BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kemandirian a. Pengertian Kemandirian - Katrina Ramadhani Bab II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kemandirian a. Pengertian Kemandirian Kemandirian merupakan salah satu dari 18 nilai pendidikan

  karakter yang dikembangkan di SD. Muslich (2011: 67) berpendapat, “pendidikan karakter, alih-alih disebut pendidikan budi pekerti, sebagai pendidikan nilai moralitas manusia yang didasari pada penge tahuan nilai itu dilakukan”. Winton dalam Samani, dkk

  (2012: 43), “Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh- sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada peserta didik nya.”

  Definisi lainnya dikemukakan oleh Ratna Megawangi dalam Kesuma, dkk

  (2011: 5), “sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga peserta didik dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya”. Lickona dalam Samani dan Hariyanto (2012: 44) mendefinisikan secara sederhana bahwa pendidikan karakter merupakan suatu upaya untuk memperbaiki karakter peserta didik.

  9 Berdasarkan beberapa pengertian menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah proses penanaman nilai-nilai karakter dari seorang pendidik kepada peserta didiknya yang meliputi pengetahuan, kesadaran, dan tindakan untuk melaksanakan nilai tersebut baik kepada Tuhan, diri sendiri maupun orang lain untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter baik, dan dapat mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah memperoleh pendidikan karakter, peserta didik diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif di lingkungannya.

  Peserta didik dapat memperoleh pendidikan karakter salah satunya yaitu dari sekolah. Pendidikan karakter di sekolah mempunyai tujuan tertentu. Kesuma (2011: 9) menjabarkan tujuan pendidikan karakter di sekolah adalah sebagai berikut: 1) Memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika saat berproses di sekolah maupun setelah menjadi lulusan dari sekolah.

  2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah (meluruskan perilaku negatif peserta didik menjadi perilaku yang positif)

  3) Membangun koneksi antara sekolah, keluarga dan masyarakat untuk melaksanakan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.

  Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan karakter di sekolah, diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, serta melaksanakan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter di sekolah, diharapkan dapat menanamkan karakter yang baik kepada peserta didik selama berproses di sekolah maupun setelah menjadi lulusan dari sekolah.

  Karakter yang dikembangkan di Indonesia ada 18, salah satunya yaitu kemandirian. Seifert dan Hoffnug (Desmita, 2009: 185) mendefinisikan kemandirian atau otonomi sebagai kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan-perasaan malu dan keraguan. Desmita (2009: 185) menyatakan bahwa kemandirian mengandung beberapa pengertian, yaitu: 1) Suatu kondisi seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.

  2) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

  3) Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya. 4) Bertanggungjawab atas apa yang dilakukan.

  Beberapa pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian merupakan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakan secara bebas serta berusaha untuk menentukan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas. Menyelesaikan tugas sendiri hasilnya akan lebih memuaskan dibandingkan dengan pekerjaan yang dibantu oleh orang lain. Peserta didik yang mempunyai kemandirian akan menjadikan proses pembelajaran menjadi lancar, sehingga guru juga dapat menikmati mengajarnya. Peserta didik yang mandiri, nantinya akan dapat melayani kebutuhannya sendiri sekaligus bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.

  Karakter mandiri biasanya ditemukan pada peserta didik yang memiliki percaya diri, namun pengertian mandiri berbeda dengan percaya diri. Mustari (2014: 77) mandiri adalah seseorang yang memiliki percaya diri untuk menghadapi situasi apa saja, sedangkan percaya diri adalah sifat spesifik yang terdapat pada diri seseorang. Arti kemandirian dalam keluarga adalah sifat pada diri peserta didik yang dibentuk oleh orang tuanya sejak dini dalam membangun kepribadian peserta didik tersebut. Arti mandiri bagi anak usia sekolah dasar adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

  Adapun individu yang memiliki ciri-ciri kemandirian, menurut Erikson (Desmita, 2009: 185) mengatakan bahwa: 1) Dapat menentukan nasib sendiri.

  2) Memiliki inisiatif dan kreatif. 3) Membuat pertimbangan sendiri dalam bertindak.

  4) Bertanggungjawab atas tindakan sendiri. 5) Mampu menahan diri. 6) Dapat mengambil keputusan sendiri.

  Karakter mandiri mempunyai dua indikator yaitu indikator sekolah dan indikator kelas (Daryanto dan Suryatri, 2013: 137) yaitu:

Tabel 2.1 Indikator Kemandirian Kelas I Sampai III

  Nilai Indikator kelas I sampai III Mandiri

  1. Melakukan sendiri tugas kelas yang menjadi tanggung jawabnya.

  2. Mengerjakan PR tanpa meniru pekerjaan temannya.

  Pada indikator sekolah, menciptakan situasi sekolah yang membangun kemandirian peserta didik. Sekolah memberikan sarana yang memungkinkan peserta didik berlatih menjadi individu yang mandiri, misalnya untuk melatih kemandirian peserta didik dalam mencuci tangan, sekolah menyediakan sarana cuci tangan. Dalam indikator kelas, menciptakan suasana kelas yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja mandiri. Peserta didik yang mandiri akan melakukan sendiri tugas kelas yang menjadi tanggung jawabnya.

b. Bentuk Bentuk Kemandirian

  Kemandirian mempunyai beberapa bentuk. Robert Havighrust (Desmita, 2009: 186) membedakan kemandirian atas empat bentuk kemandirian, yaitu: 1) Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain.

