Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam
ASPEK HUKUM PERKAWINAN ANTAR AGAMA MENURUT
PERSPEKTIF UNDANG- UNDANG NO 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
NIM :100200020
ROSITA HANUM NASUTION
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
(2)
ASPEK HUKUM PERKAWINAN ANTAR AGAMA MENURUT
PERSPEKTIF UNDANG- UNDANG NO 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
NIM :100200020
ROSITA HANUM NASUTION
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA
Disahkan/ Diketahui Oleh:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
NIP. 196603031985081001
Dr. Hasim Purba,SH, M.Hum
Dosen Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Drs. Ramlan Y. Rangkuti M.A
Dra. Zakiah, Mpd
NIP. 195171980031002
NIP. 195803081989032001
(3)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan dibawak ini:
NAMA
: ROSITA HANUM NASUTION
NIM
: 100200020
DEPARTEMEN
: HUKUM KEPERDATAAN
JUDUL SKRIPSI
: ASPEK HUKUM PERKAWINAN ANTAR
AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG- UNDANG NO 1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Dengan ini menyatakan:
1.
Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak
merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2.
Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan,
maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab
saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada
paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Medan,
September 2015
NIM. 100200020
(4)
ABSTRAK
Masalah perkawinan bukanlah sekedar masalah pribadi dari mereka yang
melangsungkan perkawinan itu, tetapi merupakan salah satu masalah keagamaan
yang sangat sensitif dan erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang.
Skripsi ini diangkat dari permasalahan bagaimana keberadaan hukum
perkawinan antar agama di Indonesia dan bagaimana akibat hukum jika perkawinan
antar agama di lakukan menurut kompilasi hukum islam.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode telaah pustaka
(library research) untuk mentelaah data-data sekunder yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang dikemukakan.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka ditarik kesimpulan
bahwa keberadaan perkawinan antar orang-orang berbeda agama setelah berlakunya
UU No. 1 Tahun 1974 adalah tidak sah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) yaitu
perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing. Akibat hukum di laksanakan perkawinan antar dua orang yang berbeda
agama menurut Kompilasi Hukum Islam juga tidak sah. Dengan tidak sahnya
perkawinan tersebut, maka berpengaruh pada kedudukan agama, keturunan mereka
baik dalam warisan juga dalam hal perkawian mereka kelak. Menurut kompilasi
hukum islam perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut
Hukum Islam.Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka disarankan pada waktu akan
melaksanakan perkawinan hendaklah kedua calon mempelai yakni dalam satu
agama. Haruslah memperhatikan benar-benar syarat-syarat dan larangan perkawinan
dari agama kedua calon mempelai.
(5)
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Alhamdulilahirrobilalamin, puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT atas rahmad,
nikmat dan hidayah yang telah diberikan, sehingga penulisn dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak
lupa shalawat beriringan salam saya sampaikan kepada Nabi Besar SAW yang telah
menuntun umat nya kejalan yang diridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini berjudul : “ASPEK HUKUM PERKAWINAN ANTAR AGAMA
MENURUT PERSPEKTIF UNDANG- UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam
penulisannya, oleh karena iti penulis berharap adanya masukan dan saran yang
bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.
Pelaksanan penulisan skripsi ini berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari
Dosen Pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaiakan dengan baik Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada pihak yang banyak membantu,membimbing, dan memberikan
motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
(6)
1.
Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara (USU).
2.
Bapak Prof.Dr.budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan 1
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
3.
Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan 11
Fakiltar Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
4.
Bapak selaku Pembantu Dekan 111 Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara (USU).
5.
Bapak Dr. Hasim Purba,SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
6.
Ibu Aida Fitri Purba selaku Sekretariat Departemen Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara
7.
Prof.Dr.Alvi Syahrin, SH, M.S selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis
selama perkuliahan.
8.
Bapak Dr.Drs.Ramlan selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama
perkuliahan.
9.
Bapak Dr.Drs.Ramlan Y Rangkuti, M.A selaku Dosen Pembimbing 1. Terima
kasih atas semua waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis
selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
10.
Ibu Dra.Zakiah,Mpd., selaku Dosen Pembimbing 11 yang telah banyak
meluangkan waktu dan memberikan bimbingan serta nasihat dengan penuh
kesabaran mulai dari awal penulisan skripsi ini sampai dengan selesainya
penulisan ini.
(7)
11.
Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis selama
menjadi mahasiswi.
12.
Seluruh Staf Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang
telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.
13.
Kepada Ayah Erwin nasution, dan Mama Milliani Hasibuan, serta keluarga
besar atas segala perhatiannya, dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi di fakultas hukum USU dan telah
memberikan dukungan kepada penulis.
14.
Untuk Abang dan Kakak dan Adik tersayang, Dedy Syamsury Nasution
(Semoga mendapatkan kerja yang baik dan menjadi contoh yang baik untuk
adiknya dan terima kasi telah banyak mendukung dalam menyelesaiakan
skripsi), Een Alawiyah Nasution, Spd (Semoga cita-cita menjadi guru cepat
tercapai dan terima kasih telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi), Nazri Fadilah Nasution (Jadilan anak yang baik dan Semoga cita-cita
mu tercapai dan sayang sama keluarga), Haddad Alwi Nasution (Jadilah anak
yang berguna bagi nusa dan bangsa dan sayang sama ayah, mama, abang, dan
kakak.
15.
Yang teristimewa Rimadi, S. kom, yang telah mendukung dan tidak
henti-hentinya memberi nasehat dan yang selalu mendukung , doa dan semangat yang
telah diberikan selama masa perkuliahan terkhususnya dalam penulisan skripsi
ini.
(8)
16.
Sahabat-sahabat yang senantiasa mendukung dalam doa, memberikan semangat
kepada penulis khusus nya Netty mentari Putri, Yuni Damanik, Mila Veronika,
Lyandika Purba,Tari Sitepu, Wanda Rizkina Balqis, Nanda Nurul Huda, Arija
Br ginting, Solatiah Nasution. Juga teman-teman yang telah membantu penulis
dalam penulisan skripsi ini
17.
Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik
secara langsung maupun tidak langsung, tidak disebutkan satu persatu.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan banyak terima kasih.
Medan, September 2015
(9)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGHANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A.
Latar belakang ... 1
B.
Permasalahan... 2
C.
Tujuan Penulisan ... 2
D.
Manfaat Penulisan ... 3
E.
Metode Penelitian ... 4
F.
Keaslian Penulisan ... 6
G.
Sistematika Penulisan ... 7
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NO TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM . 9
A.
Pengertian Perkawinan ... 9
B.
Tujuan Perkawinan... 18
C.
Syarat-syarat Sah nya Perkawinan ... 25
D.
Asas- Asas Hukum Perkawinan ... 44
E.
Akibat-Akibat Hukum Perkawinan ... 50
BAB III PERKAWINAN ANTAR AGAMA MENURUT PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG NO1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM ... 55
A.
Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia ... 55
B.
Sebab-sebab Melakukan Antar Agama Di Indonesia ... 73
C.
Pelaksanaan Perkawinan Antar Agama Di Indonesia ... 74
BAB IV TINJAUAN YURIDIS ASPEK HUKUM PERKAWINAN ANTAR
AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANGB NO 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ... 76
A.
Keberadaan Hukum Perkawinan Antar Agama Di Indonesia Menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam ... 76
(10)
B.
Akibat Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Undang-Undang No 1
Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam ... 80
C.
