BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Perawat - PERBEDAAN TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PERAWAT BANGSAL KELAS NON UTAMA DAN UTAMA DI R UMAH SAKIT WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Perawat

  a. Pengertian Menurut PERMENKES RI No. 161 tahun 2010 tentang

  Registrasi Tenaga Kesehatan, dijelaskan tentang tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (PERMENKES RI No. 161 tahun 2010). Iradianti (2004) menambahkan bahwa perawat atau nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Lebih lanjut Iradianti (2004) menyatakan bahwa perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injuri dan proses penuaan. Menurut Depkes RI tahun 2002 (dikutip oleh Iradianti 2004) perawat profesional adalah perawat yang bertanggungjawab dan berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenangannya. b. Peran dan Fungsi Perawat Potter dan Perry (2005, hh.286-287) menyatakan saat ini perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, juga memandang klien secara komprehensif. Perawat kontemporer menjalankan fungsi dalam kaitannya dengan berbagai peran pemberi perawatan, pembuat keputusan klinik dan etika, pelindung dan advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator, penyuluh dan pendidik.

  Doheny (dalam Asmadi 2008, h.102) mangidentifikasi beberapa elemen peran perawat profesional, meliputi: 1) Care giver yaitu pemberi asuhan keperawatan perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien, dengan menggunakan proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, dan evaluasi.

  2) Client advocate (pelindung klien) 3) Counsellor (pembimbing) 4) Educator (pendidik klien) 5) Collaborator (bekerja sama dengan tim) 6) Coordinator yaitu perawat memanfaatkan semua sumber dan potensi yang ada baik materi maupun kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih.

  7) Change Agent (sebagai pembaharu) 8) Consultant yaitu sebagai sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik klien.

  Iradianti (2004) menjelaskan fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu sehat maupun sakit dimana segala aktifitas yang dilakukan perawat berguna untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Aktifitas ini dilakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah (Diagnosa Keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi. Henderson tahun 1980 (dikutip oleh Zaidin 2001, h.12) menyatakan keperawatan dalam menjalankan pelayanannya sebagai nursing service menyangkut bidang yang amat luas sekali, secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang baik sakit maupun sehat, dari sejak lahir sampai meninggal dunia dalam bentuk peningkatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga orang tersebut dapat secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri tanpa memerlukan bantuan ataupun tergantung pada orang lain.

  Berkanis (2008) mengatakan bahwa tugas dan fungsi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan menuntut konsekuensi yang cukup berat, baik fisik maupun mental. Hal ini dikarenakan pelayanan keperawatan merupakan pelayanan kepada manusia sebagai pribadi yang utuh secara bio-psyko-sosial-spiritual. Selain bahwa perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling sering berhubungan dengan pasien, pekerjaan perawat juga merupakan jenis pekerjaan yang berisiko kontak dengan darah, cairan tubuh pasien, tertusuk jarum suntik dan bahaya-bahaya lainnya yang dapat menjadi media penularan penyakit. Untuk itu, dituntut sebuah kepatuhan terhadap standar operasional pelayanan, demi safety, baik untuk diri sendiri, pasien dan keluarga pasien, teman sejawat, anggota keluarga juga lingkungan pekerjaan.

  c. Kode Etik Keperawatan Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan. Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan (Asmadi 2008, h.102). 1) Kode etik keperawatan Indonesia

  Menurut Asmadi (2008, h.102) kode etik keperawatan Indonesia meliputi:

  a) Perawat dan Klien (1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial. (2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien.

  (3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan.

  (4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

  b) Praktek Keperawatan (1) Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi dibidang keperawatan melalui belajar terus menerus.

  (2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.

  (3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain.

  (4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional.

  c) Perawat dan Masyarakat Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.

  d) Perawat dan Teman Sejawat (1) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan. (2) Perawat bertindak malindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan ilegal.

  e) Perawat dan Profesi (1) Perawat mempunyai peran utama dlam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan.