  2) Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain. 3) Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.

  4) Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain. Steiberg dalam Desmita (2009: 186) membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk : “The first emotional autonomy-that aspect of independence

  relate to changes in the individual’s close relationships, especially with parent. The second behavioral autonomy-the capacity to make independent decisions and follow through with them. The third characterization involves an aspect of independence reffered to as value autonomy-wich is more than simply being able to resist pressures to go along with the demands of other; it means having a set a principles about right and wrong, about what is important and what is not

  ”.

  Pendapat Steiberg di atas dapat diartikan bahwa tiga karakteristik kemandirian, yaitu: “Pertama, kemandirian emosional menyatakan perubahan kedekatan emosional antar individu. Kedua, kemandirian tingkah laku untuk membuat keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukan secara tanggungjawab. Ketiga, kemandirian nilai memaknai prinsip tentang benar dan salah.

c. Permasalahan Kemandirian

  Pentingnya kemandirian bagi peserta didik dapat dilihat dari kompleksitas kehidupan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kehidupan peserta didik. Dalam konteks proses belajar, terlihat adanya fenomena peserta didik yang kurang mandiri dalam belajar. Hal ini dapat menimbulkan gangguan mental setelah memasuki pendidikan lanjutan, kebiasaan belajar yang kurang baik (seperti tidak betah belajar lama atau belajar hanya menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari bocoran soal-soal).

  Fenomena-fenomena di atas menuntut dunia pendidikan untuk mengembangkan kemandirian peserta didik. Sunaryo (Desmita, 2009: 189-190) menyebutkan bahwa beberapa gejala yang berhubungan dengan permasalahan kemandirian, yaitu: 1) Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku tidak konsisten, yang akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri kemandirian manusia.

  2) Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang peduli dengan lingkungannya. 3) Ketidakjujuran dalam berpikir dan bertindak, serta kemandirian yang masih rendah.

2. Prestasi Belajar a. Pengertian Prestasi Belajar

  Prestasi belajar akan mudah didapat oleh seseorang apabila senantiasa belajar. James O. Whittaker (Djamarah, 2008: 12) merumuskan belajar sebagai “proses tingkah laku yang ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman”. Kesimpulan yang dikemukakan oleh Abdillah dalam Aunurrahman (2010: 35), belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku, baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor untuk memperoleh tujuan tertentu. Dalam buku Educational Psychology, H.C Witherington (Aunurrahman, 2010: 35), mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepribadian atau suatu pengertian.

  Beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa, belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh individu sebagai hasil pengalaman interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Tentunya untuk mendapatkan perubahan tersebut, dilakukan oleh seseorang melalui usaha secara sadar.

  Selain terdapat pengertian belajar, terdapat pula ciri-ciri belajar. Apabila hakikat belajar adalah proses perubahan tingkah laku, maka terdapat beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan ke dalam ciri-ciri belajar (Slameto, 2010: 3). Ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut: 1) Perubahan yang terjadi secara sadar. Individu yang belajar akan menyadari adanya perubahan yang terjadi pada dirinya. Misalnya, menyadari bahwa setelah belajar pengetahuannya menjadi bertambah.

  2) Perubahan dalam belajar bersifat berkelanjutan dan fungsional.

  Perubahan yang terjadi pada diri seseorang setelah belajar berlangsung secara berkelanjutan, tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan proses belajar berikutnya.

  3) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. Semakin seseorang sering belajar, maka akan semakin bertambahnya sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Perubahan yang bersifat aktif artinya perubahan tersebut terjadi karena usaha individu itu sendiri.

  4) Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara (menetap/permanen). Perubahan yang terjadi pada seseorang setelah belajar akan bersifat menetap, apabila sering dilatih dan ilmu yang didapat sering digunakan. 5) Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah. Belajar senantiasa memiliki tujuan yang telah ditetapkan dan ingin dicapai. Belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang disadari.

  6) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Jika seseorang telah belajar sesuatu, maka akan terjadi perubahan tingkah laku secara menyeluruh, baik pada aspek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan.

  Seorang peserta didik apabila belajar dengan teratur dan serius, maka akan mudah mendapatkan prestasi belajar. Menurut Hamdani (2011: 138-139) prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki peserta didik dalam menerima, menolak, dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar.

  Arifin (2013: 12) mengemukakan tentang prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek pengetahuan. Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas yang telah dikuasai peserta didik. Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan. Selain itu prestasi belajar dapat dijadikan pendorong bagi peserta didik dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berperan sebagai umpan balik dalam meningkatkan mutu pendidika n. Kata “prestasi” berasal dari bahasa Belanda yaitu

  prestatie . Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi”

  yang berarti “hasil usaha”. Prestasi belajar (achievement) berbeda dengan hasil belajar (learning outcome), prestasi belajar biasanya berkenaan dengan aspek kognitif yang dicapai peserta didik setelah pembelajaran, sedangkan hasil belajar yaitu berkenaan dengan aspek pembentukan watak peserta didik.

  Menurut pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang yang telah melaksanakan usaha-usaha belajar. Usaha-usaha tersebut berupa suatu kecakapan dari kegiatan belajar bidang akademik di sekolah dalam jangka waktu tertentu yang dinyatakan dalam nilai setelah mengalami proses belajar mengajar.

b. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prestasi Belajar

  Adapun faktor-faktor yang dapat memengaruhi prestasi belajar. Hamdani (2011: 139-145) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu:

  1) Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari peserta didik.

  Faktor ini antara lain sebagai berikut:

  a) Kecerdasan (Intelegensi) Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya. Adakalanya perkembangan ini ditandai oleh kemajuan- kemajuan yang berbeda antara satu peserta didik dengan peserta didik yang lain, sehingga peserta didik pada usia tertentu sudah memiliki tingkat kecerdasan lebih tinggi dibandingkan dengan kawan sebayanya. Oleh karena itu, jelas bahwa faktor intelegensi merupakan suatu hal yang tidak diabaikan dalam kegiatan belajar mengajar.

  b) Faktor jasmaniah atau faktor fisiologis Kondisi jasmaniah atau fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang.

  c) Sikap Sikap yaitu suatu kecenderungan untuk mereaksi terhadap suatu hal, orang atau benda dengan suka, tidak suka, atau acuh tak acuh. Sikap sesorang dapat dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, kebiasaan, dan keyakinan. Dalam diri peserta didik harus ada sikap yang positif (menerima) kepada sesama peserta didik atau kepada gurunya. Sikap posistif ini akan menggerakan untuk belajar. Peserta didik yang sikapnya negatif (menolak) kepada sesama peserta didik atau gurunya tidak akan mempunyai kemauan untuk belajar.

  d) Minat Minat menurut ahli psikologi adalah suatu kecenderungan untuk selalu memperhatikan dan mengingat sesuatu secara terus menerus. Minat ini erat kaitannya dengan perasaan senang. Minat itu terjadi karena perasaan senang pada sesuatu. Jika menyukai sesuatu pelajaran, peserta didik akan belajar dengan senang hati tanpa beban.

  e) Bakat Bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Setiap orang memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Bakat itu sendiri sangat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar pada bidang- bidang studi tertentu. f) Motivasi Motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong sesorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga semakin besar kesuksesan belajarnya. Kuat lemahnya motivasi belajar turut mempengaruhi keberhasilan belajar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor yang memengaruhi prestasi belajar, salah satunya yaitu faktor internal. Faktor internal terdiri dari kecerdasan, faktor jasmani, sikap, minat, bakat, dan motivasi. Kecerdasan adalah kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Faktor jasmani adalah apabila kesehatan terganggu, maka kegiatan belajar akan terganggu pula.

  Sikap adalah reaksi seseorang terhadap suatu hal, orang, atau benda. Minat adalah kecenderungan mengingat dan memperhatikan sesuatu secara terus menerus. Motivasi adalah segala seasuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. 2) Faktor Eksternal

  a) Keadaan keluarga Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Adanya rasa aman dalam keluarga sangat penting dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Rasa aman itu membuat seseorang terdorong untuk belajar secara aktif karena rasa aman merupakan salah satu kekuatan pendorong dari luar yang menambah motivasi untuk belajar.

  b) Keadaan sekolah Lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong peserta didik untuk belajar lebih giat. Keadaan sekolah ini meliputi cara penyajian pembelajaran, hubungan guru dengan peserta didik, alat-alat pelajaran, dan kurikulum. Hubungan antara guru dan peserta didik yang baik akan mempengaruhi hasil-hasil belajarnya.

  c) Lingkungan masyarakat Lingkungan membentuk kepribadian anak karena dalam pergaulan sehari-hari, seorang anak selalu menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya. Oleh karena itu, apabila seorang peserta didik bertempat tinggal di suatu lingkungan temannya yang rajin belajar, kemungkinan hal tersebut akan membawa pengaruh belajar sebagaimana temannya.

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar selain dipengaruhi oleh faktor internal, juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor eksternal terdiri dari keadaan keluarga, keadaan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Adanya rasa aman dalam keluarga merupakan kekuatan pendorong dari luar yang menambah motivasi untuk belajar. Lalu, keadaan di sekolah meliputi hubungan guru dengan peserta didik, penyajian pembelajaran, alat pembelajaran dan kurikulum yang baik akan mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Apabila peserta didik tinggal di lingkungan temannya yang rajin belajar, maka akan membawa pengaruh belajar sebagaimana temannya, karena peserta didik selalu menyesuaikan diri dengan kebiasaan lingkungannya.

  Jenis, indikator, dan cara evaluasi prestasi (Syah, 2003: 217) dapat tersaji dalam tabel berikut:

  

2. Dapat menggunakan secara

tepat.

  1. Tes tertulis; 2. Pemberian tugas.

  2. Pemberian tugas; 3. Observasi.

  1. Tes tertulis;

  1. Tes lisan; 2. Tes tertulis.

  2. Tes tertulis; 3. Observasi.

  1. Tes lisan;

  2. Tes Tertulis; 3. Observasi.

  1. Tes lisan;

  

3. Dapat menggeneralisasikan

(membuat prinsip umum).

  2. Dapat menyimpulkan;

  1. Dapat menghubungkan

materi-materi, sehingga

menjadin kesatuan baru;

  2. Dapat

mengklasifikasikan/memila

h-milah.

  1. Dapat menguraikan;

  

1. Dapat memberikan contoh;

Tabel 2.2 Jenis, Indikator, dan Cara Evaluasi Prestasi Ranah Cipta

  2. Dapat mendefinisikan dengan lisan sendiri.

  1. Dapat menjelaskan;

  1. Dapat menyebutkan; 2. Dapat menunjukkan.

  2. Dapat membandingkan; 3. Dapat menghubungkan.

  1. Dapat menunjukkan;

  6. Sintesis (Membuat paduan baru dan utuh)

  5. Analisis (Pemeriksa an dan pemilahan secara teliti)

  4. Aplikasi/ Penerapan

  3. Pemahaman

  2. Ingatan

  1. Pengamatan

  A. Ranah Cipta (Kognitif)

  Ranah/Jenis Prestasi Indikator Cara Evaluasi

  1. Tes tertulis; 2. Pemberian tugas. Berdasarkan tabel 2.1 di atas, evaluasi prestasi belajar ranah cipta (kognitif) mempunyai 6 tingkatan, yaitu pengamatan, ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, dan sintesis. Cara evaluasi prestasi belajar ranah cipta dapat dilakukan dengan tes tertulis maupun tes lisan.

c. Fungsi Prestasi Belajar

  Prestasi belajar memiliki fungsi. Fungsi utama prestasi belajar menurut Arifin (2013: 12) adalah sebagai berikut:

  1. Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik.

  2. Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu.

  3. Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan, karena dapat dijadikan sebagai pendorong bagi peserta didik dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berperan sebagai umpan balik dalam meningkatkan mutu pendidikan.

  4. Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan. Indikator intern berarti prestasi belajar dapat dijadikan indikator produktivitas suatu institusi pendidikan, sedangkan indikator ekstern berarti tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat kesuksesan peserta didik di masyarakat.

  5. Prestasi belajar dapat dijadikan indikator kecerdasan peserta didik.

  Beberapa fungsi utama prestasi belajar di atas begitu penting agar dapat mengetahui dan memahami prestasi belajar peserta didik, baik secara individual maupun kelompok, sebab fungsi prestasi belajar tidak hanya sebagai indikator keberhasilan dalam mata pelajaran tertentu, tetapi juga sebagai indikator kualitas suatu institusi pendidikan. Selain itu, prestasi belajar juga bermanfaat sebagai umpan balik bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, sehingga guru dapat memutuskan apakah peserta didik membutuhkan bimbingan atau tidak.

3. Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) a. Pengertian IPS

  IPS merupakan mata pelajaran di sekolah yang didesain atas dasar fenomena, masalah dan realitas sosial. Zuraik dalam Susanto (2013: 138), hakikat IPS adalah harapan untuk mampu membina suatu masyarakat yang baik dimana para anggotanya benar-benar berkembang sebagai insan sosial yang rasional dan penuh tanggung jawab, sehingga karenanya diciptakan nilai-nilai. IPS mempunyai fondasi dan tugas bagi pengembangan intelektual, emosional, kultural, dan sosial peserta didik, agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat (Zubaedi, 2011: 287).

  Ilmu Pengetahuan Sosial, yang sering disingkat dengan IPS, adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji berbagai disiplin ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang dikemas secara ilmiah dalam rangka memberi wawasan dan pemahaman yang mendalam kepada peserta didik, khususnya di tingkat dasar dan menengah. Hakikat IPS di sekolah dasar memberikan pengetahuan dasar dan keterampilan sebagai media pelatihan bagi peserta didik sebagai warga negara sedini mungkin (Susanto, 2013: 138).

  Jadi, hakikat IPS adalah untuk mengembangkan konsep pemikiran yang berdasarkan realita kondisi sosial yang ada di lingkungan peserta didik, sehingga dengan memberikan pendidikan

  IPS diharapkan dapat melahirkan warga negara yang baik dan bertanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya. Pembelajaran

  IPS dikembangkan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang nilai, sikap, pengetahuan, serta kecakapan dasar peserta didik yang berpijak pada kehidupan nyata.

  Pendidikan IPS di sekolah dasar merupakan bidang studi yang mempelajari manusia dalam semua aspek kehidupan dan interaksinya di masyarakat. Peran IPS sangat penting untuk mendidik peserta didik mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar kelak dapat menjadi warga negara yang baik.

b. Visi dan Misi IPS

  Pendidikan IPS mempunyai visi dan misi yaitu, membentuk dan mengembangkan pribadi menjadi warga negara yang baik. Barr, R.D, Barth J.L dan Shermis S.S dalam Sapriya dkk (2007: 10) ciri- ciri karakter warga negara yang baik adalah sebagai berikut: 1) Memiliki sikap patriotisme (cinta kepada tanah air, bangsa dan negara). 2) Mempunyai penghargaan dan pengertian terhadap nilai-nilai, pranata, dan praktik kehidupan kemasyarakatan. 3) Memiliki sikap integritas sosial dan tanggung jawab sebagai warga negara. 4) Mempunyai pengertian dan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya atau tradisi yang diwariskan oleh bangsanya. 5) Mempunyai motivasi untuk turut serta secara aktif dalam pelaksanaan kehidupan demokrasi. 6) Memiliki kesadaran (tanggap) akan masalah sosial. 7) Memiliki ide, sikap dan keterampilan yang diharapkan sebagai seorang warga negara. 8) Mempunyai pengertian dan penghargaan terhadap sistem ekonomi yang berlaku.

  Pendidikan IPS mempunyai misi. Misi pendidikan IPS (Sapriya, 2007: 10-11):

  1) Menumbuhkan kesadaran bahwa dirinya merupakan makhluk ciptaan-Nya.

  2) Mendidik peserta didik menjadi warga negara yang baik. 3) Menekankan pada kehidupan manusia yang demokratis. 4) Meningkatkan partisipasi aktif, efektif, dan kritis sebagai warga negara.

  5) Membina peserta didik tidak hanya pengembangan pengetahuan, tetapi sikap dan keterampilan agar dapat mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan kelak sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik.

  Berdasarkan visi dan misi menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan IPS dapat membentuk dan mengembangkan peserta didik menjadi warga negara yang baik menumbuhkan kesadaran bahwa dirinya merupakan makhluk ciptaan Tuhan dan membina pengembangan peserta didik pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar dapat menjadi warga negara yang aktif dalam kehidupannya kelak.

c. Tujuan IPS di Sekolah Pendidikan IPS di sekolah dasar mempunyai tujuan tertentu.

  Secara perinci, Mutakin dalam Susanto (2013: 145) merumuskan tujuan pembelajaran IPS di sekolah, sebagai berikut: 1) Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat. 2) Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah- masalah sosial. 3) Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat. 4) Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat. 5) Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat. Berdasarkan pendapat di atas mengenai tujuan pendidikan IPS di sekolah, dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

  1) Memberikan kepada peserta didik pengetahuan tentang pengalaman manusia dalam kehidupan bermasyarakat pada masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. 2) Menolong peserta didik untuk mengembangkan keterampilan untuk mencari, mengolah, dan memproses informasi.

  3) Menolong peserta didik untuk mengembangkan nilai/sikap demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat.

  4) Menyediakan kesempatan kepada peserta didik untuk berperan serta dalam kehidupan sosial.

  Tujuan lain dalam pendidikan IPS ini yaitu peserta didik akan dapat mengamati dan mempelajari norma-norma atau peraturan serta kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku dalam masyarakat, sehingga peserta didik mendapat pengalaman langsung adanya hubungan timbal balik yang saling memengaruhi antara kehidupan pribadi dan masyarakat. Peserta didik juga akan memperoleh pengetahuan dari yang sederhana sampai yang lebih luas, dimulai dari peserta didikdiperkenalkan dengan diri sendiri, lalu keluarga, tetangga, lingkungan RT dan RW, desa/kelurahan, kota/kabupaten, provinsi, negara, hingga dunia. Itulah sebabnya pendidikan IPS di sekolah dasar bergerak dari yang konkret menuju ke yang abstrak, mengikuti sesuai dengan perkembangan kognitif anak usia sekolah dasar.

d. Materi IPS untuk Penelitian

  Materi IPS yang digunakan oleh peneliti dalam PTK ini mengambil Standar Kompetensi 2 semester 2 yaitu,

  Mendeskripsikan Lingkungan Rumah, dengan pembagian Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikator sebagai berikut: 1) Siklus I Standar Kompetensi Mendeskripsikan Lingkungan

  Rumah, Kompetensi Dasar Mendeskripsikan Letak Rumah, dan indikator pertemuan I Membedakan arah mata angin, indikator pertemuan II Menjelaskan letak rumah. 2) Siklus II Standar Kompetensi Mendeskripsikan Lingkungan

  Rumah, Kompetensi Dasar Mendeskripsikan Letak Rumah, dan indikator pertemuan I Menyebutkan Alamat Rumah, indikator pertemuan II Menjelaskan letak suatu tempat.

  Materi ini diajarkan di kelas I, sesuai dengan silabus. Materi ini diajarkan dengan alokasi waktu 8 jam pertemuan x 35 menit.

  Materi pokok ini meliputi arah mata angin, letak rumah, alamat rumah, dan letak suatu tempat.

4. Metode Field Study a. Pengertian Metode Field Study

  Metode secara harfiah diartikan sebagai “cara”. Metode diartikan menurut Susanto (2013: 153), adalah “cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep- konsep secara sistematis”. Adapun menurut Sudjana dalam Susanto (2013: 153), metode mengajar dapat diartikan sebagai cara guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat berlangsungnya pengajaran.