Program dan Strategi Untuk Pencegah Perkawinan Antar Agama ... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
A.
Kesmpulan ... 90
B.
Saran ... 91
(11)
ABSTRAK
Masalah perkawinan bukanlah sekedar masalah pribadi dari mereka yang
melangsungkan perkawinan itu, tetapi merupakan salah satu masalah keagamaan
yang sangat sensitif dan erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang.
Skripsi ini diangkat dari permasalahan bagaimana keberadaan hukum
perkawinan antar agama di Indonesia dan bagaimana akibat hukum jika perkawinan
antar agama di lakukan menurut kompilasi hukum islam.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode telaah pustaka
(library research) untuk mentelaah data-data sekunder yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang dikemukakan.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka ditarik kesimpulan
bahwa keberadaan perkawinan antar orang-orang berbeda agama setelah berlakunya
UU No. 1 Tahun 1974 adalah tidak sah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) yaitu
perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing. Akibat hukum di laksanakan perkawinan antar dua orang yang berbeda
agama menurut Kompilasi Hukum Islam juga tidak sah. Dengan tidak sahnya
perkawinan tersebut, maka berpengaruh pada kedudukan agama, keturunan mereka
baik dalam warisan juga dalam hal perkawian mereka kelak. Menurut kompilasi
hukum islam perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut
Hukum Islam.Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka disarankan pada waktu akan
melaksanakan perkawinan hendaklah kedua calon mempelai yakni dalam satu
agama. Haruslah memperhatikan benar-benar syarat-syarat dan larangan perkawinan
dari agama kedua calon mempelai.
(12)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah perkawinan adalah bukanlah sekedar masalah pribadi dari mereka yang melangsungkan perkawinan itu saja, tetapi merupakan salah satu masalah keagamaan yang sangat sensitif dan erat sekali hubunganya dengan kerohanian seseorang.
Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan disebutkan dalam pasal 1 bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.
Sebagai salah satu masalah keagamaan, hampir disetiap Negara di dunia mempunyai peraturan sendiri tentang perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tuntuk pada ketentuan-ketentuan ajaran agama yang melangsungkan perkawinan.
Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”, kemudian disebutkan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Jadi untuk sahnya perkawinan selain perkawinan harus sah berdasarkan agama juga harus didaftarkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang, sehingga perkawinan mempunyai kekuatan hukum dan dapat dibuktikan atau peristiwa perkawinan itu telah diakui oleh negaranya.Hal ini penting artinya demi kepentingan suami istri itu sendiri, anak yang lahir dari perkawinan serta hal yang ada dalam perkawinan tersebut.
Mengingat dinegara Indonesia hidup serta diakui berbagai macam agama dan kepercayaan, maka tidak diherankan jika sering dijumpai adanya perkawinan antar orang-orang berbeda agama dan kepercayaannya. Jika diperhatikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jelas tidak mengatur tentang
(13)
masalah perkawinan antar agama, sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama adalah tidak sah sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.
Dengan latar belakang diatas, maka penulis memilih judul skripsi tentang “Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam”.
B. Permasalahan
Permasalahan dalam penulisan skripsi adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana eksintensi hukum perkawinan antar agama di Indonesia yang akhir-akhir ini banyak dilakukan terutama sebagian dari artis dan selebritis ?
2. Bagaimana latar belakang sebab-sebab melakukan perkawinan antar agama tersebut ?
3. Apa akibat hukum bila perkawinwan antar agama dilakukan menurut perspektif Hukum Islam ?
4. Bagaimana pengaturan perkawinan beda agama menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui ekssitensi hukum perkawinan antar agama di Indonesia yang akhir-akhir ini banyak dilakukan terutama sebagian dari artis dan selebritis. 2. Untuk mengetahui latar belakang sebab-sebab melakukan perkawinan antar
agama.
3. Untuk mengetahui akibat hukum bila perkawinan antar agama dilakukan menurut kompilasi Hukum Islam
4. Untuk mengetahui pengaturan perkawinan beda agama menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(14)
D. Manfaat Penulisan
Kegunaan penelitian dalam penuluisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis peneliti ini diharapkan menjadi bahan untuk pertimbangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoritis yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang pelaksanaan perkawinan antar agama.
2. Secara praktis adalah :
a. Untuk mengetahui secara dalam tentang pelaksanaan perkawinan agama. b. Memberikan sumbangan pikiran bagi masyarakat dan pihak-pihak yang
berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan antar agama.
Perkawinan meupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami dan isteri), mereka saling berhubungan agar dapat keturunan sebagai penerus generasi.Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itu lah yang disebut keluarga.Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridho dari Allah SWT.
Dari sudut pandang Islam, perkawinan adalah satu-satunya cara yang berguna untuk menjaga kebahagian umat dari kerusakan dan kemerosotan akhlak. Selain dari itu perkawinan juga dapat menjaga keselamatan individu dari pengarah kerusakan masyarakat karena kecenderungan nafsu kepada jenis kelamin yang sah dan hubungan halal.Justru itu Islam memberikan perhatian khusus kepada kaum muda mengenai masalah perkawinan, untuk menyelamatkan jiwa mereka dari perbuatan dan kerusakan akhlak seperti zina dan seumpamya.1
1
Imam Jaahuri, Perlindungan hukumTerhadap Anak Dalam Keluarga Poligami,
(15)
Dalam konteks hukum perkawinan, jelas bahwa perkawinan adalah hukum Allah SWT yang berlaku di alam nyata. Karena itu islam telah mengatur setiap aspek kehidupan berkeluarga, bermula dari memilih jodoh hingga kepada tanggung jawab suami dan isteri didalam rumah tangga.
Menurut MD. Ali Alhamdy menyebutkan bahwa :
Kawin itu suatu peraturan Tuhan yang diakui baik oleh segenap manusia yang berkesopanan.laki-laki yang bercampur dengan perempuan dengan perempuan atau sebaliknya dengan tidak menjalankan perkawinan lebih dahulu dinamakan berzina. Zina itu salah satu perbuatan cemar yang diakui oleh wet dunia, wet agama dan kemanusiaan2
E. Metode Penelitian
Metode Penelitian menjelaskan mengenai bagaimana data dari informasi diperoleh dalam melaksanakan penelitian. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini antara alin:
1. Jenis penelitian
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif ( legal research), jenis penelitiannya adalah penelitian terhadap sistematika hukum. Penelitian terhadap sistematika hukum dapat dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis. Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap
2
(16)
pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam hukum yaitu masyarakat hukum dan objek hokum.3
Pehnelitian ini penting artinya karena masing-masing pengertian pokok atau dasar tersebut mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum, misalnya pengertian pokok atau dasar “peristiwa hukum” yang mempunyai arti penting dalam kehidupan hukum, mencakup keadaan (omstandigheden), kejadian (gebeurlenissens) dan perilaku atau sikap tindak (gedragingen).4
2. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan ukuran-ukuran resmi tentang pengertian dari unsur-unsur yang diteliti. 5
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu :
Alat pengumpulan data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.
