PEMBIAYAAN PENDIDIKAN INDONESIA

PKMI-2-1-1

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN INDONESIA:
MENUJU MILLINEUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) 2015
Wiko Saputra, Ayu Yuliana Tasya, Jorrie Andrean
Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas Padang

ABSTRAK
Salah satu kesepakatan dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015
adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia diseluruh dunia dengan
agenda utama tersedianya akses pendidikan dasar bagi seluruh lapisan
masyarakat. Secara eksplisit, MDGs 2015 mengarah pada program wajib belajar
sembilan tahun, dimana negara harus menyediakan kesempatan yang luas bagi
anak usia 7-15 tahun untuk mendapatkan pendidikan. Menghadapi MDGs 2015,
bidang pendidikan di Indonesia harus berbenah diri, hal utama yang dilakukan
adalah memperbaiki program wajib belajar sembilan tahun dan secara bertahap
mencanangkan program wajib belajar dua belas tahun. Masih minimnya
anggaran untuk sektor pendidikan (7-8 % dari APBN) dan kesalahan kebijakan
alokasi anggaran pendidikan yang sebagian besar digunakan bukan untuk
peningkatan kualitas pendidikan dan tersentralisasi pada level pusat bukanya
pada level sekolah merupakan masalah utama dalam pendidikan. Dilihat dari

segi financial, peranan pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan masih kecil,
sebagian besar biaya pendidikan masih ditanggung oleh rumah tangga. Untuk
menuju MDGs 2015 permasalahan tersebut harus dapat diatasi. Diperlukan
peranan pemerintah dalam penyedian akses pendidikan terutama pembiayaan
pendidikan itu sendiri. Pemerintah harus berusaha menyediakan pendidikan yang
murah sehingga masyarakat mampu mengakses pendidikan. Sebuah tantangan
yang harus dihadapi bangsa Indonesia untuk dapat bersaing dalam MDGs 2015.

Kata kunci : Millenium Development Goals 2015, wajib sembilan belas tahun,
wajib belajar dua belas tahun, pembiayaan pendidikan, anggaran
pendidikan.

PENDAHULUAN
Sebuah harapan akan kehidupan madani yang menjadi cita-cita setiap
masyarakat mulai menjadi paradigma baru dalam tatanan kehidupan masyarakat
dunia pada saat ini. Masalah kemiskinan, diskriminasi, kelaparan,
keterbelakangan yang selama ini hidup dibawah kemerlapan dunia sehingga
menimbulkan perbedaan yang tajam antara masyarakat miskin dan masyarakat
kaya. Menghadapi masalah tersebut, negara-negara di dunia membuat sebuah
komitmen dan kesepakatan bersama yang tertuang dalam program Millenium

Development Goals (MDGs) 2015. Salah satu agenda MDGs 2015 adalah
perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui penyedian kesempatan yang luas
bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dasar atau secara eksplisit tidak
ada anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah. Bagaimana pendidikan Indonesia
menghadapi MDGs 2015 ?.

PKMI-2-1-2

Sumber : www.worldbank.org/data

Gambar 1.1
Angka Partisipasi Sekolah Dasar di
Beberapa Negara, 2004

Untuk pendidikan dasar, Indonesia
masih agak tertinggal dengan
beberapa negara lain, tingkat
partisipasi sekolah untuk pendidikan
dasar baru mencapai 85-94 % (lihat
gambar 1.1). Untuk SMP masih

berkisar 55 % dan SMA baru
mencapi 32 % (Balitbang Diknas
2004). Bandingkan dengan Malaysia
yang telah mampu mewujudkan
wajib belajar sembilan tahun.
Menghadapi MDGs 2015 hal utama
yang perlu dilakukan adalah secara
bertahap merancang program wajib
belajar dua belas tahun. Minimnya
anggaran untuk sektor pendidikan
merupakan penyebab utama masih
rendahnya angka partisipasi sekolah.

