BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan - Asti Fitriana Rizki BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan. Namun fokus penelitiannya berbeda dengan yang ada dalam penelitian ini. Hasil dari

  penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya oleh orang lain mengenai wujud kebudayaan akan dijadikan sebuah penelitian relevan oleh peneliti. Hal itu dilakukan untuk memperkuat dan membedakan hasil penelitian yang ada. Penelitian relevan yang dipakai dalam penelitian ini ada tiga buah penelitian.

1. Penelitian dengan Judul Wujud dan Unsur Kebudayaan dalam Kumpulan

  Cerita Legenda Jawa Kabupaten Cilacap yang Diterbitkan Oleh Yayasan Pembinaan Pendidikan Generasi Muda oleh Fiqih Nursanti Nugraheni Tahun 2013 Penelitian yang dilakukan oleh Fiqih bertujuan untuk mendeskripsikan wujud

  dan unsur kebudayaan yang ada dalam cerita legenda Jawa Kabupaten Cilacap. Hasil penelitian dari Fiqih yaitu: mendeskripsikan (1) wujud kebudayaan sebagai gagasan yang terdiri dari unsur kebudayaan yang berupa sistem pengetahuan, sistem peralatan hidup, teknologi, dan sistem religi, (2) wujud kebudayaan sebagai aktivitas yang terdiri dari unsur kebudayaan berupa bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi serta sistem religi, (3) wujud kebudayaan sebagai hasil karya manusia yang terdiri dari unsur kebudayaan berupa kesenian. Penelitian yang dilakukan Fiqih berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Pada penelitian yang dilakukan Fiqih, fokus penelitiannya adalah wujud dan unsur kebudayaan pada cerita legenda di Jawa yang ada dalam cerita legenda sedangkan

  7 penelitian yang dilakukan peneliti hanya berfokus pada wujud kebudayaan dalam upacara pemakaman adat Tana Toraja yang ada dalam cerpen Tedong Helena dan

  

Syair Duka karya Denny Prabowo. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang

dilakukan Fiqih dan peneliti berbeda dari segi objek dan sumber data penelitian.

2. Penelitian dengan Judul Wujud dan Unsur Kebudayaan Bali dalam Kumpulan

  Cerpen “Perempuan yang Mengawini Keris” karya Wayan Sunarta (Studi Antropologi Sastra) oleh Novi Septiana Tahun 2014

  Selain Fiqih, penelitian tentang wujud kebudayaan juga dilakukan oleh Novi Septiana mahasiswa jurusan Pendididkan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada tahun 2014. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan wujud dan unsur kebudayaan yang ada dalam kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini Keris karya Wayan Sunarta. Hasil penelitian dari skripsi ini mendeskripsikan tentang: (1) Wujud kebudayaan yang terdapat pada kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini

  

Keris meliputi: (a) Wujud kebudayaan sebagai suatu ide yang meliputi gagasan

  tentang nyentana, ngaben, balian, leak, hyang widy, karmapala, klian, kelompok janger, patung, dan bli. (b) Wujud aktivitas meliputi aktivitas tentang rapat adat, nyentana, sesaji, seni patung, seni lukis, seni tari, dan ngaben. (c) Wujud ketiga hasil karya manusia meliputi mangsi, pengerumpak, tombak, keris, panah, patung, leak, bade, lukisan, daun lontar, dan gamelan semarpegulingan. (2) Unsur kebudayaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini Keris karya Wayan Sunarta terdiri dari tujuh unsur yaitu (a) bahasa yang membahas tentang penggunaan kata bli, (b) sistem pengetahuan yaitu sistem pengetahuan alam flora (kayu, daun lontar, dan pengerumpak), (c) organisasi sosial yaitu nyentana, klian, rapat adat, kelompok janger, (d) sistem peralatan hidup dan teknologi yaitu sistem teknologi persenjataan yang meliputi tombak, keris, dan panah, (e) sistem mata pencaharian meliputi membuat patung dan menjual manik-manik, (f) sistem religi meliputi hyang

  

widhy, leak, balian, karmapala, ngaben, dan (g) kesenian meliputi seni patung, seni

  tari, seni lukis, dan seni musik. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang dilakukan Novi berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Pada penelitian yang dilakukan oleh Novi fokus penelitiannya adalah wujud dan unsur kebudayaan pada kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini Keris karya Wayan Sunarta sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti fokus penelitiannya hanya pada wujud kebudayaan pada upacara pemakaman yang pada upacara pemakaman adat Tana Toraja dalam cerpen Tedong Helena dan Syair Duka karya Denny Prabowo. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang dilakukan Novi dan peneliti berbeda dari segi objek dan sumber data penelitian.

3. Penelitian dengan Judul Budaya Korupsi dalam Novel Sang Koruptor Karya

  Hario Kecik Oleh Syntia Desi Prapika Tahun 2013

  Ada lagi penelitian lain yang membahas tentang wujud kebudayaan, dilakukan oleh Syntia Desi Prapika mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tahun 2013. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan budaya korupsi yang ada dalam novel Sang Koruptor karya Hario Kecik. Hasil penelitian dari skripsi ini yaitu: (1) wujud budaya korupsi yang berupa gagasan, meliputi: (a) sifat kontrarevolusioner, yaitu suatu sifat antipasti atau tidak suka dengan segala perjuangan demi membela rakyat, ia hanya mementingkan kebahagian diri sendiri dan anggota keluarganya, (b) lemahnya sistem manajemen, yaitu berkaitan dengan struktur organisasi, prosedur, pembinaan pegawai, dan supervis, (c) adanya budaya turun-temurun, yaitu suatu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang, dan kebiasaan tersebut terus dilestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, (d) pengaruh lingkungan, yaitu seseorang bisa berpikiran untuk korupsi karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, (e) anggapan korupsi yang dijalankan bersama patner lebih aman, yaitu suatu pemikiran yang menganggap bawa korupsi akan berlangsung lama dan aman bila dijalankan bersama seorang teman: (2) wujud budaya korupsi berupa tindakan meliputi: (a) melakukan pengaturan agar anggota keluarga bebas tugas, (b) mengatur agar anggota keluarga bisa diterima kerja tanpa tes, (c) melakukan korupsi secara berkelompok, (d) melakukan suap: (3) wujud budaya korupsi berupa benda meliputi: (a) kekayaan, dan (b) kedudukan/ kehormatan.