  (2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan.

  (3) Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.

  2) Kode etik keperawatan menurut International Council of Nurses

  (ICN)

  Kode etik keperawatan menurut ICN (Asmadi 2008, h.105) adalah sebagai berikut: a) Tanggung jawab utama perawat

  Tanggung jawab utama perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah timbulnya penyakit, memelihara kesehatan dan mengurangi penderitaan. Untuk melaksanakan tanggung jawab utama tersebut, perawat harus meyakini bahwa: (1) Kebutuhan terhadap pelayanan keperawatan di berbagai tempat adalah sama.

  (2) Pelaksanaan praktik keperawatan dititik beratkan pada penghargaan terhadap kehidupan yang bermartabat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

  (3) Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dan/atau keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, perawat mengikutsertakan kelompok dan masyarakat.

  b) Perawat, individu, dan anggota kelompok masyarakat Tanggung jawab utama perawat adalah melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

  Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas, perawat perlu meningkatkan keadaan lingkungan kesehatan dengan menghargai nilai-nilai yang ada dimasyarakat, menghargai adat kebiasaan serta kepercayaan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang menjadi pasien atau kliennya. Perawat dapat memegang teguh rahasia pribadi (privasi) dan hanya dapat memberikan keterangan bila diperlukan oleh pihak yang berkepentingan atau pengadilan.

  c) Perawat dan pelaksanaan praktik keperawatan Perawat memegang peranan penting dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik keperawatan untuk mencapai kemampuan yang sesuai dengan standar pendidikan keperawatan. Perawat dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya secara aktif untuk menopang peranannya dalam situasi tertentu. Perawat sebagai anggota profesi, setiap saat dapat mempertahankan sikap sesuai dengan standar profesi keperawatan.

  d) Perawat dan lingkungan masyarakat Perawat dapat memprakarsai pembaharuan, tanggap, mempunyai inisiatif, dan dapat berperan serta secara aktif dalam menentukan masalah kesehatan dan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

  e) Perawat dan sejawat Perawat dapat menopang hubungan kerja sama dengan teman kerja, baik tenaga keperawatan maupun tenaga profesi lain di keperawatan. Perawat dapat melindungi dan menjamin seseorang, bila dalam masa perawatannya merasa terancam.

  f) Perawat dan profesi keperawatan Perawat memainkan peran yang besar dalam menentukan pelaksanaan standar praktik keperawatan dan pendidikan keperawatan. Perawat diharapkan ikut aktif dalam mengembangkan pengetahuan dalam menopang pelaksanaan perawatan secara profesional. Perawat sebagai anggota profesi berpartisipasi dalam memelihara kestabilan sosial dan ekonomi sesuai dengan kondisi pelaksanaan praktik keperawatan.

  d. Tindakan Keperawatan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional sebagai

  bagian integral pelayanan kesehatan berbentuk pelayanan biologi, psikologi, sosial dan spiritual secara komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia (Gaffar 1999, h.44). keperawatan berlandaskan atas teori hubungan interpersonal yang menitik beratkan pada sifat unik individu atau klien dalam ekspresi herbal yang mengisyaratkan adanya kebutuhan dan cara-cara memenuhi kebutuhan. Teori Jean Orlando 1961 (dikutip oleh Awie 2008) mengandung konsep kerangka kerja untuk perawat professional yang mengandung 3 elemen yaitu: perilaku klien, reaksi dan tindakan keperawatan, mengubah situasi perawat setelah perawat memperkirakan kebutuhan klien, perawat mengetahui penyebab yang mempengaruhi derajat kesehatan, lalu bertindak secara spontan atau berkolaborasi untuk memberikan pelayanan kesehatan.

