BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keluarga 1. Pengertian - Ratri Dewi Septiani BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keluarga 1. Pengertian Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas

  kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul serta tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Dep.Kes RI, 1988).

  Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam satu periuk (Riadi, 2012).

  Keluarga selaku unit dasar memiliki pengaruh yang begitu kuat tehadap perkembangan seorang individu yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya kehidupan individu tersebut. Keluarga memiliki pengaruh yang penting sekali terhadap pembentukan identitas seorang individu dan perasaan harga diri. Prioritas tertinggi keluarga biasanya adalah kesejahteraan anggota keluarganya (Tamher & Ekasari, 2009).

  

17

2. Fungsi Keluarga

  Fungsi keluarga menurut Friedman (2010) sebagai berikut:

  a. Fungsi Afektif Fungsi keluarga yang utama adalah untuk mengajarkan segala sesuatu umtuk mempersiapkan anggota keluarganya dalam berhubungan dengan orang lain.

  b. Fungsi Sosialisasi Fungsi mengembangkan dan sebagai tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

  c. Fungsi Reproduksi Fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

  d. Fungsi Ekonomi Fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga.

  e. Fungsi Pemeliharaan Kesehatan Fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.

  3. Tugas keluarga dalam bidang kesehatan Menurut Friedman (2010) sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan.

  Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas- tugas dalam bidang kesehatan yang harus dipahami dan dilakukan, yaitu : a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarganya.

  b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.

  c. Memberikan perawatan bagi anggotanya yang sakit atau yang tidak mampu membantu dirinya sendiri karena kecacatan atau usianya yang terlalu muda.

  d. Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.

  e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan dengan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

  4. Interaksi Keluarga Dalam Rentang Sehat Sakti

  Interaksi antar anggota keluarga dalam kondisi sehat dan sakit juga mempengaruhi tingkat berfungsinya keluarga. Penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga yang lainnya. Friedman dengan mengadaptasi Doherti dan Sussman (1998) memberikan gambaran bahwa terdapat interaksi keluarga dengan rentang sehat sakit dalam bentuk upaya-upaya sebagai berikut: a. Upaya keluarga dalam peningkatan (promosi) kesehatan Kegiatan peningkatan kesehatan atau lebih dikenal dengan promosi kesehatan bisa dimulai dalam keluarga, seperti halnya seorang ayah yang memberikan contoh dengan tidak merokok, minum- minuman keras tentunya gaya hidup tersebut akan diikuti oleh anak- anaknya, tetapi jika kondisi sebaliknya maka yang akan terjadi adalah meningkatnya angka kesakitan.

  b. Penaksiran keluarga terhadap gejala-gejala sakit Tahapan ini dimulai saat anggota keluarga mengeluhkan gejala- gejala penurunan kesadaran yang dialami, mencari tahu penyebabnya, dan ada tidaknya pengaruh bagi anggota keluarga yang lain. Sosial ekonomi juga sangat berpengaruh pada penaksiran gejala-gejala yang muncul. Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lemah akan merespon lambat mengingat kemampuan ekonominya.

  c. Pencarian perawatan Tahapan ini dimulai pada saat anggota keluarga merasakan sakit dan anggota keluarga lainnya mengetahui, maka dimulailah upaya mencari tahu kemana akan dirawat. Upaya ini dilakukan dengan mencari informasi kepada orang terdekat. Pada tahapan ini juga keluarga dituntut untuk mengambil keputusan dengan cepat kemana akan merawat anggota keluarga yang sakit. Kecepatan pengambilan keputusan ini ditentukan oleh respon keluarga terhadap kondisi sakit.

  d. Perolehan perawatan dan rujukan ke pelayanan kesehatan

  Tahapan ini dimulai saat kontak pertama anggota keluarga dengan pelayanan kesehatan atau pengobatan alternatif. Penentuan jenis pelayanan yang didatangi dipengaruhi oleh pengetahuan keluarga, pengalaman masa lalu dan sering kali ibu memberikan kontribusi yang banyak terhadap pengambilan keputusan tersebut.

  e. Respon akut terhadap penyakit oleh klien dan keluarga Tahapan ini ditandai dengan terjadinya perubahan peran pada anggota keluarga yang sakit, misalnya saja peran ibu yang sedang sakit akan digantikan oleh ayah terutama saat anak-anaknya masih kecil. Contoh lain jika ayah sakit maka dengan langsung ibu mengambil alih peran dan tanggung jawabnya.

  f. Adaptasi terhadap penyakit dan penyembuhan Tahap adaptasi adalah tahapan dimana keluarga memerlukan bantuan dari tenaga kesehatan dalam menentukan koping keluarga terhadap sakitnya (Setiawati & Dermawan, 2008).