  Dapat disimpulkan bahwa metode mengajar adalah suatu cara yang dipakai oleh seorang pendidik dalam menyampaikan bahan pelajaran sehingga bisa diterima oleh peserta didik dan juga tercapainya tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu, seorang guru dituntut untuk dapat menggunakan metode pembelajaran yang beragam, agar suasana pembelajaran menjadi lebih baik.

  Salah satu metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPS adalah metode Field Study (studi lapangan atau karyawisata).

  Studi lapangan menurut Nigel Bevan dan Tomer Sharon (Nursa’ban, 2012: 6) adalah metode pembelajaran melalui pengumpulan data secara langsung dengan pengamatan, wawancara, mencatat, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Pada proses berlangsung, pembelajar berada langsung di lapangan. Sumaatmadja (1980: 113) mengemukakan studi lapangan atau karyawisata yaitu “suatu kunjungan ke objek tertentu di luar lingkungan sekolah, yang ada di bawah bimbingan guru, yang bertujuan untuk mencapai tujuan instruksional tertentu”.

  Metode Field Study termasuk dalam pembelajaran kontekstual, yaitu tipe pembelajaran yang dapat membawa peserta didik untuk belajar di luar kelas atau lingkungan kehidupan nyata, agar mereka dapat mengamati secara langsung. Metode ini merupakan salah satu tipe pembelajaran kontekstual yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh peserta didik tanpa merasa bosan dengan pembelajaran jika dilakukan di kelas dan mengandung unsur

  refreshing (Rochimah dan Wahid, 2011: 5).

  Field study menerapkan prinsip pengajaran modern yang

  memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran. Peserta didik dapat secara mandiri berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para instruktur maupun guru pembimbing, serta mengalami dan menghayati langsung yang dilakukan, memperoleh bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman yang terintegrasi dan terpadu, serta membuat materi yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat, tentunya juga dapat lebih merangsang kreativitas peserta didik.

b. Tujuan Field Study

  Tujuan dilaksanakan Field Study antara lain peserta didik memperoleh pengalaman langsung dari obyek yang dilihatnya dan dapat turut menghayati tugas pekerjaan milik seseorang serta dapat bertanya jawab, dengan demikian mereka mampu memecahkan persoalan yang dihadapinya dalam pelajaran, maupun pengetahuan umum. Selain itu peserta didik dapat melihat, mendengar, meneliti dan mencoba yang sedang dihadapinya, agar nantinya dapat mengambil kesimpulan, dan sekaligus dalam waktu yang sama peserta didik dapat mempelajari beberapa mata pelajaran.

  Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan

  

Field Study menurut Rochimah dan Wahid (2011: 5) adalah sebagai

  berikut: 1) Persiapan, untuk menetapkan tujuan pembelajaran dengan jelas, mempertimbangkan pemilihan teknik, menghubungi objek yang akan dikunjungi untuk merundingkan segala sesuatu, penyusunan rencana,dan mempersiapkan sarana.

  2) Pelaksanaan Field Study, guru mengatur segalanya, setiap peserta didik mematuhi tata tertib yang telah ditentukan bersama, guru menerangkan dan memperlihatkan aplikasi dalam kehidupan nyata objek sesuai materi pelajaran yang diajarkan. Aktivitas belajar berupa pengamatan, percobaan, atau eksperimen yang memungkinkan peserta didik dapat belajar lebih rileks di samping menumbuhkan tanggungjawab dan keterlibatan belajar. 3) Akhir Field Study, setelah itu peserta didik mengadakan diskusi mengenai segala hal hasil percobaan dan pengamatannya. Guru memberikan soal-soal kepada peserta didik yang dikumpulkan secara individu. Menindaklanjuti hasil kegiatan Field Study seperti membahas soal-soal yang diberikan.

c. Keuntungan dan Kekurangan Field Study

  Metode Field Study mempunyai keuntungan. Beberapa keuntungan studi lapangan atau karya wisata menurut Roestiyah (2012: 87) adalah sebagai berikut: 1) Peserta didik dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para petugas pada obyek karya wisata itu, serta mengalami dan menghayati langsung apa pekerjaan para petugas yang mungkin hal tersebut tidak diperoleh di sekolah.

  2) Peserta didik dapat melihat kegiatan berbagai kegiatan para petugas secara individu maupun kelompok, dan dihayati secara langsung, yang akan memperdalam dan memperluas pengalaman peserta didik.

  3) Peserta didik dapat bertanya jawab, menemukan sumber informasi yang pertama untuk memecahkan persoalan yang dihadapi, sehingga peserta didik menemukan bukti kebenaran teorinya atau mencobakan teorinya ke dalam praktik.

  4) Peserta didik dapat memperoleh bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman yang terintegrasi, yang tidak terpisah-pisah dan terpadu.

  Pada penerapannya, studi lapangan atau karya wisata pada pembelajaran IPS selain memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan (Sumaatmadja, 1980: 116). Kekurangan tersebut antara lain:

  1) Jika terlalu sering dilaksanakan, akan dapat mengganggu rencana pembelajaran.

