IND PUU 7 2012 Permen LH 26 th 2012 DAK

SALINAN

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2012
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN DANA ALOKASI KHUSUS
BIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN 2013
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

Mengingat

:

:

a.

bahwa untuk memperkuat pelaksanaan Standar
Pelayanan Minimum bidang lingkungan hidup daerah

kabupaten/kota dan mendukung upaya adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim, Pemerintah telah menetapkan
kebijakan pengalokasian Dana Alokasi Khusus Bidang
Lingkungan Hidup;

b.

bahwa untuk melaksanakan kebijakan pengalokasian
Dana Alokasi Khusus Bidang Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diperlukan
Petunjuk Teknis Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus
Bidang Lingkungan Hidup Tahun Anggaran 2013;

c.

bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu

menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan Dana Alokasi
Khusus Bidang Lingkungan Hidup Tahun Anggaran
2013;

1.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4286);

2.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4355);

3.


Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
1

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
4.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

5.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);

6.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4851);

7.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);

8.


Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);

9.

Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi
Biomassa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 267, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4068);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4161);


2

11. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang
Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4663);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2008 tentang
Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4815);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 188, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5347);
16. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara yang
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 91 Tahun 2011 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 141);
17. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara
serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara yang telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun
2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 142);
3


18. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah;
19. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19
Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota;
20. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 06
Tahun 2009 tentang Laboratorium Lingkungan;
21. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16
Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Lingkungan Hidup sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 18 Tahun 2012 (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 1067);
22. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13
Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce,
Reuse, dan Recycle Melalui Bank Sampah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 804);
23. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07/2012

tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi
Khusus Tahun Anggaran 2013;
24. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11
Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian
Lingkungan Hidup 2010-2014 sebagimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 10 Tahun 2011 (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 730);

4

MEMUTUSKAN:
Menetapkan

:

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN DANA ALOKASI
KHUSUS BIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN
2013.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.

Dana Alokasi Khusus Bidang Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut DAK Bidang LH adalah dana yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan
pemantauan kualitas lingkungan hidup, pengendalian
pencemaran lingkungan hidup, perlindungan fungsi
lingkungan hidup, dan dalam rangka mendukung
upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional.

2.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang
selanjutnya disebut APBN adalah Rencana Keuangan

Tahunan Pemerintahan Negara yang disetujui Dewan
Perwakilan Rakyat.

3.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang
selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan
peraturan daerah.

4.

Kepala Instansi Lingkungan Hidup Daerah adalah
instansi yang bertanggung jawab dalam urusan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
daerah.

5

5.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Pasal 2

DAK Bidang LH bertujuan meningkatkan penyelenggaraan,
tanggung jawab, peran pemerintah kabupaten/kota dalam:
a.

melaksanakan standar pelayanan minimal
lingkungan hidup daerah kabupaten/kota; dan

bidang

b.

mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim.
Pasal 3

DAK Bidang LH mempunyai sasaran untuk melengkapi
sarana dan prasarana fisik perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di kabupaten/kota.
Pasal 4
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
a.

kegiatan DAK Bidang LH;

b.

anggaran DAK Bidang LH;

c.

pembinaan; dan

d.

pelaporan.
Pasal 5

Penyelenggaraan, tanggung jawab, dan peran pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
meliputi peningkatan:
a.

6

kinerja
pemerintah
kabupaten/kota
dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara
berkelanjutan;

b.

kemandirian
pemerintah
kabupaten/kota
dalam
melakukan upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;

c.

dukungan kepada bupati/walikota dalam:
1. menetapkan kelas air pada sungai prioritas di
wilayahnya;
2. menurunkan beban pencemaran pada air, udara,
dan tanah;
3. menetapkan
sampah;

kebijakan

pengurangan

volume

4. menambah luas ruang terbuka hijau yang berfungsi
sebagai paru-paru kota;
5. pemulihan fungsi sungai dan danau;
6. menyusun Status Lingkungan Hidup Daerah; dan
7. menunjang program unggulan antara lain:
a) Adiwiyata;
b) Adipura;
c) Bank Sampah;
d) Menuju Indonesia Hijau;
e) Langit Biru.
Pasal 6
(1) Kegiatan DAK Bidang LH meliputi:
a. pengadaan sarana dan prasarana pemantauan dan
pengawasan kualitas lingkungan hidup;
b. pengadaan sarana dan prasarana pengendalian
pencemaran lingkungan hidup;
c. pengadaan sarana dan prasarana dalam rangka
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim; dan
d. pengadaan sarana dan prasarana perlindungan
fungsi lingkungan hidup.
7

(2) Pengadaan sebagaimana dimaksud pada
dilakukan secara terbatas dan bersyarat.

ayat

(1)

(3) Kabupaten/kota dalam memilih kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
a. pencapaian indikator kinerja utama Kementerian
Lingkungan Hidup;
b. prioritas penanganan masalah lingkungan hidup
yang dihadapi;
c. kondisi lingkungan hidup setempat;
d. keberlanjutan dan kesinambungan kegiatan;
e. kesesuaian dengan perencanaan daerah;
f.

jumlah alokasi anggaran; dan

g. ketersediaan sumber daya manusia.
Pasal 7
(1) Pengadaan sarana dan prasarana pemantauan dan
pengawasan kualitas lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a meliputi
pengadaan:
a. peralatan laboratorium permanen untuk uji
kualitas air, udara emisi sumber bergerak, udara
emisi sumber tidak bergerak, udara ambient, dan
tanah;
b. peralatan portable untuk uji kualitas air, udara
emisi, dan tanah; dan
c. kendaraan
operasional
roda
empat
pemantauan dan pengawasan lingkungan.

untuk

(2) Pengadaan sarana dan prasarana pengendalian
pencemaran lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b meliputi:
a. sarana
untuk:
8

dan

prasarana

pengolahan

air

limbah

1. Instalasi Pengolah Air Limbah usaha kecil dan
menengah (IPAL UKM);
2. Instalasi Pengolah Air Limbah komunal (IPAL
Komunal);
3. Instalasi Pengolah Air Limbah komunal (IPAL
Puskesmas);
4. Pengolah sampah dengan prinsip 3 R;
b. sarana dan prasarana pengelolaan sampah dengan
prinsip 3R (reuse, recycle, recovery) di tempat
penampungan sampah sementara, fasilitas umum,
dan fasilitas sosial, serta sekolah-sekolah.
(3) Pengadaan sarana dan prasarana dalam rangka
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c meliputi:
a. pembuatan
Kota