5. Keterlibatan Keluarga Dalam Mencegah Klien Kambuh

  Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan “perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat dirumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah karena dapat mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh).

  Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah.

  Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku.

  Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga memengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu.

  Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Pelayanan kesehatan jiwa yang ada merupakan fasilitas yang membantu klien dan keluarga dalam mengembangkan kemampuan mencegah terjadinya masalah, menanggulangi berbagai masalah, dan mempertahankan keadaan adaptif. Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah. Menurut Sullinger (1988), klien dengan diagnosis skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua, dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat (Nasir & Muhith, 2011).

6. Manfaat Peran Keluarga

  a. Bagi klien:

  1. Mempercepat proses penyembuhan melalui dinamika kelompok

  2. Memperbaiki hubungan interpersonal klien dengan setiap anggota keluarga

  3. Menurunkan angka kekambuhan

  b. Bagi keluarga

  1. Memperbaiki fungsi dan struktur keluarga

  2. Keluarga mampu meningkatkan pengertian terhadap klien sehingga keluarga lebih dapat menerima, toleran, dan menghargai klien sebagai manusia

  3. Keluarga dapat meningkatkan kemampuan dalam membantu klien dalam proses rehabilitasi (Shalehuddin, 2013).

B. Halusinasi 1. Definisi

  Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).

  Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsang yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Misalnya, merasa melihat ada orang yang akan memukul, padahal tidak ada seorang pun disekitarnya. Sekalipun tidak nyata, tetapi bagi penderita gangguan jiwa, halusinasi dirasakan sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh (Baihaqi, Sunardi, Akhlan, Heryati, 2007). Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak terjadi dalam realitas (Videbeck, 2008).

  Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa

  suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghidu.Pasien

merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat & Akemat, 2009).

2. Klasifikasi Halusinasi

Tabel 2.1 Klasifikasi Halusinasi JenisHalusinasi Data Subjektif Data Objektif

  Halusinasi dengar (Auditory-hearing voices or sounds )

  

a. Mendengar suara

menyuruh melakukan

sesuatu yang berbahaya

  

b. Mendengar suara atau

bunyi

c. Mendengar suara yang

mengajak bercakap-

cakap

  

d. Mendengar seseorang

yang sudah meninggal

e. Mendengar suara yang

mengancam diri klien

atau orang lain atau

suara lain yang

membahayakan.

  a. Mengarahkan telinga pada sumber suara b. Bicara atau tertawa sendiri c. Marah-marah tanpa sebab d. Menutup telinga

  e. Mulut komat-kamit

  f. Ada gerakan tangan Halusinasi penglihatan (visual-seeing persons or things )

  

a. Melihat seseorang yang

sudah meninggal,

melihat makhluk

  a. Tatapan mata pada tempat tertentu b. Menunjuk kearah

  

JenisHalusinasi Data Subjektif Data Objektif

tertentu, melihat tertentu

bayangan, hantu atau

  c. Ketakutan pada objek sesuatu yang yang dilihat

menakutkan, cahaya.

Monster yang memasuki

perawat

  Halusinasi penghidu

  

a. Mencium sesuatu seperti

  a. Ekspresi wajah seperti

(olfactory-smeeling odors) bau mayat, darah, bayi, mencium sesuatu

feses, atau bau masakan, dengan gerakan cuping farfum yang hidung, mengarahkan menyenangkan hidung pada tempat b. Klien sering mengatakan tertentu.

mencium bau sesuatu

  

c. Tipe halusinasi ini sering

menyertai klien

demensia, kejang atau

penyakit serebrovaskular

  Halusinasi perabaan

  

a. Klien mengatakan ada

  a. Mengusap, menggaruk-

(tactile-feeling bodily sesuatu yang garuk meraba-raba

sensations ) menggerayangi tubuh permukaan kulit.

seperti tangan, binatang Terlihat menggerak- kecil, makhluk halus. gerakkan badan seperti b. Merasakan sesuatu merasakan sesuatu dipermukaan kulit, rabaan.

merasakan sangat panas

atau dingin, merasakan

tersengat aliran listrik.