  Tindakan keperawatan diarahkan pada pemeliharaan hubungan timbal balik dalam kesehatan, sakit dan perilaku. Perawat berkonsentrasi pada peningkatan kesehatan mempertahankan suatu kesehatan dalam pencegahan (Awie 2008). Tindakan keperawatan diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurang kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Kegiatan ini dilakukan dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemilihan serta pemeliharaan kesehatan dengan penekanan pada upaya pelayanan kesehatan utama (primary health

  care) untuk meningkatkan setiap orang mencapai kemampuan hidup

  sehat dan produktif. Kegiatan ini dilakukan sesuai dengan wewenang, tanggung jawab serta etik profesi keperawatan (Gaffar 1999, h.44).

  Jenis tindakan keperawatan yang dapat diberikan, seperti perawatan khusus (dekubitus, luka diabetes, inkontinensia, demensia), perawatan umum (membantu & mendorong penderita agar mampu mandiri dalam ADS), pengobatan (pemberian antibiotik atau obat-obat lain melalui suntikan atau infus, pemberian makanan lewat NGT, pasang kateter urin, tranfusi darah, pengobatan nyeri karena berbagai sebab, pengobatan simptomatis atau suportif terhadap penderita terminal), rehabilitasi (fisik pada stroke, berbaring lama, rehab mental & sosial), pencegahan terhadap kecacatan & hambatan lain akibat sakitnya serta promosi penyuluhan, pendidikan terhadap keluarga penderita, tenaga semi atau nonskilled seperti pramurukti, kader lansia, dan lain-lain (Probosuseno 2007).

  a. Pengertian Alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja, dimana secara tehnis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan kerja yang terjadi. Peralatan pelindung tidak menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada (Mulyanti 2008).

  APD digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas kesehatan dari resiko pejanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Jenis tindakan berisiko mencakup tindakan rutin, tindakan bedah tulang, otopsi, ataupun perawatan gigi dimana menggunakan bor dengan kecepatan putar yang tinggi (Depkes RI 2010, h.17).

  b. Jenis-jenis APD Menurut Depkes RI (2010, hh.17-26) dan Potter & Perry (2011, hh.32-33) jenis-jenis APD meliputi:

  1) Sarung tangan Rasional penggunaan sarung tangan ada tiga. Pertama, sarung tangan melindungi tangan jika terdapat kemungkinan perawat kontak dengan cairan tubuh, misalnya darah, urine, feses, sputum, membran mukosa dan kulit yang tidak utuh. Kedua, sarung tangan mengurangi kemungkinan perawat menyebarkan mikroorganisme endogen mereka kepada individu yang menerima asuhan. Perawat yang memiliki luka terbuka atau goresan pada tangan harus menggunakan perlindungan diri sebagai perlindungan diri. Ketiga, sarung tangan mengurangi kemungkinan tangan perawat menyebarkan mikroorganisme dari satu klien atau dari benda tercemar kepada klien lain. Sarung tangan harus selalu dipakai oleh setiap petugas sebelum kontak dengan darah atau semua jenis cairan tubuh sekret, ekskreta dan benda yang terkontaminasi.

  Ada tiga jenis sarung tangan yaitu:

  a) Sarung tangan bersih Adalah sarung tangan yang didisinfeksi tingkat tinggi, dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir misalnya tindakan medik pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka. Sarung tangan bersih dapat digunakan untuk tindakan bedah bila tidak ada sarung tangan steril.

  b) Sarung tangan steril Adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak tersedia sarung tangan steril baru digunakan sarung tangan yang didisfeksi tingkat tinggi.

  c) Sarung tangan rumah tangga Sarung tangan tersebut terbuat dari latex atau vinil yang tebal, seperti sarung tangan yang biasa digunakan untuk keperluan rumah tangga. Sarung tangan rumah tangga dipakai pada waktu membersihkan alat kesehatan dan permukaan meja kerja dan lain-lain. Sarung tangan ini dapat digunakan lagi setelah dicuci atau dibilas bersih.

  Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan sarung tangan diantaranya adalah cuci tangan harus selalu dilakukan sebelum memakai dan sesudah melepas sarung tangan, gunakan pasangan sarung tangan yang berbeda untuk setiap pasien, segera lepas sarung tangan apabila telah selesai dengan satu pasien dan ganti sarung tangan yang lain apabila akan menangani pasien yang lain. Hindari kontak pada benda-benda lain selain yang berhubungan dengan tindakan yang sedang dilakukan, misalnya membuka pintu selagi masih memakai sarung tangan dan sebagainya. Tidak dianjurkan menggunakan sarung tangan rangkap bila tidak benar-benar diperlukan karena tidak meningkatkan perlindungan, bahkan akan meningkatkan risiko keceelakaan karena akan mengurangi kepekaan (raba). Sarung tangan tidak perlu digunakan untuk tindakan tanpa kemungkinan terpajan darah atau cairan tubuh lain seperti memberi makan pasien, membantu minum obat pasien, membantu jalan dan lain-lain.

  Menurut Depkes RI (2010, hh.19-20), kadang-kadang perlu dipakai sarung tangan ganda pada keadaan khusus, seperti pada: a) Tindakan yang memakan waktu lama (lebih dari 60 menit) dan atau melakukan tindakan operasi di area yang sempit dengan kemungkinan besar robekan sarung tangan oleh alat tajam seperti jarum, gunting atau penjepit.

  b) Tindakan yang berhubungan dengan jumlah darah atau cairan tubuh yang banyak seperti operasi cesar, persalinan dan lain- lain.

  c) Bila memakai sarung tangan pakai ulang yang seharusnya sekali dipakai.

  Sarung tangan tidak perlu dikenakan untuk tindakan tanpa kemungkinan terpajan darah atau cairan tubuh lain. Prosedur pemakaian sarung tangan dapat dilihat pada bagan 2.1.

  Bagan 2.1 Bagan alur Pemilihan Jenis Sarung Tangan

  2) Pelindung wajah (masker dan kaca mata) Menurut Depkes (2010, h.24) pelindung wajah terdiri dari 2 macam pelindung yaitu masker dan kaca mata, dengan berbagai bentuk yaitu ada yang terpisah dan ada yang menjadi satu. Pemakaian pelindung wajah tersebut dimaksudkan untuk

  Apakah kontak dengan darah atau cairan tubuh ? Tidak TANPA SARUNG TANGAN Tidak Tidak S.T.RUMAH TANGGA atau SARUNG TANGAN BERSIH SARUNG TANGAN BERSIH atau SARUNG TANGAN DTT SARUNG TANGAN STERIL atau SARUNG TANGAN DTT Ya Apakah kontak dengan pasien ? Apakah kontak dengan jaringan di bawah kulit ? Ya Ya melindungi selaput lendir hidung, mulut dan mata selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain, termasuk tindakan bedah ortopedi atau perawatan gigi.

  Masker tanpa kaca mata hanya digunakan pada saat tertentu misalnya merawat pasien tuberkulosis terbuka tanpa luka dibagian kulit atau perdarahan. Masker digunakan bila berada 1 meter dari pasien. Masker, kacamata dan pelindung wajah secara bersamaan digunakan petugas yang melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan berisiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya antara lain pembersihan luka, membalut luka, mengganti kateter atau dekontaminasi alat bekas pakai.

