makna, maksud dan informasi pada Syair Lagu Kesenian Tradisional Klening “Mekar Rahayu” di Desa Suka Rahayu. Kecamatan Langen Sari.Banjar.

  Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis terletak pada objek dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan lirik lagu suporter sedangkan penulis sebelumnya menggunakan Syair Lagu Kesenian Tradisional Klening. Di dalam penelitian ini penulis juga membahas aspek-aspek makna sedangkan penulis sebelumnya adalah jenis-jenis makna dalam semantik. Selain itu, sumber data yang digunakan oleh penulis juga berbeda dengan penulis sebelumnya. Penulis menggunakan lirik lagu suporter sepak bola sebagai sumber data penelitiannya sedangkan penulis sebelumnya menggunakan Syair Lagu Kesenian Tradisional Klening.

B. Lirik Lagu

  Menurut Moeliono (2007:678) lirik mempunyai dua pengertian yaitu karya sastra puisi yang berisi curahan perasaan pribadi dan susunan sebuah nyanyian. Lirik (dalam lagu) adalah rangkaian pesan verbal yang tertulis dengan sistematika tertentu untuk menimbulkan kesan tertentu juga, isi pesan verbal tersebut mewakili gagasan penulis (lirik) yang merupakan respon dari lingkungan fisik manusia. Dalam menyampaikan pesan kepada pendengar, suporter menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Menurut Sausure (2010:4) bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengekspresikan ide-ide (gagasan-gagasan) dan karena itu sistem tulis, huruf-huruf untuk orang bisu-tuli, symbol-simbol keagamaan, aturan sopan-santun, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya. Semua itu merupakan hal yang sangat penting dari keseluruhan sistem.

  Lirik merupakan reaksi simbolik dari manusia yang merupakan respon dari segala sesuatu yang terjadi dan dirasakan oleh lingkungan fisiknya. Kondisi lingkungan itu juga ditangkap oleh pikiran yang menghasilkan gagasan atau ide dan dituangkan dengan bahasa atau kata-kata. Sejalan dengan pendapat Berger (2010:1) bahwa kata-kata dipakai sebagai tanda dari suatu konsep atau ide. Dalam hal ini, ada satu tujuan komunikasi yang harus diingat, yakni bahwa tanda “bermakna” sesuatu.

  Makna dalam lirik merupakan ungkapan perasaan yang dilakukan pengarang. Lirik inilah yang sekarang dikenal sebagai puisi dan sajak, yakni karya sastra yang berisi ekspresi (curahan) perasaan pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspersikannya. Sedangkan lagu, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui lagu, manusia mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi dan cita-cita, yang mempresentasikan pandangan hidup dan semangat. Lagu sebagai media yang universal dan efektif, dapat menuangkan gagasan, pesan, dan ekspresi pencipta kepada pendengarnya melalui lirik, komposisi musik, pemilihan instrumen musik, dan cara dia membawakannya. Gagasan dalam lagu dapat berupa ungkapan kegembiraan, protes terhadap suatu hal, kemarahan, kegundahan dan sebagainya, sependapat dengan Moeliono (2007:624) lagu adalah ragam suara berirama.

  Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu merupakan kata- kata yang merupakan reaksi simbolik dari manusia yang merupakan respon dari segala sesuatu yang terjadi dan dirasakan oleh lingkungan fisiknya (yang dipengaruhi oleh akal sehat dan rasionalitas). Simbol digunakan oleh manusia untuk memaknai dan memahami bahasa yang tidak dapat dilihat secara langsung, namun kenyataan tersebut dapat terlihat dan dirasakan oleh indera manusia, stimulus ini kemudian diolah oleh pikiran, kemudian tercipta konsep atau penafsiran tertentu dan kemudian simbol yang diciptakan tersebut akan membentuk makna tertentu sesuai dengan apa yang akan diungkapkan.

C. Pengertian Semantik

  Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Maksudnya di sini, tanda atau lambang sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik. Menurut de Saussure (dalam Chaer, 2013:29-30) setiap tanda lingustik terdiri atas dua unsur yaitu yang diartikan dan yang mengartikan. Unsur yang diartikan sebenarnya tidak lain adalah konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi, sedangkan yang mengartikan itu adalah tidak lain daripada bunyi-bunyi itu, yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan.