Beban biaya pendidikan sebagian besar ditanggung oleh rumah tangga
sehingga banyak bagian masyarakat yang belum mampu mengakses pendidikan
terutama masyarakat miskin. Masalah lain adalah kecilnya alokasi anggaran
pendidikan yang kecil, banyak yang tidak tepat sasaran. Alokasi masih
terkosentrasi pada level pusat bukan pada level sekolah dan desentralisasi belum
menunjukan perubahan yang signifikan dalam kebijakan anggaran. Sistem inilah
yang harus diperbaiki untuk menuju MDGs 2015 sehingga wajib belajar dua belas

tahun dapat dilaksanakan di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembiayaan Pendidikan
Selama ini sudah banyak study yang membahas satuan biaya pendidikan.
Dari berbagai study dengan karakteristik masing-masing menghasilkan suatu
definisi yang terus berkembang. Tapi yang jelas biaya (cost) pendidikan
merupakan semua jenis pengeluaran yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan
pendidikan. Dari defenisi ini para praktisi pendidikan mengembangkan study
masing-masing. Richanson (dalam Ghazali, 2000a) menjabarkan konsep biaya
pendidikan dengan pendekatan biaya langsung kedalam yang terdiri dari biaya
adminstrasi, pengajaran, operasional, gedung dan perlengkapan. Sedangkan Koch
(dalam Ghazali, 2000a) menyatakan biaya pendidikan terdiri dari biaya langsung
dari murid, pengeluaran masyarakat dan pendapatan yang hilang dari
melaksanakan pendidikan (earning forgone). Seiring dengan konsep biaya
pendidikan yang dikemukan oleh Koch, Cohn (dalam Gahzali, 2000a),
memasukan earning forgone dan opportunity cost sebagai salah satu bagian dari
pembiayaan pendidikan. Pilihan pendidikan yang diambil oleh individu akan
menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan bila individu tersebut

PKMI-2-1-3


bersekolah sehingga pendapatan dan kesempatan yang hilang menjadi biaya tidak
langsung (indirect cost) dari pendidikan.
Woodhal (dalam Ghazali, 2000a) membedakan menjadi dua kategori
yaitu: pertama , biaya lancar (recurent cost) yang mencakup semua pengeluaran
untuk keperluan konsumtif seperti bahan-bahan dan buku pelajaran, jasa-jasa yang
memberikan manfaat jangka pendek dan secara reguler diperbaharui, kedua , biaya
kapital (capital cost) meliputi pembelian barang tahan lama seperti gedung atau
perlengkapan lain yang memberikan manfaat dalam jangka panjang. Selain
konsep tersebut, dalam perhitungan biaya pendidikan juga dikenal dengan biaya
uang (monetary cost) dan biaya bukan uang (non monetary cost) serta biaya yang
dikeluarkan individu (private cost) dan biaya yang ditanggung oleh masyarakat
untuk pendidikan (social cost). Selain biaya pendidikan, konsep pembiayaan
pendidikan juga memasukan anggaran biaya pendidikan sebagai instrument dasar
analisa pembiayaan. Dalam anggaran pendidikan yang terdiri dari pendapatan dan
pengeluaran pendidikan, dikenal istilah anggaran rutin (recurrent budget) dan
anggaran pembangunan (development budget) yang dialokasikan oleh untuk
pelaksanaan pendidikan. Luasnya konsep pembiayaan pendidikan, merupakan
suatu tantangan bagi pengambil kebijakan pendidikan dalam melihat dimensi
pembiayaan pelaksanaan pendidikan. Kesalahan kebijakan anggaran akan