  2) Jika objek yang akan dijadikan bahan karya wisata terlalu jauh letaknya, menyulitkan angkutan dan pembiayaan.

  3) Jika dalam pelaksanaan sifatnya terlalu kaku, dapat menurunkan minat peserta didik terhadap studi lapangan, sehingga tujuan tidak tercapai.

  5. Media Gambar Denah

  Pada dasarnya, pelajaran IPS adalah pelajaran yang mengikuti perkembangan zaman, sehingga guru perlu memberi contoh-contoh konkret dalam pembelajaran, misalnya pada materi letak rumah. Dalam satu tahun saja, denah letak rumah tahun lalu akan berbeda dengan denah letak rumah tahun sekarang. Guru perlu memberi contoh-contoh yang bervariasi untuk menarik minat peserta didik dalam pembelajaran tersebut.

  Pengalaman langsung peserta didik dari lingkungan melalui benda tiruan berupa media gambar denah, akan membantu penyampaian pesan kepada peserta didik agar pembelajaran dapat dipahami dengan baik. Pengalaman langsung akan memberi informasi dari pengalaman peserta didik yang melibatkan panca indera. Media gambar denah yang berupa simbol abstrak merupakan awal pembentukan pengalaman berupa penggambaran realitas secara langsung. Penjelasan di atas merupakan pembuktian dari teori kerucut pengalaman atau Cone of Experience dari Edgar Dale. Edgar Dale mengatakan bahwa tingkat pengalaman peserta didik menggunakan rentang dari yang bersifat konkret ke abstrak untuk memberikan implikasi terhadap pemilihan media dan bahan pembelajaran. Berikut ini gambar kerucut pengalaman menurut Edgar Dale:

Gambar 2.1 Cone of Experience dari Edgard Dale

  Berdasarkan gambar di atas, peneliti memilih metode Field Study sebagai simulasi agar 90% materi gambar denah dapat diingat oleh peserta didik. Peneliti juga memilih gambar denah sebagai media untuk penyajian untuk presentasi materi gambar denah yang 70% dapat diingat oleh peserta didik. Gambar denah yang disajikan tersebut juga disajikan untuk dilihat agar 30% materi dapat diingat.

  Teori kerucut pengalaman Edgar Dale, peneliti jadikan pedoman dengan harapan materi letak rumah dapat dipahami oleh semua peserta didik. Hal ini merupakan upaya untuk menarik minat siswa terhadap pembelajaran IPS.

  a. Pengertian Media Gambar

  Media gambar merupakan media yang sederhana dan biasanya mudah di dapat. Hamalik (1986: 81) berpendapat bahwa media gambar adalah “gambar yang tak diproyeksikan, terdapat dimana- mana, baik di lingkungan anak-anak maupun di lingkungan orang dewasa, mudah diperoleh dan ditunjukkan kepada anak- anak.” Media gambar yang tidak diproyeksikan merupakan media yang sederhana, tidak membutuhkan proyektor dan layar untuk memproyeksikan perangkat lunak. Gambar dan foto merupakan media yang umum dipakai untuk berbagai macam kegiatan pembelajaran. Gambar yang baik bukan hanya dapat menyampaikan saja, tetapi dapat digunakan untuk melatih keterampilan berpikir serta dapat mengembangkan kemampuan imajinasi peserta didik (Sanjaya, 2012: 166). Sementara itu, Smaldino, dkk (Anitah, 2008: 8) mengatakan bahwa media gambar atau fotografi dapat memberikan gambaran tentang segala sesuatu, seperti binatang, orang, tempat, atau peristiwa.

  Pengertian media gambar dapat disimpulkan dari beberapa pendapat di atas yaitu suatu alat yang digunakan oleh guru tanpa diproyeksikan dan mudah didapat dari lingkungan sekitar, untuk membantu pemahaman, melatih keterampilan berpikir dan mengembangkan kemampuan imajinasi peserta didik dalam pembelajaran. Melalui media gambar dapat menerjemahkan ide/materi pembelajaran menjadi lebih realistis.

  b. Ciri-Ciri Media Gambar

  Ciri-ciri media gambar yang baik (Anitah, 2008: 9) adalah sebagai berikut: 1) Cocok dengan tingkatan umur dan kemampuan pembelajar. 2) Sederhana atau tidak terlalu kompleks. 3) Realistis, yaitu gambar itu menggambarkan benda atau keadaan yang sebenarnya dengan perbandingan ukuran tertentu. 4) Gambar sebagai media pembelajaran harus dapat dipegang oleh pembelajar.

  Jadi, ciri-ciri media gambar yang baik yaitu gambar yang realistis atau gambar yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dengan perbandingan tertentu, yang cocok digunakan oleh peserta didik sesuai dengan kemampuannya. Media gambar juga dibuat tidak terlalu kompleks, karena yang penting dapat membantu memperjelas materi pelajaran yang diajarkan.

  c. Kelebihan dan Kekurangan Media Gambar

  Media gambar memiliki beberapa kelebihan sebagai media pembelajaran (Sanjaya, 2012: 167), diantaranya yaitu: 1) Media gambar dapat menghilangkan verbalisme. 2) Media gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu.