Sumber data diperoleh dari :.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3. Peraturan Pemerintahan No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974
4. Intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) b. Bahan hukum sekunder, yaitu memberikan penjelesan mengenai bahan hukum
primer, seperti : buku-buku bacaan terkait perkawinan, karya dari kalangan hukum, dan sebagainya
3
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, 2010, Jakarta,hlm.93
4 Ibid.
5
(17)
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti : kamus hukum dan artikel-artikel yang berasal dari internet. 3. Analisis data
Analisis data yang digunakan pada skrispsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu mengikhtiarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin serta memilah-milahnya dalam satuan konsep, katagori atau tema tertentu. 6
F. Keaslian Penulisan
Untuk mengungkapkan serta mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan diuraikan secara konfrehensif sehunnga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam skripsi ini.
Dari penelitian yang dilakukan pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara belum ada penulisan yang menyangkut mengenai “Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam)”. Judul tersebut didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, referensi, buku-buku dan pihak-pihak lain. Judul tersebut belum pernah di tulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya.
6
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis kearah Penguasaan Model Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada,2003,Jakarta, hlm.68-69
(18)
Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat.Kalau pun ada, penulis yakin bahwanya substansi pembahasannya adalah berbeda.
Sebagai contoh skripsi sebsgai berikut :
1. Skripsi Ridha Maya Sari Nasution yang berjudul, “Tinjauan Yuridis Sita Marital Harta Bersama Dalam Perkawinan Yang Dicatatkan (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 100/Pdt.G/2009/PA Mdn)”
2. Skripsi Novi Meri Susanti yang berjudul, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pendaftaran Perkawinan Menurut Unfang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Kompilasi Hukum Islam)”
3. Skripsi Venny RD yang berjudul, “ Tinjauan Yurudis Pembuatan Perjanjian Kawin Sebelum Dan Sesudah Perkawinan Dilaksanakan Menurut KUHPerdata Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
Dengan demikian, maka keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini di bagi dalam beberapa tahapan yang di sebut dengan bab, dimana masing-masing bab di uraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis materi pembahasan keseluryhannya terbagi atas 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan, pada bab ini menggambarkan hal-hal yang bersifat umum sebagai langkah awal dari tulisan ini. Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematiks penulisan.
Bab II :Tinjauan Umum Terhadap Perkawinan Menurut Undang-Undang NO 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, pada bab ini di uraikan mengenai pengertian
(19)
perkawinan, tujuan perkawinan, syarat-syarat sah nya perkawinan, asas-asas hukum perkawinan, akibat hukum perkawinan.
Bab III : Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, pada bab ini di uraikan sejarah hukum perkawinan di Indonesia, sebsb-sebab melakukan antar agama di Indonesia, pelaksanaan perkawinan antar agama di Indonesia.
Bab IV : Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, pada bab ini merupakan bab yang paling pokok dari penulisan skripsi ini, dalam bab ini di uraikan mengenai Keberadaan hukum perkawinan antar agama di Indonesia menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Akibat hukum perkawinan antar agama menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam, Program dan strategi untuk pencegah perkawinan antar agama.
Bab V : Kesimpulan dan saran, pada bab terakhir ini merupakan suatu kesimpulan dari permasalahan yang di lanjutkan dengan memberikan beberapa saran yang di harapkan akan berguna dalam praktek.
(20)
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian Perkawinan
1.
Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pengertian perkawinan yang terdapat di dalam tiap-tiap peraturan
perundang-undangan yang berlaku di berbagai negara berbeda-beda. Perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 :Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Berdasarkan pengertian
perkawinan di atas, dapat dimengerti bahwa dengan melakukan perkawinan,
masing-masing pihak telah mempunyai maksud
untuk hidup bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara, agama dan kepercayaan masing-masing
untuk mencapai keluarga yang bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan juga mencantumkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini berartibahwa perkawinan
dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang
direncanakan, akan tetapi untuk selamanya dan tidak boleh diputus begitu saja.
77
Wantjik Saleh dikutip dari Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas HukumPerdata, Bandung: Alumni, 2000, hal. 67.
(21)
Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan lebih tegas lagi
menyebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar1945.Maksud dari
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk juga ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya tersebut sepanjang tidak
bertentangan dengan isi dari Undang-Undang Perkawinan, termasuk hukum adat
.
Dari
definisi di atas, maka terdapatlah lima unsur di dalamnya yangmeliputi :
a.
Ikatan lahir batin
Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin adalah suatu perkawinan itu tidak cukup
hanya dengan ikatan lahir batin saja, melainkan juga harus ada suatu ikatan batin,
yang kemudian keduanya dipadukan menjadi satu ikatan perkawinan.Ikatan lahir
batin merupakan suatu ikatan yang dapat dilihat, karena merupakan suatu ikatan
yang nyata dan formal, yang merupakan suatu ikatan yang menunjukkan adanya
hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup
bersama sebagai suami istri. Sebaliknya ikatan lahir batin merupakan hubungan
yang tidak nyata, tetapi ikatan ini dapat dirasakan oleh seorang laki-laki dan
seorang perempuan di dalam melangsungkan kehidupan perkawinannya, didalam
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dan dasar cinta dan kasih sayang guna
mewujudkan suatu keluargayang bahagia dan damai. Oleh karena itu, perkawinan
tidak hanya menyangkut unsur lahir saja, tetapi juga diperlukan suatu ikatan
batin.
(22)
b.
Antara seorang pria dan seorang wanita
Ikatan perkawinan hanya boleh dilakukan oleh seorang pria dengan seorang
wanita, hal tersebut memang sudah menjadi kehendak Allah Yang Maha
Kuasa, yang telah menciptakan manusia dengan perasaan saling
membutuhkan satu dcngan yang lainnya. Perasaan saling membutuhkan
tersebut merupakan tanda-tanda kekuasaannya didalarn pengaturan alam
semesta ini.
c.
Sebagai suami isteri
Dijadikannya manusia berpasang-pasangan adalah untuk menjadikan manusia
itu sebagai suami isteri. Seorang pria dan wanita dinyatakan sah sebagai
suami istri apabila perkawinan tersebut telah memenuhi syarat-syarat
perkawinan yang ada, baik yang diatur didalam agama atau kepercayaannya,
maupun yang diatur didalam Undang- Undang.
d.
Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Yang dimaksud disini adalah perkawinan dilangsungkan dengan maksud
untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan dilandasi rasa cinta dan
kasihsayang, serta rasa saling membutuhkan satu sama lain, didalam
melangsungkan suatu perkawinan, untuk memperoleh keturunan yang sah
dalam masyarakatuntuk dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
diatur dalam syariah,serta kekal selamanya sampai suatu kematian yang
memisahkannya.
e.
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Hal ini sesuai dengan ketentuan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa,maka
perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama atau
(23)
keyakinan,sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir dan
jasmani, akan tetapiunsur batin yang mempunyai peranan penting.
2. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Salah satu fase yang dilewati oleh manusia dalam siklus hidupnya adalah perkawinan,
oleh karena itu pengaturan mengenai perkawinan sudah ada sejak manusia itu turun
ke bumi. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk berketurunan guna
kelangsungan hidup serta menumbuhkan dan memupukrasa kasih sayang antara
suami dan istri.
8maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”
Al-Qur’an banyak mengatur mengenai perkawinan dalam
ayat-ayatnya sebagaimana dalam Surat Yassin ayat 36 yang
artinya sebaga berikut :
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka,
9
kepada-Nya dan dijadikan-Nya rasa kasih sayang diantara kamu”.
Perkawinan menimbulkan ketenangan hidup manusia dan menumbuhkan rasa kasih
sayang sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Arrum ayat 21 yang
artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Ia menciptakan kamu
isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
10
Perkawinan berasal dari kata dasar kawin yang berarti hubungan seksual.