menyebabkan pendidikan akan terjebak kedalam suatu sistem yang inefisiensi dan
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas output
pendidikan.
Study Terdahulu Satuan Biaya Pendidikan
Dari beberapa srudy yang telah dilakukan untuk meganalisa seberapa besar
biaya pendidikan (unit cost) yang dikeluarkan baik oleh pemerintah dan
masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan melihatkan indikasi yang
berbeda dalam besaran biaya. Munculnya perbedaan ini dapat dilihat dari dua
aspek. Pertama, terjadi perbedaan konsep analisis yang dilakukan dari beberapa
penelitian. Ditjend PUOD Depdagri (1993) menembangkan penelitian satuan
biaya pendidikan untuk tingkat SD melalui pendekatan makro dengan unit analisis
pada level dana pemerintah. Hal yang sama juga dikembangkan oleh David Clark
(ADB, 1996) tapi dengan memperluas cakupan analisis mulai SD sampai SMA.
Tahun 2001, model ini tetap dipakai oleh Walter, M. Mahon (World Bank, 2001)
dengan analisis biaya pendidikan pada level SD. Study terakhir dilakukan oleh
Dedi Supriadi (2004) dengan pendekatan mikro berbasis dana rumah tangga,
masyarakat dan pemerintah. Model ini dipakai oleh Depdiknas dalam strategi
pembiayaan pendidikan 2005-2009 (Depdiknas, 2005).
Dengan model yang relatif berbeda dan tahun penelitian yang juga berbeda
telah memberikan sebuah gambaran yang menarik dari perhitungan satuan

pembiayaan pendidikan di Indonesia. Study yang dilakukan oleh Ditjend PUOD
Depdagri (1993), untuk level pendidikan dasar, kebutuhan biaya pendidikan per
siswa (unit cost) sebesar Rp.140.850. Dengan model yang hampir mirip David
Clark menemukan sebesar Rp.221.000 untuk SD, Rp. 377.000 untuk SMP dan
Rp.721.000 untuk SMA. Walter W. MacMahon menghitung dalam studynya
sebesar Rp.467.000 untuk level pendidikan dasar. Dengan pendekatan mikro,

PKMI-2-1-4

study yang dilakukan oleh Dedi Supriadi (2004) mengasilkan perhitungan sebesar
Rp.1.324.166 untuk SD, Rp.2.743.605 untuk SMP dan Rp.3.552.269 untuk SMA.
Tujuan dari studi ini adalah untuk : 1) Menghitung satuan biaya
pendidikan dasar dan menengah dan komposisi peranan pemerintah, rumah tangga
dan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan, 2) Menganalisa pola pembiayaan
ideal pendidikan dalam program wajib belajar dua belas tahun dan menghitung
besaran anggaran yang dibutuhkan menghadapi MDGs 2015, 3) Menganalisa
perubahan sistem anggaran pendidikan sebelum dan setelah desentralisasi di
Indonesia menghadapi MDGs 2015
METODE PENELITIAN
Lingkupan Penelitian

Study ini menganalisa sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia
menghadapi MDGs 2015 dengan memperbaiki program wajib belajar sembilan
tahun menuju program wajib belajar dua belas tahun. Bagaimana pola pembiayaan
dan anggaran pendidikan terlebih dahulu mengungkap fenomena-fenomena mikro
yang terjadi saat ini. Dari fenomena mikro dikembangkan untuk melihat kondisi
makro dari pola pembiayaan dan anggaran pendidikan menghadapi MDGs 2015.
Pembiayaan pendidikan dalam penelitian ini memakai konsep pembiayaan
pendidikan secara mikro dengan unit analisis pada dana pemerintah, rumah tangga
dan masyarakat sehingga hasil perhitungan menunjukan nilai riil dari pembiayaan
pendidikan.Biaya pendidikan dihitung berdasarkan biaya langsung (direct cost)
yang dikeluarkan untuk pendidikan dan biaya tidak langsung (indirect cost) tapi
mendukung proses pendidikan. Tidak memasukan earning forgone atau
opportunity cost dalam perhitungan. Dengan kondisi yang terjadi, dapat dianalisa
pola kebijakan pembiayaan dan kebutuhan anggaran serta sistem pembiayaan
yang ideal untuk pendidikan dalam menghadapi program wajib belajar dua belas
tahun menuju MDGs 2015.
Sample Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan data primer dengan dua jenis
level data yaitu data pada level siswa dan data pada level sekolah. Agar penelitian
ini memberikan gambaran yang luas terhadap perhitungan biaya pendidikan

