BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan - FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN HAND HYGIENE DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD. PROF. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto,2007), patuh adalah

  suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau loyalitas. Kepatuhan yang dimaksud disini adalah ketaatan dalam pelaksanaan prosedur cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Smet (1994) kepatuhan adalah tingkat seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa yang disarankan atau dibebankan kepadanya. Dalam hal ini perawat disarankan untuk selalu melakukan prosedur cuci tangan pada setiap sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Dalam hal ini kepatuhan perawat pelaksanaan prosedur tetap (protap) adalah untuk selalu memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika keperawatan di tempat perawat tersebut bekerja.

  Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang berperilaku. Demikian Kelman (1958) dikutip dalam Sarwono (1997) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Pada awalnya individu mematuhi anjuran atau instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman atau sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance) biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan.

B. Perawat

  Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati.

  Paradigma sehat menuju Indonesia sehat tahun 2010 lebih mengutamakan pelayanan promotif dan preventif dengan tidak mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif. (Depkes RI,1999). Dengan demikian dalam pelayanan kesehatan, bisa tercapai derajat kesehatan yang optimal. Keperawatan merupakan salah satu komponen pembangunan bidang kesehatan. Oleh sebab itu keperawatan sekaligus merupakan bagian integral dari sistem kesehatan nasional (Depkes RI, 1990).

C. Hand Hygiene (Kebersihan tangan atau Cuci tangan)

  Hand hygiene adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh Centers

  for Disease Control (CDC) (1985) untuk mencegah penyebaran dari berbagai penyakit yang dikeluarkan melalui darah dilingkungan Rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lain.

  Mencuci tangan merupakan suatu proses yang secara mekanis melepaskan kotoran dan debu dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air, dengan tujuan untuk mencegah infeksi (Depkes, 2007). Mencuci tangan adalah membasahi tangan dengan air mengalir untuk menghindari penyakit, agar kuman yang menempel pada tangan benar-benar hilang. Mencuci tangan juga mengurangi pemindahan mikroba ke pasien dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang berada pada kuku, tangan dan lengan (Schaffer, et.al., 2000) adalah istilah yang digunakan untuk mencuci tangan

  Hand hygiene .

  menggunakan antiseptik pencuci tangan Pada tahun 2009,WHO mencetuskan global patient safety challenge dengan clean care is safe

  

care , yaitu merumuskan inovasi strategi penerapan hand hygiene untuk

  petugas kesehatan dengan My five moments for hand hygiene adalah melakukan cuci tangan:

  1. Sebelum bersentuhan dengan pasien.

  2. Sebelum melakukan prosedur bersih atau steril.

  Setelah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien risiko tinggi.

  3. Setelah bersentuhan dengan pasien.

  4.

  5. Setelah bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien.

  Dep Kes (2005) Cara cuci tangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, yaitu :

  1. Cuci tangan higenik atau rutin : mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan dengan menggunakan sabun atau deterjen.

  2. Cuci tangan aseptik :Sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan aseptik.

  3. Cuci tangan bedah (surgical hand scrub) : Sebelum melakukan tindakan bedah cara aseptik dengan antiseptik dan sikat steril.

  Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir atau yang disiramkan, biasanya digunakan sebelum dan sesudah melakukan tindakan yang tidak mempunyai penularan penyakit (Dep Kes 2010).

  Mencuci tangan adalah cara yang paling sederhana dan efektif untuk mencegah transmisi silang di rumah sakit. Sebuah tindakan yang sesungguhnya mudah dilakukan

  • – sehingga tingkat kepatuhannya seringkali diabaikan. Padahal menurut penelitian, dengan melakukan cuci tangan yang benar, sekitar 30% - 40% penyakit menular dapat dicegah. Kegagalan dalam menjaga kebersihan tangan adalah penyebab utama infeksi nosokomial dan mengakibatkan penyebaran mikroorganisme multiresisten di fasilitas pelayanan kesehatan (Endang Rahayu – Menkes RI, 2009).

  Kebersihan tangan (cuci tangan) merupakan suatu prosedur tindakan membersihkan tangan dengan menggunakan sabun atau antiseptik dibawah air mengalir atau dengan menggunakan handscrub yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dari kulit secara mekanis dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Persatuan Pengendalian Infeksi Indonesia (Perdalin, 2010).