  Penelitian yang dilakukan Syntia berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Pada penelitian yang dilakukan oleh Syntia fokus penelitiannya terhadap wujud budaya korupsi yang ada dalam Novel Sang Koruptor karya Hario Kecik, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti berfokus pada wujud kebudayaan pada upacara pemakaman yang pada upacara pemakaman adat Tana Toraja dalam cerpen Tedong

  

Helena dan Syair Duka karya Denny Prabowo. Berdasarkan hal tersebut maka

  penelitian yang dilakukan Syntia dan peneliti memiliki perbedaan pada sumber data penelitian.

  Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh peneliti berbeda dari ketiga penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Fiqih, Novi, dan Syntia. Penelitian yang dilakukan peneliti berbeda dengan penelitian ketiganya dilihat dari segi objek dan sumber data penelitiannya.

B. Kebudayaan

1. Pengertian Kebudayaan

  Berbicara mengenai kebudayaan memang tak ada habisnya. Kebudayaan selalu melingkari masyarakat setiap hari dalam seluruh kegiatan masyarakat.

  Kebudayaan menjadi pusat perhatian masyarakat setiap harinya. Secara sadar atau tidak masyarakat sebenarnya selalu berdampingan dengan kebudayaan dan memanfaatkan kebudayaan di dalam hidupnya. Kebudayaan melekat di dalam masyarakat sedekat-dekatnya tanpa batasan. Namun apa itu kebudayaan seringkali tidak dipahami definisinya oleh masyarakat.

  Definisi kebudayaan ada begitu banyak di dunia ini. Para ahli banyak yang mencari dan membuat definisi kebudayaan. Menurut Widagdho, dkk (2008: 11) kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Marvin Harris dalam Ratna (2007: 5) mengatakan bahwa kebudayaan ialah seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Menurut Sulaeman (2007: 21) kebudayaan adalah penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Menurut Koentjaraningrat (2004: 9) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya manusia.

  Setelah melihat dan menyimak beberapa definisi kebudayaan dari para ahli maka dapat diambil sebuah kesimpulan tentang definisi kebudayaan. Peneliti mengambil kesimpulan definisi dari kebudayaan adalah seluruh gagasan, aktivitas, dan hasil karya dalam kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia dengan cara belajar. Aktivitas-aktivitas manusia tersebut di antaranya meliputi kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Artinya kebudayaan selalu ada dalam kehidupan masyarakat sebagai pedoman hidup masyarakat yang berbudaya. Jadi dapat dikatakan jika tidak ada kebudayaan maka tidak akan ada sebuah kreasi di dalam masyarakat, sebab kebudayaanlah kunci yang membuat masyarakat menjadi lebih berkembang.

2. Wujud Kebudayaan

  Kebudayaan yang ada di dunia selalu memiliki wujud. Wujud kebudayaan adalah bentuk dari sebuah kebudayaan. Wujud kebudayaan juga ada dalam kebudayaan di Indonesia. Wujud kebudayaan memudahkan seseorang untuk melihat secara lebih jelas bentuk dari kebudayaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana wujud kebudayaan itu?

  Ada banyak pakar yang mengemukakan mengenai wujud kebudayaan. salah satu yang menyebutkan persoalan wujud kebudayaan adalah Koentjaraningrat.

  Menurut Koentjaraningrat (2004: 5) kebudayaan paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu: a. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.

  b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

  c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan dalam kenyataan kehidupan manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal itu disebabkan ketiganya saling berkaitan. Wujud kebudayaan yang pertama (nilai, norma, peraturan) akan memberikan arah kepada tidakan manusia. Tindakan manusia adalah bentuk dari wujud kebudayaan kedua yang berupa aktivitas. Selanjutnya tindakan manusia tersebut akan mempengaruhi dan menghasilkan benda-benda yang ada dalam kehidupan manusia. Benda tersebut sebagai wujud ketiga dari kebudayaan yang berupa hasil karya manusia. Oleh karena itulah ketiga wujud kebudayaan yang ada tidak dapat terpisahkan satu sama lain.

  Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dibuat skema wujud kebudayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat, seperti di bawah ini:

  

Wujud Kebudayaan

Wujud Kebudayaan

Wujud Kebudayaan Wujud Kebudayaan

Berupa Aktivitas

  

Berupa Nilai, Norma, Berupa Benda Hasil

Peraturan, dsb Karya Manusia

  Kemudian untuk mengetahui secara lebih dalam mengenai ketiga wujud kebudayaan yang telah disebutkan sebelumnya, maka di bawah ini peneliti akan menguraikan secara lebih detail tentang ketiga wujud kebudayaan tersebut.

  

a. Wujud Kebudayaan yang Berupa Nilai-Nilai, Norma-Norma, Peraturan, dan

Sebagainya

  Menurut Koentjaraningrat (2004: 5) wujud pertama dari kebudayaan biasa juga disebut sebagai wujud ideal kebudayaan. Dikatakan ideal sebab wujud kebudayaan ini umumnya adalah suatu bentuk kebudayaan yang dicita-citakan atau diharapkan. Wujud kebudayaan ideal ini menjadi sebuah acuan bagi dua wujud kebudayaan yang lainnya yang berupa aktivitas dan benda hasil karya manusia. Maksudnya menjadi acuan ialah bahwa wujud ini mempengaruhi apa yang terjadi pada dua wujud kebudayaan lainnya.

