PANDANGAN TOKOH PERSIS TERHADAP BATASAN USIA PERKAWINAN YANG DITETAPKAN OLEH UNDANG-UNDANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.

PANDANGAN TOKOH PERSIS TERHADAP BATASAN USIA
PERKAWINAN YANG DITETAPKAN OLEH UNDANG-UNDANG
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Oleh:
YASIR MASYKURI
NIM. C01212097

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyah)
SURABAYA

2017

ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Pandangan tokoh PERSIS terhadap batasan usia
Perkawinan yang ditetapkan oleh undang-undang dalam Perspektif Hukum

Islam” ini adalah hasil penelitian lapangan untuk menjawab pertanyaan
bagaimana pandangan tokoh PERSIS terhadap batasan usia minimal menikah
yang ditentukan oleh undang-undang dan bagaimana Analisis Hukum Islam
Terhadap Pandangan tokoh PERSIS terhadap batasan usia minimal menikah
yang ditentukan oleh undang-undang.
Disini penyusun menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif,
data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik
wawancara, setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan dengan Hukum
Islam.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwasanya Pandangan Tokoh
PERSIS terhadap batasan usia perkawinan yang ditetapkan oleh undang-undang
berbeda-beda, dalam Hal ini dikategorikan menjadi dua kelompok, Pertama,
Kelompok tekstual konservatif yaitu mereka yang perpendapat sesuai nash dan
tidak setuju dengan adanya pembatasan usia minimal menikah yang ditetapkan
oleh pemerintah. Kedua, Kelompok tekstual moderat yaitu mereka yang
berpendapat sesuai dengan nash tetapi setuju dengan adanya pembatasan usia
minimal menikah yang ditetapkan oleh pemerintah dengan syarat tidak dijadikan
sebagai syarat sahnya pernikahan.
Setelah dianalisis menggunakan hukum Islam dalam hal ini
menggunakan Fikih empat mazhab dan fikih kontemporer, kedua kelompok

tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan hukum Islam. kelompok pertama
cenderung sama terhadap fikih empat mazhab dan kelompok kedua cenderung
terhadap fikih kontemporer.
Sejalan dengan kesimpulan diatas, maka kepada lembaga hukum yang
dimiliki oleh PERSIS yaitu Dewan Hisbah supaya segera mengangkat persoalan
batas usia minimal menikah dalam sidang Dewan Hisbah untuk segera
menentukan fatwa hukum resmi yang nantinya akan dijadikan rujukan bagi
setiap anggota PERSIS.

v

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DALAM......................................................................................

i


PERNYATAAN KEASLIAN .....................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................................

iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ................................................................

iv

ABSTRAK .................................................................................................

v

KATA PENGANTAR ................................................................................

vi


DAFTAR ISI ...............................................................................................

viii

DAFTAR TRANSLITERASI .....................................................................

x

BAB I

PENDAHULUAN . .................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................

1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ......................................


8

C. Rumusan Masalah .............................................................

9

D. Kajian Pustaka ..................................................................

9

E. Tujuan Penelitian ..............................................................

11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ................................................

11

G. Definisi Operasional .........................................................


12

H. Metode Penelitian .............................................................

13

I.

Sistematika Pembahasan ...................................................

15

PERNIKAHAN DAN BATAS USIA MINIMAL NIKAH .....

18

A. Aspek Pernikahan Dalam Hukum Islam ...............................

18


BAB II

B. Batas Usia Minimal Nikah Menurut Fiqih Empat
Mazhab ................................................................................
C. Batas

Usia

Minimal

Nikah

Menurut

27

Ulama’

Kontemporer ........................................................................


33

D. Batas Usia Minimal Nikah menurut Undang-Undang.. .........

42

i

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III

PERSIS DAN PANDANGANNYA TERHADAP USIA
MINIMAL NIKAH ................................................................

46

A. Sejarah dan Perkembangan PERSIS...................................

46


B. Latar Belakang Dewan Hisbah PERSIS .............................

49

C. Manhaj Istinbat Dewan Hisbah ..........................................

51

D. Kewajiban, Hak dan Masa Persidangan Dewan
Hisbah.......................................................................... ........

56

E. Profil Tokoh PERSIS yang menjadi Sumber Data pada
penelitian ini........................................................................

58

F. Pandangan Tokoh PERSIS terhadap Batasan Usia

Minimal Nikah............................................... .....................

61

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN
TOKOH PERSATUAN ISLAM (PERSIS) TERHADAP
BATASUSIA MINIMAL NIKAH.......................................
69

BAB V

PENUTUP. ..............................................................................
A. Kesimpulan ......................................................................

80
80

B. Saran ................................................................................


91

DAFTAR PUSTAKA ..... ............................................................................

82

LAMPIRAN..... ...........................................................................................

86

ii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kata “nikah” berasal dari bahasa arab “nika>hun” yang merupakan

masdar dari kata kerja “nakaha” yang artinya menghimpun atau
mengumpulkan.1 Sinonim dari kata nikah adalah “tazawwaja>” yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.2
Sedangkan nikah menurut istilah ialah suatu akad untuk menghalalkan
hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih
sayang dengan cara yang di Ridloi Allah SWT.3
Mewujudkan tujuan mulia pernikahan dengan membentuk keluarga
bahagia, sejahtera dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa,
sebagaimana telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan,4 disebutkan “harapan setiap orang. Oleh karena itu

diperlukan kesiapan fisik atau materi dan kematangan jiwa (mental) dari
masing-masing calon mempelai”.5

1

Sulaiman al-Mufarroj, Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Sya’ir, Wasiat, Kata
Mutiara, Alih bahasa, Kuais Mandiri cipta persada (Jakarta: Qitshi press, 2003), 5.
2
Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islami (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 11.
3
Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Dana bakti Waqaf, 1995), 38.
4

5

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983),16.