11Sudah menjadi kodrat manusia diciptakan berpasang-pasangan, adanya pria dan wanita
memang sudah menjadi kehendak Allah yang maha kuasa, yang telah Menciptakan
8
Ahmad Ashar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press, 1999. hal. 12.
9
Q. S. Yassin ayat 36. 10
Q. S. Arrum ayat 21
11
(24)
manusia dengan perasaan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya untuk hidup
bersama dalam suatu ikatan perkawinan.Menurut Ahmad Anshar Basyir, perkawinan
menurut hukum Islam adalah:
“Suatu akad atau pernikahan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan
cara yang diridhoi Allah”.
12Pada dasarnya, istilah perkawinan disamakan dengan arti pernikahan yaitu akad untuk
menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara
laki-laki dan perempuan, dimana diantara keduanya bukan muhrim. Pengertian
tersebut juga dijumpai dalam pengertian perkawinan menurut istilah hukum, ialah
akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara
seorang pria dan seorang wanita.
Akan tetapi perkawinan tidak hanya merupakan ikatan untuk menghalalkan
hubungan kelamin lawan jenis ada yang mengikuti hubungan itu, yaitu tanggung
jawab terhadap isteri, suami, dan anak, ada hubungan hukum yang timbul dari
perkawinan itu. Perkawinan dalam istilah agama Islam disebut "nikah", adalah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki
danseorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak
untuk mewujudkan suatu kebahagiaan berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketenteraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah Yang Maha Kuasa.
13
12
Azhari Ahmad Toriqon, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis PerkembanganHukum Islamdari Fiqih Undang- Undang No 1 Tahun 1974 sampai KHI. Jakarta : Kencana,
2004) hal 38
13
Mohd. Idris Ramulya, Hukum Perkawinan Islam (suatu analisis dari UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta : Bumi Aksara, 1996, hal.1.
Atau lebih tegasnya, perkawinan adalah suatu akad
suci dan luhur antara anak laki-laki dan perempuanyang menjadi sebab keabsahan
(25)
status sebagai suami istri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai
keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.
14perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak
keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka amatlah tepat jika
Kompilasi Hukum Islam menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat atau
miitsaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.Hal tersebut diatur pada Pasal (2) Kompilasi Hukum Islam.Guna memahami
Mengenai pengertian perkawinan ini, banyak pendapat satu dengan lainnya
berbeda.Tetapi perbedaan ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan
yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lainnya, tetapi
perbedaan ini hanya terdapat pada keinginan perumus untuk memasukkan
unsur-unsur sebanyak-banyaknya dalam rumusan pengertian-pengertian itu di satu pihak,
dan pembatasan banyaknya unsur didalam perumusan pengertian perkawinan di pihak
lain.
Walaupun terdapat banyak perbedaan pendapat tentang rumusan pengertian
perkawinan, tetapi ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat,
yaitu bahwa "nikah" itu merupakan suatu perjanjian ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Perjanjian ini adalah merupakan perjanjian suci
untuk membentuk keluarga antara seorang laki-iaki dan seorang perempuan.Menurut
Hukum Islam Perkawinan adalah akad antar calon suami-isteri untuk memenuhi hajad
menurut yang diatur oleh syariat, yang dimaksud denganakad adalah ijab dari pihak
wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari pihak calon suami yang dilaksanakan di
hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
14
(26)
perkawinan yang mempunyai nilai ibadah sebagaimana di sebut di atas, Ahmad Rofiq
menjelaskan bahwa perkawinan merupakan salahsatu perintah agama kepada yang
mampu untuk segera melaksanakannya.Karenadengan perkawinan dapat mengurangi
maksiat penglihatan, memelihara diri dariperbuatan zina.Oleh karena itu, bagi mereka
yang berkeinginan untuk menikah,sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan
belum siap, dianjurkan berpuasa.Dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi
diri dari perbuatantercela yaitu perzinahan.
Berkaitan dengan makna miitsaqan ghaliidhan Rusli dan R. Tamamenjelaskan bahwa
agama Islam juga mengangap tidak sah perkawinan antaraseorang Islam sipil saja,
karena dalam pernikahan tersebut terdapat suatuketiadaan prinsip yang justru
dijadikan sebagai kunci penghalalnya Faraj (tubuh)bagi seorang laki-laki, yaitu
kalimatullah yang diucapkan oleh wali dan diterimaoleh calon suami dihadapkan dua
suku yang adil.
15
15
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bandung : SantikaDharma,1984. hal. 38.
Adapun pentingnya suatu perkawinan bagi kelangsungan kehidupan umatmanusia,
khususnya bagi orang Islam, adalah sebagai berikut:
a) Melaksanakan suatu perkawinan adalah merupakan suatu ibadah bagi umat Islam,
karena perintah untuk melaksanakan perkawinan telah diatur dalam Al-Qur'an dan
Sunah Rasul.
b) Dengan melangsungkan perkawinan maka terciptanya suatu keluarga yang bahagia
didasari dengan cinta dan kasih sayang sehingga terciptalah kehidupan yang kekal
dan tenteram.
c) Dengan melangsungkan perkawinan maka terpenuhinya tabiat dari fitrah manusia
yang diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa secara berpasang-pasangan,sehingga
manusia terhindar dari kejahatan dan kesesatan.
(27)
d) Dengan perkawinan yang sah, maka diharapkan dapat lahirlah keturunan yang sah
dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya
dapat berlangsung secara jelas dan bersih.
Adapun pengertian dari perkawinan menurut pendapat para sarjana adalah sebagai
berikut ini :
1) Menurut Mahmud Junus
Perkawinan adalah aqad antara calon suami dan calon istri untuk memenuhi hasrat
jenisnya, menurut ketentuan yang diatur didalam agama Islam.
16Perkawinan adalah pernikahan yaitu suatu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon
gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
2) Menurut Kompilasi Hukum Islam
17
Perkawinan adalah suatu perjanjian-perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
3) Menurut Suyuti Thalib
18
Perkawinan adalah suatu aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang antara keduanya bukanmuhrim.
4) Menurut Sulaiman Rasyid
19
16
Mahmud Junus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta : Pustaka Mahmedia, 1960,hal. 21
17
Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam
18
Sayuti Thalib.Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam.Jakarta : Universitas Indonesia, 1982.hal. 47
19
Sulaiman Rasyid.Fikih Islam. Bandung : Sinar Baru,1990. hal. 360.
(28)
Perkawinan merupakan suatu ikatan batin maupun ikatan lahir selama hidup antara
suatni dan istri untuk hidup bersama menurut syariat Islamdan memperoleh
keturunan.
20Dari bermacam-macam definisi pengertian perkawinan di atas, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa pengertian perkawinan pada umumnya adalah sama yaitu
perkawinan merupakan suatu perjanjian dalam masyarakat antara laki-laki dan
perempuan untuk membentuk keluarga, yang bahagia kekal dan sejahtera berdasarkan
peraturan yang berlaku bagi masyarakat di suatu negaranya.
20
Wila Chandrawila Supriyadi.Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda Bandung : Mandar Maju 2002. hal. 67.
(29)
B.
Tujuan Perkawinan
1.
Tujuan Melakukan Perkawinan Menurut Undang-undang No
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan, baik materil maupun
spirituil. Kebahagian yang ingin dicapai bukanlah kebahagian yang
sifatnya sementara saja, tetapi kebahagian yang kekal, karenanya
perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal, yang
hanya dapat berakhir dengan kematian salah satu pasangan tersebut.
Pemutusan karena sebab-sebab yang lain dari pada kematian, diberikan
suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan yang
berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah
jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.
21Pembentukan keluarga yang
bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan
dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut
perundangan adalah untuk kebahagian suami isteri, untuk mendapatkan
keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang
bersifat parental (ke-orangtua-an).
22Selanjutnya dinyatakan dengan
tegas bahwa pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu,
haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama
dalam Pancasila.
23
21
Asmin SH, Op.Cit.,hlm.19-20
22
K.Wantjik Saleh SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan keempat, Ghalia Indonesia, 1976, Jakarta, hlm.15
23
Prof. H. Hilman Hadikusuma SH, Op,Cit., hlm.21
Tujuan perkawinan menurut hukum agama, juga
berbeda antara agama yang satu dengan yang lain. Menurut hukum
(30)
Islam tujuan perkawinan ialah
24menurut perintah Allah untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur.Selain itu pula ada pendapat yang
mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga
sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta
meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga
mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa
bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
25Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut :
26Ikatan perkawinan sebagai
mitsaqan ghalizan
sekaligus mentaati
perintah Allah SAW bertujuan untuk membentuk dan membina
tercapainya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami isteri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan syariat hukum Islam.
27
24
Wantlijk Saleh SH, Loc.Cit.
25
Prof. H. Hilman Hadikusuma SH, Op.Cit.,hlm.24 26
Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.26-27 27
Mardani, Op.Cit.,hlm.11 Universitas Sumatera Utara
a. Menghalalkan hubungan
kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan b.
Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa c. Memperoleh keturunan
yang sah d. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki
penghidupan yang halal, memperbesar rasa tanggungjawab e.
Membentuk rumah tangga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah
(Keluarga yag tentram, penuh cinta, kasih, dan kasih sayang) (QS.
ar-Rum ayat 21)
(31)
Perkawinan bertujuan untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan
mencegah maksiat, untuk membina rumah tangga yang damai
danteratur.
28Menurut R Soetojo Prawirohamidjojo “perkawinan bertujuan untuk
memperoleh keturunan memenuhi nalurinya sebagai manusia, memelihara
manusia dari kejahatan dan kerusakan, membentuk dan mengatur serta
menumbuhkan aktifitas dalam mencari rezeki yang halal dengan memperbesar
rasa tanggung jawab.
29“Memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusian, berhubungan antara
lakilakidan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga
yangbahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk
memperolehketurunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti
ketentuanketentuanyang diatur oleh Syari’ah”.
Tujuan dari perkawinan menurut ajaran Agama Islam adalah :
30
halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Lebih lengkap tujuan dan manfaat perkawinan dibagi menjadi lima hal,
antara lain:
1) Memperoleh keturunan yang sah untuk melangsungkan keturunan serta
perkembangan suku-suku bangsa manusia.
2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia.
3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari
masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
28
Hilman Hadikusuma, Op. cit, hal. 24.
29
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia, Airlangga University Press, 1990. hal. 28.
30
Soermiyati, 1999, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1999. hal.12.
(32)
Berdasarkan uraian di atas tujuan dan manfaat perkawinan di atas dapat
lebih dijelaskan satu persatu.
31
31
Ibid, hal. 13
Ad. 1. Tujuan yang pertama ialah memperoleh keturunan, ini merupakan
pokok dari tujuan perkawinan, setiap orang yang telah melansungkan
perkawinan tentu ingin memiliki keturunan, tanpa keturunan kehidupan
rumah tangga akan terasa hambar walau dari segi materi berkecukupan.
Keinginan memiliki anak sangatlah wajar karena nantinya anak akan
melanjutkan kehidupan keluarga ke depan dan membantu orang tua dimasa
tuanya, tentu dengan harapan anak-anak yang soleh dan berbakti kepada
orang tua dan lingkungannya.
Ad. 2. Tujuan kedua, memenuhi tuntutan naluriah, Tuhan menciptakan
manusia
berbeda-beda jenis kelaminnya, maka keduanya memiliki daya tarik untuk
memikat lain jenisnya, melahirkan gairah baik laki-laki maupun perempuan
untuk melakukan hubungan, dengan perkawinan hubungan tersebut akan
menjadi sah dan halal.
Ad.3. Tujuan ketiga, menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan, salah
satu yang membuat manusia terjerumus dalam kejahatan dan kerusakan
adalah hawa nafsu dengan tidak adanya penyaluran yang sah, maka baik
laki-laki maupun perempuan akan mencari jalan yang tidak halal,
sedemikian buruknya pengaruh hawa nafsu ini sehingga manusia lupa mana
yang baik dan yang buruk. Manusia adalah makhluk lemah yang sulit
mengendalikan hawa nafsunya.
(33)
merupakan basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar cinta dan
kasih sayang, salah satu alat untuk memperkokoh perkawinan adalah
dengan cinta dan kasih sayang, dasar ini akan membuat keluarga bahagia,
sehingga akan terus berlanjut dari keluarga yang bahagia akan menjadi
masyarakat yang harmonis pada tatanan yang lebih tingginya.
Ad.5. Tujuan kelima menumbuhkan aktifitas dalam mencari rezeki yang
halal dan memperbesar tanggung jawab, sebelum perkawinan biasanya baik
laki-laki dan perempuan tidak memikirkan soal kehidupan karena masih
bertumpu pada orang tua, tetapi setelah perkawinan mereka mulai berfikir
bagaimana bertanggung jawab dalam mengemudikan rumah tangga, suami
sebagai kepala keluarga mulai memikirkan bagaimana mencari rejeki yang
halal untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Isteri akan lebih giat
membantu dan mencari jalan untuk menyelenggarakan keluarga yang damai
dan bahagia, terutama setelah keluarga tersebut telah dikaruniai anak,
sehingga aktifitas dan tanggung jawab suami isteri semakin besar.
Tujuan perkawinan adalah merupakan suatu lembaga yang dibentuk untuk
melindungi masyarakat agar umat manusia menjaga dirinya dari kejahatan
dan
zina untuk melancarkan penghidupan kekeluargaan dan pengesahan
keturunan.
32
32
Fikri, Perkawinan, Sex dan Hukum (Pekalongan: TB Bahagia, 1984). hal 162
a. Untuk menegakkan dan menjunjung tinggi syariat agama,
manusiamanusia
(34)
normal baik pria atau wanita yang memiliki agama tertentu dengan taat
pasti berusaha menjunjung tinggi ajaran agamanya untuk menjaga kesucian
agamanya.
b. Untuk menghalalkan hubungan biologis antara pria dengan wanita yang
bukan muhrimnya sehingga menjadi hubungan biologis yang tidak berdosa
melainkan pahala.
c. Untuk melahirkan keturunan yang sah menurut hukum sehingga
anak-anak yang dilahirkan olehnya yang sudah diikat perkawinan yaitu anak-anak
yang mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tuanya yang dalam
hal ini berhak mewarisi atau mendapatkan warisan.
d. Untuk menjaga fitrah manusia sebagai makhluk Allah yang dikaruniai
cipta, rasa dan karya serta dengan petunjuk agama yang merupakan
penyaluran secara sah naluri seksual manusia.
e. Untuk menjaga ketentraman hidup karunia perkawinan merupakan
lembaga yang secara umum membuat hidup manusia menjadi baik sebagai
makhluk pribadi maupun makhluk sosial.
f. Untuk mempererat hubungan persaudaraan baik untuk ruang lingkup
sempit maupun luas.
Tujuan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dalam hal ini Undang-undang telah
meletakkan
agar dalam Pengaturan Hukum Keluarga dan Indonesia bahwa perkawinan
bukan
(35)
semata mata pemenuhan kebutuhan jasmani seorang pria dan wanita,
namun perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat erat hubungan
dengan agama dan kerohanian.
2. Tujuan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah, yaitu
dijelaskan
sebagai berikut :
a) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan
penyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga
dibentuk umat ialah umat Nabi Muhammad SAW sebagai umat Islam.
b) Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah
mengerjakannya.
c) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan isteri, menimbulkan rasa
kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya rasa kasih
sayang antara sesama anggota-anggota keluarga.
d) Untuk menghormati Sunnah Rasullah SAW. Beliau mencela orang-orang
yang berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun dan beribadah setiap
malam dan tidak akan kawin-kawin.
e) Untuk membersihkan keturunan. Dengan demikian akan jelas pula
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara
dan mendidiknya, sehingga menjadilah ia seorang muslim yang
dicitacitakan. Karena itu Agama Islam mengharamkan zina, tidak
mensyariatkan poliandri (seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu),
(36)
menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak di luar perkawinan
yang tidak jelas.
33C.
Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan
1. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Syarat sahnya suatu perkawinan adalah sebagai berikut:
1) Didasarkan atas persetujuan antara calon suami dan calon isteri tidak ada
paksaan di dalam perkawinan.Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan: ”
Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai”.
Syarat perkawinan ini memberikan
jaminan agar tidak terjadi lagi.perkawinan paksa. Hal ini disebabkan karena
perkawinan merupakan urusan pribadi seseorang dan merupakan bagian dari
hak asasi manusia.
2) Adanya ijin dari kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 tahun.Walaupun perkawinan dipandang sebagai urusan pribadi,
namun masyarakat Indonesia memiliki rasa kekeluargaan yang sangat besar
terutama hubungan antara anak dengan orang tuanya. Oleh karena
itu,perkawinan juga dianggap sebagai urusan keluarga, terutama jika
yangakan melangsungkan perkawinan adalah anak yang belum berusia
21tahun. Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan harus ada
ijin/restu dari kedua orang tua.
3) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai
wanita sudah mencapai usia 16 tahun.Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor
33
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Bandung : Alumni .hal. 38.
(37)
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: ”
Perkawinan hanya diijinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16tahun”.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan
anak-anak yang masih di bawah umur.Oleh karena itu, perkawinan gantung
yang dikenal dalam masyarakat adat tidak diperkenankan lagi. Ketentuan
pembatasan umur juga dimaksudkan agar calon suami isteri yang akan
melangsungkan perkawinan sudah matang jira raganya.
4) Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan
darah/keluarga yang tidak boleh kawin.Pada dasarnya, larangan untuk
melangsungkan perkawinan karena hubungan darah/keluarga dekat terdapat
juga dalam sistem hukum yang lain, seperti hukum agama Islam atau
peraturan lainnya (termasuk hokum adat)
5) Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain Pasal 9
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :
”Seseorang yang masih
terikat tali perkawinan dengan orang laintidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang
ini”.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, poligami hanya
diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamnya mengijinkan seorang
suami beristeri lebih dari seorang. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1
(38)
Tahun 1974 Tentang Perkawinan angka 4c menyatakan :”Undang-Undang ini
menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dariyang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami
dapat beristerilebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh pengadilan”.Hukum disini maksudnya adalah
hukum perkawinan positif dari orangyang hendak melakukan poligami.
Sedangkan agama harus ditafsirkan dengan agama dan kepercayaan dari calon
suami yang akan melakukan poligami. Penafsiran ini untuk mencegah
kekosongan hukum bagimereka yang hingga saat ini belum memeluk suatu
agama tetapi masih menganut suatu kepercayaan.dengan demikian,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan masih menganut asas
monogami.
3) Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
kawin untuk ketiga kalinya. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :
”Perkawinan
mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal,
maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus
benar-benar dipertimbangkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali
sehingga suami dan istri benar-benar saling menghargai”.
Menurut Islam, suami
isteri yang telah bercerai dua kali masih diperbolehkan untuk kawin ketiga
kalinya. Tetapi jika mereka telah bercerai untuk ketiga kalinya maka mereka
(39)
tidak boleh kawin lagi kecualibekas istri yang telah bercerai tiga kali tersebut
kawin dengan lelaki lain kemudian bercerai maka dia boleh kawin dengan bekas
suaminya yang pernah bercerai tiga kali tersebut.
4) Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
janda.Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
:”
Wanita yang telah putus perkawinannya tidak boleh begitu saja kawin dengan
lelaki lain, akan tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis”.
Menurut Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975, waktu tunggu diatur sebagai berikut :
1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal11 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan sebagai berikut:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggubagi yang masih
berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi
yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan
kelamin.
3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami Rasio dari peraturan ini adalah untuk menentukan
dengan pasti siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu tunggu
tersebut.
3434
(40)
Undang-undang No 1 Tahun 1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut
KUH Perdata, jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan. Adapun syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No 1
Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
Syarat perkawinan ini diatur secara jelas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974
Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
Syarat perkawinan ini diatur secara tegas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974
Pasal 6 ayat (2),(3),(4),(5) dan (6) yaitu :
(1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(2) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) Pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
(3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
(4) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut ayat (2),(3),
dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
(41)
35
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
36
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21
tahun.
371. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita
sudah mencapai 16 tahun.
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain. Syarat perkawinan tersebut diatur dalam Undang-undang No 1
Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”. Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh
kawin menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada Pasal 8 adalah sebagai
berikut:
38
2.
Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan
darah/keluarga yang tidak boleh kawin.
39a.
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.
b.
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek.
c.
Berhubungan samenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d.
Berhubungan susunan yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara
susunan, dan bibi/paman susunan.
e.
Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
35
F. X Suhardana,SH, Hukum Perdata I, PT Prenhallindo, 1990, Jakarta, hlm.91-92 36
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT Alumni, 2004, Bandung, 37
Ibid, hlm.65-66 Universitas Sumatera Utara 38
Ibid, hlm.67 39
(42)
f.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
3. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
4040
Ibid, hlm.70-71
Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-undang No
1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : “Seorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal
3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa :
“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Syarat perkawinan yang keenam ini disebutkan dalam Undang-undang No 1 Tahun
1974 Pasal 10 yang menyatakan bahwa : “Apabila suami dan isteri yang telah
bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka diantra mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain”.
Dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa :
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain”.
(43)
6. Bagi suami isteri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
kawin kembali untuk ketiga kalinya.
417. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
4241
Ibid, hlm.74 42
Ibid, hlm.75
Dalam Pasal 11 Undang-undang No 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa wanita yang
putus perkawinannya, tidak boleh bagitu saja kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi
harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis.
Sejak berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama di Indonesia sangat menentukan.
Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing
berarti perkawinan tersebut tidak sah.Perkawinan yang dilakukan di Kantor Catatan
Sipil atau di Pengadilan apabila tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum
agama tertentu berarti tidak sah.
Menurut hukum Islam, suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi
syarat dan rukun perkawinan, yaitu :
Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
1. Calon suami, syarat-syaratnya : a. Beragama Islam b. Laki-laki c. Jelas orangnya d.
Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan
2. Calon isteri, syarat-syaratnya : a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai pesetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Wali nikah, syarat-syaratnya : a. Laki-laki b. Dewasa c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwalian
(44)
4. Saksi nikah, syarat-syaratnya : a. Minimal dua orang laki-laki b. Hadir dalam ijab
qabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam e. Dewasa
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya : a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali b.
Adanya pernyataan permintaan dari calon mempelai c. Memakai kata-kata nikah,
tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut d. Antara ijab dan qabul
bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya f. Orang yang terkaid dengan
ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah Universitas Sumatera Utara g.
Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal oleh empat orang yaitu calon
mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
43Di dalam QS An-Nisa’: 4, Allah SWT berfiman, yang berbunyi :
Di samping rukun dan syarat tersebut diatas, menurut para ulama, mahar itu
hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya dalam perkawinan
berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini berdasarkan QS An-Nisa’ ayat 4 dan 24.
44
Pada QS An-Nisa’: 24, Allah SWT berfirman, yang berbunyi :
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
45
“Diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, yaitu mencari istri-istri yang
telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
43
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit.,hlm.62-63 44
Al-Jumanatul Ali, Op.Cit., hlm.77 45
(45)
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar
itu”.
Sementara berkaitan dengan masalah wali, menurut Imam Hanafi wali bukanlah
syarat dalam perkawinan, oleh karena itu wanita yang sudah dewasa dan berakal
sehat boleh mengawinkan dirinya asalkan perkawinannya dihadiri oleh dua orang
saksi.Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali bahwa perkawinan yang
dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. Selanjutnya syarat-syarat bagi dua orang saksi
dalam akad nikah adalah harus orang yang beragama Islam, dewasa (baligh), berakal
sehat, dapat melihat, mendengar, dan memahami tentang akad nikah. Tidak ada
ketentuan yang menjadi saksi apakah orang yang masih mempunyai hubungan darah
atau tidak dengan kedua mempelai.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai rukun dan syarat-syarat
perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 KHI yaitu untuk melaksanakan perkawinan
harus ada :
Mengenai Calon Mempelai baik calon suami dan calon isteri diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam, sebagai berikut :
46Pasal 16 KHI yaitu :
Pasal 15 KHI yaitu :
47
3) Wali nikah
2.Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
1) “Calon suami
2) Calon isteri
46
Hilman Hadikusuma SH, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, 1990, Bandung, hlm.28-30
47
(46)
4) Dua orang saksi, dan
5) Ijab dan Kabul”
48
48
Ibid, hlm.5-9
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5)
Undang-undang No 1 Tahun 1974
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan
nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama
tidak ada penolakan yang tegas Pasal 17 KHI yaitu :
Pasal 18 KHI yaitu :
“Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak
terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI”.
Mengenai Wali Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 19 KHI yaitu :
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”.
Pasal 20 KHI yaitu :
Pasal 21 KHI yaitu :
Pertama : kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak
ayah dan seterusnya
(47)
Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai
Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua
saksi nikah (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan (3) Bila calon mempelai
yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan
tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seseorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh
(2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab b. Wali hakim (1) Wali nasab terdiri dari
empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita.
Ketiga : kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka
Keempat : kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan
keturunan laki-laki mereka
Pasal 22 KHI yaitu :
“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai
wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau
sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut
derajat berikutnya”.
Pasal 23 KHI yaitu :
Mengenai Saksi Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 24 KHI yaitu :
(48)
“Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim,
adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”.
Pasal 26 KHI yaitu : (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa
orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali
ialah yang lenih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita (3)
Apabila dalam satu kelompok, sama derajat kekerabatannya yakni sama-sama derajat
kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama barhak menjadi
wali nikah, dengan mengutamakan yang lenih tua dan memenuhi syarat-syarat wali
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau
gaib atau adlal atau enggan (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan pengadilan Agama
tentang wali tersebut (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad
nikah (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. “Saksi harus
hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akad
Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan”.
Mengenai Ijab Kabul diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 27 KHI yaitu :
“Ijab Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntut dan tidak
berselang waktu”.
Pasal 28 KHI yaitu :
“Akad Nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan
atau wali nikah mewakilkan kepada orang lain”.
(49)
A.
Tujuan perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, kita masih berpegangan kepada rumusan Pasal 1, yaitu pada
anak kalimat kedua yang berbunyi : “Dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Rumusan tersebut mengandung harapan, bahwa dengan
melangsungkan (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai
pria secara pribadi (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat
diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi
kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu
adalah untuk mempelai pria (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali
keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh
dilangsungkan
.
B.
Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat sahnya perkawinan dalam hukum Islam memenuhi syarat dan
rukun-rukunnya. Menurut Soemiyati, SH, yang dimaksud dengan
suaturukundalam suatu perkawinan adalah :
“Hukum perkawinan adalah hakekat dari suatu perkawinan itu sendiri,
jaditanpa adanya salah satu rukun perkawinan tidak mungkin dilaksanakan
sedangkan yang dimaksud dengan syarat adalah suatu yang harus ada dalam
perkawinan itu sendiri”.
49a) Calon mempelai laki dan mempelai perempuan.Adanya calon pengantin
laki-laki dan calon pengantin perempuan ini adalah merupakan syarat mutlak,
absolut, tidak dapat dimungkinkan bahwa logis dan rasional kiranya, karena
Menurut Kompilasi Hukum Islam syarat sahnya
perkawinan adalah sebagai berikut :
49
Soemiyati; 1982, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,Yogyakarti : Liberti. hal 7
(50)
tanpa calon pengantin laki dan perempuan tentunya tidak akan ada
perkawinan di atur
50Wali Nikah, adalah orang yang dianggap memenuhi syarat untuk menjadi
wakil dari calon mempelai perempuan, hal ini dilakukan karena menurut
sebagian ulama, seorang perempuan yang masih gadis, sehat dan berakal tidak
dalam Kompilasi Hukum Islam. Suka sama suka antara
kedua calon mempelaiadalah sebuah keharusan, karena mereka berdua yang
akan menjalani hidup berumah tangga maka dibutuhkan keikhlasan diantara
keduanya.
b) Kedua calon pengantin beragama Islam. Kedua calon mempelai haruslah
beragama Islam, akil baliqh (dewasa,berakal) sehat baik jasmani dan
rohani.Baligh dan beralakal maksudnya ialah dewasa dan dapat
dipertanggung jawabkan terhadap suatu perbuatan apalagi terhadap
akibat-akibat perkawinan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah
tangga, jadi bukan orang yang dibawah pengampunan (Pasal 15 Kompilasi
Hukum Islam).
c) Persetujuan batas antara kedua calon mempelai.Persetujuan batas antara kedua
calon mempelai menunjukkan perkawinanitu tidak dapat dipaksakan dari Ibnu
Abas, bahwa seorang perempuan perawan datang pada Nabi Muhammahad
SAW. Dan memberitahukan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan
laki-laki, sedangkan iatidak mau (tidak suka) maka Nabi menyerahkan
keputusan itu kepadagadis itu apakah mau meneruskan perkawinan itu atau
minta cerai, di aturdalam Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam.
d) Wali Nikah.
50
Muh Idris Romulya, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1986), hal : 45
(51)
mempunyai hak dalam persetujuan nikahnya, melainkan dipindahalihkan
kepada wali. Namun tidak sedikit hadits-hadits yang menerangkan bahwa
wali tidak mewakili hak atas perkawinan anak perempuan dan hak wali dalam
pernikahan itu sunah, maka dalam pernikahan seorang perempuan boleh
memakai wali atau tidak memakai wali, diatas lebih rinci dalam Pasal 19 – 23
Kompilasi Hukum Islam.
e) Dua orang saksi Islam, Dewasa dan Adil.
Untuk membuktikan telah diadakan perkawinan antara seorang pria dan
wanita disamping ada wali harus pula ada saksi.Hal ini penting untuk
kemaslahatan kedua belah pihak dan kepastian hak bagi masyarakat.
Demikian juga baik suami / istri tidak dapat menghindarkan ikatan perjanjian
perkawinan tersebut (Pasal 24 – 26 Kompilasi Hukum Islam).
f) Mas Kawin/Mahar
Salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang wanita adalah pemberian
Mas Kawin/Mahar saat menikahinya.Mas Kawin adalah pemberian dari calon
suami kepada calon istri baik berbentuk uang/barang atau jasa tidak
bertentangan dengan hukum Islam.Mas kawin ini hukumnya wajib, yang
merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia merumuskan dalam Pasal 30, yaitu : calon mempelai pria wajib
membayar mas kawin kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belahpihak, kemudian Pasal 31,
menyatukan bahwa penetapan besarnya maskawin di dasarkan atas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran agama, (Pasal
30-38 Kompilasi Hukum Islam). Disebutkan dalam beberapa hadist bahwa mahar
atau mas kawin wajib dibayarkan sekali pun hanya sebuah cincin besi,
(1)
Tunjukkan jati diri kita dengan keterikatan terhadap syariat Islam pada
setiap perkataan dan perbuatan. Termasuk berbusana muslim dengan sempurna.
Pilih teman yang bisa meningkatkan keimanan dan ketaatan kita, jauhi teman
yang melemahkan. Teman yang sholeh akan memberi teladan yang baik untuk
dunia dan akhirat kita. Dia akan mengoreksi jika kita melakukan kesalahan.
Perdalam kajian Al Qur’an, sehingga kita lebih mengenal Allah dan Islam,
memperkuat keimanan serta mendapat petunjukNya.Waspadai program
kristenisasi 3M: Memacari, menghamili dan memurtadkan. Berhati-hati dan
waspada terhadaptipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen.
Jangan tertipu dengan virus pluralisme, yang menyatakan bahwa semua agama
benar, semua agama sama, hanya istilahnya saja yang berbeda. Hanya Islam yang
diterima Allah Swt (QS Ali Imron: 19).
Ingatlah Allah Swt setiap waktu agar timbul ketenangan dan kekuatan
untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya (QS.
Ar-Ra’d: 28)’.Orangtua harus bersikap tegas terhadap anaknya dalam masalah
pergaulan dengan lawan jenis. Segera luruskan jika terjadi sedikit saja
penyimpangan.Orangtua bertanggung jawab menjaga fitrah anak.
Ikuti kajian-kajian ke-Islaman, perjuangan membela Islam, update
perkembangan kaum muslimin sedunia, cari info perkembangan musuh-musuh
Islam dalam berbagai modus operandinya untuk menyesatkan umat Islam. Ikuti
wadah komunitas aktivis Islam yang sibuk memperdalam ke-Islaman dan
(2)
Ikuti berbagai media massa yang memperjuangkan aspirasi umat Islam
jangan hanya mengikuti media massa nasional maupun internasional yang
dikuasai kaum kafir dan menyudutkan Islam.
(3)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab sebelumnya yang dapat dikaitkan dengan permasalahan yang ada, maka penulis dapat simpulkan sbb:
1. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintahan nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur tentang masalah perkawinan antar agama adalah tidak sah (Pasal 2 ayat (10 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974)
2. Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum islam. Dengan demikian jelaslah bahwa jika seseorang akan melangsungkan perkawinan maka haruslah menurut ketentuan syariat hukum islam.
3. Menurut Majelis Ulama Islam Indonesia (MUI) berpendapat bahwa, apa yang tersebut dalam pasal 2 ayat (1) itulah perkawinan orang-orang islam, baik lelaki maupun perempuan, tidak sah bila tidak dilakukan menurut hukum agama maupun Negara.Jadi tegas mereka hanya memperkenankan perkawinan menurut hukum islam.
(4)
B. Saran
Pada bahagian akhir bab ini, penulis merasa perlu untuk menyarankan beberapa hal sebagai tindak lanjut dari kesimpulan- kesimpulan di atas sebagai berikut: 1. Pada waktu melaksanakan perkawinan hendaklah kedua calon mempelai
berada dalam satu agama, karena pada umum nya menurut agama yang di akui di Indonesia menghendaki agar kedua belah berada dalam satu agama dan UU No.1 Tahun 1974 juga menghendaki yang demikian.
2. Pegawai pencatat hendaknya dalam menerima pemberitahuan kehendak nikah haruslah memperhatikan benar-benar syarat-syarat dan larangan perkawinan dari agama kedua calon mempelai.
3.
Pengadilan dalam memberi surat keterangan atau surat keterangan pengganti berupa penetapan di langsungkan nya perkawinan dari kedua calon mempelai yang berada agama hendaklah memperhatikan juga syarat dan larangan perkawinan dari agama kedua calon mempelai.(5)
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU
Abdurrahman,Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, 1986.
AL Kitab, Lembaga AL Kitab Indonesia, Jakarta. 1981.
Arso Sastroatmojo, Hukum Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
Departemen AgamaRI, 1992, AL-Qur’an dan Terjemahan nya Surat Yasin Ayat 36. Departemen Agama RI, ALQURAN dan Terjemahannya, Jakarta. 1989
DepartemenAgama RI, 1991-1992, Kompilasi Hukum Islam. Hj Sulaiman Rasjid, 1990, Fiqh Islam, PT Sinar Baru, Bandung.
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1Tahun 1974. Tinta Mas, Jakarta.1975
HD. Ali Alhamidy,1992,Islam dan Perkawinan, Alma’arif, Bandung,h.19
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama) Mandar Madju. Bandung, 1990
Hukum Perkawinan, Tata cara Perkawinan dan Tata cara Kematian Menurut Agama Budha Indonesia, Jakatra, 1979.
Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.
Jafizham, Pesintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Petkawinan Islam, CV. Mestika, Medan,1977
Lily Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian Di Malaysia dan Indonesia, Penguins, Jakarta, 1977
(6)
MD Ali Alhamidy.Islam dan Perkawianan. Erlangga, Jakarta, 1991.
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Segi-Segi Hukum Perkawinan Islam, Ido Hilco, Jakarta, 1989.
Pudja, Penghantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari Jakarta, 1975
Ramulyo M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Dari Segi-segi Hukum Perkawinan Islam, Ind.Hill Co. Jakarta, 1986.
Rothenberg and Blumenkrantz, Personal Law, Oenonta State University of New york, 1984.
R. soetojo Prawirohamidjojo,Pluralisme dalam Perundang-undangan perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta< 1986.
Rusli dan R.Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahny, Shantika Dharma, Bandung, 1984.
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia , Sumur, Bandung, 1974.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang- Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Karya Anda, Surubaya. Kompilasi Hukum Islam
Ikatan Hakim Indonesia, Varia Peradilan No. 14 Tahun 1 November 1986, Jakarta. Ikatan hakim Indonesia, Varia Peradilan No. 17 Tahun II February 1987.