  Sifat dari wujud kebudayaan yang pertama cenderung abstrak (Koentjaraningrat, 2014: 5). Maksudnya abstrak adalah bahwa wujud kebudayaan ini tidak dapat dilihat dengan indera manusia. Wujud kebudayaan tersebut juga tidak diraba, difoto, atau didokumentasikan. Lokasi dari wujud kebudayaan ini ada di dalam kepala manusia atau dapat juga dikatakan lokasi wujud kebudayaan yang pertama ada di dalam pikiran manusia di mana kebudayaan itu hidup. Jika masyarakat mengatakan atau menyatakan tentang wujud kebudayaan yang pertama dalam bentuk tulisan, maka sering kali wujud kebudayaan tersebut dapat ditemukan dalam buku-buku atau karangan-karangan seputar kebudayaan yang bersangkutan. Selain dalam bentuk buku atau karangan, kini kebudayaan ideal tersebut juga banyak ditemukan dan tersimpan dalam bentuk disk, tape, arsip, koleksi microfilm dan microfish, kartu komputer, dan tape komputer. Koentjaraningrat (2004: 6) mengatakan jika ada istilah lain untuk menyebut wujud kebudayaan pertama dengan istilah adat istiadat. Jadi adat istiadat yang ada dalam suatu masyarakat adalah bentuk dari wujud kebudayaan yang pertama.

  

b. Wujud Kebudayaan yang Berupa Kompleks Aktivitas Kelakuan Berpola dari

Manusia dalam Masyarakat

  Menurut Koentjaraningrat (2004: 6) wujud kedua dari kebudayaan biasa disebut dengan istilah sistem sosial. Sistem sosial berhubungan dengan aktivitas- aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu sama lain, yang dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang mendasarkan adat tata kelakuan. Oleh karena itu wujud kebudayaan yang kedua disebut sebagai aktivitas. Wujud kebudayaan kedua yang berupa rangkaian aktivitas manusia selalu terjadi di sekeliling kehidupan masyarakat setiap harinya.

  Sifat wujud kebudayaan kedua cenderung konkret atau nyata. Artinya wujud kebudayaan tersebut dapat dilihat dan ditemukan dengan indera manusia. Wujud kebudayaan ini umumnya dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Wujud kebudayaan kedua termasuk juga wujud yang mudah untuk ditemukan dan dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Wujud kebudayaan yang berupa aktivitas muncul sebab adanya wujud kebudayaan pertama. Jadi dapat dikatakan jika wujud kebudayaan yang berupa aktivitas ini sebagai pelaksanaan dari wujud kebudayaan yang pertama.

c. Wujud Kebudayaan yang Berupa Benda-Benda Hasil Karya Manusia.

  Wujud kebudayaan yang terakhir adalah wujud kebudayaan yang ada sebagai benda hasil karya manusia. Koentjaraningrat (2014: 6) menyebut wujud kebudayaan ketiga sebagai wujud kebudayaan fisik. Maksudnya adalah bahwa wujud kebudayaan ini merupakan seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini muncul sebagai hasil dari kebudayaan.

  Wujud kebudayaan ketiga ini memiliki sifat yang sangat konkret karena berupa benda-benda hasil ciptaan manusia atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Benda-benda tersebut dapat juga dikatakan sebagai produk yang diciptakan oleh manusia. Produk tersebut digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam melakukan hal-hal yang juga berkaitan dengan wujud kebudayaan lainnya. Produk atau benda-benda ciptaan manusia tersebut dimulai dari benda yang sangat besar sampai yang sangat kecil. Benda hasil karya yang paling besar misalnya seperti pabrik, dan yang paling kecil misalnya seperti kancing baju.

3. Unsur-Unsur Kebudayaan

  Dalam kebudayaan selain terdapat wujud kebudayaan di dalamnya juga terdapat berbagai macam unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan adalah bagian dari kebudayaan yang ada di seluruh dunia. Unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2004: 2) adalah sebuah pecahan dari konsep kebudayan guna keperluan analisa. Dari definisi tersebut kita dapat mengambil kesimpulan jika unsur kebudayaan adalah konsep kebudayaan yang dipecah. Unsur-unsur kebudayaan meliputi semua hal yang ada baik yang kecil, bersahaja dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks, dan dengan hubungan yang luas.unsur kebudayaan tersebut dapat ditemukan di mana saja di dalam kehidupan masyarakat.

  Menurut Koentjaraningrat unsur-unsur kebudayaan ada tujuh, dan memilki urutan sebagai berikut (2004: 2): a. Sistem religi dan Upacara Keagamaan

  b. Sistem dan organisasi kemasyarakatan

  c. Sistem pengetahuan

  d. Bahasa

  e. Kesenian

  f. Sistem mata pencaharian hidup

  g. Sistem teknologi dan peralatan Susunan urutan unsur kebudayaan yang Koentjaraningrat kemukakan seperti di atas bukanlah tanpa alasan. Koentjaraningrat memilki alasan tersendiri mengapa pada akhirnya susunan unsur kebudayaan menjadi seperti itu. Alasan mengapa susuan unsur kebudayaan menjadi seperti itu karena urutan tersebut menggambarkan unsur- unsur mana yang paling sukar berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain, dan mana yang paling mudah berubah atau diganti dengan unsur-unsur serupa dari kebudayaan-kebudayaan lain. Urutan pertama dalam susunan unsur kebudayaan di atas menjadi unsur yang paling sukar berubah. Hal itu berarti bahwa sistem religi dan upacara keagamaan menjadi unsur kebudayaan yang paling sukar atau paling lambat mengalami perubahan dibandingkan dengan unsur lainnya.