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

Islam telah menawarkan sebuah konsep untuk menjawab persoalan
tersebut, yakni dengan menetapkan persyaratan istita>’ah (kemampuan) bagi
seseorang yang menghendaki pernikahan. Hal ini merupakan patokan yang
diberikan oleh Rasulullah sebagaimana

dalam

sebuah hadis yang

diriwayatkan oleh Imam al Bukhari, yaitu:

ِ
ِ
ِ ‫ب من استطَا‬
‫ص ُن‬
ٌ ‫يَا َم ْع َشَر‬
َ َ ْ ْ َ ِ ‫الشبَا‬
َ ‫ص ِر َواَ ْح‬
َ َ‫ع مْن ُك ْم البَاءَةَ فَ ْليَتَ َزّو ْج فَا نهُ اَغَض للب‬
ِ ِ ِِ
ِ
ِ
ُ‫لل َف ْرِج َو َم ْن ََْ يَ ْستَط ْع فَ َعلَْيه با لص ْوم فَانهُ لَهُ ِو َجاء‬

6

Artinya :
“Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu
menikah maka nikahlah karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat
menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan, dan
barang siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa karena
sesungguhnya berpuasa itu bisa menjadikan tameng dari syahwat.”
Kemampuan yang dimaksud dalam hadis tersebut ialah kemampuan
secara fisik (biologis), mental (kejiwaan) dan materi yang meliputi biaya
proses pernikahan dan juga pemenuhan kebutuhan dalam keluarga.7
Mayoritas ulama klasik tidak menjelaskan batas usia seseorang yang sudah
dikatakan memiliki kemampuan tersebut. Bahkan menurut Ibn al-Munzir,
seluruh ulama sepakat (ijma>’) tentang keabsahan menikahkan seorang anak
kecil dengan syarat ada mas{hlahah dan kafa>’ah.8 Hal ini didasarkan pada
sejarah pernikahan Rasulullah saw dengan Aisyah, yang pada waktu itu

6
7

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam, (Jakarta:Gema Insani, 2011). 40
Musthafa Muhammad Umdah, Jawahir al-Bukhariwa Syarh al-Qasthalani, (Beirut: Dar al Fikr,
1994), 250.
8
PBNU, Hasil-Hasil Muktamar XXXII Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Sekretariat Jendral PBNU,
2011), 149-150.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

masih berumur 6 (enam) atau 7 (tujuh) tahun.9 Walaupun Rasul dan Aisyah
baru menjalani hidup bersama pada saat Aisyah berumur 9 (sembilan) tahun.
Sementara itu Indonesia dalam hal ini, negara mencoba mengatur
ketetapan usia minimal nikah. Undang-undang Perkawinan nomer 1 tahun
1974 menetapkan bahwa usia minimal nikah yaitu 19 tahun bagi Laki-laki
dan 16 tahun bagi perempuan. Hal ini juga diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sengan batasan usia minimal yang sama.10 Akan tetapi faktanya
di Indonesia masyarakat di berbagai daerah ternyata tidak terlalu
mengindahkan aturan-aturan tersebut, baik terhadap UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan maupun terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
telah menegaskan batasan usia minimal bagi seorang laki-laki maupun
perempuan yang ingin menikah. Sebagian dari mereka ada yang melihat
bahwa hukum islam tidak mengatur usia minimal menikah. padahal KHI
merupakan wujud hasil ijtihad Ulama di Indonesia bersama Pemerintah.
Sementara itu banyak terjadi pernikahan yang dilakukan oleh orangorang usia di bawah batasan yang ditentukan Undang-undang. Hal ini bukan
karena mereka tidak tahu akan adanya aturan pemerintah, akan tetapi
beberapa faktor yang lain juga ikut mendorong akan terjadinya pernikahan di
bawah umur tersebut. Seperti faktor ekonomi, sosial, budaya nenek moyang,
serta arus globalisasi yang turut mempengaruhi maraknya pernikahan

9

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Di Indonesia Dan Perbandingan Hukum
Perkawinan Di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Acamedia Tazaffa,2009), 372.

10

Kompilasi Hukum Islam, (permata pers), 77

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

tersebut.11 Seperti fenomena pernikahan putra Ustad Arifin Ilham yang
bernama Muhammad Alvin Faiz yang masih berusia 17 tahun dengan
perempuan yang diketahui muallaf keturunan Cina yang bernama Larrisa
Chou.12
Melihat adanya kesenjangan antara peraturan didalam undangundang perkawinan tahun 1974 dan KHI dengan tingginya praktek
pernikahan dibawah umur di tengah masyarakat maka munculah pertanyaan
menarik. Diantara pertanyaan tersebut adalah apakah betul masyarakat
muslim di Indonesia lebih mengedepankan menganut dan memegang hukum
agama daripada hukum negara. Salah satu penjelasannya adalah bahwa
masyarakat lebih mengedepankan memegang hukum agama sebagaimana
salah satu contohnya yang dipraktekkan oleh kelompok masyarakat yang
menganut aliran tertentu Indonesia. Disinilah kemudian peran ulama atau
tokoh agama termasuk organisasi masyarakat yang berbasis keagamaan
menjadi krusial dan strategis.
Di Indonesia sendiri Organisasi Masyarakat yang berbasis keagamaan
Islam yang paing besar adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, akan
tetapi ada juga organisasi masyarakat keislaman lainnya yang cukup besar
adalah Persatuan Islam (PERSIS).
Persatuan Islam didirikan secara resmi pada tanggal 12 september