Taman

Kehati/Taman

Hijau/Hutan

b. penanaman mangrove dan vegetasi pantai;
c. pembuatan model pemulihan kerusakan ekosistem
terumbu karang berbasis masyarakat;
d. pengadaan unit pengolah limbah organik menjadi
biogas.
(4) Pengadaan sarana dan prasarana perlindungan fungsi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf d meliputi:
a. sumur resapan;
b. lubang resapan biopori;
c. embung (kolam tampungan air);
d. penanaman pohon di sekitar mata air, sempadan
sungai dan danau;
e. pengolah gulma (tanaman pengganggu),
pembuatan media tanam (bitumen);
f.

dan

penangkap endapan (sediment trap) vegetatif; dan

g. pencegah longsor ramah lingkungan.
9

Pasal 8
Kegiatan DAK Bidang LH sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dilaksanakan sesuai Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 9
Dana DAK Bidang LH dilarang untuk membiayai:
a.

biaya administrasi proyek;

b.

biaya penyiapan proyek fisik;

c.

biaya penelitian;

d.

biaya pelatihan;

e.

honor;

f.

biaya perjalanan pegawai daerah; dan

g.

lain-lain biaya umum sejenis yang meliputi:
1.

biaya pengambilan sampel untuk
kualitas air, udara, dan tanah;

2.

biaya pengambilan data sampah; dan

3.

biaya untuk penyusunan laporan.

pemantauan

Pasal 10
Kabupaten/kota wajib mengalokasikan:
a. dana pendamping paling sedikit 10% (sepuluh
perseratus) yang berasal dari APBD kabupaten/kota;
dan
b. dana penunjang, untuk menunjang
kegiatan DAK Bidang LH diwilayahnya.

pelaksanaan

Pasal 11
(1)

10

Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregion melaksanakan
pengawasan dan evaluasi terhadap pembinaan dan

pemantauan yang dilaksanakan oleh provinsi dalam
bentuk:
a.

pedoman dan standar;

b. pemberian rekomendasi;
c.

rapat kerja teknis; dan

d. bimbingan teknis.
(2)

Menteri melimpahkan pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan kepada gubernur melalui mekanisme
pemanfaatan dana dekonsentrasi bidang lingkungan
hidup tahun anggaran 2013.

(3)

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada
dilakukan oleh gubernur dalam bentuk:

ayat

(2)

a. koordinasi perencanaan pemanfaatan;
b. usulan rekomendasi pengadaan
Pengelolaan Ekoregion;

kepada

Pusat

c. pembinaan teknis;
d. pemantauan dan evaluasi.
Pasal 12
(1)

Kepala Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota
wajib menyusun dan menyampaikan:
a. laporan pelaksanaan kegiatan DAK Bidang LH; dan
b. laporan output dan outcome pelaksanaan kegiatan
DAK Bidang LH,
kepada Kepala Instansi Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi.

(2)

Kepala
Instansi
Lingkungan
Hidup
Daerah
Kabupaten/Kota harus menyusun Tim Pelaksana
Kegiatan DAK Bidang LH.

(3)

Kepala Instansi Lingkungan Hidup Daerah Provinsi
wajib menyampaikan hasil rekapitulasi:

11

a. laporan pelaksanaan kegiatan DAK Bidang LH dari
Kabupaten/Kota penerima anggaran DAK Bidang
LH TA 2013; dan
b. laporan output dan outcome kegiatan DAK Bidang
LH dari Kabupaten/Kota penerima anggaran DAK
Bidang LH TA 2013,
kepada Pusat
kerjanya.

Pengelolaan

Ekoregion

di

wilayah

(4)

Pusat Pengelolaan Ekoregion menyampaikan hasil
rekapitulasi laporan pelaksanaan kegiatan DAK Bidang
LH dari provinsi di wilayah kerjanya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada Sekretaris Kementerian
Lingkungan Hidup;

(5)

Hasil rekapitulasi laporan pelaksanaan kegiatan DAK
Bidang LH dari Pusat Pengelolaan Ekoregion menjadi
bahan evaluasi dan perencanaan DAK Bidang LH tahun
berikutnya.

(6)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)terdiri
atas:
a. laporan triwulan kemajuan pelaksanaan kegiatan,
dan serapan anggaran DAK Bidang LH TA 2013;
b. laporan akhir capaian pelaksanaan kegiatan;
c. laporan output dan outcome pelaksanaan kegiatan;
dan
d. laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD)
Kabupaten/Kota TA 2012.
Pasal 13

12

(1)

Kepala Instansi Lingkungan Hidup provinsi wajib
menyusun Tim Pemantauan Kegiatan DAK Bidang LH
diwilayahnya.

(2)

Kepala
Institusi
Lingkungan
Hidup
provinsi
menyampaikan laporan hasil pemantauan kegiatan DAK
Bidang LH diwilayahnya kepada Pusat Pengelolaan

Ekoregion dan Kementerian Lingkungan Hidup cq Biro
PKLN.
(3)

Pusat Pengelolaan Ekoregion menyampaikan hasil
rekapitulasi laporan pelaksanaan kegiatan DAK Bidang
LH dari provinsi di wilayahnya kepada Sekretaris
Kementerian Lingkungan Hidup.

(4)

Hasil rekapitulasi laporan pelaksanaan kegiatan DAK
Bidang LH sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menjadi bahan evaluasi dan perencanaan DAK Bidang
LH tahun berikutnya.
Pasal 14

Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) dan
Pasal 13 ayat (2) disusun sesuai dengan pedoman
penyusunan laporan DAK bidang LH sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 15
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2011
tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus
Bidang Lingkungan Hidup Tahun 2012 (berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 90) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 16
Peraturan Menteri
diundangkan.

ini

mulai

berlaku

pada

tanggal

Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan
Peraturan
Menteri
ini
dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

13

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
BALTHASAR KAMBUAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Januri 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 168

Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Humas,

Inar Ichsana Ishak

14

LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2012
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN
DANA ALOKASI KHUSUSBIDANG
LINGKUNGAN HIDUP
TAHUN ANGGARAN 2013

PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG
LINGKUNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN 2013

I.

PENDAHULUAN
Pelaksanaan DAK Bidang LH Tahun Anggaran 2013 adalah untuk
melengkapi sarana dan prasarana fisik perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di kabupaten/kota.
Prioritas pemanfaatan DAK Bidang LH adalah pada kegiatan-kegiatan yang
berdampak nyata terhadap upaya perbaikan dan peningkatan kualitas
lingkungan, yang diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan SPM bidang
lingkungan hidup daerah kabupaten/kota dan mendukung upaya mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim. Lingkup kegiatan yang dilaksanakan dalam
DAK Bidang LH Tahun 2013 meliputi:
A.