  Dalam berbagai kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi linguistik yang objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik.

  Kalau istilah ini tetap dipakai tentu harus diingat bahwa status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah tidak sama, sebab secara hierarkial satuan bahasa yang disebut wacana, dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan klausa dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon atau bunyi. Dari bangun-membangun itu, dapat diajukan pertanyaan, dimanakah letaknya semantik?. Semantik, dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di semua tataran yang bangun membangun ini; makna berada di dalam tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis (Chaer, 2013:6-7).

  Makna yang dalam sebuah kata untuk berkomunikasi akan menghasilkan makna. Ketika pendengar mendengarkan makna yang diujarkan akan menangkap maksud dari keadaan disekitarnya. Sehingga makna dalam kata harus mempunyai kesepakatan makna antara pemberi kata dan penerima kata. Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti (Djajasudarma, 2008:5).

  Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Pateda (2010:79) menyatakan bahwa istilah (meaning) makna merupakan kata dan istilah yang membingungkan.

  Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata ataupun kalimat. Ullman dalam

  Pateda (2010:82) menyatakan bahwa istilah: name, sense, dan think. Soal makna terdapat pada sense dan ada hubungan timbal balik antara nama dengan pengertian sense. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, pengertian makna dijabarkan menjadi: (i) arti: memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.

  Berdasarkan pengertian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa semantik adalah ilmu memahami unsur dalam-bahasa (intralingual). Unsur bahasa tersebut mengacu kepada sesuatu referen oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon dengan menelaah lambang-lambang atau anda-tanda yang menyatakan makna. Hubungan makna yang satu dengan yang lain, akan berpengaruh terhadap manusia dan masyarakat.

D. Aspek-Aspek Makna

  Dalam penelitian ini akan dianalisis empat aspek makna. Aspek-aspek tersebut adalah pengertian (sense), nilai rasa (feeling), nada (tone), dan maksud (tone). Untuk menganalisis data pada penelitian ini menggunkan teori-teori mengenai aspek-aspek makna. Teori-teori tersebut disampaikan oleh Pateda, Djajasudarma, Chaer, dan Verhaar.

1. Pengertian (Sense)

  Pengertian menurut Pateda (2010:91-92) disebut juga tema, yang melibatkan ide atau pesan yang dimaksud. Pesan tersebut tidak terlepas dari komunikasi unsur pendengar (ragam lisan) dan pembaca (ragam tulis). Tiap orang berbicara dan tiap hari kita mendengar orang berbicara bahkan berbicara dengan kawan bicara kita.

  Ketika orang berbicara, ia menggunakan kata-kata atau kalimat yang mendukung ide atau pesan yang ia maksud. Tema atau ide antara pendengar (ragam lisan) dan pembaca (ragam tulis) membicarakan sesuatu atau menjadi topik pembicaraan. Misalnya, tentang cuaca: (1) Hari ini hujan.

  (2) Hari ini mendung. Memiliki pengertian sama terhadap satuan-satuan hari, ini, hujan dan mendung. Kita mengerti tema di dalam informasi karena apa yang kita bicarakan memiliki tema dan pengertian. Sejalan dengan pendapat itu Djajasudarma (2013:3-4) mengungkapkan aspek makna pengertian ini dapat dicapai apabila antara pembicara atau penulis dan kawan bicara berbahasa sama. Informasi atau apa yang kita ceritakan tersebut memiliki persoalan inti yang biasa disebut tema.

  Informasi merupakan suatu gejala di luar ujaran yang dilihat dari segi objek atau yang dibicarakan (Chaer, 2013:35) sedangkan Verhaar (1995:131) menyatakan bahwa informasi menyangkut segi “objektif” dari suatu yang dibicarakan dengan ujaran. Informasi merupakan keterangan isi dari keseluruhan makna yang dibicarakan dengan ujaran. Setiap ujaran menghasilkan informasi apabila sudah diketahui makna yang terkandung di dalamnya. Agar lebih jelas penulis memberikan contoh sebagai berikut:

  Kata ayah sama maksudnya dengan kata bapak, sebab keduanya sama-sama mengacu pada orang tua laki-laki. Begitupun kalimat Dika menendang bola bersama maknanya dengan bola ditendang Dika, sebab keduanya memberi pengertian keterangan, atau informasi yang sama. Sesungguhnya pendapat mereka itu keliru kalau dilihat dari prinsip umum di atas. Tetapi, mengapa terjadi demikian?karena mengacaukan pengertian makna dengan informasi maka banyak juga orang yang menyatakan suatu kalimat tertentu sama maknanya dengan parafase dari kalimat itu. Ini pun keliru sebab parafase tidak lain dari pada rumusan informasi yang sama dalam bentuk ujaran yang lain.