11

Asyharul Mu’ala, “Batas Usia Minimal Nikah Perspektif Muhammadiyah dan NU”(Skripsi-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012), 3
12
Ahmadi Rosyid,"Pernikahan Putra Arifin Ilham", dalam
http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/8/8/pernikahan-putra-ustad-arifin-ilham netizen.com
diunduh pada tanggal 30 September 2016.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

1923 di Bandung oleh kelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan
aktivitas keagamaan, yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus.13
Dalam qonun asasi PERSIS pasal 2 dasar dan tujuan14, disebutkan
jamaah ini berdasarkan islam; PERSIS bertujuan mengamalkan ajaran Islam
alam setiap segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat dan PERSIS
bertujuan Menempatkan kaum muslimin pada ajaran aqidah dan syariah yang
murni berdasarkan Quran dan Sunnah. Persis didirikan dengan tujuan untuk
memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh
Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam
tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan
budaya lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali
Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih. Oleh
karena itu, lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal
dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam yang
hanya bersumber dari Al-Quran dan Hadits (sabda Nabi). Organisasi
Persatuan Islam telah tersebar di banyak provinsi antara lain Jawa Barat,
Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi,
Gorontalo, dan masih banyak provinsi lain yang sedang dalam proses
perintisan. PERSIS bukan organisasi keagamaan yang berorientasi politik
namun lebih fokus terhadap Pendidikan Islam dan Dakwah dan berusaha
menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafa>t, syirik, dan

bid’ah yang telah banyak menyebar di kalangan awam orang Islam. Dalam
13
14

Mughni syafiq, A.Hasan Bandung: pemikir islam radikal (Surabya: Bina Ilmu,1994), 53
Pusat Pimpinan Persis, Qanun Asasi Qanun Dhakhili PERSIS, (Bandung: PP. PERSIS,1991),7

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

persis juga terdapat lembaga fatwa nasional yang disebut dengan Dewan
Hisbah.15
Dewan Hisbah merupakan salah satu lembaga hukum yang dimiliki
PERSIS. Pada periode kepemimpinan Isa Anshary (1948-1960). Lembaga ini
juga disebut dengan Majlis Ulama. Keberadaan PERSIS dikenal sejak awal
justru karena lembaga Hukumnya yang telah lahir secara informal sebelum
dideklarasikannya PERSIS.16 Pada mulanya Dewan Hisbah masih disebut
sebagai Majlis Ulama, namun pada tahun 1962-1983 ketika PERSIS
dipimpin oleh KH.E.Abdurahman, Majlis Ulama diubah menjadi Dewan
Hisbah hingga sekarang. Fungsi Dewan Hisbah pun tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Untuk mengarahkan kinerja Dewan Hisbah dibentuklah 3 komisi
dewan hisbah sebagaimana berikut:
1. Komisi ibadah mahd}lah yang memiliki tugas menyusun konsep
pelaksanaan ibadah praktis untuk pegangan anggota dan calon anggota,
merumuskan hasil sementara dalam sidang komisi dan mempresentasikan
hasil sidang komisi dalam sidang lengkap.
2. Komisi muammalah, bertugas mengadakan pembahasan tentang masalah
masalah kemasyarakatan yang muncul dalam masyarakat baik atas hasil
pemantauan atau dasar masukan dan komisi lain atau dari luar,
15

Pimpinan Pusat PERSIS, “Sejarah PERSIS”, dalam http://persis.or.id/sejarah-persatuan-islam/
diakses pada tanggal 8 november 2016.
16
Uyun Kamiluddin Menyorot Ijtihad PERSIS, Fungsi dan Peranan Pembinaan Hukum Islam di
Indonesia (Bandung:tafakkur 1999), 77.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

merumuskan hasil sementara dalam sidang komisi dan mempresentasikan
hasil sidang komisi dalam sidang lengkap.
3. Komisi aliran sesat yang bertugas melakukan penelitian dan pembahasan
mengenai aliran-aliran yang muncul dimasyarakat, merumuskan hasil
sementara dalam sidang komisi dan mempresentasikan hasil sidang
komisi dalam sidang lengkap.17
Jadi Dewan Hisbah yaitu lembaga khusus yang dimiliki oleh PERSIS
yang menangani persoalan atau permasalahan baru dalam masyarakat yang
berkaitan dengan Hukum Islam. Dan meneliti nash-nash dalam qur’an yang
berkaitan dengan persoalan ibadah, serta memberikan fatwa-fatwa hukum
terhadap Jamaah PERSIS, baik berdasarkan pengamatan atau pertanyaan
yang muncul dari kalangan masyarakat.
Organisasi Masyarakat di Indonesia yang mempunyai peran besar
dalam kehidupan umat islam di Indonesia diantaranya Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Islam (PERSIS). Ketiga organisasi ini
memiliki

suatu

lembaga

fatwa

tingkat

nasional,

yang membahas

permasalahan yang baru yang segera dibahas kedudukan Hukumnya.18 Dalam
Muhammadiyah dikenal dengan Majlis Tarjih, di Nahdlatul Ulama di
istilahkan dengan Bahsul Masa’il, sedangkan dalam Persatuan Islam disebut
dengan Dewan Hisbah. Ketiga lembaga Fatwa ini memiliki istinbat{ hukum
yang berbeda. Terkait dengan batas usia minimal nikah Muhammadiyah dan
17