  Menurut Koentjaraningrat (1981: 205-206) setiap unsur kebudayaan universal sebenarnya dapat diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang lebih kecil sampai beberapa kali. Koentjaraningrat mengikuti metode pemerincian dari R. Linton yang mengatakan jika ada empat tahap dalam memperinci unsur kebudayaan, yaitu 1) cultural activities, 2) complexes, 3) traits, 4) items. Karena keempat hal tersebut serupa dengan kebudayaan secara keseluruhan, maka di dalam setiap unsur universal akan selalu ada tiga wujud kebudayaan. Unsur kebudayaan selalu dapat dilihat dari tiga segi wujud kebudayaan. Di dalam masing-masing unsur kebudayaan seseorang dapat melihat nilai, norma, peraturan, dsbnya, aktivitas yang terdapat di dalamnya, dan benda hasil karya yang berkaitan dengan unsur tersebut.

  Salah satu unsur kebudayaan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sistem religi dan upacara keagamaan. Sistem religi dan upacara keagamaan berkaitan dengan keyakinan dan pelaksanaan . Pada unsur kebudayaan tersebut seseorang juga dapat menemukan tiga wujud kebudayaan didalamnya yang berupa nilai, norma, peraturan, dsb, aktivitas, dan benda hasil karya manusia.

C. Sistem Religi dan Upacara Keagamaan

  Jika membicarakan tentang sistem religi dan upacara keagamaan rasanya memang bukan lagi sesuatu yang asing. Ketidakasingan akan sistem religi dan upacara keagamaan dikarenakan keduanya telah ada dan berkembang sejak lama dalam kehidupan manusia. Sistem religi dan upacara keagamaan umumnya berdampingan erat dengan kepercayaan masyarakat. Keduanya juga selalu berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Definisi dari sistem religi dan upacara keagamaan sendiri berbeda, meskipun keduanya merupakan satu kesatuan dari unsur kebudayaan.

  Menurut Warsito (2012: 75) penggunaan istilah sistem religi (bukan religi atau agama saja), disebabkan karena di dalam tiap masyarakat, religi merupakan suatu unsur yang kompleks dari banyak unsur yang semuanya menjadi suatu sistem/tata tertentu. Semua aktivitas manusia yang bersangkut paut dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa (religious emotion). Pendapat yang serupa dengan Warsito juga dikemukakan oleh Ratna (2011: 429) yang mengatakan jika pengertian religi dianggap lebih luas dibandingkan agama, karena religi meliputi seluruh sistem kepercayaan. Pada umumnya berlaku pada kelompok-kelompok terbatas, sedangkan agama mengacu hanya pada agama formal, Keberadaannya memperoleh pengakuan secara hukum. Koentjaraningrat (1985: 376) mengatakan jika semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa biasanya disebut emosi keagamaan. Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan jika sistem religi adalah suatu keyakinan yang bersifat spiritual yang terdiri dari berbagai macam unsur.

   Sama halnya dengan sistem religi, upacara keagamaan juga merupakan unsur

  kebudayaan yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Namun pertanyaannya kemudian, apa definisi dari upacara keagamaan? Masih banyak masyarakat yang belum mengerti betul apa itu upacara keagamaan. Ada banyak pakar yang mengemukakan definisi dari upacara keagamaan. Menurut Koentjaraningrat (2004: 147) upacara atau ritus itu melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam sistem keyakinan. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam upacara yang bersifat harian, musiman, atau kadangkala. Menurut Wijayanto (2002: 17) upacara keagamaan merupakan suatu unsur adat istiadat yang sangat menarik perhatian karena upacara tersebut merupakan hal yang paling konkret yang mempunyai bentuk serta sifat yang beragam antara satu upacara keagamaan dengan upacara keagamaan yang lain. Pendapat Wijayanto memiliki arti bahwa masing-masing agama memiliki upacara keagamaan yang berbeda antara agama satu dengan agama lainnya. Menurut Syukur (2003: 207) bahwa upacara keagamaan adalah suatu kegiatan resmi melembaga yang biasanya dilakukan secara berkelompok. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut maka dapat disimpulkan jika upacara keagamaan adalah suatu upacara yang melambangkan suatu konsep dari keyakinan dan merupakan unsur adat istiadat yang berbeda pelaksanaannya antara satu agama dengan agama lainnya dengan sistem pelaksanaan yang umumnya dilakukan secara berkelompok.

  Menurut Turner dalam Rosidah (2011: 9) bahwa ritual atau upacara keagamaan memiliki empat fungsi yaitu (1) sebagai media untuk mengurangi permusuhan antarwarga, (2) sebagai penutup jurang perbedaan, karena saat ritual semua membaur menjadi satu, (3) sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan, dan (4) sebagai media untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat.

  Upacara keagamaan umumnya berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Umumnya upacara-upacara yang dilaksanakan berkaitan dengan siklus hidup manusia seperti upacara kelahiran hingga pemakaman. Menurut pandangan Gennep dalam Cakim (2009: 3), bahwa ritus dan upacara itu dibagi menjadi tiga, yakni pertama perpisahan (sparation), kedua peralihan (marge), ketiga integrasi, kegiatan ini seperti dalam acara selamatan kelahiran, pernikahan, dsb. Ketiga jenis upacara tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat sebab kehidupan memang kebanyakan menyangkut hal-hal tersebut.