diperlukan data dengan komposisi 144 data siswa dan 44 data sekolah
mengunakan empat daerah sample yang respresentatif terhadap hasil perhitungan
(lihat Tabel 1.1).
Kriteria dan Prosedur Pemilihan Sampel
Agar perhitungan satuan biaya pendidikan dasar dan menengah dapat mewakili
semua komponen strata ekonomi masyarakat maka dalam pemilihan sampel
ditentukan berdasarkan kriteria status sosial ekonomi (SSE) siswa. Berdasarkan
kriteria tersebut maka ada tiga kategori sekolah yang ditetapkan sebagai sampel
penelitian yaitu :

PKMI-2-1-5

1) Sekolah yang mewakili SSE tinggi atau sekolah favorit, indikator :
(a) Lebih 75 % siswanya berasal dari SSE tinggi dilingkungan masyarakat
tempat sekolah tersebut.
(b) Memeiliki popularitas atau terfavorit karena mutunya lebih baik
dibanding sekolah lain dilingkungan sekitar.
(c) Jumlah RAPBS merupakan tertinggi dibanding sekolah lain.
(d) Oleh Dinas Pendidikan sebagai sekolah unggulan.
2) Sekolah yang mewakili SSE menengah, indikator :

(a) Sekitar 50-75 % siswanya berasal dari SSE tinggi dan selebihnya
berasal dari SSE rendah dilingkungan masyarakat dilokasi sekitar.
(b) Popularitas sekolah tersebut berada pada level menengah dibanding
sekolah lain.
(c) Jumlah RAPBS sekolah tersebut termasuk rata-rata dibanding sekolah
lain.
(d) Oleh Dinas Pendidikan dinilai sebagai sekolah dengan kualitas
menengah.
3) Sekolah yang mewakili SSE rendah, indikator :
(a) Sekitar 75 % siswanya berasal dari SSE rendah dilingkungan
masyarakat dilokasi sekolah berada.
(b) Termasuk sekolah dengan reputasi rendah.
(c) Jumlah RAPBS termasuk yang rendah dibanding sekolah lain.
(d) Oleh Dinas Pendidikan dinilai sebagai sekolah dengan kualitas rendah.
Tabel 1.1 Distribusi Sampel Siswa Sekolah Dasar dan Menengah Negeri
JENJANG
PENDIDIKAN
SD
Sampel RT
SMP

Sampel Siswa
SMA
Sampel siswa
Jumlah sekolah
Jumlah siswa/RT

PADANG

B.TINGGI

PARIAMAN

SOLOK

TOTAL

5
12
3
12
3
12
11
36

5
12
3
12
3
12
11
36

5
12
3
12
3
12
11
36

5
12
3
12
3
12
11
36

20
48
12
48
12
48
44
144

Pengumpulan dan Pengolahan Data
Ada dua data yang digunakan dalam study ini. Pertama data primer yang
akan digunakan untuk menghitung satuan biaya pendidikan dasar dan menengah.
Ada dua kategori isian angket yang akan digunakan. (1) Angket untuk sekolah,
angket ini memuat rincian identitas sekolah dan pembiayaan pendidikan. (2)
Angket untuk siswa/orang tua siswa diberikan dalam bentuk kuisioner yang diisi
oleh siswa. Sampel diambil dari siswa kelas II untuk SMP dan SMA karena telah
satu tahun menempuh pendidikan. Untuk SD sampel diambil dari rumah tangga
yang memiliki anak, yang sedang menempuh pendidikan dasar. Pengambilan
sampel secara purpose random sampling, pada level sekolah bersifat purpose
dengan kriteria yang telah ditetapkan (rekomendasi dari Dinas Pendidikan) dan