Uyun Kamiluddin Menyorot Ijtihad PERSIS,...,79-80.
Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004 ), 234.
18

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

Nahdlatul Ulama tidak tinggal diam keduanya sudah membahas dalam
Musyawarah dan Muktamar. Muhammadiyah telah membahasnya dalam
“Musyawarah Nasional Majelis Tarji>h dan Tajdi>d Pimpinan Pusat
Muhammadiyah” yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah
Malang (UMM), Malang pada tanggal 1-4 April 2010. Sedangkan Nahdlatul
Ulama (NU) juga menyelenggarakan “Muktamar” pada tanggal 22-27 Maret
2010 di Makassar.19 Sedangkan PERSIS belum membawa permasalahan ini
ke dalam Lembaga Fatwa yang dimilikinya yaitu Dewan Hisbah.
Berdasarkan uraian di atas Penyusun Tertarik untuk melakukan
penelitian secara mendalam terhadap Tokoh Agama Persatuan Islam
(PERSIS) dengan judul “Pandangan Tokoh PERSIS Terhadap Batasan Usia
Perkawinan Yang

Ditetapkan Oleh Undang-Undang Dalam Perspektif

Hukum Islam”.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pandangan tokoh PERSIS
terhadap batasan usia minimal dan menganalisisnya menggunakan Hukum
Islam.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka penulis
dapat mengidentifikasi masalah antara lain, yaitu:
1. Usia Minimal Pernikahan dari sudut Pandang Agama.
2. Usia Minimal Pernikahan dari sudut hukum positif di Indonesia
19

Asyharul Mu’ala, “Batas Usia Minimal Nikah Perspektif Muhammadiyah dan NU”(Skripsi-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012),6

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

3. Peran Organisasi Persatuan Islam dalam Hukum Islam.
4. Pandangan Tokoh Persatuan Islam tentang batas minimal usia nikah.
Berdasarkan identifikasi permasalahan yang muncul diatas, maka
untuk membatasi permasalahan agar tidak melebar, penulis merumuskan
batasan-batasan sebagai berikut:
1. Pandangan Tokoh Agama PERSIS Terhadap Batas usia minimal nikah.
2. Pandangan tokoh agama tersebut terhadap aturan pemerintah terkait usia
minimal nikah.
3. Analisis Pandangan Tokoh Agama PERSIS menurut perspektif Hukum
Islam.

C. Rumusan Masalah
Dari pemaparan identifikasi dan batasan masalah maka penulis dapat
merumuskan beberapa permasalahan yang pokok sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan tokoh PERSIS terhadap batasan usia menikah
yang ditentukan oleh Undang-undang?
2. Bagaimana Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan tokoh PERSIS
terhadap batasan usia menikah yang ditentukan oleh Undang-undang ?

D. Kajian Pustaka
Bagi penulis dirasa sangat penting untuk memberikan pemaparan
terlebih dahulu terkait dengan penelitian serupa yang telah ada sebelumnya.
Hal tersebut agar dapat mengetahui dan lebih memperjelas kembali bahwa

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

penelitian ini memiliki perbedaan. Adapun penelitian terdahulu sebagai
berikut:
Skripsi yang disusun oleh Asyharul Mu’ala (2012), dengan judul
“Batas Usia Minimal Nikah Perspektif Muhammadiyah dan NU” yang dalam
skripsi ini lebih menekankan pada pandangan dua organisasi yang berbeda
dalam menentukan keputusan melalui lembaga fatwa masing-masing,
muhammadiyah lebih setuju dengan UU nomer 1 tahun 1974 dan KHI,
sedangkan NU menggunakan dalil pernikahan aisyah untuk membolehkan
menikah tanpa harus menunggu usia 19 tahun.20
Kemudian skripsi yang ditulis R. Abdul Berri dalam skripsinya
“Pemikiran fiqih Hanafiyah tentang Batas usia Dewasa Untuk melaksanakan
Perkawinan”, dalam skripsi ini dijelaskan terhadap pemikiran madzhab
Hanafiyah terkait batas usia dewasa sebagai syarat boleh nikah hanya
disebutkan dengan aqi>l bali>gh, disini madzhab Hanafiyah berijtihad dengan
menentukan batas usia boleh nikah yaitu 15 tahun.21
Skripsi yang ditulis oleh Elly Surya Indah yang berjudul Batas

Minimal Usia Perkawinan Menurut Fiqh Empat Mazhab dan UU Nomor 1
Tahun 1974.22 Dalam skripsi ini yang ditekankan penyusun ialah
pembahasan tentang bagaimana usia perkawinan yang diberikan oleh fiqh
empat mazhab dan UU Nomor 1 Tahun 1974 yang sama-sama memiliki
20