Pengadaan sarana dan prasarana pemantauan dan
kualitas lingkungan hidup secara terbatas dan bersyarat;

pengawasan

B.

Pengadaan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran lingkungan
hidup;

C.

Pengadaan sarana dan prasarana untuk mendukung mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim, dan

D.

Pengadaan sarana dan prasarana perlindungan fungsi lingkungan
hidup.

Manfaat yang diharapkan dari pengadaan sarana dan prasarana tersebut
antara lain adalah:

15

Kegiatan
A. pengadaan sarana dan
prasarana pemantauan dan
pengawasan kualitas
lingkungan hidup
B. pengadaan sarana dan
prasarana pengendalian
pencemaran lingkungan hidup
C. pengadaan sarana dan
prasarana dalam rangka
adaptasidan mitigasi perubahan
iklim
D. pengadaan sarana dan
prasarana perlindungan fungsi
lingkungan hidup

Manfaat Kegiatan
untuk menguji kualitas air, udara dan
tanah sehingga dapat digunakan
sebagai alat pemantauan dan
pengawasan kualitas lingkungan hidup
di kabupaten/kota
sebagai upaya pencegahan dan
pengendaliaan pencemaran lingkungan
hidup untuk dapat mengurangi beban
pencemaran di kabupaten/kota
sebagai upaya untuk
mendukungmitigasi dan adaptasi
perubahan iklim di kabupaten/kota

sebagai upaya melindungi dan
mempertahankan fungsi lingkungan
hidup di kabupaten/kota

Untuk memilih dan menetapkan kegiatan-kegiatan tersebut perlu di
pertimbangkan dan gambaran tentang manfaat serta kesesuaian
penyelenggaraan
kegiatan
dengan
kebutuhan
dan
kemampuan
kabupaten/kota dalam pelaksanaannya. Diharapkan pengadaan sarana dan
prasarana fisik perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
dialokasikan
tersebut
dapat
dilaksanakan
dengan
optimal
dan
berkelanjutan.
Dalam rangka menunjang program unggulan lingkungan hidup, maka
sarana dan prasarana dapat dimanfaat antara lain:
No

16

Program

Sarana dan Prasarana

1

Bank Sampah

bangunan bank sampah
alat pencacah sampah
alat pemilah sampah
gerobak sampah

2

Adiwiyata

Bak sampah
Alat pengolah sampah
Sumur resapan
Pembuatan biopori
Taman hijau
Penanaman pohon
Solar Cell
Pengolahan IPAL Sederhana

3

Kampung Iklim

limbah sekolah
alat pencacah sampah
alat pemilah sampah
gerobak sampah
Pembuatan biopori
Biogas

Untuk Adiwiyata, Bank Sampah dan Kampung Iklim bagi kabupaten/kota
yang akan melakukan pengadaan sarana sebagaimana tercantum di atas
harus memenuhi ketentuan–ketentuan sebagai berikut:
1. melakukan koordinasi dengan dinas terkait;
2. jaminan tertulis dari instansi pengelola bahwa sarana tersebut akan
dimanfaatkan, dipelihara dan dioperasionalkan;
Contoh: Adiwiyata dengan Kepala Sekolah, Bank Sampah dengan Pihak
Ketiga dan Kampung Iklim dengan Kepala Desa;
3. memberikan pelatihan singkat dan pembinaan terutama untuk
peralatan yang memerlukan keahlian untuk mengoperasikannya;
4. memasang logo KLH dan DAK LH sesuai tahun pengadaannya pada
setiap sarana yang diadakan;
5. membuat dokumen serah terima asset yang diberikan;
6. menyampaikan daftar asset yang diberikan kepada Menteri Negara
Lingkungan Hidup c.q unit teknis terkait.
II. TUJUAN
Pedoman ini disusun dengan tujuan untuk memberikan arahan teknis bagi
kabupaten/kota penerima DAK Bidang LH dalam melaksanakan kegiatan,
sesuai dengan lingkup kegiatan yang telah ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan
DAK Bidang LH 2013.
Tidak semua kegiatan yang ada pada pedoman ini harus dilaksanakan.
Kegiatan yang akandilaksanakan sesuai dengan pertimbangan pemilihan
kegiatan, seperti yang dijelaskan pada pasal 13, Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan DAK Bidang LH
2013.
III. PANDUAN TEKNIS PELAKSANAAN KEGIATAN
Di dalam panduan ini dijelaskan teknis pelaksanaan kegiatan untuk setiap
kegiatan, sehingga diharapkan kabupaten/kota pelaksana DAK Bidang LH
2013 memiliki arahan teknis yang dapat menjadi acuan dalam
pelaksanaannya.
17

Apabila di dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan kegiatan
membutuhkan arahan teknis lebih lanjut ataupun kendala dapat
menghubungi unit teknis terkait.
A.

Pengadaan Sarana dan Prasarana Pemantauan Kualitas Lingkungan
Hidup
Sarana dan prasarana pemantauan kualitas lingkungan hidup yang
dapat dialokasikan melalui anggaran DAK Bidang LH Tahun 2013
adalah sebagai berikut:
1. Peralatan laboratorium permanen;
2. Peralatan laboratorium lainnya, yang terdiri dari peralatan sampling
air portable, sampling udara ambient dan sampling udara emisi
sumber tidak bergerak, serta pengujian kualitas tanah;
3. Kendaraan operasional roda empat untuk pemantauan dan
pengawasan kualitas lingkungan.
Ruang lingkup kegiatan:
1. Peralatan laboratorium permanen
Pengadaan peralatan laboratorium hanya diperbolehkan bagi
kabupaten/kota yang:
a. telah mengoperasikan laboratorium;
b. telah memiliki sumberdaya manusia yang kompeten; dan
c. didukung dengan ketersediaan anggaran yang tetap atau rutin;
d. memiliki gedung dan sumberdaya manusia serta sarana
pendukung seperti listrik, sistem pendingin dan air.
Kabupaten/kota yang akan melakukan pengadaan peralatan
laboratorium harus memperoleh rekomendasi dari Kepala Pusat
Pengelolaan Ekoregion setelah dilakukan konsultasi dengan
provinsi dan dinilai kelayakannya.
2.

Peralatan laboratorium lainnya
a. Peralatan sampling air portable
Peralatan sampling air portable diperlukan untuk pengujian
sampel kualitas air, untuk parameter DO, BOD, COD, TSS,
Amonia, pH dan fecal coliform. Peralatan dengan fungsi yang
sama dan sudah diadakan pada tahun sebelumnya, tidak
diperbolehkan kecuali untuk penggantian alat yang rusak.
b.

18

Peralatan sampling udara ambien.
Peralatan sampling udara ambien paling sedikit dapat
dipergunakan untuk mengambil sampel dari parameter: Sulfur

Dioksida (SO 2) , Nitrogen Dioksida (NO 2) , Ozon (O 3 ), Timah
Hitam (Pb), Total Suspended Particulate (TSP), Particulate Matter
dengan ukuran kurang dari 10 mikron (PM10) dan Particulate
Matter dengan ukuran kurang 2,5 mikron (PM2,5). Pengadaan
peralatan sampling udara ambien sebaiknya dilengkapi dengan
alat ukur meteorologi yang dapat mengukur kecepatan angin,
arah angin, temperatur udara, kelembaban udara dan solar
radiation (radiasi sinar matahari). Peralatan sampling udara
ambient diperlukan untuk melengkapi peralatan pengujian di
laboratorium yang sudah tersedia sebelumnya.
Pengadaan peralatan portable untuk uji kualitas air, udara emisi,
dan tanah dapat langsung diusulkan oleh kabupaten/kota kepada
Pusat Pengelolaan Ekoregion.
Bagi kota yang sudah memiliki alat pemantauan kualitas udara
ambien otomatis (AQMS mengacu pada ketentuan di atas. Peralatan
dengan fungsi yang sama dan sudah diadakan pada tahun
sebelumnya tidak diperbolehkan, kecuali untuk penggantian alat
yang rusak.
Peralatan sampling udara ambient (manual) terdiri atas:
No

Parameter

1.
2.
3.

Sulfur dioksida (SO 2 )
Nitrogen dioksida (NO 2 )
Ozon (O 3 )/ Oksidan
fotokimia (Ox)
Total Suspended Particulate
(TSP)
Particulate Matter < 10 um
(PM10)

4.
5.

6.

Particulate Matter < 2,5 Um
(PM2,5)

Peralatan Sampling
Botol Impinger
Midget Impinger
Botol Impinger
High Volume Air Sampler
(HVAS)
High Volume Air Sampler
dilengkapi dengan
Gent Sampler
Gent Sampler

19

Gambar 1
Contoh Peralatan portable untuk emisi kendaraan
Gas analyzer

Gambar 2
Contoh Peralatan portable untuk emisi kendaraan
Opacitymeter

c.

20

Peralatan sampling udara emisi sumber tidak bergerak.
Peralatan sampling udara emisi sumber tidak bergerak perlu
diadakan terutama bagi kabupaten/kota yang mempunyai
industri, pertambangan, dan pembangkit listrik. Peralatan yang
perlu diadakan adalah peralatan sampling yang mampu untuk
melakukan pengukuran parameterSO 2 , NOx, Amonia (NH 3 ),
CO, Total partikulat, dan parameter logam. Peralatan dengan
fungsi yang sama dan sudah diadakan pada tahun sebelumnya
tidak diperbolehkan, kecuali untuk penggantian alat yang
rusak.

Gambar 3.
Contoh alat ukur otomatis untuk pengujian
kadar gas emisi sumber tidak bergerak

d.

Peralatan pengujian kualitas tanah
Untuk pemantauan kerusakan tanah akibat produksi biomassa
diperlukan seperangkat peralatan yang dapat digunakan untuk
mengukur parameter fisik, kimia dan biologi tanah,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 150
Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk
Produksi Biomassa. Peralatan terdiri dari alat pengambilan
sampel tanah dan alat pengujian sampel tanah. Peralatan
dengan fungsi yang sama dan sudah diadakan pada tahun
sebelumnya tidak diperbolehkan, kecuali untuk penggantian
alat yang rusak.
Gambar 4.
Contoh Alat pengukur pH tanah

3. Kendaraan operasional
pengawasan lingkungan

roda

empat

untuk

pemantauan

dan

Pengadaan kendaraan operasional roda empat untuk pemantauan
dan pengawasan lingkungan diperbolehkan bagi kabupaten/kota
yang:
21

a.

b.
c.

memiliki industri yang potensial menimbulkan pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan pertambangan, energi, minyak,
gas; agro industri; dan manufaktur;
belum pernah mengusulkan;
memiliki kendaraan pemantau yang berumur lebih dari 5 (lima)
tahun.

B. Pengadaan Sarana
Lingkungan Hidup

dan

Prasarana

Pengendalian

Pencemaran

Sarana dan prasarana pengendalian pencemaran lingkungan hidup
yang dapat dialokasikan melalui anggaran DAK Bidang LH Tahun 2013
adalah sebagai berikut:
1. Instalasi pengolah air limbah usaha kecil dan menengah (IPAL
UKM);
2. Instalasi pengolah air limbah komunal (IPAL Komunal);
3. Instalasi pengolah air limbah komunal (IPAL Puskesmas);
4. Pengolah sampah dengan prinsip 3 R.
Ruang Lingkup Kegiatan
1.

Instalasi pengolah air limbah usaha kecil dan menengah (IPAL
UKM).
Pembangunan IPAL UKM dirancang sesuai dengan debit,
konsentrasi dan kapasitas pengolahan air limbah, sehingga
memenuhi baku mutu lingkungan. Contoh layout IPAL UKM adalah
seperti pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 5.
Contoh lay out IPAL UKM

22

2. Instalasi pengolah air limbah komunal (IPAL Komunal)
Pengolahan air limbah domestik permukiman dapat dilakukan
dengan on sitesystem (setempat) dan off site system (perpipaan).
Pemilihan sistem pengolahan sangat tergantung pada tingkat
kepadatan
permukiman
dan
ketersediaan
lahan.
Untuk
permukiman padat penduduk akan sangat efektif dan relatif murah
apabila disediakan sistem pengolahan dengan perpipaan. Demikian
halnya permukiman yang berada dalam kompleks perumahan
sistem pengolahan dengan perpipaan akan lebih sesuai
dibandingkan dengan sistem setempat.
Perkantoran, asrama, rumah susun, aparteman, rumah makan
ataupun rumah yang letaknya saling berjauhan maka sistem
pengolahan setempat sangat disarankan untuk dipilih.
Berdasarkan komposisi air limbah domestik dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu air limbah yang berasal dari aktivitas mandi dan
cuci (grey water) dan air limbah yang berasal dari toilet (black
water). Air limbah yang berasal dari toilet dapat diolah melalui
proses biogas namun dengan ketentuan minimal 100 orang dimana
jumlah biogas yang dihasilkan sebesar 2,3 m3 per hari (1 m3 biogas
setara dengan 0,46 kg LPG)
Pengolahan air limbah domestik dapat juga digabungkan dengan
teknologi biogas. Air limbah yang dihasilkan dari aktivitas mandi
dan cuci dapat digabung dengan air limbah dari toilet diolah
melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sedangkan tinja yang
ada akan disalurkan ke tangki biogas. Adapun diagram alir
pengolahan air limbah domestik dengan penggabungan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 6. dibawah ini.
Gambar 6.
Diagram alir pengolahan air limbah domestic

23

3.

Instalasi pengolah air limbah pada fasilitas Kesehatan di Puskemas
Pembangunan IPAL fasilitas kesehatan di Puskesmas dimaksudkan
untuk mengolah air limbah yang dihasilkan dari kegiatan pada
fasilitas puskesmas. Pembangunan IPAL Kesehatan di Puskesmas
tersebut diperuntukkan bagi Puskesmas di kabupaten/kota yang
telah memiliki fasilitas rawat inap dan penggunaan obat dan bahan
kimia medik yang cukup tinggi.

4.

Pengelolaan sampah dengan prinsip 3 R
Pembangunan unit pengelolaan sampah terutama diarahkan dalam
rangka penerapan prinsip 3R (reduce,reuse, recycle). Pengadaan
sarana dan prasarana tersebut dapat dilakukan di tempat
penampungan sampah sementara (TPS), fasilitas umum, fasilitas
sosial, dan sekolah-sekolah, serta mendukung pelaksanaan
Program Adiwiyata dan Bank Sampah.
Unit pengelolaan sampah dimaksud terdiri dari:

24

Rumah kompos

bangunan rumah atap pengolah
sampah
composter
alat daur ulang sampah
alat pencacah sampah
alat pembuat biji plastik
alat pemilah sampah
bak sampah
gerobak sampah

Peralatan Pendukung

gerobak sampah
truk sampah
kontainer sampah
dryer
arm roll
kendaraan roda dua atau roda
tiga pengangkut sampah

Gambar 7.
Contoh Lay Out Pengolahan Sampah Organik

Gambar 8.
Contoh Bangunan Unit Pengolah Sampah

25

Gambar 9.
Contoh Unit Transportasi Sampah

C.

Pengadaan Sarana dan Prasarana Dalam Rangka Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim
Sarana dan prasarana untuk mendukung upaya adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim yang dapat dialokasikan melalui anggaran DAK Bidang
LH Tahun 2013 adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Pembuatan Taman Kehati/Taman Hijau/Hutan Kota
Penanaman mangrove dan vegetasi pantai;
Model Pemulihan Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Berbasis
Masyarakat;
Pengadaan unit pengolah limbah organik menjadi biogas

Ruang Lingkup Kegiatan
1.

Pembuatan Taman Kehati, Taman Hijau/Hutan Kota
Dalam rangka memperluas ruang terbuka hijau (RTH) yang
berfungsi untuk menangkap gas CO 2 yang merupakan salah satu
gas rumah kaca (GRK), dan sekaligus berfungsi sebagai paru-paru
kota, perlu dibuat Taman Kehati, Taman Hijau/Hutan Kota.
Pembuatan taman tersebut selain mendorong penurunan emisi
GRK, juga membantu pencadangan sumber daya alam hayati
(plasma nutfah) dalam rangka penyelamatan dari ancaman yang
tinggi terhadap kelestarian berbagai jenis tanaman lokal daerah.

26

a.

Taman Keanekaragaman Hayati (Taman Kehati)

Pembangunan Taman Kehati adalah sebagai salah satu upaya
untuk mengembangkan kawasan pencadangan sumberdaya alam
yang berfungsi sebagai konservasi in situ dan eks situ guna
menyelamatkan berbagai jenis tumbuhan dan satwa lokal.
Konsep dasar pembangunan Taman Kehati didasarkan pada :
1)
pencadangan sumberdaya alam hayati (UU 32 Tahun 2009);
2)
pencadangan mempunyai makna harus dapat menghasilkan
biji yang fertil dengan keragaman genetik tinggi. Keragaman
genetik akan terjamin jika populasinya ≥ 60 individu;
3)
prioritas penyelamatan adalah berbagai spesies tumbuhan
lokal/endemik/langka (spesies utama) yang penyerbukan
dan/atau pemencaran bijinya harus dibantu oleh satwa;
4)
satwa yang membantu penyerbukan adalah kelompok
kelelawar, burung, serangga, moluska. Untuk tetap dapat
berfungsi, kelompok satwa tersebut juga harus lestari. Untuk
itu, sumber pakan satwa tersebut harus tersedia secara cukup
sepanjang tahun (misalnya keberadaan spesies pendukung);
5)
sebagai jendela informasi tumbuhan langka/endemik/lokal
dalam upaya pelestarian sumber daya genetik.
Fungsi dan manfaat Taman Kehati antara lain adalah untuk:
a) koleksi tumbuhan;
b) pengembangbiakan tumbuhan dan satwa pendukung
penyedia bibit;
c) sumber genetik tumbuhan dan tanaman lokal;
d) sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu
pengetahuan dan ekowisata;
e) sumber bibit dan benih;
f) ruang terbuka hijau;
g) penambahan tutupan vegetasi.

Tahapan pelaksanaan Kegiatan:
1.

Perencanaan
a.

Penetapan Tapak
Lokasi Taman Kehati agar mengacu kepada master plan
Taman Kehati dari Propinsi apabila belum tersedia dapat
mengacu pada Kepmen 04 tahun 2012 tentang Taman
Kehati dengan luas minimal 3 ha di wilayah kota dan 10
ha di wilayah kabupaten.
27

b.

2.

28

Pembentukan Unit Pengelola Taman Kehati
Unit Pengelola Taman Kehati dibentuk oleh Kepala
Daerah yang berfungsi untuk perencanaan dan
pembangunan,
pemeliharaan,
pengembangan
dan
pemantauan.

Pelaksanaan Pembangunan:
a.

Penyediaan sarana dan prasarana yang meliputi antara
lain:
1) Pembangunan fasilitas untuk penyiraman (tandon
air (15.000 lt), pompa air, selang, pipa peralon 1500
m)
2) Papan petunjuk berupa (nama Taman Kehati,
denah, spesies tumbuhan, dan satwa)
3) Pembuatan Nursery (Pembibitan Tanaman);
4) Pembelian Pupuk, obat pemberantas hama penyakit;
5) Pembelian polybag untuk penyemaian;
6) Pembelian media tanam untuk pembibitan.

b.

Pengadaan bibit tanaman lokal/langka/endemik
Pengadaan bibit dilakuan sesuai dengan kriteria jenis
yang telah ditetapkan melalui survey vegetasi. Bibit
tersebut dapat dicari di hutan atau tempat pembibitan
terdekat dan disimpan disekitar. Bibit tersebut untuk
tanaman inti, tanaman pelindung dan tanaman pagar.

c.

Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman secara
berkala, pemupukan, pemberantasan hama dan
penyakit dan penyulaman jika diperlukan. Pemeliharaan
intensif diperlukan selama 3 tahun berturut-turut.

d.

Labeling Tanaman
Setiap pohon yang ditanam harus diberikan labeling
untuk mengidentifikasi jenis tanaman dan koordinatnya.

e.

Pembuatan tandon atau bak air dan instalasi pemipaan
Tandon air ini berfungsi sebagai cadangan air untuk
musim untk menyiram tanaman pada saat musim
kemarau.

3.

f.

Pembuatan prasasti dan tempat wadah prasasti
Membuat prasasti dan tempat wadah prasasti karena
Taman keanekaragaman hayati yang telah dibangun
akan diresmikan oleh pejabat KLH

g.

Pembentukan pangkalan data
Pangkalan data dibuat sebagai sumber informasi tentang
koleksi yang dimiliki oleh Taman Kehati. Data dan
informasi yang disusun merujuk pada Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 tahun 2012 tentang
Taman Keanekaragaman Hayati.

Pengembangan Pembangunan.
Fasilitas yang diperlukan dalam menunjang fungsi taman
kehati sebagai sarana pendidikan, penelitian, ekowisata
antara lain:
a. Posko pemantauan dan pemeliharaan
b. Jalan setapak yang menghubungkan antar blok spesies
Luas bangunan fisik maksimum 10 % dari luas taman kehati
dengan memperhatikan fungsi ekosistem, lansekap dan
estetika.
Gambar 10.
Contoh Gambar Taman Kehati

29

b.

Pembuatan Taman Hijau/Hutan Kota
Pembuatan Taman Hijau dan atau Hutan Kota setidaknya
dapat memenuhi fungsi : (1) sebagai penyerap karbon dalam
rangka mengurangi emisi gas rumah kaca; (2) sebagai
penyimpan air (fungsi hidrologis); dan (3) sebagai penyejuk dan
untuk keindahan kota (fungsi estetika) serta sebagai sarana
edukasi. Pembangunan taman hijau dan atau hutan kota
diharapkan juga dapat memenuhi fungsi lainnya yaitu dapat
digunakan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat untuk
berolahraga dan berekreasi (fungsi sosial).
Komposisi pembangunan taman kota terdiri dari 70% untuk
tanaman hijau dan 30% untuk konstruksi keras. Tanaman
hijau yang ditanam adalah jenis tanaman/pohon lokal yang
berumur panjang, dan dapat memiliki fungsi tersebut diatas.
Gambar 11.
Contoh Gambar Taman Hijau

Keterangan gambar :
Taman Kota di Kota Surabaya dan Kota Yogyakartayang dapat
dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat untuk sosialisasi dan rekreasi
(disamping fungsi utamanya untuk menyerap karbon, fungsi hidrologis
dan fungsi sosial)
30

Gambar 12.
Contoh Gambar Hutan Kota

Keterangan gambar : Hutan Kota Babakan Siliwangi di Bandung, yang
ditetapkan sebagai Hutan Dunia (World City Forest) pada tanggal 1
Oktober 2011

2.

Penanaman mangrove dan vegetasi pantai
Ekosistem mangrove memiliki manfaat manfaat dan fungsi yang
sangat penting bagi kehidupan di wilayah pesisir, terutama bagi
sistem
pendukung
produktivitas
perikanan
dan
kualitas
lingkungan. Aktivitas di pesisir dan pantai yang sangat tinggi
menyebabkan konversi hutan mangrove menjadi kawasan lain.
Untuk itu perlu dilakukan pemulihan/rehabilitasi lingkungan
pesisir dan pantai melalui penanaman mangrove dan vegetasi
pantai di lokasi atau kawasan yang telah mengalami kerusakan dan
mempertahankan kawasan yang masih baik.
Perbedaan mendasar vegetasi pantai biasa seperti Ketapang
(Casuarina catappa), Waru Laut (Hibiscus tiliaceus), Kelapa (Cocos
nucifera) atau Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) dengan vegetasi
mangrove adalah adanya suplai air tawar. Jika ada pasokan air
tawar maka mangrove merupakan pilihan yang tepat. Selanjutnya
ditentukan jenis-jenis mangrove yang paling cocok disesuaikan
dengan keadaan substrat (kombinasi antara pasir dan lumpur).
Lokasi pemulihan yang dipilih merupakan kawasan prioritas yang
ditetapkan sebagai kawasan yang rentan terhadap kerusakan
lingkungan pesisir dan laut.

31

3.

Model Pemulihan Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Berbasis
Masyarakat.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai 17.508
pulau, dengan luas lautnya 75% dari seluruh wilayah Indonesia
dengan panjang total garis 81.000 km, wilayah pesisir dan lautan
Indonesia yang demikian luas ini memiliki habitat alam yang unik
dan signifikan untuk keanekaragaman hayati termasuk juga
spesies langka yang bernilai sangat penting secara universal bagi
ilmu pengetahuan dan konservasi.
Menyadari besarnya nilai-nilai ekonomis keanekaragaman hayati
pesisir dan laut ini, maka perlu diperhatikan peningkatan upaya
perlindungannya dari kemungkinan terjadinya kerusakan dan
pengurasan yang berlebihan sumber daya laut dan pesisir seperti
terumbu karang, hutan mangrove, keanekaragaman hayati laut,
sumber daya ikan, dan sebagainya tersebut. Peningkatan upaya
perlindungan ekosistem pesisir dan laut ini merupakan salah satu
perwujudan dari pelaksanaan tanggung jawab negara yang
meratifikasi konvensi keanekaragaman hayati.
Di lain pihak pembangunan di wilayah pesisir dan laut yang
sedemikian cepat pada sebagian besar kawasan perkotaan pesisir di
Indonesia tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan telah
menyebabkan terjadinya kerusakan biofisik pada ekosistem
mangrove, terumbu karang, padang lamun, maupun kawasan
sempadan pantai, serta penurunan kapasitas pasokan sumberdaya
alam wilayah pesisir dan laut Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh
praktek pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang
tidak terencana, tidak bertanggung jawab dan tidak ramah
lingkungan
sehingga
mengakibatkan
kerusakan
maupun
pencemaran perairan pesisir dan laut. Rusaknya ekosistem
mangrove, lamun dan terumbu karang umumnya disebabkan oleh
aktivitas manusia, seperti: reklamasi pantai,buangan limbah
industri, limbah rumah tangga atau sampah organik, serta limbah
minyak.
Untuk mengembalikan peran dan fungsi ekologis dan sosial
ekonomi dari ekosistem pesisir dan laut yang sangat diperlukan
bagi pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir, maka program
pemulihan dan peningkatan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut
perlu dilakukan secara berkesinambungan sebagai upaya dalam
menahan laju perusakan serta memulihkan ekosistem baik hayati
dan non hayati pesisir dan laut yang telah rusak.

32

Gambar 13
Model Contoh Transplantasi Terumbu karang dan Terumbu Karang
Buatan:

Contoh model Terumbu karang buatan dan Transplantasinya pada media kongkrit,
KLH’12

4.

Pengadaan Unit Pengolah Limbah Organik menjadi Biogas
Penanganan limbah organik yang baik dapat memperbaiki
lingkungan dan menghasilkan nilai tambah ekonomi misalnya bagi
para peternak dan petani. Pemanfaatan limbah organik yang
tadinya tidak bermanfaat dapat berhasil guna menjadi gas metan
sebagai energi, pupuk cair dan pupuk padat organik.
Sumber pencemar yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan
biogas, antara lain adalah:
a. kotoran ternak;
b. eceng gondok;
c. sisa proses pembuatan tahu dan ampas tahu.
Dalam pembuatan biogas pertimbangan desain teknis perlu
dilakukan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan desain
dan model instalasi biogas, antara lain adalah:
1) desain sederhana, dalam hal konstruksi, operasional dan
perawatan;
2) bahan baku mudah didapat, jenis bahan baku yang dapat
digunakan adalah bahan bangunan dan bahan fabrikan (fiber);
3) mudah diperbaiki, aman, dan bila memungkinkan mudah
dipindahkan;
4) harga terjangkau oleh petani dan peternak, dan umur
pemakaiannya lama.
33

Gambar 14.
Contoh Desain Biodigiser untuk eceng gondok

Keterangan : Desain Biodigister Tampak Samping dan Atas

Gambar 15.
Contoh Rencana Desain Biodigiser untuk Kotoran Sapi

34

Gambar 16.
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Biogas

Gambar 17.
Prinsip Kerja Teknologi Biogas
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Biogas

35

Gambar 18.
Teknis IPAL Biogas Industri Tahu

Investasi awal yang diperlukan untuk membangun sarana fisik
IPAL biogas industri tahu relatif kecil per meter kubik bangunan,
ditambah dengan biaya pemipaan (LPTP, 2010). Penentuan
kapasitas IPAL yang dirancang didasarkan pada volume air limbah
produksi tahu dikalikan dengan waktu tinggal (biasanya 3 hari),
sebagai berikut:
Volume limbah per hari (m3/hari) = Jumlah bahan baku kedelai
(kg/hari) x 15 liter
Kapasitas IPAL (m3) = Volume limbah (m3/hari) x 3 hari waktu
tinggal
Investasi Bangunan IPAL (Rp) = Rp. 9.5 X Kapasitas IPAL (m3)
Sedangkan biaya pembangunan biodigester ternak sapi tergantung
pada bahan bangunan yang digunakan. Biodigester dengan bahan
utama fero semen diperkirakan memerlukan biaya tidak terlalu
besar untuk setiap unit biodigester terkecil yang efesien untuk
dibangun. Unit biodigester terkecil tersebut kurang lebih berukuran
4 m3 yang dapat manampung kotoran sapi maksimal 4 ekor.
Prinsip teknologi Bio-digester adalah memanfaatkan bakteri aceton
dan metanogen dalam fermentasi/degradasi limbah pada kondisi
36

anaerobic (kedap udara). Prinsip kerja biodigester dapat dilihat
pada Gambar 1. Hasil produksi teknologi bio-digester berupa energi
(gas-bio meliputi: campuran gas CH4 (54-70)%, CO2(27-45) %, O2
(1-4)%, N2 (0,5-3)%, CO 1%, H2S.
Karakteristik biogas adalah sebagai berikut:
a. Diproduksi oleh bakteri dalam kondisi hampa udara (proses
anaerobik);
b. Terdiri dari CH 4 dan CO 2 , campuran ini mudah sekali terbakar;
c. Kecepatan produksi gas tergantung dari kondisi fisik limbah
dan temperatur (optimal pada 30°C );
d. Waktu tinggal 25 – 30 hari;
e. Dalam waktu 3-5 hari gas mulai memproduksi gas-bio.
Berikut ini merupakan persyaratan air limbah untuk pembentukan
biogas:
a. semua limbah organik, dgn kandungan: (protein, lemak,
karbohidrat) seperti: limbah peternakan, industri tahu-tempe,
rumah potong hewan, dan limbah domestik;
b. suhu: 15 ° - 35 ° Celcius;
c. waktu pembusukan 25 - 30 hari;
d. C/N ratio 1:20 - 1:40;
e. kondisi tempat anaerob.
Sistem yang digunakan dalam IPAL biogas industri tahu adalah
sebagai berikut:
1. Inlet;
2. Bak equalisasi;
3. Digester;
4. Bak Peluapan;
5. Baffle reactor;
6. Anaerobik Filter;
7. Ak Pengurasan;
8. Outlet.

37

Gambar 19.
Teknis Biodigester Ternak Sapi
Kapasitas 4 m3 dengan bahan ferro semen

Gambar 20.
Teknis Biodigester Ternak Sapi Kapasitas 4 m3 dengan bahan Fiber

38

D. Pengadaan Sarana Dan Prasarana Perlindungan Fungsi Lingkungan
Hidup
Sarana dan prasarana perlindungan fungsi lingkungan yang dapat
dialokasikan melalui anggaran DAK Bidang LH Tahun 2013 adalah
sebagai berikut:
1. Sumur resapan;
2. Lubang resapan biopori;
3. Embung (kolam tampungan air);
4. Penanaman pohon di sekitar mata air, sempadan sungai dan
danau;
5. Pengolahgulma (tanaman pengganggu), dan pembuatan media
tanam (bitumen);
6. Penangkap endapan (sediment trap) vegetatif; dan
7. Pencegah longsor ramah lingkungan.
Ruang Lingkup Kegiatan
1.

Sumur resapan
Dalam proses pembuatan sumur resapan terdapat beberapa hal
yang harus diperhatikan, diantaranya adalah komponen bangunan
sumur resapan, persyaratan lokasi pembuatan dan persyaratan
konstruksi/desain dari sumur resapan itu sendiri.

a. Komponen bangunan sumur resapan:
1)
2)
3)
4)
5)

saluran air sebagai jalan air yang akan dimasukkan ke
dalam sumur;
bak kontrol yang berfungsi untuk menyaring air sebelum
masuk sumur resapan;
pipa pemasukan atau saluran air masuk. Ukuran
tergantung jumlah aliran permukaan yang akan masuk;
sumur resapan; serta
pipa pembuangan yang berfungsi sebagai saluran
pembuangan jika air dalam sumur resapan sudah penuh.

b. Persyaratan lokasi:
1) sumur resapan dangkal harus berada pada lahan yang
datar, tidak berada pada lahan yang berlerang, curam,
atau labil;
2) sumur
resapan
dangkal
dijauhkan
dari
tempat
penimbunan sampah, jauh dari septic tank (minimal 10
meter diukur dari tepi) dan berjarak minimum 1 meter dari
pondasi bangunan;

39

3) lokasi sumur resapan yang akan dibuat supaya dicatat
koordinat geografisnya yang meliputi: lintang dan bujur,
ketinggian lokasi (dpl). Dengan menggunakan Global
Positioning System (GPS) atau dengan ekstrapolasi peta
topografi yang tersedia. Data koordinat sumur resapan ini
selanjutnya diperlukan untuk menyusun sistem basis data
pengelolaan lahan dan air sekaligus memantau kinerja
pelaksanaan kegiatan yang telah berjalan.

c. Persyaratan konstruksi/desain teknis sumur resapan:
1) bentuk sumur resapan dangkal boleh bundar atau empat
persegi;

2) sumur resapan dangkal harus diberi penutup, dapat
menggunakan pelat beton bertulang;

3) air hujan yang masuk ke dalam sumur resapan dangkal
harus melalui bak kontrol sebagai sedimen mengendap di
bagian bawahnya;

4) saluran air hujan yang masuk ke dalam sumur resapan
dapat menggunakan pipa berdiameter 6 inchi;

5) jarak bak kontrol dengan sumur resapan dangkal kurang
lebih 50 centimeter;

6) kedalaman sumur resapan dangkal sekitar antara 2–10
meter diatas air tanah dangkal (sesuai dengan kedalaman
air tanahnya);

7) kontruksi bangunan pada dinding sumur resapan dangkal
dapat menggunakan batako, bata merah dengan komposisi
ada sela-sela /pori-pori dengan bahan yang kasar (pecahan
bata merah, kerikil yang berongga);

8) bagian dasar sumur resapan dangkal diisi dengan pecahan
batu, ijuk serta arang yang disusun secara berongga;

9) bak kontrol dan sumur resapan dangkal dibersihkan setiap
musim
kemarau
dan
musim
penghujan
dengan
mengangkat bahan pengendap (arang aktif, pasir, kerikil
dan ijuk).

40

Gambar 21.
Desain Konstruksi Sumur Resapan Dangkal

Gambar 22.
Desain Sistem peresapan pada Saluran Air Hujan (Tampak Samping)

41

Gambar 23.
Desain Tutup dan Buis Beton Sistem peresapan pada Saluran Air Hujan

Gambar 24.
Desain Sistem peresapan pada Saluran Air Hujan (tampak atas).

42

Gambar 25.
Desain Bak Kontrol Sistem peresapan pada Saluran Air Hujan.

Keterangan:
Gambar 23 memperlihatkan desain yang unik pada buis beton yang
ditanam pada bak/ sumur peresapan. Bentuk/tipe sistem peresapan ini
sengaja didesain agar air yang masuk ke dalam sumur dapat segera
diresapkan ke dalam tanah. Sehingga laju infiltrasi tanah menjadi lebih
besar, selain itu desain ini juga memperhatikan kekuatan rancang
bangun sistem peresapan itu sendiri.

2.

Lubang resapan biopori
Lubang resapan biopori (LBR) adalah lubang silidris yang dibuat
secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10–30 cm,
kedalaman sekitar 100 cm atau melebihi kedalaman muka air tanah.
Lubang kemudian diisi sampah organik untuk mendorong
terbentuknya biopori. Biopori adalah pori berbentuk liang
(terowongan kecil) yang dibentuk oleh aktivitas fauna tanah atau
akar tanaman.
Lubang resapan biopori (LBR) dapat dibuat di halaman rumah,
perkantoran, lapangan parkir, parit atau selokan yang berfungsi
untuk aliran pembuangan air hujan saja, serta di lahan kebun dan
areal terbuka lainnya.
a.

Cara pembuatan lubang resapan biopori:
1) Buat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter 10
cm, kedalaman 100 cm atau jangan melampaui kedalaman
air tanah pada dasar saluran atau alur yang telah dibuat
dengan menggunakan bambu, pipa besi atau alat bor tanah.
Jarak antar lubang 50 – 100 cm;
43

2)

3)

4)

5)

b.

Mulut atau pangkal lubang dapat diperkuat dengan adukan
semen selebar 2- 3 cm, setebal 2 cm disekeliling mulut
lubang;
Isi lubang LBR dengan sampah organik yang berasal dari
dedaunan, pangkasan rumput dari halaman atau sampah
dapur;
Sampah organik perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang
yang isinya sudah berkurang atau menyusut karena proses
pelapukan; serta
Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil setelah
2 – 3 bulan.

Alat dan bahan pembuat lubang biopori
Alat yang dapat digunakan untuk membuat lubang biopori
berupa lubang vertikal ke dalam tanah, antara lain adalah bor
tanah (bor biopori), linggis, pisau dan kape.
Bahan-bahan yang dapat dimasukkan ke dalam LRBadalah
bahan-bahan yang mudah terurai oleh fauna tanah, misalnya
daun, rumput dan sisa-sisa makanan, atau yang biasa disebut
sampah organik.Jangan memasukkan sampah anorganik seperti
plastik, kaleng, mika/fiber kedalam lubang tersebut karena tidak
dapat terurai.
Jumlah lubang biopori yang ada sebaiknya dihitung berdasarkan
besar kecil hujan, laju resapan air dan wilayah yang tidak
meresap air dengan rumus :
Intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap air (m2)
laju resapan air perlubang (liter / jam).
Contoh:
Untuk daerah dengan intensitas hujan 50 mm/jam (hujan lebat),
dengan laju peresapan ai