Halusinasi Pengecapan

  

a. Klien seperti sedang

  a. Seperti mengecap

(Gustatory-experiencing merasakan makanan sesuatu. Gerakan

tastes ) tertentu, rasa tertentu menguyah, meludah

atau mengunyah sesuatu. atau muntah

  Cenesthetic & Kinestetic

a. Klien dapat melaporkan

  a. Klien terlihat menatap

hallucinations bahwa fungsi tubuhnya tubuhnya sendiri dan

tidak dapat terdeteksi terlihat merasakan misalnya tidak adanya sesuatu yang aneh denyutan di otak, atau tentang tubuhnya.

sensasi pembentukan

urine dalam tubuhnya,

perasaan tubuhnya

melayang di atas bumi.

  

(Sumber :Yosep, 2011).

  3. Proses Terjadinya Halusinasi

  Bentuk gangguan persepsi sensori yang paling sering terjadi pada klien dengan gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran dan penglihatan. Bentuk halusinasi ini dapat berupa suara-suara dan gambaran- gambaran. Tetapi paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respons tertentu seperti: bicara sendiri, bertengkar atau respons lain yang membahayakan. Bisa juga klien bersikap mendengarkan suara halusinasi tersebut dengan mendengarkan penuh perhatian pada orang lain yang tidak bicara atau pada benda mati.

  Halusinasi pendengaran dan penglihatan merupakan suatu tanda mayor dari gangguan schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa mania depresif dan syndroma otak organik (Purba, Wahyuni, Daulay, Nasution, 2012).

  4. Faktor Penyebab Halusinasi

  a. Faktor Predisposisi

1. Faktor Perkembangan

  Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.

  2. Faktor Sosiokultural

  Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

  3. Faktor Biokimia Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.

  Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan

  acetylcholine dan dopamine.

  4. Faktor Psikologis

  Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

  5. Faktor Genetik dan Pola Asuh

  Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini (Yosep, 2011).

  Kebanyakan penelitian genetika berfokus pada keluarga terdekat, seperti orang tua, saudara kandung, dan anak cucu untuk melihat apakah skizofrenia diwariskan atau diturunkan secara genetik. Hanya sedikit penelitian yang memfokuskan pada kerabat yang lebih jauh. Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak kembar yang menunjukkan bahwa kembar identik berisiko mengalami gangguan ini sebesar 50%, sedangkan kembar praternal berisiko hanya 15%. Penelitian penting lain menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia memiliki risiko 15% dan angka ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia.

  Anak-anak yang memiliki orang tua biologis dengan riwayat skizofrenia tetapi diadopsi pada saat lahir oleh keluarga tanpa riwayat skizofrenia masih memiliki risiko genetik dari orang tua biologis mereka. Semua penelitian ini menunjukkan bahwa ada risiko genetik atau kecenderungan skizofrenia, tetapi ini bukan satu-satunya faktor. Kembar identik memiliki risiko 50% walaupun gen mereka identik 100% (Cancro & Lehman, 2000 dalam Videbeck, 2008).

6. Faktor Ekonomi dan Pendidikan

  Menurut penelitian Erlina, Soewadi, Pramono (2010), status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Pada analisis multivariabel, status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita ganguan jiwa skizofrenia dibanding dengan status ekonomi tinggi dengan OR=7,482 (95%IK;2,852-19,657) dengan p=0,000. Artinya kelompok ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko 7,48 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan kelompok ekonomi tinggi.

  Menurut Werner et al. dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010), yang melakukan penelitian di Israel mengatakan orang yang dilahirkan mempunyai orangtua yang berstatus sosio ekonomi dan didaerah miskin berhubungan dengan dengan peningkatan risiko skizofrenia (OR1.39 (95%CI;1.10

  • –1.78), p<0,00. Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan kemiskinan (status ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang menyertainya bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan. Menurut Graham dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010), keluarga adalah faktor perantara yang paling penting. Ketika kehidupan keluarga dipengaruhi oleh penyebab lingkungan (rumah yang kecil, tidak adanya waktu dan rasa aman) maka hal ini merupakan beban bagi orangtua yang akibatnya akan mempengaruhi kesehatan anak. Kemiskinan ditandai dengan oleh sedikitnya dukungan, sedikitnya keselamatan, tidak adanya ruang
sehingga terlalu sesak, tidak adanya kebebasan pribadi, ketidakpastian dalam masalah ekonomi yang akhirnya mungkin menimbulkan risiko kesehatan bagi keluarga.