Asyharul Mu’ala, “Batas Usia Minimal Nikah Perspektif Muhammadiyah dan NU”(Skripsi-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012)
21
R.abdul Berri, “Pemikiran fiqh Hanafiyah Tentang Batas Usia Dewasa Untuk Melaksanakan
Perkawinan”, (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009)
22
Elly Surya Indah, “Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Fiqh Empat Mazhab dan UU
Nomor 1 Tahun 1974”, (Skripsi Fakultas--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

pengaruh penting dalam hukum perkawinan di Indonesia.
Artikel tentang Kedewasaan Untuk Menikah yang ditulis oleh Helmi
Karim menjelaskan bahwa secara eksplisit Islam tidak menyatakan batasan
usia menikah, namun secara implisit tersirat ajaran bagi siapa saja yang
menghendaki pernikahan seharusnya sudah memiliki kematangan dan
kesiapan fisik maupun mental.23
Penelitian yang berkaitan dengan Batas Usia Minimal Nikah sudah
banyak dijumpai baik dalam bentuk Skripsi maupun artikel namun setelah
meneliti kajian pustaka tersebut maka penulis memiliki pandangan yang
berbeda daripada yang lain, penulis lebih memfokuskan pada tokoh Agama
Pesantren PERSIS terkait Batas Usia minimal Nikah yang akan dikemas
melalui Penelitian dengan Judul “Pandangan Tokoh PERSIS Terhadap
Batasan Usia Perkawinan Yang Ditetapkan Oleh Undang-Undang Dalam
Perspektif Hukum Islam”

E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah maka penelitian ini memiliki
beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memetakan pandangan Tokoh Agama PERSIS
terhadap batas usia minimal dalam perkawinan.
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Tokoh Agama PERSIS
terhadap aturan pemerintah terkait usia minimal nikah.
23

Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menikah, (Jakarta: pustaka firdaus,1994), 60-72.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

3. Untuk mengetahui Bagaimana Analisis Hukum islam terhadap
Pandangan tersebut.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis:
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya peta
pandangan umat islam terhadap usia minimal dan secara tidak langsung
dapat menjadi rujukan untuk perumusan solusi, sebagai bahan untuk
menambah wawasan serta sebagai kontribusi dalam pengembangan
keilmuan khususnya dalam bidang hukum Keluarga Islam yang lebih
dispesifikkan tentang pandangan Tokoh Agama PERSIS terkait Batas
Usia Minimal Perkawinan.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu dijadikan rujukan

solusi

terhadap problematika yang muncul di masyarakat tentang perbedaan
pandangan Batas Usia Minimal Perkawinan.

G. Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya kerancuan dan perbedaan pemahaman
terhadap pokok bahasan skripsi yang berjudul “”, terlebih dahulu penulis
menjelaskan variabel penelitian untuk mempermudah pemahaman terhadap
isi pembahasan yang dimaksud, di antaranya:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

1. Pandangan Tokoh PERSIS Terhadap Batasan Usia Perkawinan Yang
Ditetapkan Oleh Undang-Undang yaitu Pendapat Ulama PERSIS dalam
menyikapi aturan usia minimal menikah yang ditetapkan oleh
pemerintah baik dalam KHI maupun UUP Nomer 1 tahun 1974
2. Perspektif Hukum Islam yaitu Sudut pandang menggunakan Fiqih
Klasik

disini

menggunakan

Imam

Empat

Mazhab

dan

Fiqih

Kontemporer disini menggunakan pendapatnya Wahbah Zuhaili dan M.
Quraish Shihab.
3. PERSIS yaitu Organisasi Masyarakat berbasis keagamaan yang bergerak
dibidang Dakwah, Pendidikan dan Sosial.
Jadi menurut penulis mengangkat judul ini adalah untuk mengetahui
pandangan Tokoh PERSIS terkait batas usia minimal menikah yang
ditetapkan oleh Undang-undang menikah ditinjau dari Perspektif Hukum
Islam.

H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah seperangkat pengetahuan tentang langkahlangkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan
dengan masalah tertentu yang diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan
selanjutnya dicari cara penyelesaiannya.24
1. Data yang dikumpulkan

24

Wardi Bahtia, Metodologi Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 2001), 1.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

Sesuai permasalahan di atas, maka beberapa data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Data tentang Konsep Tokoh Agama PERSIS terhadap batas Usia
Minimal dalam perkawinan.
b. Data tentang pandangan Tokoh Agama PERSIS terhadap batas usia
minimal nikah yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan sebagai bahan rujukan
pencarian data, yaitu berupa dua hal antara lain:
a. Sumber data Primer
Sumber primer yaitu sumber utama yang darinya data utama
diperoleh

secara

langsung

dari

subyek

penelitian

dengan

menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung
pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari,25 dalam hal ini
data yang diperoleh berdasarkan Pandangan Tokoh Agama PERSIS.
b. Sumber data Sekunder
Yaitu sumber data kedua yang darinya sumber data sekunder
mendukung penelitian ini. Salah satunya adalah fiqh klasik dan
kontemporer serta Undang Undang Perkawinan.
3. Teknik Pengumpulan Data

a. Interview
25

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogykarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV, 2003), 91.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

Interview atau wawancara adalah sebuah dialog yang
dilakukan oleh Pewawancara untuk memperoleh informasi dengan
Nara Sumber dalam tanya jawab.26 Dalam hal ini tanya jawab dengan
anggota Dewan Hisbah PERSIS dan Pimpinan Pondok PERSIS.
b. Studi Literatur
Merupakan suatu kegiatan mengumpulkan dan memeriksa
informasi atau keterangan yang berhubungan dengan bahasan
penelitian.27 Penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui
telaah buku-buku, karya tulis ilmiah berupa skripsi dan jurnal, serta
naskah dokumen peraturan perundang-undangan.
4. Teknik Pengolahan data
Data diolah, diedit dan diklasifikasi untuk kemudian dianalisis
menggunakan pisau analisis yang ada.
5. Teknik Analisis data
Teknik yang dipakai dalam analisis adalah dengan menggunakan
metode:
a. Metode deskriptif analitis, yaitu teknik yang diawali dengan
menjelaskan dan menggambarkan data hasil penelitian yang diperoleh
penulis dari lapangan dengan perbandingan data atau bahan pustaka
yang berkaitan dengan masalah yang diangkat.
b. Teknik pola Deduktif, yaitu pola berfikir yang didasarkan pada
penarikan kesimpulan dari data penelitian yang telah diambil dari
26
27

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT. Adi Mahasatya, 2002), 132.
Syamsuddin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 101.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

pengertian umum yang bersumber dari Tokoh Agama PERSIS
berkaitan dengan masalah batas minimal usia nikah, selanjutnya
dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus mengenai Analisa
Penulis terkait pandangan Tokoh Agama PERSIS.