  3) Penutup kepala Tujuan pemakaian tutup kepala adalah mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat atau daerah steril dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala atau rambut petugas dari percikan bahan-bahan dari pasien (Depkes 2010, h.24). 4) Gaun

  Gaun pelindung atau jubah atau celemek, merupakan salah satu jenis pakaian kerja. Pakaian kerja dapat berupa seragam kerja, gaun bedah, jas laboratorium dan celemek (Depkes 2010, h.24). a) Tujuan pemakaian gaun pelindung Tujuan pemakaian gaun pelindung adalah untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh lain yang dapat mencemari baju atau seragam (Depkes 2010, h.25).

  b) Jenis gaun pelindung Jenis gaun pelindung berbagai macam bila dipandang dari berbagai aspeknya seperti gaun pelindung kedap air dan tidak kedap air, gaun pelindung steril dan non steril. Gaun pelindung steril dipakai oleh ahli bedah dan asistennya pada saat melakukan pembedahan. Gaun pelindung non steril digunakan di berbagai unit yang berisiko tinggi misalnya pengunjung kamar bersalin, ruang pulih di kamar bedah, ruang rawat intensif (ICU), rawat darurat dan kamar bayi (Depkes 2010, h.25).

  c) Penggunaan gaun pelindung Gaun pelindung harus dipakai apabila ada indikasi misalnya saat membersihkan luka, melakukan tindakan drainase, membuang cairan terkontaminasi, mengganti pembalut, menangani pasien dengan pendarahan masif, melakukan tindakan bedah termasuk otopsi, perawatan gigi, dan sebagainya (Depkes 2010,h.25).

  5) Sepatu pelindung (pelindung kaki) Menurut Depkes (2010, h.25) sepatu pelindung adalah sepatu khusus yang digunakan oleh petugas yang bekerja di ruang tertentu misalnya ruang bedah, laboratorium, ICU, ruang isolasi, ruang pemulasaran, dan petugas sanitasi. Sepatu hanya dipakai di ruang tersebut dan tidak boleh dipakai ke ruang lainnya.

  2. Insersi IUD

  1. Sarung tangan

  7. Ceceran darah

  

6. Perawatan luka

berat

  5. Penanganan spesimen laboratorium

  

4. Pemasangan kateter

intravena

  3. Melepas IUD

  

1. Pemeriksaan pelvis

  Tujuan pemakaian adalah melindungi kaki petugas dari tumpahan atau percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan. Sepatu harus menutupi seluruh ujung dan telapak kaki. Sepatu khusus terbuat dari bahan yang mudah di cuci dan tahan tusukan seperti karet atau plastik (Depkes 2010, h.25).

  Risiko sedang: Kemungkinan terpajan darah namun tidak ada cipratan

  

2. Perawatan luka

ringan Sarung tangan tidak esensial

  1. Injeksi

  2. Tidak terpajan darah langsung

  1. Kontak dengan kulit

  Jenis pajanan Contoh Pemilihan Alat Pelindung Risiko rendah:

  Tabel 2.1 Pemilihan alat pelindung sesuai jenis pajanan

  2. Mungkin perlu gaun pelindung atau celemek Risiko tinggi:

  1. Tindakan bedah

  1. Sarung tangan

  1. Kemugkinan mayor

  2. Celemek terpajan darah dan

  2. Tindakan bedah

  3. Kacamata cipratan mulut pelindung

  2. Perdarahan masif

  3. Persalinan

  4. Masker

pervagina

  Sumber : Depkes (2010, h.26) 3.

Kepatuhan

  a. Pengertian Kepatuhan adalah istiah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah ditentukan (Batable 2002, h.139). Sedangkan menurut Adiwimarta dkk (1999 dalam Dewi 2010) kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau loyalitas.

  Kemudian Anugrahini (2010) menambahkan bahwa kepatuhan adalah ketaatan menerima instruksi, koreksi, penyediaan, dan perlindungan dari pimpinan. Perilaku yang disiplin merupakan perilaku yang taat dan patuh dalam peraturan. Perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi, artinya bahwa kepatuhan merupakan suatu tahap awal perilaku, maka semua faktor yang mendukung atau mempengaruhi perilaku juga akan mempengaruhi kepatuhan. Patuh adalah sikap positif individu yang ditunjukkan dengan adanya perubahan secara berarti sesuai dengan dengan tujuan yang ditetapkan. Ketidakpatuhan merupakan suatu kondisi pada individu atau kelompok yang sebenarnya mau melakukannya, tetapi dapat dicegah untuk melakukannya oleh faktor-faktor yang menghalangi ketaatan terhadap anjuran, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau ditaati.