  Sementara dari segi pendidikan menurut penelitian Fakhari

  et al dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010), dengan hasil yang

  ditemukan ada hubungan yang bermakna antara tidak punya pendidikan atau tidak tamat SD dengan timbulnya gangguan jiwa (p<0,001).

  b. Faktor Presipitasi

  1. Biologis

  Stressor biologis yang berhubungan dengan respons neurobiologik yang maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi dan adanya abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.

  2. Pemicu Gejala

  Pemicu atau stimulus yang sering menimbulkan episode baru suatu penyakit yang biasanya terdapat pada respons neurobiologis yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap dan perilaku individu. a.

  Kesehatan, seperti gizi buruk, kurang tidur, keletihan, infeksi, obat Sistem Saraf Pusat, gangguan proses informasi, kurang olahraga, alam perasaan abnormal dan cemas.

  b.

  Lingkungan, seperti lingkungan penuh kritik, gangguan dalam hubungan interpersonal, masalah perumahan, stress, kemiskinan, tekanan terhadap penampilan, perubahan dalam kehidupan dan pola aktivitas sehari-hari, kesepian (kurang dukungan) dan tekanan pekerjaan (Trimeilia, 2011) 3. Perilaku respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock (1993) memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dalam dilihat dari lima dimensi yaitu: a) Dimensi Fisik

  Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat- obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. b) Dimensi Emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

  c) Dimensi Intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

  d) Dimensi Sosial Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di dunia nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi akan interaksi sosial, kontrol diri dan haga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.

  e) Dimensi Spiritual Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bemakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk (Yosep, 2011).

5. Tahapan Halusinasi

  Gangguan persepsi yang utama pada pasien skizoprenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh kecemasan, gangguan harga diri, kritis diri, atau mengingkari rangsangan terhadap kenyataan. Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada pasien skizoprenia, suara-suara biasanya berasal dari tuhan, setan, tiruan atau relatif.

  Ada empat tahapan halusinasi, karakteristik dan perilaku yang ditampilkan.

Tabel 2.2 Tahapan, Karakteristik dan Perilaku Klien Tahap Karakteristik Perilaku Klien

  Tahap I

  • Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan suatu kesenangan.
  • Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
  • Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas
  • Fikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontol kesadaran, nonpsikotik.
  • Tersenyum, tertawa sendiri
  • Menggerakkan bibir tanpa suara
  • Pergerakkan mata yang cepat
  • Respon verbal yang lambat
  • Diam dan berkonsentrasi Taha>Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
  • Perhatian dengan lingkungan berkurang
  • Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
  • Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas Tahap>Menyalahkan - Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati
  • Pengalaman sensori menakutkan
  • Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
  • Mulai merasa kehilangan kontrol
  • Menarik diri dari orang lain non psik>Mengontrol - Klien menyerah dan menerima pengalaman
  • Perintah halusinasi ditaati

  

Tahap Karakteristik Perilaku Klien

  • Tingkat kecemasan berat
  • Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi sensori (halusin>Sulit berhubungan dengan orang lain
  • Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik
  • Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat Taha>Isi halusinasi menjadi atraktif
  • Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psik
  • Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik.
  • Perilaku panik
  • Resiko tinggi mencederai
  • Agitasi atau kataton
  • Tidak mampu berespon terhadap lingkungan (Erlinafsiah, 2010).
  • >Klien sudah dikuasai oleh halusinasi
  • Klien panik
  • 6. Penatalaksanaan Medis Pada Halusinasi

      Penatalaksanaan klien skizoprenia adalah dengan pemberian obat- obatan dan tindakan lain, yaitu : a. Psikofarmakologis

      Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/skizofrenia biasanya diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain golongan butirofenon: Haloperidol, Haldol, Serenace, Ludomer.

      Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3 x 5 mg via im. Pemberian injeksi biasanya cukup 3 x 24 jam.

      Setelahnya klien biasanya diberikan obat per oral 3 x 1,5 mg atau 3 x 5 mg. Golongan fenotiazine: Chlorpromazine/Largactile/Promactile.

      Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3 x 100 mg. Apabila kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1 x 100 mg pada malam hari saja (Yosep, 2011).

      b. Terapi kejang listrik/electro compulsive therapy (ECT) Menurut Riyadi & Purwanto (2009), ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan alur listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall. Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik depresi, klien skizofrenia super katatonik dan gaduh gelisah katatonik.

      ECT lebih efektif dari antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hariselama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan tindakan ECT.Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan waktu 6-12 kali terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan katatonik membutuhkan waktu lebih lama yaitu antara 10-20 kali terapi secara rutin. Terapi ini dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan perilaku mulai kelihatan setelah 2-6 terapi.

    7. Penatalaksanaan Keperawatan Pada Halusinasi

      a. Terapi Generalis pada Klien Halusinasi Menurut Keliat & Akemat (2009), tindakan keperawatan pada klien halusinasi adalah sebagai berikut: a) Mengkaji isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus, dan respons klien terhadap halusinasi (mengenal halusinasi)

      Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku klien dan menanyakan secara verbal apa yang sedang dialami oleh klien.

      Kemudian perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh klien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk pencegahan terjadinya halusinasi. Kemudian untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan apa respons klien ketika halusinasi itu muncul perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul.

      b) Melatih klien mengontrol halusinasi Untuk membantu klien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat dapat mendiskusikan empat cara mengontrol halusinasi pada klien. Keempat cara tersebut meliputi:

      1) Menghardik halusinasi Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Klien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan halusinasinya. Kalau ini bisa dilakukan, klien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada namun dengan kemampuan ini klien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya. Tahapan tindakan meliputi: a. Menjelaskan cara menghardik halusinasi.

      b. Memperagakan cara menghardik.

      c. Meminta klien memperagakan ulang.

      d. Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku klien.

      2) Melatih bercakap-cakap dengan orang lain Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu mengontrol halusinasi. Ketika klien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi; fokus perhatian klien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut.

      Sehingga salah satu cara yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain.

      3) Melatih klien beraktivitas secara terjadwal Libatkan klien dengan terapi modalitas. Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, klien tidak akan mengalami banyak waktu luang yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam. Tahapan intervensi sebagai berikut:

      a) Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi b) Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh klien

      c) Melatih klien melakukan aktivitas 4) Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upayakan klien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu. 5) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguatan terhadap perilaku klien yang positif 6) Melatih klien menggunakan obat secara teratur Agar klien mampu mengontrol halusinasi maka perlu dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program.Klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat sehingga akibatnya klien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Oleh karena itu klien dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan.

      Berikut ini tindakan yang perlu dilakukan perawat agar klien patuh menggunakan obat: a. Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa

      b. Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program

      c. Jelaskan akibat bila putus obat

      d. Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis).

      e. Memantau efek samping obat Menurut Yosep (2011), perawat perlu memahami efek samping yang sering ditimbulkan oleh obat-obat psikotik seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku-kaku otot, otot bahu tertarik sebelah, hipersaliva, pergerakan otot tak terkendali. Untuk mengatasi ini biasanya dokter memberikan obat anti parkinsonisme yaitu

      

    Trihexyphenidile 3 x 2 mg. Apabila terjadi gejala-gejala yang dialami

      oleh klien tidak berkurang maka perlu diteliti apakah obat betul-betul diminum atau tidak.

      b. Terapi Generalis pada Keluarga Menurut Kelliat, Helena, Farida (2011), cara keluarga dalam merawat klien halusinasi yaitu:

    1. Mengatakan, “saya percaya kamu mendengar suara itu, tapi saya sendiri tidak mendengarnya”.

      2. Tidak membantah halusinasi klien.

      Sementara menurut Purba, Wahyuni, Daulay, Nasution (2012) tindakan perawatan pasien halusinasi yang harus diketahui oleh keluarga yaitu:

      a) Mengetahui pengertian, tanda dan gejala halusinasi, dan jenishalusinasi yang dialami klien beserta proses terjadinya.

      Halusinasi adalah presepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsang yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Misalnya, merasa melihat ada orang yang akan memukul, padahal tidak ada seseorang disekitarnya. Sekalipun tidak nyata, tetapi bagi penderita gangguan jiwa, halusinasi dirasakan sebagai sesuatu yang sungguh- sunggung (Baihaqi, Sunardi, Akhlan, Heryati, 2007).