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa makna pengertian (sense) sama halnya dengan tema yaitu makna yang melibatkan ide yang dimaksud antara pendengar (ragam lisan) dan pembaca (ragam tulis) dalam lingkar komunikasi. Artinya apa yang kita katakan dan apa yang kita dengar pasti mengandung pengertian(sense). Kita mengerti pengertian (sense) tersebut karena kita memahami kata-kata yang melambangkan tema yang dimaksud. Komunikasi antara pembaca/pembicara dan pendengar harus mempunyai bahasa yang sama supaya komunikasi berjalan dengan lancar dan pesan yang ingin disampaikan pembicara dapat tersampaikan dengan baik.

2. Nilai Rasa (Feeling) Nilai rasa berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicara.

  Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhubungan dengan perasaan (misalnya sedih, panas, dingin, gembira, jengkel, gatal). Pernyataan situasi yang berhubungan dengan aspek makna perasaan tersebut digunakan kata-kata yang sesuai dengan situasi. Kata-kata yang muncul dari perasaan merupakan ekspresi yang berhubungan dengan pengalaman (Djajasudarma, 2013:4).

  Dalam kehidupan sehari-hari selamanya kita berhubungan dengan rasa dan perasaan. Katakanlah kita dingin, jengkel, terharu, gembira, dan untuk menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan aspek perasaan tersebut, kita gunakan kata- kata yang sesuai. Kalau kita berkata, ”Saya akan pergi” sebenarnya ada dorongan perasaan untuk pergi. Demikian pula kita berkata “Saya minta roti,” karena ada dorongan perasaan, berhubungan dengan perasaan baik yang berhubungan denga n dorongan atau penilaian. Kita berkata “Saya akan pergi,” menunjukan pada dorongan, sedangkan kalimat yang berbunyi, ”Engkau malas”, menunjuk pada penilaian. Kata-kata: saya, pergi, malas, mempunyai nilai rasa, dan setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan perasaan (Pateda, 2010:93-94).

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa adalah nilai yang berhubungan dengan perasaan pembicara yang pada akhirnya mempengaruhi situasi dan sikap pembicara dalam menyampaikan pesan. Perasaan yang menyelimuti dirinya diungkapkan di dalam kata-kata yang menyatakan pula tentang lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Setiap situasi dan sikap pembicara dalam menyampaikan pesan kepada pendengar dipengaruhi oleh perasaan yang sedang dialaminya. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari selamanya kita berhubungan dengan perasaan. Katakanlah kita jengkel, terharu, gembira dan untuk menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan aspek nilai rasa (feeling) tersebut, kita gunakan kata-kata yang sesuai.

3. Nada (Tone)

  Aspek nada (tone) menurut Djajasudarma (2013:5) adalah “an attitude to his listener” (sikap pembicara terhadap kawan berbicara) atau dikatakan pula penyair atau penulis terhadap pembaca. Aspek makna nada melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan keadaan lawan bicara atau pembicara sendiri.

  Aspek makna nada berhubungan antara pembicara dengan pendengar yang akan menentukan sikap yang akan tercermin dari leksem-leksem yang digunakan. Hubungan pembicara-pendengar (kawan bicara) akan menentukan sikap yang akan tercermin di dalam kata-kata yang akan digunakan. Pada perasaan jengkel maka sikap kita akan berlawanan dengan perasaan gembira. Bila kita jengkel akan memilih aspek makna nada dengan meninggi.

  Sejalan dengan pendapat Pateda (2010:94) mengungkapkan aspek makna yang berhubungan dengan nada lebih banyak dinyatakan oleh hubungan antar pembicara dengan pendengar, antara penulis dengan pembaca. Maksudnya yakni: apakah pembicara telah mengenal pendengar, apakah pembicara telah mempunyai kesamaan latar belakang dengan pendengar, apakah pembicara sealiran politik dengan pendengar? Aspek nada berhubungan dengan aspek makna yang bernilai rasa.

  Aspek nada dalam lirik nyanyian tidak akan lepas dari bunyi suprasegmental. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Muslich dan Chaer. Bunyi suprasegmental menurut Muslich (2010, 61-66) adalah bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang dapat disegmen-segmenkan bunyi vokoid dan kontoid. Menurut Chaer (2007:120) bunyi yang suprasegmental berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek dan jeda. Oleh para fonetisi, bunyi suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis : a.

   Tinggi-Rendah

  Ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan selalu melibatkan nada, baik nada tinggi, sedang, atau rendah. Hal ini disebabkan karena faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Nada ini menjadi perhatian fonetis karena secara linguistis berpengaruh pada tataran dalam satuan sistem linguistis tertentu.

  Variasi-variasi pada nada pun dapat dipakai untuk menyatakan perbedaan makna pada tataran kata (tona) dan perbedaan maksud pada tataran kalimat (intonasi). Pada tataran kata ditandai dengan angka arab [1] untuk nada rendah setingkat do, [2] untuk nada biasa setingkat nada re, [3] untuk nada tinggi setingkat

  mi, dan [4] untuk nada setingkat paling tinggi setingkat nada fa. Pada tataran kalimat

  ditandai dengan [ ] untuk intonasi turun yang biasa terdapat dalam kalimat berita (deklaratif), [II] untuk intonasi datar naik, yang biasa terdapat dalam kalimat tanya, dan [==] untuk intonasi datar tinggi, yang biasa terdapat dalam kalimat perintah.

  Misalnya nada tinggi tajam menunjukan kemarahan, nada menandakan kesusahan, dan nada tinggi menunjukan kegembiraan.

b. Keras-Lemah

  Variasai tekanan ini dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu (1) tekanan keras yang ditandai [„], (2) tekanan sedang ditandai [-], (3) tekanan lemah yang ditandai dengan [`], dan (4) tidak ada tekanan yang ditandai dengan tidak adanya tanda diakritik. Dalam bahasa-bahasa tertentu, variasi tekanan ini ternyata bisa membedakan makna pada tataran kata, dan membedakan maksud pada tataran kalimat. Pada tataran kata, tekanan selalu bersifat silabis, yaitu tekanan yang diarahkan pada sialaba tertentu. Pada tataran kalimat, tekanan bersifat leksis, yaitu tekanan yang diarahkan pada kata tertentu yang ingin ditonjolkan.

  c. Panjang-Pendek

  Bunyi-bunyi segmental juga dapat dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu diucapkan. Bunyi panjang untuk vokaid diberi tanda satuan mora, tanda titik satu [.] dinamakan satu mora , tanda titik dua [:] dinamakan dua mora, dan tanda titik tiga [:.] menandakan tiga mora. Sementara itu bunyi-bunyi untuk kontoid diberi tanda rangkap, dengan istilah geminat. Geminat adalah rentetan artikulasi yang sama benar (identik) sehingga menimbulkan kontoid. Dalam bahasa tertentu variasi panjang pendek bunyi ini ternyata bisa membedakan makna (sebagai fonem), bahkan bermakna (sebagai morfem). Dalam bahasa Indonesia, aspek durasi ini tidak membedakan makna atau tidak fonemis, juga tidak mempunyai makna atau tidak morfemis.

  d. Kesenyapan

  Pemutusan suatu arus bunyi-bunyi segmental ketika diujarkan oleh penutur atau biasa disebut kesenyapan. Kesenyapan awal dan akhir ditandai dengan palang rangkap memanjang [ ], kesenyapan diantara kata menggunakan palang rangkap

  #

  pendek [#], sedangkan kesenyapan diantara suku kata ditandai dengan palang tunggal [+]. Perhatikan contoh berikut: : [ i+ni#bu+ku ]

  Ini buku # #

  Kesenyapan awal terjadi ketika bunyi itu akan diujarkan, ketika akan mengujarkan kalimat ini buku. Kesenyapan tengah terjadi antara ucapan dalam kalimat, misalnya antara suku kata i dan ni pada kata ini, walaupun kesenyapan itu sangat singkat. Kesenyapan akhir terjadi pada akhir ujaran, misalnya ujaran akhir kalimat ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sesudahnya.

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa aspek nada (Tone) adalah gabungan antara nada, tekanan, durasi dan kesenyapan. Kerja sama keempat jenis suprasegmental sejak awal hingga akhir yang disebut intonasi. Artinya, dalam membentuk suatu makna pada kata dan kalimat bahasa Indonesia merupakan kerja sama intonasi dengan kata atau kalimat. Hal tersebut akan menentukan sikap pembicara terhadap kawan bicara yang melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata dengan nada tinggi rendah, keras lemah, panjang pendek, dan kesenyapan yang sesuai dengan keadaan lawan bicara atau pembicara sendiri.

4. Maksud (Intension)

  Verhaar (1992:192) menyatakan bahwa maksud adalah sesuatu diluar ujaran- ujaran yang terkait dengan pengujar. Maksud menyangkut segi “subjektif” si pemakai bahasa. Maksud itu sesuatu ujaran-ujaran dari si penutur. Itu karena maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang diantaranya meliputi metafora, hiperbola, ironi, litotes dan bentuk gaya-gaya bahasa yang lainnya. Selama masih menyangkut segi bahasa, maka maksud itu masih dipahami maknanya

  Tujuan maksud yakni efek yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis. Dalam hal ini, memahami suatu hal dalam seluruh konteks merupakan suatu usaha untuk memahami makna dalam komunikasi. Setiap ujaran yang disampaikan pembicara itu sebenarnya bertujuan untuk menyampaikan maksud kepada pendengar. Ujaran pembicara tidak langsung mengarah kepada maksud yang ingin disampaikan. Oleh karena itu, maksud dari setiap pembicara harus dipahami betul oleh pendengar supaya tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan maksud tersebut (Keraf, 2004:25).

  Sejalan dengan pendapat Chaer (2013:35) menyatakan bahwa maksud merupakan suatu gejala di luar ujaran yang dilihat dari segi si pengujar, orang berbicara, atau pihak subjeknya. Agar lebih jelas penulis memberikan contoh tentang maksud. Di samping stadion banyak sekali pedagang asongan yang menawarkan dagangannya kepada suporter. Suporter yang sedang mengantri membeli tiket mendengar pedagang asongan dengan kalimat tanya ”Minum, minum?”. Padahal pedagang asongan tidak bermaksud bertanya atau sedang minum, melainkan bermaksud menawarkan.

  Aspek makna tujuan ini adalah ” his aim, conscious or unconscious the effect

  he is endeavouring to promote

  ” (tujuan atau maksud, baik disadari maupun tidak, akibat usaha dari peningkatan). Apa yang kita ungkapkan di dalam makna aspek tujuan tertentu. Klasifikasi makna tujuan tersebut melibatkan enam sifat yaitu, deklaratif, persuasif, imperatif, naratif, politis dan paedagogis (Djajasudarma 2013:6). Seperti terlihat pada diagram yang dikemukakan oleh Leech (1975):

  Pembicara Pendengar/pem Pesan

  /penulis baca Pokok Persoalan

  Ekspersif \ Fatik imformasional Astetik Direktif Fungsi sangat langsung melibatkan peran sosial dari bahasa adalah fungsi ekspresif, direktif, dan fatik. Fungsi ekspresif disebut juga fungsi emotif, afektif, dan ideasional. Disebut demikian karena fungsi ekspresif berkaitan dengan fungsi bahasa dilihat dari penyampai pesan atau penutur. Bagi penutur atau penyampaian pesan, bahasa digunakan untuk menyampaikan dan mengekspresikan perasaan (aspek emotif), sikap (afektif), dan gagasan, informasi, atau pesan (ideasional).