1. Ritus Perpisahan atau Upacara Pemakaman

  Ritus perpisahan atau upacara perpisahan biasanya juga dikenal dengan istilah upacara pemakaman. Hal itu disebabkan karena upacara pemakaman dimaknai sebagai sebuah simbol perpisahan. Upacara pemakaman menjadi salah satu bagian dari unsur kebuadayaan sebab upacara ini merupakan salah satu dari jenis upacara keagamaan yang hampir selalu ada dalam agama manapun. Upacara pemakaman menjadi sebuah upacara yang dianggap penting oleh masyarakat. Upacara pemakaman sering ditemukan dalam masyarakat karena masyarakat menganggap bahwa manusia paling dekat dengan kematian. Seperti yang dikemukakan oleh Sulaeman (2007: 109) bahwa semua makhluk yang ada di muka bumi tidak kekal, pada suatu saat nanti pasti akan mengalami kematian. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak heran jika dalam agama apa pun akan selalu ada upacara pemakaman. Selain itu, upacara ini juga dianggap sebagai media untuk mendoakan orang yang telah meninggal.

  Upacara pemakaman menurut Hertz dalam Wijayanto (2002: 64) memiliki pengertian sebagai sebuah upacara yang selalu dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Pendapat Hertz tersebut berarti bahwa sebenarnya memang sebuah upacara pemakaman ada karena ide yang disetujui oleh masyarakat yang bersangkutan. Tidak aneh jika dalam upacara pemakaman terdapat rangkaian-rangkaian tersendiri yang rumit dan sakral. Rangkaian dalam upacara pemakaman disesuaikan dengan agama yang dianut, namun masih terkait dengan kebudayaan yang dipercaya masyarakat.

  Selain rangkaian-rangkaian upacara pemakaman, di dalam upacara pemakaman juga biasanya tersedia hidangan-hidangan yang diperuntukkan bagi warga yang menghadiri upacara tersebut.

  Hidangan-hidangan yang tersedia untuk tamu dalam upacara pemakaman tidak sama. Hidangan itu berbeda antara upacara pemakaman pada agama yang satu dengan agama yang lain. Namun tidak menutup kemungkinan jika hidangan dalam upacara pemakaman juga dapat berbeda walaupun masih dalam satu agama.

  Perbedaan hidangan dalam upacara pemakaman itu umumnya terjadi karena letak geografis dan kebudayaan yang mempengaruhinya. Upacara pemakaman menjadi upacara keagamaan tersendiri yang telah mengakar dan terjadi sejak lama, meskipun pelaksanaan upacara pemakaman pada masyarakat terdahulu mungkin memiliki sedikit perbedaan dengan pelaksanaan upacara pemakaman kini.

  Upacara pemakaman di Indonesia ada berbagai macam jenis. Hal itu dapat terjadi karena hampir di setiap daerah di Indonesia berbeda suku dan agama, sehingga upacara pemakaman yang ada di Indonesia pun umumnya berbeda-beda antara satu suku dengan lainnya. Sehubungan dengan penelitian ini, maka pada sub bab selanjutnya peneliti akan membahas mengenai salah satu jenis upacara pemakaman yang sangat terkenal di Indonesia yaitu upacara pemakaman adat Tana Toraja. Namun sebelum peneliti membahas lebih jauh mengenai upacara pemakaman adat Tana Toraja, peneliti akan memaparkan sedikit mengenai upacara pemakaman lain yang ada di Indonesia. Upacara tersebut diantaranya:

a. Upacara Pemakaman di Jawa

  Di Jawa kebanyakan masyarakatnya memeluk agama Islam. Agama Islam berkembang cukup baik di Jawa. Menurut Koentjaraningrat (1985: 339) di Jawa ada yang disebut Islam santri dan Islam kejawen. Islam santri adalah golongan yang menjalankan ajaran-ajaran agama Islam, sedangkan Islam kejawen adalah golongan orang Islam yang tidak melaksanakan atau tidak patuh terhadap ajaran-ajaran Islam namun percaya pada ajaran keimanan agama Islam. Geertz dalam Sambulah (2012: 2) menegaskan bahwa agama Islam di Jawa merupakan kumpulan ekspresi iman, doktrin, ritual dan lain-lain yang dipraktikkan masyarakat sesuai dengan tradisi lokal atau tempat dan waktu seiring dengan perkembangan dan penyebarannya.

  Agama Islam yang dianut masyarakat Jawa berpengaruh terhadap upacara- upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa. Menurut Ridwan (2008: 9) berbagai aktivitas ritual yang selalu dijalani Islam kejawen biasanya mendasarkan pada siklus kehidupan, yang salah satunya adalah upacara pemakaman. Upacara pemakaman di Jawa terdiri dari beberapa rangkaian. Rangkaian-rangkaian yang ada dalam upacara pemakaman biasanya ada rangkaian ketika sebelum jenazah dikuburkan. Masyarakat Jawa memiliki tata urutan tersendiri dalam melaksanakan upacara pemakaman, yaitu memandikan jenazah (proses membersihkan tubuh jenazah dari ujung rambut hingga ujung kaki), mengkafani jenazah (proses membungkus jenazah dengan kain kafan), menyolati jenazah (proses penyolatan jenazah sebelum jenazah dikuburkan), berdoa untuk jenazah sebelum dibawa ke makam, mengubur jenazah (proses menguburkan jenazah di dalam tanah), dan berdoa.

b. Upacara Pemakaman Adat Bali

  Upacara pemakaman yang dilaksanakan di Bali juga berkaitan dengan agama yang dianut masyarakatnya. Mayoritas masyarakat Bali menganut agama Hindu.