  Kepatuhan merupakan model dasar seseorang berperilaku. Menurut Kelman (1958 dalam Dewi 2010) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Pada awalnya individu mematuhi anjuran/instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman atau sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia memenuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance). Biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan.

  Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpatuhan tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya (Dewi 2010). b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan Menurut Bastable (2002, h.139), Bady, Kusnanto dan Handono

  (2007), Kepatuhan (2010), Anugrahini (2010), dan Amalia dkk (2011), faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi kepatuhan adalah: 1) Usia

  Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas seseorang. Semakin tinggi usia semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa dan semakin dapat berfikir rasional, semakin bijaksana, mampu mengendalikan emosi dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain. Semakin bertambah usia semakin terlihat pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. Dari berbagai periode umur tersebut, umur yang produktif dalam bekerja dan yang merupakan angkatan kerja ditunjukan oleh periode dewasa muda (20-40 tahun) dan dewasa madia (40-65 tahun). Usia yang semakin meningkat akan meningkatkan pula kebijaksanaan kematangan seseorang dalam mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi, dan bertoleransi terhadap pandangan orang lain, berarti kinerja orang itu juga meningkat.

  2) Pendidikan Tingkat pendidikan perawat mempengaruhi kinerja perawat yang bersangkutan. Tenaga keperawatan yang berpendidikan tinggi kinerjanya akan lebih baik karena telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan perawat yang berpendidikan lebih rendah. Selain itu juga pendidikan perawat yang tinggi akan lebih memudahkan perawat dalam memahami tugas sehingga akan meningkatkan kepatuhannya dalam penggunaan APD.

  3) Masa kerja Masa kerja adalah lama seorang perawat bekerja pada suatu organisasi yaitu dari mulai perawat itu resmi dinyatakan sebagai pegawai atau karyawan suatu rumah sakit. Senioritas dan produktivitas pekerjaan berkaitan secara positif. Semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan akan lebih berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya. Perawat harus mempunyai pengalaman kerja yang cukup sehingga dapat mengerti tentang kebutuhan pasien yang spesifik. Perawat juga harus mempunyai pengalaman yang cukup untuk memahami peraturan dan prosedur dalam pekerjaannya sehingga akan mempengaruhi kepatuhannya dalam melaksanakan standar

  

precaution termasuk dalam penggunaan APD. Menurut Amalia

  dkk (2011), perawat yang mempunyai masa kerja ≥ 10 tahun relatif semakin terampil dalam melaksanakan pekerjaannya serta cukup memahami peraturan dan prosedur dalam pekerjaannya.

  4) Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

  objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, rasa dan raba. Pengetahuan dan pemahaman perawat tentang APD dan manfaatnya mempengaruhi kepatuhan dalam tindakan keperawatan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang APD sangat penting untuk petugas kesehatan dan sarana kesehatan lainnya yaitu untuk mencegah tranmisi infeksi di rumah sakit dan upaya pencegahan infeksi adalah langkah pertama dalam pemberian pelayanan kesehatan yang bermutu. 5) Fasilitas APD di rumah sakit

  Sarana dan fasilitas pendukung universal precaution yang tersedia di rumah sakit adalah berupa APD seperti sarung tangan, masker, baju pelindung, kacamata pelindung dan sepatu pelindung. Walaupun tingkat pengetahuan, ketrampilan dan sikap tenaga keperawatan dalam penggunaan APD sudah baik apabila fasilitas pendukung APD rumah sakit tidak terpenuhi/tidak standar maka kepatuhan penggunaan APD oleh perawat tidak maksimal. Fasilitas pendukung APD pada masing-masing ruangan perawatan di rumah sakit biasanya bisa berbeda antara ruang kelas III yang diperuntukkan bagi pasien yang mempunyai latar belakang ekonomi rendah dengan ruang VIP yang diperuntukkan bagi pasien dengan latar belakang ekonomi tinggi.