PKMI-2-1-6

pada level rumah tangga bersifat systematical random sampling dengan
mengambil kelas tertentu yang tingkat variasinya banyak (rekomendasi pihak
sekolah). Tiap sekolah/ kelas diambil 4 orang siswa dengan teknik urutan tempat
duduk yang dipilih secara sistematik (star dari pintu masuk hitung 10 diambil
untuk satu sampel lalu kelipatan 10 untuk selanjutnya). Kedua data sekunder
berasal dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional, Badan Pusat Statistik dan Human Development Report dari Bank
Dunia. Selain itu juga mengunakan study kepustakaan. Data diolah dengan
mengunakan statistical package for social sciences (SPSS)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah
Dengan pendekatan mikro pembiayaan pendidikan berbasis dana
pemerintah, rumah tangga dan masyarakat menunjukan nilai riil dari pembiayaan
pendidikan. Dari tabel (1.2) terlihat, pemerintah hanya berperan kecil dalam
pembiayaan pendidikan. Hampir 70-80 % pembiayaan pendidikan ditanggung
oleh rumah tangga. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam
pelayanan pendidikan. Dilihat dari alokasi dana pemerintah, terlihat semakin
tinggi jenjang pendidikan semakin kecil kontribusi pemerintah dalam pembiayaan
pendidikan. Sebagian subsidi pemerintah diserap untuk anggaran rutin terutama
pembayaran gaji (93 %) sedangkan sisanya untuk biaya pembangunan. Sedangkan
biaya yang ditanggung oleh rumah tangga sebagian besar diserap oleh biaya tidak
langsung (inderict cost) pendidikan terutama biaya transportasi dan uang saku
siswa. Alokasi pengeluaran rumah tangga dapat dilihat pada tabel (1.3).
Pendidikan Indonesia : Menuju Millenium Development Goals (MDGs) 2015
Sebuah tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia dalam melihat
dimensi MDGs 2015 karena secara struktural Indonesia masih jauh dari MDGs
2015. Agenda utama yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah
membenahi program wajib belajar sembilan tahun dan secara bertahap
melaksanakan program wajib belajar dua belas tahun untuk menuju MDGs 2015.
Target yang ingin dicapai adalah tersedianya kases pendidikan bagi seluruh anak
usia 7-15 tahun pada tahun 2010 dan anak usia 7-18 tahun pada tahun 2015.
Program ini akan memerlukan anggaran yang besar dan pola alokasi yang efisien.
Bagaimana pendidikan Indonesia menuju MDGs 2015, terutama masalah
pembiayaan dan anggaran pendidikan dapat dianalisis pada bagian ini.
Tabel 1.2 Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah
Komponen
Pembiayaan
Pemerintah
Rumah tangga
Masyarakat
Total

SD

SMP

SMA

Jumlah (Rp)

%

Jumlah (Rp)

%

Jumlah (Rp)

%

518.942
1.321.428
6.231
1.846.601

28,1
71,6
0,3
100

684.942
2.235.632
10.125
2.930.699

23,4
76,3
0,3
100

813.356
2.965.054
17.100
3.795.510

21,4
78,1
0,5
100

PKMI-2-1-7

Tabel 1.3 Komponen Pembiayaan Pendidikan yang Ditanggung Rumah
Tangga
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Komponen
SD
7,3
6,8
2,3
6,9
5,8
3,6
3,7
13,4
7,2
3,5
7,1
32,4
100
(1.321.428)

Uang pangkal/uang pembangunan
Iuran rutin sekolah
Kegiatan ekstrakulikuler
Pembelian buku pelajaran dan LKS
Pembelian buku dan alat tulis
Pembelian tas sekolah
Pembelian sepatu sekolah
Biaya transportasi atau jemputan sekolah
Pembelian seragam sekolah dan atribut
Pembelian pakaian olahraga
Kursus atau les di sekolah
Uang saku dan jajan siswa
Total
Total Rp,-

Jumlah (%)
SMP
6,7
8,1
1,4
7,9
4,9
2,6
3,6
17,7
5,7
1,9
6,7
32,8
100
(2.235.632)