I. Sistematika Pembahasan
Untuk membagi dan menata bahasan-bahasan sesuai dengan
kerangka ide. maka penulis menyusun sistematika pembahasan agar
penulisan skripsi terarah dan menjadi suatu gambaran umum mengenai isi
skripsi. Penulisan skripsi ini penulis bagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan
tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah,
batasan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua, merupakan tinjauan umum tentang Perkawinan dan
Dasar hukumnya serta batas usia nikah menurut fiqh empat mazhab, batas
usia minimal nikah menurut Fiqih Kontemporer serta batas usia minimal
nikah menurut undang-undang dan urgensi pembatasan usia perkawinan.
Bab Ketiga, menguraikan tentang data-data yang akan menjawab
penelitian pertama, yang diawali dengan sekilas profil Organisasi
PERSIS, Profil Tokoh Agama PERSIS, konsep usia minimal nikah
menurut Tokoh Agama PERSIS dan pandangan tokoh agama Persatuan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

Islam (PERSIS) terhadap batasan usia minimal dalam perkawinan yang
sudah di tetapkan oleh pemerintah.
Bab Keempat, pemaparan Analisa Hukum Islam terhadap
Pandangan Tokoh Agama PERSIS terkait Usia minimal dalam
perkawinan.
Bab Kelima, yakni memuat kesimpulan, yang merupakan rumusan
jawaban yang ringkas atas masalah yang dipertanyakan dalam penelitian,
serta saran-saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DAN BATAS USIA NIKAH

A. Aspek Pernikahan Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Pernikahan
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi
menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian)
yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang
pria dengan seorang wanita.
Nikah artinya perkawinan, sedangkan akad artinya perjanjian. Jadi
akad nikah berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan
antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia dan
kekal (abadi).1
Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci
dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasihmengasihi, tentram dan bahagia.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, pengertian nikah ialah suatu akad
yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita
sedangkan menurut arti majazi (mathaporic) nikah itu artinya hubungan
seksual.2

1
2

Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: bumi aksara, 1996), 1.
Ibid., 2.

18

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

Pernikahan dalam syariat Islam, yaitu salah satu asas hidup dalam
masyarakat yang beradat dan sempurna. Islam memandang bahwa sebuah
pernikahan itu bukan saja jalan yang mulia untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan, tetapi juga merupakan sebuah pintu perkenalan antar
suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya. Pernikahan
merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya.
Pernikahan adalah salah satu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan
bagi makhluknya untuk berkembang dan melestarikan hidupnya.3
Pernikahan dalam istilah ilmu fiqh disebut nika>h atau zawa>j
keduanya berasal dari bahasa Arab. Nikah dalam bahasa arab mempunyai
dua arti yaitu al-d}ammu dan al-wat}’u.
a. Arti hakiki (yang sempurna) ialah yang berarti menindih, menghimpit,
berekumpul.
b. Arti kiasan ialah al-wat}}’u yang berarti bersetubuh, akad atau perjanjian.4
Menurut Imam Syafi’i nikah ialah suatu akad yang dengannya
menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita, sedangkan
menurut arti majazi nikah itu mengandung arti hubungan seksual.5
Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 pasal 1 merumuskan
pengertian sebagai berikut:

3

Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 9.
Ibid., 27.
5
Hoesen Ibrahim, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, (Jakarta: bumi aksara,1971), 65.
4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

“perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan
adalah akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Seperti yang kita ketahui bersama
bahwasanya

di dalam agama Islam, ikatan perkawinan disebut dengan

mi>tha>qan ghali>z{an, yang berarti perjanjian yang sangat kukuh antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama.
2. Hukum Pernikahan
Pernikahan disyariatkan dengan dalil dari al-Qur’an, sunnah, dan ijma>’.
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.” Sedangkan
didalam Sunnah, Nabi saw. Bersabda:

ِ ‫ب من استطَاع ِمْن ُكم الباءةَ فَ ْليت زوج فَاِ نه اَغَض لِلبص ِر و اَح‬
ٌ ‫يَا َم ْع َشَر‬
ََْ ‫ص ُن لل َف ْرِج َو َم ْن‬
ُ ْ ّ َ ََ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ ِ ‫الشبَا‬
َ ْ َ ََ
ِ ِ ِِ
ِ
ُ‫يَ ْستَط ْع فَ َعلَْيه با لص ْوم فَانهُ لَهُ ِو َجاء‬
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu
kebutuhan penikahan maka menikahlah. Karena menikah itu dapat
menundukkan pandangan dan lebih menjaga alat vital. Barangsiapa yang
belum mampu menikah maka hendaknya dia berpuasa, karena itu merupakan
obat baginya”7

6

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty,
2007), 9.
7
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam, (Jakarta:Gema Insani, 2011). 40.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

Orang yang meneliti dalil-dalil yang diungkapan para ulama akan
menemukan bahwa hukum pernikahan itu berbeda-beda dari suatu kondisi ke
kondisi yang lain, mungkin saja wajib, sunnah, atau makruh, karena seorang
mungkin saja berada dalam salah satu dari tiga kondisi berikut ini:
Pertama: orang yang khawatir terjatuh dalam pada perzinaan jika ia tidak
menikah, maka baginya pernikahan adalah wajib menurut pendapat ulama
pada umumnya, karena menjaga kesucian diri dari perbuatan zina adalah
wajib dan caranya dengan menikah.
Kedua: seseorang yang disunnahkan menikah, apabila memiliki gairah
seksual namun ia yakin tidak akan terjatuh kepada zina, karena menikah
lebih baik baginya dari pada tidak meskipun pilihan tidak menikah untuk
alasan beribadah. Ini adalah pendapat ulama mazhab Hanafi, dan pendapat
yang tampak dari ucapan serta perbuatan sahabat Rasulullah saw.
Ketiga: orang yang impoten atau tidak memiliki gairah seksual lagi
karena berusia lanjut, sakit, atau karena sebab lain. Dalam hal ini ada dua
pendapat para ulama:
a. Menikah baginya adalah sunnah
b. Pendapat kedua mengatakan lebih baik tidak menikah, karena manfaat
pernikahaan tidak dapat ia rasakan disamping hak seksual istrinya tidak
dapat ia penuhi, sehingga membuat istri menderita dan ia sendiri telah
mewajibkan kepada dirinya sesuatu yang tidak sanggup ia tunaikan. Lebih

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

baik ia menyibukkan diri dengan beribadah keada Allah SWT. (dalam
bentuk yang lain).8
3. Tujuan Pernikahan
Menurut Prof. Mahmud Junus, tujuan pernikahan ialah menurut Allah
untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan
mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup
jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan
memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di
dunia ini, juga mencegah perzinaan, agar tercipta ketenangan jiwa bagi yang
bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut:
a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntunan hajat
tabiata kemanusiaan.
b. Membentuk rumah tangga (keluarga) yang berbahagia dan kekal
berdasarkan kethanan yang maha Esa.
c. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
halal, memperbesar rasa tanggung jawab.
d. Membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah (kelurga
yang tentram, penuh cinta kasih dan sayang).
e. Ikatan perkawinan sebagai mi>tha>qan ghali>z{an sekalian mentatati
perintah Allah SAW bertujuan untuk membentuk dan membina
8

Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, terj. Ahmad Sahal Hasan
(Yordania: Daar An-Nafaais, 2002), 24.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

tercapainya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan syariat Hukum Islam.9
4. Syarat dan Rukun Nikah
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan
atau kontrak keperdataan biasa akan tetapi ia memiliki nilai ibadah, amat
tepat jika Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menegaskan sebagai akad
yang sangat kuat (mi>tha>qan ghali>z{an) untuk mentaati perintah Allah SWT,
dan menjalankannya sebagai ibadah, karena itulah perkawinan yang syarat
nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang

saki>nah, mawaddah dan rahmah perlu diatur syarat dan rukun tertentu agar
tujuan disyari’atkannya perkawinan bisa tercapai. Untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai. Untuk memperoleh gambaran yang jelas
mengenai syarat dan rukun perkawinan menurut Islam,10 akan dijelaskan
berikut tentang syarat-syarat perkawinan dan rukun-rukun perkawinan
seperti dikemukakan Kholil Rahman sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad
Rafiq.11
a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:
1) Beragama Islam
2) Laki-laki
3) Jelas orangnya
9

Ibid.,11.
Khoiruddin Nasution “Hukum Perkawinan 1”dilengkapi perbandingan UU Negara Muslim
Kontemporer, edisi revisi (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2004) 29-36.
11
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000), 69.
10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

4) Dapat memberikan persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:
1) Beragama meskipun yahudi atau nasrani
2) Perempuan
3) Jelas orangnya
4) Dapat dimintai persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
c. Wali nikah, syarat-syaratnya:
1) Laki-laki
2) Dewasa
3) Mempunyai hak perwalian
4) Tidak terdapat halangan perwalian
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
1) Minimal dua orang laki-laki
2) Hadir dalam ijab qabul
3) Islam
4) Dewasa
e. Ijab qabul, syarat-syaratnya:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2) Adanya pernyataan penerimaan dari mempelai wanita
3) Memakai kata-kata nikah, tazwi>j atau terjemahan dari kata-kata
nikah atau tazwi>j

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

4) Antara ijab dan qabul bersambungan
5) Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram, haji atau
umrah
6) Majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimal 4(empat) orang, yaitu
calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau
wakilnya dan dua orang saksi.
Berbeda dengan perspektif fikih, undang-undang perkawinan (UUP)
No.1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya rukun. Tampaknya undang-undang
perkawinan (UUP) hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat
syarat sebagai berikut:
a. Perkawinan harus didasarkan dengan persetujuan kedua calon mempelai
b. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua
c. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
yang tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin ini cukup
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
d. dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut diatas atau
salah seorang atau lebih diantara mereka tidak dapat menyatakan
pendapatnya,