  

Fungsi fatik disebut juga fungsi interpersonal dan interaksional. Fungsi fatik

  merupakan fungsi bahasa untuk menajalin hubungan, memelihara hubungan, memperlihatkan perasaan bersahabat, dan solidaritas sosial. Dalam komunikasi, ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah tetap. Fungsi informasional Fungsi ini berfokus pada makna dan dapat dipergunakan untuk menginformasikan sesuatu. Misalnya, melaporkan, mendeskripsikan, menjelaskan, dan menginformasikan sesuatu. Fungsi direktif, fungsi untuk mengatur tingkah laku pendengar. Fungsi ini disebut juga fungsi instrumental dan fungsi retorikal. Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya dipahami oleh pendengar saja, tetapi dapat mempengaruhi pendengar untuk melakukan suatu tindakan seperti yang diinginkan oleh penuturnya.

  Kita dapat melihat diantara aspek tujuan tersebut di dalam penyuluhan pemerintah tentang kesehatan, dapat ditinjau dari makna deklaratif, ”Pemeliharaan kesehatan dapat menunjang program pemerintah di dalam memelihara lingkungan dan meningkatkan taraf kehid upan bangsa”; makna aspek persuasif, “Dengan pola makan empat sehat lima sempurna di tiap kampung akan menjamin kesehatan masyarakat”; makna imperatif, ”Halaman-halaman rumah di tiap-tiap tempat ditanami dengan apotek hidup”; makna aspek naratif, ”Manusia hidup panjang dengan memelihara kesehatan dan memerhatikan sikap pemerintah dalam meningkatkan tarap hidup sehat”; aspek makna politis, ”Rakyat sehat Negara kuat”.

  Pendapat tersebut selaras dengan pendapat Pateda (2010:95) yang mengutip pendapat Shipley bahwa maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan. Maksud yang diinginkan dapat bersifat deklaratif, imperatif, naratif, paedagogis, pendidikan, persuasif, rekreatif atau politis, semua mengandung maksud tertentu. Ketika si pengujar menyampaikan makna ujarannya dengan ringkas dan jelas, maka akan bersifat deklaratif, membujuk secara halus maka akan bersifat persuasif, memerintah atau memberikan komando maka akan bersifat imperatif, menceritakan suatu rangkaian kejadian maka akan bersifat naratif, dan ketika sifat makna tersebut bermaksud cara bertindak maka akan bersifat politis.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa maksud adalah ujaran dari pembicara atau penulis yang tidak mudah dipahami oleh pendengar atau pembaca sehingga harus ada usaha untuk memahami setiap ujaran atau maksud yang disampaikan. Maksud tersebut mempunyai enam sifat yaitu deklaratif, persuasif, imperatif, naratif, dan politis. Adapun Ciri-ciri dari maksud antara lain: a. Maksud merupakan sesuatu yang berada di luar ujaran.

  b. Maksud dilihat dari segi subjektif.

  c. Maksud digunakan dalam bentuk ujaran yang diantaranya metafora, ironi dan litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa yang lain.

  d. Maksud menyangkut persoalan semantik, apabila lambang-lambang yang digunakan masih berbentuk lingual.

E. Persibangga Nama lengkap : Persatuan Sepak Bola Indonesia Purbalingga

  Julukan : Laskar Jendral Soedirman Stadion : Goentoer Darjono, Purbalingga, Indonesia (kapasitas 15.000) Liga : Indonesia Soccer Championship B Kelompok Suporter : Braling Mania Prestasi :1. Juara devisi II Liga Indonesia musim 2010-2011

2. Runner up devisi I Liga Indonesia 2011-2012

  Persibangga merupakan singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Purbalingga adalah sebuah tim sepak bola Indonesia yang berbasis di kabupaten Purbalingga. Persibangga saat ini berlaga di devisi utama liga Indonesia. Markas tim ini di stadion Gelora Goentoer Darjono yang berkapasitas 15.000. Tim Persibangga berdiri pada tahun 1950, sebelumnya telah ada organisasi PORIP (Persatuan Olahraga Indonesia Purbalingga). Pada tahun 1954 PORIP kemudian berganti nama menjadi PERSAP (Persatuan Sepak Bola Antar Purbalingga). Kemudian pada tanggal 18 Januari 2011 berinkarnasi menjadi Persibangga (Persatuan Sepak bola Indonesia Purbalingga) berdasarkan Kongres di Bali tepatnya tanggal 21-23 Januari 2011.