  Agama ini mempengaruhi proses dari upacara pemakaman yang dilaksanakan di Bali. Upacara pemakaman di Bali disebut dengan istilah Ngaben. Ernowo (2011: 1) mengatakan jika ngaben adalah upacara pemakaman yang berupa pembakaran mayat di Bali yang dilakukan oleh orang Hindu. Upacara ini dilaksanakan sebagai suatu bentuk penghomatan bagi orang yang meninggal. Umumnya beberapa hari sebelum pelaksanaan ngaben keluarga serta warga bahu membahu membuat bade dan lembu yang digunakan sebagai tempat menyimpan jenazah (Hutagalung, 2009: 49). Upacara

  

ngaben menurut Ernowo (2011: 1) terdiri dari beberapa rangkaian yaitu nyirami

  (membersihkan mayat), pemberian doa, penempatan mayat di bade, pengusungan mayat menuju tempat upacara dilaksanakan, pembakaran mayat beserta bade dan

  

lembu yang telah dibuat sebelumnya hingga menjadi abu, dan membuang abu ke

  sungai atau laut. Umumnya setelah semua prosesi dilaksanakan maka keluarga dapat mendoakan orang yang meninggal tersebut di pura masing-masing.

c. Upacara Pemakaman Adat Tana Toraja

  Tana Toraja adalah sebuah kabupaten yang terletak di wilayah Sulawesi Selatan. Wilayah Tana Toraja sering dikenal dengan istilah negeri orang mati. Hal itu disebabkan upacara pemakaman yang ada di Tana Toraja merupakan suatu upacara pemakaman yang cukup unik yang hanya ada di Indonesia. Upacara tersebut memiliki banyak rangkaian yang cukup panjang dan rumit yang berbeda dengan upacara pemakaman di daerah lain di Indonesia. Pada sub bab kali ini, peneliti akan membahas secara lebih detail mengenai upacara pemakaman adat Tana Toraja sehubungan dengan penelitian ini yang akan membahas mengenai wujud kebudayaan yang ada pada upacara pemakaman adat Tana Toraja dalam cerpen Tedong Helena dan Syair

  Duka karya Denny Prabowo.

  Sebelum membahas lebih lanjut seputar upacara pemakaman adat Tana Toraja, peneliti mencoba untuk membahas sedikit tentang kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tana Toraja. Mengapa harus kepercayaan? Hal itu dikarenakan upacara pemakaman adat Tana Toraja salah satunya terlaksana karena kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tana Toraja. Kepercayaan tersebut bahkan telah dianut jauh- jauh waktu sebelum masuknya agama lain. Jadi kepercayaan masyarakat Tana Toraja sangat penting kaitannya dengan upacara pemakaman adat Tana Toraja.

  Di zaman yang semakin modern ini, kehidupan masyarakat di Tana Toraja terus berkembang termasuk kepercayaan yang dianut oleh penduduk yang berdomisili di Tana Toraja. Namun, masyarakat Tana Toraja memiliki kepercayaan asli yang diturunkan oleh leluhur Tana Toraja. Kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja disebut aluk todolo. Aluk ini dilaksanakan di dalam seluruh aspek kehidupan orang Toraja. Meskipun penganut kepercayaan aluk todolo sekarang tidak banyak sebab masyarakat Tana Toraja kini umumnya telah beragama Kristen.

  Rayo ( 2012: 30-31) mengatakan bahwa aluk di Tana Toraja setidaknya ada sembilan, yaitu : (1) aluk padang, yaitu aluk yang berhubungan dengan tanah, (2) aluk pare, yaitu aluk yang berkaitan dengan padi, (3) aluk tananan pasa’, yaitu aluk yang berkaian dengan pasar, (4) alukna rampanan kapa’, yaitu aluk yang berkaitan dengan perkawinan, (5) alukna mellolo tau, yaitu aluk yang berhubungan dengan kelahiran manusia sampai dewasa, (6) alukna

  bangunan banua, yaitu aluk yang berkaitan dengan pembangunan rumah,

  (7) aluk rambu tuka’, yaitu aluk yang berhubungan dengan persembahan kepada Puang Matua, (8) aluk rambu solo’, yaitu aluk yang berhubungan dengan jiwa orang mati, dan (9) aluk bua’, yaitu aluk yang berkaitan dengan pesta sukacita.

  Semua aluk yang ada dalam kepercayaan aluk todolo memiliki kedudukan yang sama penting. Meskipun keseluruhan aluk penting bagi masyarakat di Tana Toraja, namun ada salah satu aluk yang cukup terkenal bagi masyarakat Tana Toraja bahkan bagi masyarakat di luar Tana Toraja. Aluk yang cukup terkenal ialah aluk rambu solo’.

  Istilah rambu solo’ inilah yang biasa dikenal dengan upacara pemakaman khas Tana Toraja.

  Upacara rambu solo’ telah diwariskan secara turun-temurun, sehingga telah menjadi kewajiban bagi masyarakat Tana Toraja untuk melaksanakannya. Rambu

  

solo’ merupakan sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga

  orang yang meninggal membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang. Rayo (2012: 36) mengatakan “upacara rambu solo selain bentuk penghormatan terhadap orang meninggal juga bertujuan untuk mengantarkan roh orang yang sudah meninggal menuju tempat peristirahatan yang disebut puya (surga)”. Artinya masyarakat Tana Toraja percaya bahwa upacara rambu solo’ yang diadakan selama ini adalah suatu bentuk jalan bagi orang yang meninggal agar dapat menuju surga. Ningsih (2000: 72) berpendapat bahwa “masyarakat Tana Toraja yang masih hidup wajib memberikan upacara sebaik mungkin bagi orang yang sudah meninggal”. Pendapat itu diperkuat oleh Rayo (2012: 36) yang mengatakan: manusia yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara rambu solo digenapi karena jika belum, maka manusia yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai manusia “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya manusia hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara. Upacara rambu solo berlangsung selama berhari-hari sesuai dengan kesepakatan keluarga. Jadi umumnya upacara rambu solo berlangsung dengan penuh kemeriahan berdasarkan status sosial. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh Yamashita dalam Dian (1996: 59) bahwa menurut adat Toraja, pelaksanaan upacara pemakaman didasarkan pada status sosial orang yang meninggal dan kekuatan ekonomi keluarga yang ditinggalkan. Menurut Panggara (2014: 294) dalam masyarakat Toraja dikenal empat strata sosial, yaitu (1) Tana’ Bulaan atau golongan bangsawan; (2) Tanna Basi’ atau golongan bangsawan menengah; (3) Tana’

  

Karurung atau rakyat biasa; (4) Tana’ Kua-kua atau golongan hamba. Kelompok

  sosial ini secara tidak langsung memberikan ciri-ciri yang khas dalam pelaksanaan upacara rambu solo. Hal itu terjadi karena umumnya jika strata sosial itu berbeda maka ada perbedaan dalam pelaksanaan upacara rambu solo. Jadi ukuran kemeriahan upacara pemakaman dipertunjukkan secara khusus dengan sejumlah kerbau yang dikorbankan selama upacara.