  a. Pengertian Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

  Nomor: 1045/Menkes/Per/XI/2006 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit, rumah sakit adalah suatu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan rawat inap dan rawat jalan yang memberikan pelayanan kesehatan jangka pende dan jangka panjang yang terdiri dari observasi, diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, cidera dan melahirkan. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang dimaksud dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

  b. Azaz dan tujuan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan

  Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

  Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan: 1) Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

  2) Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit. 3) Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan 4) Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

  c. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

  Nomor: 1045/Menkes/Per/XI/2006 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit, kedudukan, tugas dan fungsi rumah sakit adalah: 1) Kedudukan

  Rumah sakit merupakan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik.

  2) Tugas Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan peripurna, pendidikan dan pelatihan, dapat juga melakukan penelitian, pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan.

  3) Fungsi Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Rumah Sakit menyelenggarakan fungsi: (a) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan paripurna tingkat sekunder dan tersier; (b) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam pemberian pelayanan kesehatan;

  (c) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta penampisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan; (d) Pelaksanaan administrasi rumah sakit.

  d. Jenis dan klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

  Nomor: 1045/Menkes/Per/XI/2006 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit, berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam: 1) Rumah Sakit Umum selanjutnya disebut RSU; 2) Rumah Sakit Khusus selanjutnya disebut RSK. Rumah Sakit

  Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya.

  Klasifikasi rumah sakit adalah pengelompokkan rumah sakit berdasarkan perbedaan yang bertingkat mengenai kemampuan pelayanan kesehatan yang dapat disediakan dan kapasitas sumber daya organisasi, RSU diklasifikasikan sebagai berikut: 1) RSU Kelas A

  Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik luas dan sub spesialistik luas. Berdasarkan fungsinya RSU Kelas A dan RSU Kelas B Pendidikan menyelenggarakan dan/atau digunakan untuk pelayanan, pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran dan pendidikan kedokteran berkelanjutan.

  Susunan organisasi RSU Kelas A adalah: (a) RSU Kelas A dipimpin oleh seorang Kepala disebut Direktur Utama.

  (b) Direktur Utama membawahi paling banyak 4 (empat) Direktorat.

  (c) Masing-masing Direktorat terdiri paling banyak 3 (tiga) Bidang atau 3 (tiga) Bagian.

  (d) Masing-masing Bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Seksi.

  (e) Masing-masing Bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Subbagian.

  2) RSU Kelas B Berpendidikan Rumah Sakit Kelas B Pendidikan adalah rumah sakit yang menyelenggarakan dan atau digunakan untuk pelayanan, pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan Kedokteran berkelanjutan.

  Susunan organisasi RSU Kelas B Pendidikan adalah: (a) RSU Kelas B Pendidikan dipimpin oleh seorang Kepala disebut Direktur Utama.

  (b) Direktur Utama membawahi paling banyak 3 (tiga) Direktorat. (c) Masing-masing Direktorat terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Bidang atau 3 (tiga) Bagian.

  (d) Masing-masing Bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Seksi.

  (e) Masing-masing Bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Subbagian.

  3) RSU Kelas B Non-Pendidikan RSU Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik. Rumah Sakit non pendidikan, yaitu rumah sakit yang tidak memiliki hubungan kerjasama dengan universitas.

  Susunan organisasi RSU Kelas B Non-Pendidikan adalah: (a) RSU Kelas B Non-Pendidikan dipimpin oleh seorang Kepala disebut Direktur Utama.

  (b) Direktur Utama membawahi paling banyak 2 (dua) Direktorat. (c) Masing-masing Direktorat terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Bidang atau 3 (tiga) Bagian.

  (d) Masing-masing Bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Seksi.