  3) Gambar merupakan media yang mudah diperoleh. 4) Media gambar harganya relatif murah. 5) Media gambar tidak perlu menggunakan peralatan secara khusus.

  Media gambar selain memiliki kelebihan, juga memiliki kekurangan (Anitah, 2008: 8), diantaranya yaitu: 1) Terkadang media gambar terlalu kecil untuk digunakan di kelas yang besar.

  2) Tidak dapat menunjukkan gerak. 3) Peserta didik tidak selalu mengetahui bagaimana membaca (menginterpretasi) gambar.

  4) Media gambar merupakan media yang dapat dilihat menggunakan indera penglihatan.

  Menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media gambar mempunyai kelebihan dan kekurangan.

  Kelebihan menggunakan media gambar yaitu dapat mengatasi ruang dan waktu, karena dapat menggambarkan keadaan yang mirip dengan aslinya dengan ukuran tertentu. Media gambar juga dapat menghilangkan verbalisme pada saat pembelajaran. Kekurangan menggunakan media gambar yaitu hanya dapat digunakan bagi yang memiliki indera penglihatan yang normal. Terkadang media gambar kurang menyesuaikan jika digunakan di kelas yang besar.

  d. Media Gambar Denah

  Media gambar yang digunakan dalam PTK ini adalah media gambar denah. Said, dkk (2012: 48) mengemukakan denah adalah gambar yang menunjukkan letak kota, jalan dan sebagainya. Adanya denah, seseorang menjadi paham jalan yang harus dilalui untuk sampai ke tempat tujuan. Tempat yang ditunjukkan tidak terlalu luas, namun dapat lebih rinci. Denah juga disebut dengan peta kecil.

  Rumah juga dapat dibuat denah untuk menunjukkan bagian-bagian yang ada di dalamnya. Bagian-bagian tersebut disebut ruang atau kamar.

B. Penelitian Relevan

  Hasil penelitian yang relevan sesuai dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Arif Karseno (2011) dengan judul Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi melalui Penerapan CTL dengan Metode Field Study di Kelas V SD Negeri Gununggiana Tahun Ajaran 2011/2012.

  Hasil evaluasi yang diberikan kepada 29 peserta didik, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada peningkatan keterampilan menulis karangan deskripsi peserta didik setelah dilaksanakan tindakan kelas dengan pendekatan kontekstual. Hasil belajar kognitif peserta didik sebelum tindakan diperoleh nilai tes rata-rata 62,8 dengan ketuntasan klasikal 51,7%. Pada siklus I ada peningkatan keterampilan menulis karangan deskripsi dari semula ketuntasan klasikal 51,7% naik menjadi 65,5%. Pada siklus II terjadi peningkatan kembali pada keterampilan menulis karangan deskripsi semula ketuntasan klasikal 65,5% menjadi 86,2%. Hasil belajar afektif pada siklus I mendapat rata-rata 73% dan terjadi peningkatan pada siklus II yaitu 88%. Hasil nilai psikomotor pada siklus I, nilai rata-rata 79% dan pada siklus II terjadi peningkatan yaitu 87%.

  Berdasarkan hasil uraian di atas terbukti bahwa dengan menggunakan metode Field Study dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan deskripsi dan hasil belajar peserta didik di sekolah dasar. Hasil belajar tersebut mancakup di dalamnya prestasi belajar.

  Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Idawati (2012) dengan judul Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Bebas melalui Penggunaan Media Lingkungan (Field Study) di Kelas VA SD Negeri 3 Cindaga. Hasil evaluasi yang diberikan kepada 27 peserta didik, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada peningkatan ketuntasan belajar menulis puisi setelah dilaksanakan tindakan kelas dengan pembelajaran Field Study. Data yang diperoleh peneliti, peserta didik dalam menulis puisi pada siklus I peserta didik yang tuntas belajar berjumlah 17 peserta didik, dengan persentase ketuntasan belajar 62,96%. Pada siklus II, peserta didik yang tuntas belajar berjumlah 24 peserta didik, dengan persentase ketuntasan belajar 88,88%.

  Berdasarkan hasil uraian di atas terbukti bahwa dengan menggunakan pembelajran Field Study dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar peserta didik. Metode Field Study termasuk dalam pembelajaran kontekstual. Metode Field Study juga membuat peserta didik senang, karena belajar dapat dilakukan di luar kelas.

  Metode Field Study yang dilakukan oleh Arif Karseno dalam penelitian adalah untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan deskripsi dan hasil belajar, dan metode Field Study yang dilakukan Idawati dalam penelitian adalah untuk meningkatkan kemampuan menulis puisi, sedangkan metode Field Study yang dikgunakan oleh peneliti dalam penelitian adalah untuk meningkatkan kemandirian dan prestasi belajar.

C. Kerangka Berpikir

  Kerangka berpikir merupakan alur penalaran untuk dapat memberikan jawaban sementara atas masalah yang telah dirumuskan. Kerangka berpikir dapat disusun dalam bentuk kalimat atau digambarkan sebagai sebuah diagram.