SMA
6,4
12,1
2,0
7,3
4,3
2,2
2,4
17,7
7,6
1,4
11,8
24,8
100
(2.965.054)

Satuan Biaya Pendidikan Ideal Menuju MDGs 2015
Pada bagian sebelumnya terlihat bahwa dalam pembiayaan pendidikan,
sebagian besar ditanggung oleh rumah tangga. Untuk menuju MDGs 2015 dengan
program wajib belajar dua belas tahun maka hal mendasar yang perlu dibenahi
adalah peningkatan kontribusi pemerintah dalam pembiayaan pendidikan. Wajib
belajar menuntut peran negara sebagai penyedia layanan pendidikan.

Tabel 1.4.

Tingkat

Pola Pembiayaan Ideal Pendidikan Dasar dan Menengah
Menuju MDGs 2015
Keadaan Sekarang

Unit Cost

Menuju MDGs 2015

Pemerintah

RT

Masyarakat

Pemerintah

RT

Masyarakat

SD

1.846.601
(100)

518.942
(28,1)

1.321.428
(71,6)

6.231
(0,3)

996.002
(53,9)

844.368
(45,8)

6.231
(0,3)

SMP

2.930.694
(100)

684.942
(23,4)

2.235.632
(76,3)

10.125
(0,3)

1.483.305
(50,6)

1.437.269
(49,1)

10.125
(0,3)

SMA

3.795.510
(100)

813.356
(21,4)

2.964.054
(78,1)

17.100
(0,5)

1.905.346
(50,2)

1.871.186
(49,3)

17.100
(0,5)

Dengan kondisi pembiayaan pendidikan sekarang, dimana peran
pemerintah hanya berkisar 20-30 % dari total pembiayaan pendidikan sedangkan
70-80 % ditanggung oleh rumah tangga menunjukan suatu ketimpangan dalam
peran serta pendidikan. Untuk menuju program wajib belajar dua belas tahun
dalam MDGs 2015 dituntut peran serta pemerintah yang besar dalam pelayanan
pendidikan. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan akses pendidikan. Pada
tabel (1.4), terlihat untuk menghadapi MDGs 2015, peran pemerintah terhadap
pembiayaan pendidikan harus ditingkatkan. Komponen pembiyaan yang selama