  Kerbau-kerbau yang dikorbankan selama upacara rambu solo’ di Tana Toraja memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Tana Toraja. Kerbau-kerbau maupun babi yang dikorbankan pada upacara pemakaman adat Tana Toraja diyakini oleh masyarakat Tana Toraja sebagai kendaraan bagi orang yang meninggal untuk menuju surga. Sebab perjalanan menuju surga sangat jauh sehingga roh membutuhkan kendaraan berupa kerbau dan babi yang dikorbankan dalam upacara rambu solo’. Jadi dapat dikatakan bahwa kerbau menjadi syarat wajib untuk pelaksanaan rambu solo’.

  Salah satu jenis upacara yang cukup terkenal dalam rambu solo’ yang sering ditemukan dan menjadi bahan perbincangan adalah jenis upacara rapasan. Upacara

  

rapasan dapat dikatakan sebagai upacara yang tingkatannya paling tinggi. Upacara

rapasan memiliki rangkaian yang paling banyak.. Menurut Panggara (2014: 295)

  upacara rapasan umumnya diperuntukkan bagi kaum bangsawan tinggi atau tana

  

bulaan’ yang biasanya dalam pelaksanaannya dilakukan sebanyak dua kali. Upacara

rapasan termasuk upacara rambu solo’ yang paling meriah. Menurut Panggara (2014:

  295-296) upacara rapasan dapat dibagi ke dalam tiga jenis yaitu: (1) upacara Rapasan

  

Diongan’ atau Didandan Tana’ (artinya di bawah atau menurut syarat minimal), (2)

  upacara yang kedua disebut Rapasan Sundan’ atau Doan (upacara sempurna atau atas), dan (3) upacara Rapasan Sapu Randanan.

  1) Upacara Rapasan Diongan’ atau Didandan Tana’

  Upacara rapasan diongan’ atau didandan tana’ adalah upacara yang memiliki tingkat paling rendah dari ketiga jenis upacara rapasan. Menurut Panggara (2014: 295), upacara rapasan diongan’ atau didandan tana’ memiliki ketentuan, minimal mengorbankan sembilan kerbau dan babi sebanyak yang dibutuhkan. Upacara ini dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu upacara pertama, dilaksanakan selama tiga hari di dalam tongkonan (rumah adat khas Tana Toraja) dan upacara yang kedua dilaksanakan di rante (lapangan khusus untuk mengadakan upacara rambu solo’). Korban kerbau pada upacara yang diadakan di tongkonan maupun di rante setidaknya memiliki jumlah yang sama. Akan tetapi jika sulit untuk menyamakan jumlah korban kerbau, maka boleh ada selisih asal jangan terlalu banyak.

  2) Upacara Rapasan Sundun atau Doan

  Upacara rapasan sundun atau doan memiliki beberapa syarat yang sedikit berbeda dengan upacara rapasan diongan. Menurut Panggara (2014: 296) pelaksanaan upacara rapasan sundun memiliki perbedaan yang kontras dalam hal jumlah kerbau yang harus dikorbankan. Dalam upacara ini kerbau yang dikorbankan sekurang- kurangnya sebanyak dua puluh empat ekor dengan babi yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu terjadi karena upacara ini termasuk upacara yang memiliki tingkatan lebih tinggi dibandingkan dengan upacara rapasan diongan. Upacara ini umumnya dilaksanakan oleh kelompok yang memiliki strata tinggi dalam masyarakat yaitu kelompok bangsawan menengah.

  3) Upacara Rapasan Sapu Randanan

  Upacara rapasan sapu randanan adalah jenis upacara rambu solo yang memiliki tingkatan paling tinggi. Menurut Panggara (2014: 296) ketentuan jumlah kerbau yang harus dikorbankan dalam upacara ini ada beberapa pendapat yaitu, ada yang mengatakan di atas dua puluh empat kerbau, di atas tiga puluh kerbau, bahkan ada yang mengatakan di atas 100 kerbau. Dapat dibayangkan bahwa upacara rapasan

  

sapu randanan sangatlah meriah karena begitu banyak kerbau yang dikorbankan dan

  korban babinya pun tidak terbatas. Panggara (2014: 296) juga mengatakan, dalam upacara ini dibuat duba-duba’ dan juga tau-tau yang diarak bersama dengan mayat ketika akan diadakan upacara di rante. Duba-duba’ adalah tempat pengusungan mayat yang mirip dengan rumah tongkonan, sedangkan tau-tau adalah patung dari orang yang meninggal. Menurut Yamashita dalam Dian (1996: 63) persiapaan awal yang utama untuk pemakaman adalah membangun rante (lapangan upacara), kemudian di sekitar rante dibangun tempat-tempat upacara yang disebut lantang sebagai tempat tinggal sementara bagi para keluarga, sanak saudara, dan tamu.