  Sumurti (2008), cuci tangan dilakukan bertujuan untuk mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan, mencegah infeksi silang

  

(cross infection), menjaga kondisi steril, melindungi diri dan pasien dari infeksi dan memberikan perasaan segar dan bersih. Prosedur cuci tangan dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Selain mencuci tangan dengan menggunakan sabun anti septik di bawah air mengalir, cuci tangan juga dapat dilakukan dengan memakai handscrub berbasis alkohol.

  Waktu untuk menggunakan handscrub antiseptik adalah kondisi

  

emergency dimana fasilitas cuci tangan sulit dijangkau, fasilitas cuci

  tangan inadequat, saat ronde di ruangan yang memerlukan desinfeksi tangan dan bukan pengganti cuci tangan bedah.

  Cuci tangan dapat diklasifikasikan menurut jenis sabun atau deterjen dan produk antimikroba yang digunakan. Cuci tangan menggunakan sabun atau deterjen dapat menghambat aktivitas mikroorganisme atau menghilangkan mikroorganisme secara mekanik sedangkan penggunaan anti mikroba pada proses cuci tangan dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Proses ini sering disebut dengan menghilangkan mokroorganisme secara kimiawi (Girou et al., 2002).

  Cuci tangan dengan menggunakan sabun dan deterjen efektif untuk menghilangkan beberapa mikroorganisme flora normal yang hanya menumpang sementara dikulit. Mikroorganisme yang menumpang dikulit sering ditemukan pada tangan petugas kesehatan yang berasal dari pasien yang terinfeksi dan dapat menyebabkan infeksi silang. (Garner dan Favero, 2007). Cuci tangan menggunakan antiseptik tanpa sabun hanya direkomendasikan apabila tidak terdapat wastafel atau tempat cuci tangan dengan air (Boyce dan Pittet, 2002).

  Syawir (2011) prosedur cuci tangan adalah sebagai berikut: a. Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir.

  b. Taruh sabun di bagian telapak tangan yang telah basah. Buat busa secukupnya tanpa percikan.

  c. Gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak tangan, gosokan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan sebaliknya, gosok kedua telapak tangan dengan jari saling mengait, gosok kedua ibu jari dengan cara menggenggam dan memutar, gosok telapak tangan. Proses berlangsung selama 10-15 detik.

  d. Bilas kembali dengan air sampai bersih.

  e. Keringkan tangan dengan handuk atau kertas yang bersih atau tisu atau handuk katun kain sekali pakai.

  f. Matikan kran dengan kertas atau tisu.

  g. Pada cuci tangan aseptik atau bedah diikuti larangan menyentuh permukaan yang tidak steril.

  c.1. Sarana Hand Hygiene

  1. Air mengalir Air adalah pelarut yang baik untuk sebagian besar bahan sehingga air sering disebut pelarut universal. Air memiliki sifat yang stabil, memiliki titik didih yang tinggi dan memiliki tegangan permukaan yang tinggi. Sifat air tersebut merupakan karakteristik penting untuk membersihkan tangan. Akan tetapi, air tidak dapat menghilangkan lemak, minyak dan protein yang merupakan komponen dari kotoran organik (WHO, 2006).

  Petugas kesehatan (perawat) tidak melakukan cuci tangan sama sekali karena beberapa alasan antara lain fasilitas cuci tangan yang dapat menimbulkan resiko tidak melakukan prosedur cuci tangan antara lain bahan untuk mencuci tangan menyebabkan iritasi dan kulit kering, adanya tempat cuci tangan otomatis, lokasi tempat cuci tangan yang tidak nyaman, dan tidak adanya sabun, kertas pengering dan handuk (WHO, 2006).

  2. Sabun dan Derterjen Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan meningkatkannya frekuwensi cuci tangan, namun dengan seringnya menggunakan sabun atau deterjen maka lapisan lemak kulit akan hilang dan membantu menjadi kering dan pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan memberi peluang untuk tumbuhnya kembali mikroorganisme (Dep Kes, 2005).

  Penggunaan sabun yang berlebihan akan menyebabkan iritasi pada kulit menjadi kering. Sabun dapat menghilangkan kotoran, sekresi pada permukaan kulit. Oleh karena itu, prosedur cuci tangan di sarana kesehatan mengkombinasikan antara air sabun atau detergen (WHO,2006 ; Katzung, 2007).

  c.2. Instalasi Gawat Darurat

  Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU no 44 tahun 2009).

  Berdasarkan observasi Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Margono Soekarjo (RSMS) Purwokerto dalam memberikan pelayanan kepada pasien dalam rangka pelaksanaan program patien safety dilengkapi sarana pelayanan yaitu : Kamar mandi dengan WC Perawat Tiga buah, Wasstafel Enam buah dengan Satu Wasstafel Pasien dan Lima Wasstafel Perawat, dan Kamar mandi dengan WC Pasien Satu buah.

  Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul. Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam sistem triage adalah kondisi klien yang meliputi :

  1. Gawat adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang memerlukan penangan dengan cepat dan tepat.

  2. Darurat adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.

  3. Gawat darurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh gangguan ABC (Airway / jalan nafas. Breathing /pernafasan, Circulation / sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal atau cacat (wijaya 2010).

  Berdasarkan prioritas perawatan dapat dibagi menjadi empat klasifikasi :

  1. Gawat Darurat adalah keadaan yang mengancam nyawa atau adanya gangguan ABC dan perlu tindakan segera, misalnya cardiac arrest, penurunan kesadaran, trauma mayor dengan perdarahan hebat.

  2. Gawat tidak darurat adalah keadaan mengancam nyawa tetapi tidak memerlukan tindakan darurat. Setelah dilakukan resusitasi maka ditindak lanjuti oleh dokter spesialis, misalnya pasien kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan lainnya.

  3. Darurat tidak gawat adalah keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi memerlukan tindakan darurat. Pasien sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat langsung diberikan terapi defentive. Untuk tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya Laserasi, Fraktur minor atau tertutup, Sistitis, Otitis media dan lainnya.

  4. Tidak gawat tidak darurat adalah keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan tindakan gawat. Gejala dan tanda klinis ringan atau asimptomatis. Misalnya Penyakit Kulit, Batuk, Flu dan sebagainya.

  D.

  

Faktor – faktor yang berhubungan dengan kepatuhan Hand Hygiene

(Kebersihan tangan atau Cuci tangan) World Health Organization (WHO) (2006) menyatakan bahwa

  faktor

  • – faktor yang berhubungan dengan kepatuhan Hand Hygiene atau kebersihan tangan (Cuci tangan) pada tenaga kesehatan antara lain :

  1. Jenis profesi WHO (2006) dan Boyce dan pittet (2002), dokter memiliki resiko untuk tidak melakukan cuci tangan dibandingkan dengan perawat. Hasil Albert and Condie F. (1981) dalam Musadad et al.

  (1993) pada petugas kesehatan suatu intensive care unit di seattle, Amerika menunjukan bahwa 41 % kontak petugas kesehatan dengan pasien yang diikuti dengan mencuci tangan. WHO melakukan penelitian (2006-2008), yang dilakukan di 43 rumah sakit di Costa Rica, Italia, Mali, Pakistan dan Arab Saudi melakukan studi kepatuhan mencuci tangan yang hasilnya dilaporkan United Press International (UPI), kepatuhan Perawat untuk melakukan cuci tangan lebih baik dari pada petugas kesehatan yang lain yaitu hampir 70 % sudah melakukannya secara tepat. Sedangkan Dokter 40 % di rumah sakit tersebut mencuci tangan dengan benar.

  2. Jenis kelamin Jenis kelamin dapat mempengaruhi tahap cuci tangan seseorang antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan kebiasaan mengenai pola hidup bersih. Notoatmodjo (2007) menyebutkan bahwa perilaku seseorang merupakan respon terhadap rangsang dari luar, tetapi respon yang terjadi juga ditentukan oleh faktor lain dari orang tersebut yang disebut dengan determinan penyakit. Salah satu determinan perilaku yang berasal dari faktor internal adalah jenis kelamin. Hal tersebut juga dapat menyebabkan tahap cuci tangan antara laki-laki dan perempuan dapat berbeda. Menurut Johnson et al (2003) bahwa tingginya angka cuci tangan pada wanita dibanding pria dipengaruhi oleh perilaku penglihatan tangan yang kotor. WHO (2006), jenis kelamin laki

  • – laki merupakan salah
satu resiko untuk tidak mencuci tangan apabila dibandingkan dengan wanita.

  3. Tempat dan waktu bekerja Kepatuhan terhadap cuci tangan lebih tinggi terjadi di bagian ilmu penyakit dalam sebesar 36% jika dibandingkan dengan di bagian perawatan intensif. Hal ini disebabkan dibagian penyakit dalam terdapat banyak prosedur yang memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kontaminasi bakteri. Kepatuhan tertinggi terdapat pada bagian penyakit anak yaitu sebesar 59%. Tenaga kesehatan yang bekerja di ruang perawat intensif dan bekerja pada akhir pekan memiliki resiko lebih tinggi untuk tidak melakukan cuci tangan (WHO, 2006).

  4. Pemakaian sarung tangan Rekomendasi penggunaan sarung tangan pada tenaga kesehatan bertujuan untuk menghindari infeksi silang dari pasien ke tenaga kesehatan dan dari pasien yang satu ke pasien yang lain. Menurut The National Institute for occupational safety and Health Administration in the USA (NIOSHA) menyarankan memakai sarung tangan selama aktivitas perawatan pasien yang kemungkinan terjadi paparan darah atau cairan tubuh yang mungkin terkontaminasi darah. Penelitian yang dilakukan oleh Meengs et al (1994) dan zimakoff et al (1993) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan yang menggunakan sarung tangan lebih sering mencuci tangan setelah melakukan perawatan terhadap pasien. WHO (2006) menyebutkan pemakaian sarung tangan pada tenaga kesehatan menimbulkan resiko untuk tidak melakukan cuci tangan karena adanya kepercayaan dengan pemakaian sarung tangan sudah tidak dibutuhkan lagi prosedur cuci tangan sebagai tindakan pencegahan infeksi. WHO (2005) adanya kepercayaan pada tenaga kesehatan yang menyatakan bahwa tidak perlu melakukan cuci tangan jika menggunakan sarung tangan.

  5. Sarana Cuci tangan Ruang lingkup sanitasi rumah sakit menjadi luas mencangkup upaya

  • – upaya yang bersifat fisik seperti pembangunan sarana pengolahan air limbah, penyediaan air bersih, fasilitas cuci tangan, masker, fasilitas pembuangan sampah (Musadad, 1993).

  Petugas kesehatan (perawat) tidak melakukan cuci tangan sama sekali karena beberapa alasan antara lain fasilitas cuci tangan yang dapat menimbulkan resiko tidak melakukan prosedur cuci tangan antara lain bahan untuk mencuci tangan menyebabkan iritasi dan kulit kering, adanya tempat cuci tangan otomatis, lokasi tempat cuci tangan yang tidak nyaman, dan tidak adanya sabun, kertas pengering dan handuk (WHO, 2006).

  6. Ketersediaan waktu Centers for Disease Control and Prevention (2002) melaporkan bahwa keterbatasan waktu yang dibutuhkan perawat untuk pergi dari tempat perawatan pasien, pergi ke sarana cuci tangan dan melakukan cuci tangan serta mengeringkan tangan sebelum melakukan perawatan terhadap pasien yang lain akan menghambat kegiatan cuci tangan pada perawat. Keterbatasan waktu tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan meningkatkan resiko untuk tidak melakukan cuci tangan (WHO,2006).

  7. Keadaan Pasien Pittet, et al .(1999) kepatuhan pada cuci tangan yang rendah terjadi pada prosedur terhadap pasien yang memiliki resiko transmisi penyakit tinggi seperti tindakan intravena, perawatan sistem pernafasan. Sedangkan (WHO, 2006) keadaan pasien yang membutuhkan penanganan segera dan keadaan pasien yang dianggap tenaga kesehatan memiliki resiko infeksi yang kecil akan meningkatkan resiko lebih tinggi untuk tidak melakukan cuci tangan.

  8. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu

  Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan terdiri 6 tingkatan yaitu:

  a. Tahu (know) Tahu artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalaman pengetahuan, tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

  b. Memahami(comprehension) Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

  d. Analisa (analysis) Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi danmasih ada kaitannya satu dengan yang lain.

  e. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian bagian di dalam keseluruhan yang baru.

  f.

Evaluasi (Evaluation)

  Evaluasi ini berkaitan dengan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi.

  Sebagian besar pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang (Notoatmojdo, 2003).

  Tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan tentang petunjuk dan manfaat mencuci tangan yang kurang baik akan lebih beresiko untuk tidak melakukan cuci tangan (WHO, 2006).

  9. Promosi dan Pemberian contoh Notoatmodjo (2007), promosi kesehatan adalah upaya memasarkan, menyebarluaskan, mengenal atau menjual kesehatan.

  Promosi kesehatan dapat dilakukan pada tingkat preventif yaitu promosi kesehatan pada kelompok orang yang sehat tetapi memiliki resiko tinggi. Tempat- tempat pelayanan kesehatan adalah tempat yang paling strategis untuk promosi kesehatan. Kurangnya promosi dan pemberian contoh tentang prosedur cuci tangan yang benar meningkatkan resiko pada tenaga kesehatan untuk tidak melakukan cuci tangan (WHO, 2006).

  10. Faktor

  • – faktor yang lain

  WHO (2006), peningkatan resiko pada tenaga kesehatan untuk tidak melakukan cuci tangan adalah jumlah tenaga kesehatan yang banyak, jenis bahan untuk cuci tangan yang tidak aman, tidak adanya sanksi dan imbalan terhadap pelaksanaan cuci tangan, iklim keselamatan tenaga kesehatan yang buruk ditempat pelayanan kesehatan.

  Muchlas (2008) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kepatuhan dapat dikategorikan menjadi faktor internal dan faktor eksternal

  a. Faktor Internal

  1. Umur Umur berpengaruh terhadap pola fikir seseorang dan pola fikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Umur seseorang secara garis besar menjadi indikator dalam setiap mengambil keputusan yang mengacu pada setiap pengalamannya, dengan semakin banyak umur maka dalam menerima sebuahinstruksi dan dalam melaksanaan suatu prosedur akan semakin bertanggung jawab dan berpengalaman.Semakin cukup umur seseorang akan semakin matang dalam berfikir dan bertindak (Evin, 2009).

  2. Jenis kelamin Jenis kelamin dapat mempengaruhi tahap cuci tangan seseorang antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan kebiasaan mengenai pola hidup bersih.

  3. Agama Ajaran sistem yang mengatur tata keimanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan. Itu tadi adalah pengertian agama yang didapatkan dari KBBI atau kamus besar bahasa Indonesia pengertian agama tadi bisa bermacam-macam tergantung dari sudut pandang atau ruang lingkup yang dipelajari.

  4. Pendidikan Pendidikan berpengaruh terhadap pola fikir individu. Sedangkan pola fikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang dengan kata lain pola pikir seseorang yang berpendidikan rendah akan berbeda dengan pola pikir seseorang yang berpendidikan tinggi (Asmadi, 2010). Pendidikan keperawatan mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas pelayanan keperawatan (Asmadi, 2010).

  Pendidikan yang tinggi dari seorang perawat akan memberi pelayanan yang optimal.

  5. Status perkawinan Status yang membedakan seseorang antara yang sudah berkeluarga atau belum berkeluarga.

  6. Kepribadian atau sikap Kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.

  7. Persepsi Persepsi tentang protap akan diterima oleh penginderaan secara selektif, kemudian diberi makna secara selektif dan terakhir diingat secara selektif oleh masing-masing perawat. Dengan demikian muncul persepsi yang berbeda tentang protap tersebut, sehingga kepatuhan perawat didalam pelaksanaan protap tersebut juga akan berbeda (Arumi, 2002).

  8. Lama kerja Masa kerja yang lama akan cenderung membuat seseorang betah dalam sebuah organisasi hal ini disebabkan karena telah beradaptasi dengan lingkungan yang cukup lama sehingga merasa nyaman dalam pekerjaannya. Semakin lama seseorang bekerja maka tingkat prestasi akan semakin tinggi, prestasi yang tinggi dapat dari perilaku yang baik (Kreitner dan Kinichi 2004).

  9. Motivasi Motivasi adalah rangsangan, dorongan dan ataupun pembangkit tenaga yang dimilki seseorang atau sekelompok masyarakat yang mau berbuat dan bekerjasama secara optimal melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Azwar, 1996).

  b. Faktor Ekternal

  1. Organisasi Sesuatu yang ada di dalam ruangan sebagai susunan organisasi atau pembagian tugas masing-masing sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing.

  2. Kelompok Suatu kumpulan yang terdiri dari bermacam-macam individu.

  Kelompok disini adalah kelompok perawat dalam satu tim kerjasama.

  3. Pekerjaan Suatu tugas yang mempunyai tanggung jawab masing-masing, yang harus dipertanggung jawabkan.

  4. Lingkungan Faktor lingkungan menyangkut segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik fisik, biologis maupun sosial. Lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah atau pengolahan limbah.

E. Kerangka Teori

  FAKTOR

  • – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN HAND HYGIENE

  Faktor internal:

  1. Umur

  2. Jenis kelamin

  3. Agama

  4. Pendidikan

  5. Status perkawinan

  6. Kepribadian/sikap

  7. Persepsi

  8. Motivasi

  9. Lama kerja

  10.Jenis profesi Kepatuhan

  Hand Hygiene

  Faktor eksternal:

  1. Organisasi

  2. Kelompok

  3. Pekerjaan

  4. Lingkungan

  5. Keadaan Pasien

  6.Pemakaian sarung tangan

  7. Sarana cuci tangan 8. ketersediaan waktu

  Gambar 2.1 Sumber : Modifikasi Menurut WHO (2006), dan Muchlas(2008).

F. Kerangka Konsep

  FAKTOR

  • – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN HAND HYGIENE DI INSTALASI

  GAWAT DARURAT RSUD. PROF. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO Faktor Internal :

  a. Umur

  b. Jenis Kelamin

  c. Pendidikan Kepatuhan Hand

  d. Lama Kerja

  Hygiene Perawat

  e. Motivasi diIGD faktor Eksternal : a.SaranaCuci Tangan

  b. Keadaan Pasien

  C. Pekerjaan

Gambar 2.2 Kerangka konsep penelitian

A. Hipotesis

  Hipotesa merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan (Notoatmodjo, 2010). Jadi sebagai pertimbangan hipotesanya adalah : Ha : Ada pengaruh faktor internal : Jenis kelamin, Umur, Pendidikan,

  Motivasi dan Lama kerja dengan kepatuhan Perawat dalam Hand Hygiene di Instalasi Gawat Darurat.

  Ho : Tidak ada pengaruh faktor internal : Jenis kelamin, Umur, Pendidikan, Motivasi dan Lama kerja dengan kepatuhan Perawat dalam Hand Hygiene di Instalasi Gawat Darurat.

  Ha : Ada pengaruh faktor eksternal : Sarana cuci tangan, Keadaan pasien, Pekerjaan dengan kepatuhan Perawat dalam Hand Hygiene di Instalasi Gawat Darurat.

  Ho : Tidak ada pengaruh faktor ekternal : Sarana cuci tangan, Keadaan pasien, Pekerjaan dengan kepatuhan Perawat dalam Hand Hygiene di Instalasi Gawat Darurat.

Dokumen yang terkait

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN HAND HYGIENE DI RUMAH SAKIT MATA UNDAAN SURABAYA

0 2 16

HUBUNGAN SPIRITUALITAS DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN KANKER DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

1 6 31

HUBUNGAN RIWAYAT GARIS KETURUNAN DENGAN WAKTU TERDIAGNOSIS DIABETES MELITUS DI RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 16

PENGARUH HIPNOTERAPI TERHADAP PENINGKATAN HARGA DIRI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI HEMODIALISA RUMAH SAKIT PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 16

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELUHAN LOW BACK PAIN PADA PERAWAT DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) DAN INSTALASI BEDAH SENTRAL (IBS) RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 1 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELUHAN LOW BACK PAIN PADA PERAWAT DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) DAN INSTALASI BEDAH SENTRAL (IBS) RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 10

ANALISIS FAKTOR RESIKO KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG MAWAR RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 15

HUBUNGAN PENERAPAN ASPEK SPIRITUALITAS PERAWAT DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN SPIRITUAL PADA PASIEN RAWAT INAP IRNA I RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebutuhan Spiritual Pasien - HUBUNGAN PENERAPAN ASPEK SPIRITUALITAS PERAWAT DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN SPIRITUAL PADA PASIEN RAWAT INAP IRNA I RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 25

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN HAND HYGIENE DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD. PROF. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 16