PKMI-2-1-8

ini dibebankan pada rumah tangga seperti uang pembangunan, iuran rutin sekolah,
iuran kegiatan ekstrakulikuler, pembelian buku pelajaran, LKS, buku dan alat tulis
serta peningkatan mutu pembelajaran harus ditanggung oleh pemerintah sehingga
peran pemerintah mencapai 50 % dari total pembiayaan dan mengurangi beban
rumah tangga dalam pembiayaan pendidikan. Ini merupakan kondisi ideal dalam
kontribusi pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan.
Anggaran Pendidikan dan Program Wajib Belajar Dua Belas Tahun Menuju
MDGs 2015
Hal dasar yang diperlukan dalam pelaksanaan program wajib belajar dua
belas tahun menuju MDGs 2015 adalah anggaran pendidikan. Untuk mencapai
program wajib belajar dua belas tahun, pemerintah harus merealisasikan 20 % dari
APBN untuk sektor pendidikan, komitmen ini sebenarnya telah tertuang dalam
UUD 1945 pasal 31 (4) tapi belum terealisasi sampai saat ini.
Dari tabel (1.5) dapat dilihat, angka partisipasi sekolah di Indonesia masih
rendah terutama pada level pendidikan menengah yang hanya berkisar 55,7 %
untuk SMP dan 32,3 % untuk SMA sedangkan untuk SD sudah mencapai 94,5 %.
Masih ada sekitar 16.337.204 atau 31,2 % anak usia 7-18 tahun yang tidak
mendapatkan akses pendidikan. Dengan dua agenda utama yaitu wajib belajar
sembilan tahun secara bertahap dapat dilaksanakan secara optimal pada tahun
2010 dan untuk wajib belajar dua belas tahun pada tahun 2015. Pada tabel (1.5)
juga dapat dilihat kondisi anggaran pendidikan, sekarang baru terealisasi sebesar
21,3 triliun untuk sektor pendidikan dasar dan menengah. Untuk mencapai
program wajib belajar sembilan tahun, pemerintah harus menyediakan anggaran
sebesar Rp.44,3 triliun, diperkirakan akan tercapai pada tahun 2010 sedangkan
untuk program wajib belajar dua belas tahun, pemerintah harus menyediakan
anggaran sebasar Rp. 70 triliun dengan target pada tahun 2015, semua anak usia
7-18 tahun dapat akses pendidikan. Dengan arti kata, diperlukan peningkatan
lebih 300 % dari anggaran pendidikan sekarang.
Desentralisasi Penyelenggaraan Pendidikan Menuju MDGs 2015
Perubahan tata kelola pemerintah di Indonesia dari sentralisasi menjadi
desentralisasi memberikan perubahan terhadap pengambilan kebijakan
pemerintah. Salah satu sektor yang diotonomikan adalah sektor pendidikan.
Namun perlu dipahami bahwa dalam kontek otonomi adalah “tidak ada otonomi
pendidikan, yang ada adalah otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan”
(Supriadi, 2004). Desentralisasai penyelenggaraan pendidikan menempatkan
sekolah sebagai pemegang peran besar dalam kewenangan putusan, kemandirian
mengelola dana dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Sebelum
desntralisasi peranan tersebut lebih dominan pada level pemerintah pusat dan
propinsi dengan berbagai birokrasi yang rumit sehingga pencapaian hasil tidak
optimal. Keadaan tersebut telah menimbulkan krisis dalam pendidikan di
Indonesia. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan yaitu pemberdayaan sekolah, masyarakat dan daerah dalam

PKMI-2-1-9

mengembangkan potensi yang dimiliki. Pola perubahan dari sentralisasi ke
desentralisasi dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 1.5 Angka Partisipasi Sekolah dan Anggaran Biaya Pendidikan
Wajib Belajar 12 Tahun Menuju MDG 2015
Keterangan

Keadaan
Sekarang
(2004)

(MDGs 2015)

Tambahan

24.435.036
(94,5)
7.293.961
(55,7)
4.354.759
(32,3)
36.083.756
(68,8)

25.857.177
(100)
13.095.083
(100)
13.466.700
(100)
52.418.900
(100)

1.422.141
(5,5)
5.801.122
(44,3)
9.11.941
(68,7)
16.337.204
(31,2)

12,9*
4,9*
3,5*
21,3*

24,9+
19,4+
25,7+
70+

12+
14,5+
22,2+
48,7+

Target

Angka Partisipasi
Murni*
SD
SMP
SMA
Total

Tahun 2010

Tahun 2015

Anggaran
Pendidikan
(triliun Rp)
SD
SMP
SMA
Total
Program
44,3+
70+

Wajib Belajar 9 Thn
Wajib Belajar 12 Thn

Tahun 2010
Tahun 2015

Ket : *dengan kondisi unit cost sekarang
+
dengan kondisi unit cost ideal menuju MDG 2015
(lihat tabel 3.3)

Tabel 1.5

Perubahan Penyelenggaraan Pendidikan dari Sentralisasi ke
Desentralisasi

Tingkat
Sekolah :
Sebelum MBS
Setelah MBS
Kab/Kota :
Sebelum Otda
Setelah Otda
Propinsi :
Sebelum Otda
Setelah Otda
Pusat :
Sebelum Otda
Setelah Otda

Sumber : Supriadi (2004)