maka

pengadilan dalam

daerah perkawinan

atau

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

permintaan orang tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut diatas.
e. Ketentuan tersebut berlaku hukum sepanjang masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Selanjutnya pasal 7 terdapat persyaratan lebih rinci. Berkenaan
dengan calon mempelai pria dan wanita yang mensyaratkan adanya batas
minimal umur calon mempelai. Pasal 7 ayat (1) undang-undang nomer 1
tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan batas umur seperti yang
diungkapkan dalam pasal 15 ayat (1) Kompilasi hukum Islam (KHI)
didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga
perkawinan. Hal ini sejalan dengan penekanan undang-undang perkawinan.
Bahwa calon suami istri harus sudah matang jiwa dan raganya agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan
perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, oleh karena itu,
perkawinan yang dilaksanakan oleh calon mempelai dibawah umur sering
mengakibatkan terjadinya perceraian sebagai akibat ketidak matangan
mereka dalam menerima hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.
Kalaupun ada penyimpangan pasal 7 dapat dilakukan dengan
meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Ternyata undang-undang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

perkawinan melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut
persetujuan calon dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan
antara calon mempelai tersebut, hal ini sangat menentukan untuk pencapaian
tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan kedua calon meniscayakan
perkawinan itu tidak didasari oleh paksaan, syarat ini setidaknya
mengisyaratkan adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita dapat
dengan bebas menentukan pilihannya, siapa yang paling cocok dan maslahat
sebagai suaminya. Jadi disini tidak ada paksaan, terlebih lagi pada
masyarakat yang telah maju.12

B. Batas Usia Minimal Nikah Menurut Fiqh Empat Mazhab
Hukum Islam secara tegas tidak menentukan batas minimal kapan
seseorang boleh melangsungkan pernikahan, hukum Islam tidak membatasi usia
minimal untuk melangsung pernikahan, namun hukum Islam menyatakan bahwa
seseorang dikenakan kewajiban melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum
apabila telah mukalaf. Menurut kajian para ulama dalam menentukan batas usia
nikah menurut hukum Islam bisa dikembalikan pada tiga landasan, yaitu:13
1. Usia perkawinan dihubungkan dengan penentuan batas ba>ligh (kedewasaan).
Hukum Islam menentukan tingkat kedewasaan dengan indikasi adanya
kematangan jiwa yang disyaratkan dengan keluar darah haid bagi wanita
atau mimpi bersenggama bagi anak laki-laki. Dan apabila tanda-tanda
12

Proyek Pembinaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jilid II, (Jakarta,1985), 3
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Islam di Indonesia
(Serang: Sandara, 1995), 96.
13

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

tersebut belum keluar sampai batas usia tertentu, maka para ulama
menentukan batas kedewasaan dengan batas usia.14
Dalam hal ini para ulama mengemukakan dengan berbagai pendapat,
yaitu:
a) Ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah menetukan batas masa dewasa itu
pada saat usia 15 tahun baik bagi laki-laki maupun wanita.15
b) Walau ulama-ulama tersebut dapat menerima kedewasaan sebelum usia
15 tahun dengan tanda-tanda datangnya haid bagi wanita dan mimpi
basah bagi laki-laki. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi tentang jihad.
Adanya kewajiban bagi seseorang untuk berjihad setelah sempurna uisa
15 tahun, bagi mereka yang belum menemukan tanda-tanda kedewasaan,
karena hal tersebut membedakan antara anak-anak dan seorang ikut
berjihad (Perang)16
c) Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datangnya mulai 19
tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita, sedangkan Imam Malik
menetapkan kedewasaan laki-laki dan wanita sama yaitu 18 tahun.17
d) Yusuf Musa, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi Ash-shidieqy
menetapkan bahwa dewasa itu setelah seseorang telah mencapai usia 21
tahun. Karena para pemuda yang berusia sebelum itu biasanya masih
dalam periode belajar dan kurang mempunyai pengalaman hidup.18

14

Muh. Jawad Mugniyah, Al-Ahwal al-Syakhsiyah (Beirut Dar al-ilmu Limalayyin,1964),16
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri>’ al-Jinay al-Islamy ,(Kairo: Dar al-Urubah,1964),603
16
Ibid.,
17
Ibid.
18
Hasby Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (jakarta: Bulan Bintang,1975),241
15

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

Perbedaan diatas menunjukkan adanya berbagai faktor ikut
menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan,
seperti faktor sosial, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. Oleh karena itu
kedewasaan antara suatu daerah dengan daerah yang lain, antara suatu masa
dengan masa yang lain atau bahkan antara orang dengan orang yang lain
tidaklah selalu sama.
2. Usia perkawinan dihubungkan dengan kata “Rusyd” dan kemampuan
seseorang. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 6:

            
               
            
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan jangan

Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 85 104

Praktek kawin mut’ah di Indonesia dalam tinjauan hukum Islam dan undang-undang perkawinan

0 6 8

Pengaturan Usia Perkawinan Dalam Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perspektif Politik Hukum Islam

0 6 177

PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 2

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 10

Pengaturan Usia Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perspektif Politik Hukum Islam. - Raden Intan Repository

1 1 23

BAB II TASYRI’ DAN POLITIK HUKUM PENGATURAN USIA PERKAWINAN - Pengaturan Usia Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perspektif Politik Hukum Islam. - Raden Intan Repository

0 0 55

BAB III PROSES LEGISLASI PENETAPAN USIA PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN - Pengaturan Usia Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perspektif Politik Hukum Islam. - Raden Intan Repository

0 0 41

BAB IV ANALISIS PENGATURAN USIA PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERSPEKTIF POLITIK HUKUM ISLAM - Pengaturan Usia Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perspektif Politik Hukum Islam. - Ra

0 0 37

Pengaturan Usia Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perspektif Politik Hukum Islam. - Raden Intan Repository

0 0 6