  (e) Masing-masing Bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Subbagian.

  4) RSU Kelas C RSU Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan mdis spesialistik dasar.

  Susunan organisasi RSU Kelas C adalah: (a) RSU Kelas C dipimpin oleh seorang Kepala disebut Direktur.

  (b) Direktur membawahi paling banyak 2 (dua) Bidang dan 1 (satu) Bagian.

  (c) Masing-masing Bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Seksi.

  (d) Bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Subbagian. 5) RSU Kelas D

  RSU Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis dasar.

  Susunan organisasi RSU Kelas D adalah: (a) RSU Kelas D dipimpin oleh seorang Kepala disebut Direktur.

  (b) Direktur membawahi paling banyak 2 (dua) Seksi dan 3 (tiga) Subbagian.

  (c) Masing-masing Bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Seksi.

  (d) Bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) Subbagian.

  e. Klasifikasi Rumah Sakit Berdasarkan Kepemilikan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit dapat didirikan oleh

  Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Swasta. Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.

  f. Bangunan Rumah Sakit Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, bangunan Rumah Sakit harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.

  Bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud paling sedikit terdiri atas ruang: rawat jalan, rawat inap, ruang gawat darurat, ruang operasi, ruang tenaga kesehatan, ruang radiologi, ruang laboratorium, ruang sentralisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang kantor dan administrasi, ruang ibadah, ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit, ruang menyusui, ruang mekanik, ruang dapur, laundry, kamar jenazah, taman, pengolahan sampah, dan pelataran parkir yang mencukupi.

  g. Pembagian Tipe Bangsal Menurut PERMENKES RI Nomor 004 Tahun 2012 yang merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

  378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 582/Menkes/SK/VII/1997 tentang Pola Tipe Rumah Sakit Pemerintah mengatur kewajiban rumah sakit untuk menyediakan sebagian tempat tidurnya untuk masyarakat miskin. Untuk itu, maka bangsal-bangsal rawat inap di rumah sakit dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: kelas Utama, Kelas I, Kelas II, dan Kelas III.

C. Kerangka Konsep

  Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian D.

  Menurut Arikunto (2010, h.110) hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis dalam penelitian ini penulis rumuskan dalam bentuk hipotesis statistik sebagai berikut:

  1. Hipotesis Nol Tidak terdapat perbedaan tingkat kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada perawat bangsal kelas non utama dan utama di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto.

  Perawat Bangsal Kelas Non Utama Usia Pendidikan Masa kerja Pengetahuan Fasilitas APD di Bangsal

  Perawat Bangsal Kelas Utama Usia Pendidikan Masa kerja Pengetahuan Fasilitas APD di Bangsal

  Kepatuhan Perawat dalam Penggunaan APD

Hipotesis

  2. Hipotesis Alternatif Terdapat perbedaan tingkat kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada perawat bangsal kelas non utama dan utama di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN MOTIVASI KERJA DENGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PERLINDUNGAN DIRI (APD) PADA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT PARU JEMBER

14 90 168

PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN TESIS

0 1 16

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DI RUANG ICU, IGD DAN IRNA IMAM BONJOL RSUD “KANJURUHAN” KEPANJEN KABUPATEN MALANG

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka - BAB II GADIS AYUDYA PRADINI TS'16

0 2 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka - BAB II DIDIK AZKIA TS'17

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1. Konsep Karakteristik - HUBUNGAN KARAKTERISTIK PERAWAT DAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP DI RSUD GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 32

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT DENGAN KEPATUHAN MENGGUNAKAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO

1 3 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rumah Sakit 1. Pengertian Rumah Sakit - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BOR PADA PASIEN UMUM RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT ISLAM PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan - FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN HAND HYGIENE DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD. PROF. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 2 21

PERBEDAAN TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PERAWAT BANGSAL KELAS NON UTAMA DAN UTAMA DI RUMAH SAKIT WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO

0 0 18