  Ketiga jenis upacara rapasan yang telah disebutkan tersebut umumnya memiliki rangkaian yang sama yaitu diadakannya upacara dalam dua tempat yang berbeda. Menurut Panggara (2014: 295) upacara rapasan (rapasan diongan, rapasan

  

sundun, maupun rapasan sapu randanan) pelaksanaannya ada di dua tempat, yang

  pertama pelaksanaan upacara rapasan di sekitar tongkonan, yang kedua pelaksanaan di sekitar rante. Menurut Sulo (2014: 95) tahapan dalam upacara rambu solo meliputi:

a) Ma’ papengkalao

  Menurut Sulo (2014: 95) tahapan ma’papengkalao merupakan kegiatan memindahkan jenazah dari tongkonan (rumah adat khas Tana Toraja, yang dalam pelaksanaan rambu solo’ digunakan sebagai tempat disimpannya jenazah selama semalam) ke salah satu alang (lumbung padi) yang ada dalam lokasi tongkonan tersebut. Umumnya orang yang meninggal di Tana Toraja itu tidak langsung dikubur namun disimpan di dalam rumah dan selanjutnya disimpan di dalam rumah adat (tongkonan). Jadi prosesi pertama ini adalah pemindahan jenazah. Sulo (2014: 95) mengatakan pada tahap yang pertama ini orang-orang sekitar yang berkumpul mulai melakukan ma’badong (nyanyian dan tarian khusus yang dilakukan oleh sekelompok orang sebagai lambang rasa duka yang dirasakan oleh keluarga orang yang meninggal) di malam hari.

  b) Mangisi Lantang

  Menurut Sulo (2014: 95) mangisi lantang yaitu mengisi pondok-pondok yang telah disediakan sebelumnya dengan membawa keperluan logistik. Pondok-pondok yang ada dalam rambu solo dibangun secara mendadak beberapa hari sebelum upacara rambu solo’ diadakan. Pondok-pondok itu diisi oleh sanak keluarga dan kerabat orang yang meninggal. Jadi pondok-pondok disediakan sebagai tempat tinggal sementara bagi para anggota keluarga karena selama prosesi upacara berlangsung keluarga tidaklah tinggal di rumahnya.

  c) Ma’ pasonglo

  Tahapan upacara selanjutnya disebut dengan istilah ma’ pasonglo. Menurut Sulo (2014: 96) upacara tahap ketiga ini adalah memindahkan jenazah dari lumbung ke lakkian (tempat penyimpanan jenazah yang berada di lapanagan upacara). Kegiatan ini biasanya didahului dengan ibadah dan makan bersama. Dalam tahap ini, biasanya diselingi dengan tradisi ma’ pasilaga tedong. Tradisi ma’ pasilaga tedong adalah aktivitas adu kerbau. Tujuan dari diadakannya tradisi ma’pasilaga tedong sebenarnya adalah untuk menghilangkan rasa duka yang menyelimuti keluarga serta sanak keluarga. Saat acara ini berlangsung, semua orang yang hadir dalam pesta akan larut dalam keramaian ma’pasilaga tedong.

d) Allo Katongkonan

  Menurut Sulo (2014: 96) tahapan yang keempat dalam upacara rambu solo adalah allo katongkonan (menerima tamu). Artinya pada tahap ini pihak keluarga dari orang yang meninggal menerima tamu-tamu yang datang untuk menghadiri upacara rambu solo. Tamu-tamu tersebut disambut dengan sangat baik oleh pihak keluarga. Tamu-tamu yang datang mendapat perlakuan yang istimewa dan terhormat.

  Menurut Sulo (2014: 96) pada tahapan ini kemeriahan mulai nampak karena kerabat mulai berdatangan dengan rombongan mereka masing-masing dan dipersilakan memasuki pondok khusus untuk tamu. Di dalam pondok ini, para tamu disuguhi sirih, rokok, berbagai jenis kue, dan minuman seperti kopi dan teh. Setelah beberapa saat berada di pondok penerimaan tamu, rombongan yang datang kemudian diarahkan menuju ke pondok-pondok milik anggota keluarga yang berduka.

  Di pondok itu, tiap-tiap anggota keluarga yang dituju oleh rombongan menyuguhi tamu mereka masing-masing dengan makanan dan minuman berupa tuak.

  Pada tahap ini, para penari ma’badong (tarian dan nyanyian khas dalam upacara rambu solo’) mulai menari sambil membawakan kadong badong. Dalam hal ini, pa’badong (penari laki-laki dalam upacara rambu solo’) berusaha menampilkan sosok sebagai seorang yang berduka dengan memasang mimik yang sedih. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa pa’badong merupakan bagian dari keluarga yang berduka ataukah hanya orang-orang yang diundang khusus untuk ma’badong di pesta tersebut, semuanya harus menampakkan kesedihan selaku orang yang berduka.

  e) Allo Katorroan

  Pada hari kelima umumnya adalah waktu istirahat. Menurut Sulo (2014: 96)

  

allo katorroan yaitu waktu di mana aktivitas upacara dihentikan sejenak. Jadi

pada hari kelima anggota keluarga orang yang meninggal beristirahat sejenak.

  Meskipun dikatakan bahwa upacara dihentikan sejenak, namun yang sesungguhnya terjadi bukan berarti tidak ada acara sama sekali karena masih ada acara yang dilaksanakan. Menurut Sulo (2014: 97) di hari kelima masih ada tarian ma’badong pada malam harinya.

  f) Mantaa

  Menurut Sulo (2014: 97) adat mantaa yaitu pemotongan hewan korban yang dagingnya akan dibagikan secara adat kepada keluarga dan kerabat yang telah ditentukan. Hewan korban itu berupa sejumlah kerbau dan babi. Tujuan dari adat ini adalah agar orang lain bisa ikut merasakan kemeriahan dari upacara rambu solo’ dan juga untuk tetap membangun silaturahmi yang baik dengan cara berbagi kepada sesama.