Kewenangan
Membuat Putusan

Kemandirian
Mengelola Dana

Akuntabilitas
Hasil

Kecil
Besar/meningkat

Kecil
Besar/meningkat

Besar
Besar/meningkat

Kecil
Besar/meningkat

Kecil
Besar/meningkat

Besar
Besar/meningkat

Besar
Kecil/menurun

Besar
Kecil/menurun

Kecil
Kecil/menurun

Besar
Kecil/menurun

Besar
Kecil/menurun

Kecil
Kecil/menurun

PKMI-2-1-10

KESIMPULAN
Minimnya alokasi anggaran untuk sektor pendidikan terutama pendidikan
dasar dan menengah yang hanya berkisar Rp. 21 triliun (7,8 % dari APBN 2005)
merupakan kendala utama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Keadaan ini
menyebabkan sebagian besar pembiayaan pendidikan masih ditanggung oleh
runmah tangga, pemerintah hanya berperan sebesar 20-30 % dari total
pembiayaan pendidikan sehingga ada sekitar 16.337.204 atau sekitar 31,2 % anak
usia 7-18 tahun yang tidak mendapatkan akses pendidikan.
Secara eksplisit MDG 2015 mengarah pada penerapan wajib belajar dua
belas tahun, dimana tidak ada lagi anak usia 7-18 tahun yang tidak mendapatkan
akses pendidikan. Untuk merealisasi program tersebut, hal utama yang perlu
diperbaiki adalah peningkatan anggaran dan sistem pembiayaan untuk sektor
pendidikan. Permasalahan bukan saja pada anggaran tapi yang perlu juga
dipebaiki adalah sistem kebijakan anggaran yang selama ini masih belum sampai
pada sasaran. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus
sesuai dengan tatanan kebijakan, dimana anggaran pendidikan terkosentrasi pada
level sekolah sehingga teralokasi pada kebutuhan dari peningkatan mutu
pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Ariasinggam & Patrinos (1999), Decentralization Education : Demand-Side
Financing, The World Bank, Washington D.C
Boediono, (1994), Pembangunan Sektor Pendidikan dalam Hubungan dengan
Pengembangan SDM dalam REPELITA VI, Kelola No.5/III/Januari 1994
Boediono, (1983), Pengukuran Economies of Scale Pengeluaran Sekolah, Jurnal
Analisis Pendidikan tahun 1983
Clark, D. et, al, (1998), Financing of Education In Indonesia , Manila : Asian
Development Bank
Ditjen PUOD, (1993), Penelitian dan Pengkajian Satuan Biaya Pendidikan
Sekolah Dasar, Jakarta : Ditjen PUOD Depdagri
Depdiknas, (2001), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku
Paduan, Jakarta : Dirjen Dikdasmen, Depdikbud
Elfindri, (2005), Financing Education in Indonesia : Phenomena Mikro to Makro
Policies, UKM Malaysia (akan terbit)
Fatah, Nanang, (2000), Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Rosda Bandung
Ghazali, Abbas, (2000a), Analisis Biaya Manfaat SMU dan SMK, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan No. 022, tahun ke-5, Maret 2000
Ghazali, Abbas, (2000b), Pendidikan Antara Investasi Manusia dan Alat
Diskriminasi, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.023 Tahun ke-6, Mei
2000
Jalal, F dan Supriadi, D, (2001), Reformasi Pendidikan dalam Kontek Otonomi
Daerah, Yogyakarta, Adicita Karya Nusa
Koster, Wayan, (2002), Study Pembiayaan Pendidikan : Dampak Mekanisme
Pengalokasian dan Pemanfaatan Dana Pendidikan Terhadap Mutu
Pendidikan SLTP Negeri di Jakarta, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.
034, than ke-8, Januari 2002

PKMI-2-1-11

OECD/UNESCO, (2002), Financing Education : Investment and Return Analysis
of The World Education Indicator 2002, UNESCO Institute for Statistic, Paris
Supriadi, Dedi, (2004), Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Rosda
Bandung
The World Bank (2004), World Development Indicator 2004,
www.worldbank.org/data
UNESCO (2000), Education for All : Year 2000 Assesment, “Technical
Guildeline s”, www.unescobkk.org/infores/efa2000/tech2.html

PKMI-2-1-12