      Adapun jenis halusinasi beserta tanda dan gejalanya halusinasi yang harus diketahui oleh keluarga sebagai berikut:

      1. Halusinasi dengar (Auditory-hearing voices or sounds) Tanda dan gejala halusinasi dapat dilihat keluarga yaitumengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-kamit serta ada gerakan tangan yang tidak wajar.

      2. Halusinasi penglihatan (visual-seeing persons or things)

      Tanda dan gejala yang dapat dilihat oleh keluarga yaitu tatapan mata pada tempat tertentu, menunjuk kearah tertentu, ketakutan pada objek yang dilihatnya sendiri.

      3. Halusinasi penghidu (olfactory-smeeling odors) Tanda dan gejala yang dapat dilihat oleh keluarga yaitu ekspresi wajah seperti mencium sesuatu dengan gerakan cuping hidung, mengarahkan hidung pada tempat tertentu.

      4. Halusinasi perabaan (tactile-feeling bodily sensations) Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu mengusap, menggaruk-garuk meraba-raba permukaan kulit. Terlihat menggerak-gerakkan badan seperti merasakan sesuatu rabaan.

      5. Halusinasi pengecapan (gustatory-experiencing tastes) Tanda dan gejala yang dapat dilihat oleh keluarga yaitu seperti mengecap sesuatu. Gerakan mengunyah, meludah atau muntah.

      6. cenesthetic & Kinestetic hallucinations Tanda dan gejala yang dapat dilihat oleh keluarga yaitu klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat merasakan sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.

      b) Merawat klien halusinasi Menurut Yosep (2011), ada beberapa tindakan perawatan penderita halusinasi yang harus diketahui: a. Membina hubungan saling percaya dengan klien

      Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membina hubungan saling percaya dengan klien. Tunjukkan sikap empati dengan: mendengarkan keluhan klien dengan penuh perhatian; tidak membantah halusinasi klien; segera menolong klien jika klien membutuhkan perawatan. Menurut Nasir & Muhith (2011), ada beberapa sikap untuk menunjukkan cara mendengarkan penuh perhatian, antara lain sebagai berikut: 1.

      Berusaha mendengarkan klien menyampaikan pesan nonverbalbahwa keluarga perhatian terhadap kebutuhan dan masalah klien.

      2. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan upaya

      untuk mengerti seluruh pesan verbal dan nonverbal yang sedang dikomunikasikan.

      

    3. Ketrampilan mendengarkan penuh perhatian adalah dengan

    memandang klien ketika sedang berbicara.

      4. Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan.

      5. Sikap tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau tangan.

      6. Hindarkan gerakan yang tidak perlu.

      7. Anggukkan kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan balik.

      8. Condongkan tubuh kearah lawan bicara, bila perlu duduk atau minimal sejajar dengan klien.

      9. Meninggalkan emosi dan perasaan kita dengan cara

      menyisihkan perhatian, ketakutan atau masalah yang sedang kita hadapi.

      10. Mendengarkan dan memperhatikan intonasi kata yang diucapkan yang menggambarkan sesuatu yang berlebihan.

      11. Memperhatikan dan mendengarkan apa-apa yang tidak terucap

      oleh klien yang menggambarkan sesuatu yang sulit dan menyakitkan klien.

      b. Mengkaji isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus, dan respons klienterhadap halusinasi (mengenal halusinasi) Sama seperti tindakan perawat yang sudah diuraikan diatas,mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku klien dan menanyakan secara verbal apa yang dialami oleh klien. Kemudian keluarga juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh klien. Hal ini dilakukan untuk menentukan ntervensi khusus pada waktu terjadinyahalusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk pencegahan terjadinya halusinasi. Kemudian untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan apa ada respons klien ketika halusinasi itu muncul keluarga dapat menanyakan pada klien hal yang dirasakan atau dilakukan pada saat halusinasi timbul.

      c. Melatih klien mengontrol halusinasi Untuk membantu klien agar mampu mengontrol halusinasi, keluarga dapat mendiskusikan empat cara mengontrol halusinasi kepada klien. Keempat cara tersebut meliputi:

      1. Menghardik halusinasi Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Klien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan halusinasinya. Apabila ini bisa dilakukan klien dapat mengendalikan halusinasinya. Mungkinhalusinasi tetap muncul, namun dengan kemampuan ini klien klien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya.

      Tahapan tindakan meliputi: 1) Menjelaskan cara menghardik halusinasi 2) Memperagakan cara menghardik 3) Meminta klien untuk memperagakan ulang 4) Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku klien

      2. Melatih bercakap-cakap dengan oranglain Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu mengontrol halusinasi, dan fokus perhatian klien beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang tersebut.

      3. Melatih klien beraktivitas secara terjadwal Libatkan klien dengan terapi modalitas. Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, klien tidak akan mengalami banyak waktu luang yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam. Tahapan intervensi sebagai berikut: 1) Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi 2) Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh klien 3) Melatih klien melakukan aktivitas 4) Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upayakan klien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu.

      5) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguatan terhadap perilaku klien yang positif

      4. Melatih klien menggunakan obat secara teratur Agar klien mampu mengontrol halusinasi maka perlu dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat sehingga akibatnya klien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Oleh karena itu klien dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini tindakan yang perlu dilakukan keluarga agar klien patuh menggunakan obat:

      a. Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa

      b. Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program

      c. Jelaskan akibat bila putus obat

      d. Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis).

      d. Memantau efek samping obat Keluarga perlu memahami efek samping yang sering ditimbulkan oleh obat-obat psikotik seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku-kaku otot, otot bahu tertarik sebelah, hipersaliva, pergerakan otot tak terkendali. Untuk mengatasi ini biasanya dokter memberikan obat anti parkinsonisme yaitu Trihexyphenidile 3 x 2 mg. Apabila terjadi gejala-gejala yang dialami oleh klien tidak berkurang maka perlu diteliti apakah obat betul-betul diminum atau tidak.

      c) Mengetahui follow up dan rujukan untuk klien halusinasi Peran keluarga dibutuhkan dalam mengawasi klien dirumah. Penting bagi keluarga untuk mengetahui tanda dan gejala yang menunjukkan klien kambuh atau tidak. Keluarga diharapkan mengetahui kondisi klien 24 jam agar tingkat kesembuhan klien dapat terkontrol.

      Keluarga harus rutin secara berkala membawa klien ke rumah sakit jiwa atau fasilitas kesehatan lain yang mendukung untuk kontrol ulang dan mendapat pengobatan serta mengetahui perkembangan kesehatan klien. Jika perilaku klien tidak terkendali seperti mengamuk, tidak mau minum obat, maka segera bawa ke rumah sakit jiwa atau fasilitas kesehatan lain yang mendukung agar mendapat penanganan yang terbaik.

      c. Terapi Generalis Kelompok Menurut Yosep (2011), Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satusama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih.

      Adapun tujuan dari aktivitas kelompok menurut Riyadi & Purwanto (2009) adalah untuk memfasilitasi psikoterapis terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota.

      Jumlah anggota kelompok dan komposisi dalam terapi kelompok harus ditentukan terlebih dahulu. Menurut wartono (1976) kelompok dengan cara verbalisasi biasanya 7-8 anggota merupakan jumlah yang ideal, sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Menurut Caplan, 1971 dalam Yosep, 2011, besarnya anggota kelompok terdiri dari 7-9 anggota (pria dan wanita) memungkinkan anggota berada dalam rasa tau suku, latar belakang sosial dan pendidikan sehingga mirip dengan kehidupan nyata. Sementara menurut Johnson, 1963 dalam Yosep, 2011, terapi kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumah sebanyak itu. Apabila keanggotaan lebih dari 10, maka komunikasi sulit untuk difokuskan, sedangkan jika anggota kurang dari 4, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan seringkali bertingkah laku irasional.

      Menurut Dalami (2010), terapi aktivitas kelompok untuk klien halusinasi dibagi dua yaitu: a. Terapi aktivitas kelompok: stimulasi persepsi

      Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan/atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah. Tujuan umum TAK stimulasi persepsi adalah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya.

      Aktivitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan yaitu baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV (ini merupakan stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptif atau destruktif misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negatif pada orang lain, dan halusinasi.

      Kemudian dilatih persepsi klien terhadap stimulus.

      1. Terapi aktivitas kelompok: stimulasi sensosi Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi sensosi adalah upaya menstimulasi semua panca indera (sensori) agar memberi respons yang adekuat. Tujuan umum TAK stimulasi sensori agar klien dapat berespons terhadap stimulus panca indera yang diberikan yaitu terhadap suara, gambar dan mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar.