FENOMENA DAKWAH JAMAAH TABLIGH DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK.

(1)

1 A. Latar Belakang

Berbagai gerakan berbasis Islam banyak dan mudah ditemui di Indonesia. Beberapa memang lahir dan berkembang di Indonesia, sementara sebagian yang lain merupakan gerakan Islam trans nasional yang menyebar sampai ke Indonesia. Berbagai gerakan tersebut ada yang berbentuk organisasi, komunitas atau gerakan tanpa bentuk. Sebut saja misalnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Tafsir Al Quran (MTA), Front Pembela Islam (FPI) merupakan organisasi Islam yang lahir dan berkembang di Indonesia. Meskipun harus juga diakui keempat organisasi ini sebenarnya memiliki hubungan secara tidak langsung dengan komunitas, gerakan ataupun organisasi Islam di luar negeri, terutama wilayah Timur Tengah.

Sementara gerakan Islam transnasional yang ada di Indonesia diantaranya seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Tarbiyah, Salafy, dan Jamaah Tabligh (JT). Hizbut Tahrir Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain, hadir di Indonesia dengan memproklamirkan diri sebagai organisasi politik. Tarbiyah, sebagai kepanjangan tangan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, mempertahankan karakter sebagai gerakan Islam tanpa bentuk. Namun, sebagaimana Ikhwanul Muslimin di Mesir, Tarbiyah kemudian menjelma menjadi organisasi sosial politik. Sementara Salafy dan Jamaah Tabligh berkembang di Indonesia tetap dengan karakter sebagai gerakan Islam tanpa bentuk.

Sebagai suatu gerakan berbasis agama tentu saja menjadi keniscayaan bahwa mereka menyebarkan ajaran dan keyakinan mereka kepada masyarakat. Aktivitas demikian dalam Islam biasa dikenal dengan istilah dakwah. Dakwah yang mereka lakukan dapat menggunakan berbagai metode atau strategi sesuai dengan pemahaman dan visi mereka masing-masing, seperti: kajian umum, tabligh akbar, bakti sosial, media massa, media sosial dan sebagainya.

Dakwah dapat dimaknai sebagai konsekuensi bagi para penganutnya yang meyakini bahwa ajaran mereka adalah benar. Meyakini bahwa ajaran mereka bisa mewujudkan kondisi kehidupan beragama yang seharusnya. Dari keyakinan ini kemudian mendorong timbulnya kepedulian sosial, yaitu agar orang lain juga mengikuti


(2)

ajaran tersebut sehingga mampu mewujudkan kehidupan beragama yang benar. Dakwah juga lebih menjamin eksistensi suatu ajaran agama. Semakin kuat dakwah yang dilakukan maka semakin luas penganutnya sehingga lebih menjamin eksistensi ajaran agama tersebut.

Setiap gerakan Islam memiliki kecenderungan dalam berdakwah. Dalam beberapa hal bahkan kecenderungan tersebut sampai menjadi karakter dari gerakan-gerakan Islam. Muhammadiyah misalnya, organisasi ini dianggap sebagai organisasi Islam modern dibandingkan dengan NU yang dianggap tradisional. Dalam menjalankan misi dakwahnya, Muhammadiyah menggunakan strategi dengan mendirikan institusi-institusi pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi. Muhammadiyah juga dikenal banyak mendirikan rumah sakit. Sementara NU terkenal memiliki banyak pondok pesantren. Beberapa tahun terakhir NU juga terlihat mulai mendirikan sejumlah perguruan tinggi.

MTA menjalankan dakwahnya dengan membangun gedung di daerah-daerah sebagai tempat menyelenggarakan kajian atau majelis taklim. Strategi ini membuat MTA cenderung lebih diterima di banyak daerah dibandingkan dengan membangun masjid baru. Berbeda dengan Muhammadiyah, NU dan MTA, FPI dikenal masyarakat terutama melalui aksi sweeping. Aksi tersebut dilakukan sebagai wujud mengamalkan perintahnahi munkar(memerangi kemungkaran).

Gerakan Salafy terkenal dengan Laskar Jihad Ahlus Sunah Wal Jama’ah (ASWJ). Laskar ini dibentuk Ja’far Umar Tholib untuk membantu umat Islam dalam perang di Ambon dan Maluku. Sebagi pusat gerakan Salafy adalah di Pondok Pesantren Ihya’us Sunnah, Sleman, Yogyakarta. Namun gerakan ini sekarang telah dibubarkan oleh pemimpinnya sendiri,Ja’far Umar Tholib.

Gerakan Tarbiyah merupakan kepanjangan tangan gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Dalam menjalankan dakwahnya, Tarbiyah menempuh jalur politik yaitu dengan mendirikan Partai Keadilan (PK) yang kemudian pada tahun 1999 berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagaimana Muhammadiyah, Tarbiyah juga mendirikan sejumlah institusi pendidikan berbasis Islam. Tarbiyah juga mendirikan lembaga ekonomi, yaitu Bank Muamalat. Juga mendirikan beberapa lembaga sosial kemasyarakatan. Namun lembaga-lembaga tersebut dibentuk secara otonom, tanpa ada hubungan struktural dengan gerakan Tarbiyah atau PKS. Sehingga yang tampak oleh


(3)

masyarakat, lembaga-lembaga tersebut masing-masing berdiri sendiri tanpa ada hubungan koordinatif dengan yang lain.

Meskipun masing-masing gerakan Islam membawa karakternya sendiri dalam berdakwah sehingga membedakan dengan gerakan Islam lainnya, namun ada kesamaan yang bisa ditarik. Peneliti melihat, dakwah berupa ceramah, mengadakan kajian atau tabligh akbar menjadi metode yang populer dalam menyebarkan keyakinan dan ajaran mereka. Metode ini dinilai efektif untuk memberikan pengetahuan pada masyarakat mengenai kaedah-kaedah agama. Sehingga target dari metode ini adalah pada level kognitif. Dengan pengetahuan yang diperoleh tersebut, diharapkan bisa menuntun masyarakat untuk menjalankan agamanya secara lebih baik dan benar.

Kesamaan berikutnya yang tampak dari dakwah gerakan Islam yaitu memanfaatkan media massa sebagai sarana dakwah. Karakter media massa yang mampu menyebarkan informasi secara luas dan serempak, menjadi alasan yang rasional. Melalui media massa maka dakwah yang mereka lakukan bisa diterima masyarakat lebih luas dan efektif. Mereka tidak perlu menyelenggarakan ceramah, kajian atau tabligh akbar sampai ke daerah-daerah. Cukup diselenggarakan di satu tempat kemudian disiarkan oleh media, maka masyarakat yang jauh dari wilayah tersebut bisa mengikuti saat itu juga. Rasionalisasi ini yang kemudian menjadikan media massa sebagai pilihan strategis dalam berdakwah.

Bahkan banyak juga di antara gerakan Islam yang memiliki media massa sendiri dan dikelola cukup serius. Media massa yang dimaksud meliputi media cetak, elektronik dan online. Muhammadiyah secara berkala menerbitkan majalah bulanan dengan nama Suara Muhammadiyah, juga mendirikan stasiun televisi TVMU dan televisi lokal ADITV dan memiliki situs resmi Persyarikatan Muhammadiyah (www.muhammadiyah.or.id). NU memiliki situs resmi NU Online (www.nu.or.id). MTA menerbitkan media cetak bulanan RESPON untuk umum dan Al Mar’ah khusus untuk wanita. MTA juga mendirikanMTA TVdan radio MTA FMserta mengelola situs resmi www.mta-online.com. FPI memiliki situs web dengan alamat www.fpi.or.id.

HTI menerbitkan majalah dengan nama Al Wa’ie dan memiliki situs resmi www.hizbut-tahrir.or.id. Salafy yang terkelompok dalam beberapa konsentrasi menerbitkan majalah seperti As Sunnah dan Asy Syariah serta memiliki situs resmi dengan alamat www.salafy.or.id dan www.salafyoon.net. Sementara gerakan Tarbiyah


(4)

yang menjelma menjadi organisasi baru yaitu Partai Keadilan (PK) dan berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sampai sekarang, tidak ditemui mendirikan media komunitas. Namun ada beberapa media di Indonesia yang terlihat jelas memiliki afiliasi terhadap gerakan Tarbiyah ataupun PKS, seperti majalahSabilidanSAKSI.

Berbeda dengan gerakan-gerakan Islam yang telah disebutkan, Jamaah Tabligh memiliki metode yang unik dalam berdakwah. Para karkun1 atau pekerja dakwah mendatangi rumah-rumah di sekitar masjid tempat tinggal mereka, mengajak untuk sholat berjamaah atau mendengarkan ceramah di masjid. Aktivitas ini biasa mereka sebut dengan istilah jaulah. Mereka juga mendatangi orang yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan, berbicara sebentar tentang pentingnya iman dan taqwa kemudian diajak datang ke masjid. Tidak jarang juga mereka mendatangi kumpulan orang-orang yang sedang mabuk atau main judi. Duduk bersama mereka, membicarakan masalah agama, diajak taat pada agama tanpa ada pemaksaan apalagi kekerasan fisik.

Meskipun sehari-hari para pekerja dakwah berinteraksi secara wajar dengan masyarakat di sekitarnya, pada saat jaulah mereka hanya menemui dan mengajak laki-laki, terutama yang sudah dewasa. Aktivitas ini mereka lakukan biasanya sepekan sekali pada waktu sore menjelang atau setelah maghrib.

Pada saat jaulah, para pekerja dakwah biasanya membatasi diri hanya membicarakan topik-topik seputar agama. Lebih khusus lagi topik agama yang mereka bicarakan adalah seputar iman, yaitu keyakinan pada Tuhan, dan amal sholeh atau ibadah. Saat melakukanjaulah, para pekerja dakwahmenghindari pembicaraan seputar politik praktis, keburukan orang lain atau masyarakat, sumbangan atau pangkat seseorang, dan perbedaan pendapat seputar agama atau biasa disebutkhilafiyah.

Para pekerja dakwah melakukan dakwah tidak hanya di daerah tempat tinggal mereka. Secara rutin mereka pergi meninggalkan keluarga dan pekerjaan untuk berdakwah ke daerah lain. Daerah yang menjadi tujuan mereka kadang hanya kampung yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Tapi tidak jarang mereka pergi berdakwah sampai ke luar kota, propinsi atau bahkan negara lain. Kegiatan ini mereka lakukan selama 3 hari tiap bulan, 40 hari tiap satu tahun dan 4 bulan dalam seumur hidup. Aktivitas ini biasa mereka sebut dengan istilah khuruj fii sabilillah (keluar di jalan Allah) atau biasa disebutkhurujsaja.

1Karkun

merupakan sebutan bagi orang-orang yang mengikuti gerakan dakwah dan tabligh dalam bahasa Urdu. Di Indonesia istilahkarkunsering dialih-bahasakan dengan istilah “pekerja dakwah”.


(5)

Selama khuruj mereka tinggal di dalam masjid di tempat yang mereka datangi kemudian melakukan aktivitas dakwah kepada penduduk di daerah tersebut. Di setiap masjid yang didatangi biasanya mereka tinggal selama dua atau tiga hari, kemudian pindah ke daerah lain untuk melakukan aktivitas yang sama.

Pada daerah-daerah yang baru mereka datangi, biasanya masyarakat diajak untuk menjaga sholat terutama sholat berjamaah di masjid. Kemudian masyarakat diajak untuk memakmurkan masjid yaitu dengan cara mengadakan taklim dan sebagian berkeliling mengajak masyarakat di sekitar masjid. Pada tahap tertentu mereka juga mengajak masyarakat untuk mengikuti aktivitas sebagaimana yang mereka lakukan yaitukhuruj, pergi ke daerah lain dalam rangka mendakwahkan agama.

Jamaah Tabligh tidak pernah membangun gedung khusus sebagai pusat gerakan mereka. Sebagai pusat aktivitas Jamaah Tabligh adalah masjid. Di manapun aktivitas yang mereka lakukan, baik ketika khuruj maupun tinggal di rumah, masjid menjadi pusat aktivitas beragama mereka. Bahkan ketika melakukan jaulah mereka akan mengidentifikasi dan memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari masjid.

Selain melalui jaulah dan khuruj, sebagaimana gerakan Islam lainnya, Jamaah Tabligh juga berdakwah dengan menggelar tabligh akbar. Acara ini diselenggarakan satu tahun sekali, yang mereka sebut sebagai ijtima’. Menarik untuk diketahui, bahwa

ijtima’ merupakan pertemuan besar skala nasional yang dihadiri ratusan ribu anggota Jamaah Tabligh, namun tidak pernah menggunakan undangan resmi, pamflet, poster maupun mengirimkan release dan memasang iklan di media massa. Bahkan ijtima’

skala internasional yang dihadiri jutaan manusia dari berbagai negara, juga tidak pernah dipublikasikan menggunakan media sebagaimana pertemuan besar pada umumnya.

Di tengah kehidupan masyarakat kita sekarang, maka aktivitas yang dilakukan Jamaah Tabligh tampak sebagai suatu perilaku atau kebiasaan yang aneh. Aktivitas dakwah yang mereka lakukan tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Apalagi dengan atribut dan alat-alat yang biasa dipakai Jamaah Tabligh, membuat komunitas ini tampak semakin aneh.

Para pengikut Jamaah Tabligh atau yang disebut karkun atau pekerja dakwah sangat mudah untuk dikenali. Sebagian mereka memakai jubah atau gamis. Pakaian ini identik dengan budaya Timur Tengah dan Asia Selatan sehingga tidak lazim di Indonesia. Namun sebagian yang lain juga ada yang mengenakan baju koko atau kemeja


(6)

lengan panjang sebagaimana masyarakat yang lain juga mengenakannya. Mereka tidak mempermasalahkan bagaimana model pakaian mereka. Namun yang menjadi karakter bersama dari cara berpakaian mereka, yaitu mengenakan penutup kepala. Sebagian memakai peci dengan berbagai model dan motif, sebagian yang lain mengenakan sorban. Beberapa memakaipeci atau sorban hanya ketika melakukan aktivitas agama, seperti ketika sholat, jaulah, dan khuruj. Namun ada juga yang mengenakan peci atau sorbandalam aktivitas sehari-hari, termasuk ketika bekerja.

Fenomena-fenomena seputar Jamaah Tabligh ini menarik untuk didalami. Pengikut Jamaah Tabligh yang begitu banyak dan tersebar di banyak negara menunjukkan bukan gerakan pragmatis dan oportunis. Berbagai aktivitas dakwah Jamaah Tabligh tentunya dilakukan bukan tanpa alasan. Mereka begitu yakin dengan ajaran yang dijalankan menunjukkan bahwa mereka memiliki alasan yang jelas dari setiap aktivitas dakwah yang dilakukan. Alasan tersebut merupakan dasar bagi Jamaah Tabligh dalam mengaplikasikan ajaran mereka.

Aktivitas dakwah yang dilakukan Jamaah Tabligh merupakan objek yang akan dikaji dalam penelitian ini. Karena aktivitas atau tindakan manusia tidak bisa dipahami kecuali dengan memahami maknanya, maka konstruksi makna menjadi isu sentral dalam penelitian ini. Mengapa dakwah yang dilakukan Jamaah Tabligh berbeda dengan gerakan Islam lainnya, yaitu dengan melakukan khuruj dan jaulah, inilah masalah utama yang ingin didalami dalam penelitian ini.

Untuk dapat memahami dakwah yang dilakukan Jamaah Tabligh maka harus memahami bagaimana mereka memaknai konsep dakwah. Untuk kepentingan ini peneliti menggunakan perspektif interaksionisme simbolik. Perspektif ini peneliti gunakan karena interaksionisme simbolik secara mendasar merupakan sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, melalui interaksi sosial, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini membentuk perilaku manusia. Dengan perspektif ini dikaji seperti arti, maksud, dan nilai dakwah dalam pemahaman Jamaah Tabligh. Kemudian dikaji secara lebih mendalam konsep-konsep yang lebih spesifik dalam aktivitas dakwah Jamaah Tabligh terutama yaitu khuruj danjaulah. Dikaji juga posisi atau hubungan dakwah dengan konsep Islam lainnya dalam pemahaman Jamaah Tabligh.


(7)

Secara lebih spesifik peneliti menggunakan pemikiran Herbert Blumer. Tiga premis dasar interaksionisme simbolik yang dirumuskan oleh Blumer peneliti pandang sangat sesuai untuk membedah masalah yang dimunculkan dalam penelitian ini. Menurut pemikiran Blumer yang pertama, tindakan manusia terhadap sesuatu bergantung pada makna sesuatu itu bagi manusia. Dengan kata lain makna akan memengaruhi tindakan. Maka, bagaimana Jamaah Tabligh memaknai dakwah merupakan dasar dari setiap tindakan dan perilaku dakwah yang mereka lakukan. Asumsi awal yang bisa diperoleh berdasarkan perspektif interaksionisme simbolik bahwa Jamaah Tabligh memiliki makna khusus terhadap konsep dakwah yang mana berbeda dengan makna yang dibangun gerakan Islam lainnya. Bangunan makna yang berbeda ini kemudian mendasari konsep dakwah diaplikasikan cukup berbeda oleh Jamaah Tabligh dibandingkan gerakan Islam lainnya.

Bagaimana objek yang sama, yaitu dakwah, bisa dimaknai secara berbeda oleh Jamaah Tabligh dan gerakan Islam lainnya? Menurut pemikiran Blumer pengalaman masa lalu yang berlainan, masyarakat sekitar yang berbeda dan berbagai faktor lainnya yang juga berbeda sehingga menghasilkan makna yang berlainan. Jadi melalui interaksi makna-makna itu terbangun. Ini merupakan pemikiran Blumer yang kedua. Kemudian interaksi yang bersifat dinamis memungkinkan makna-makna yang telah terbangun tersebut mengalami perubahan. Inilah pemikiran Blumer yang ketiga, yaitu makna terhadap suatu objek dimodifikasi melalui interaksi.

Jadi secara sederhana, melalui tiga premis interaksionisme simbolik Blumer diharapkan bisa mengungkap: pertama, makna di balik aktivitas dakwah yang dipraktekkan Jamaah Tabligh;kedua, bagaimana proses makna tersebut terbentuk; dan ketiga, bilamana dan bagaimana makna tersebut mengalami modifikasi.

Karena peneliti berada dalam disiplin Ilmu Komunikasi, maka fenomena yang dikaji berada dalam batasan proses komunikasi yang dilakukan Jamaah Tabligh dalam berbagai bentuk dan level komunikasi. Bentuk komunikasi yang dimaksud adalah meliputi komunikasi verbal dan nonverbal. Sedangkan level komunikasi yang dimaksud adalah meliputi komunikasi interpersonal dan kelompok. Objek kajian ini masih dikerucutkan lagi dengan perspektif yang peneliti gunakan, yaitu perspektif interaksionisme simbolik.


(8)

Dalam kajian ini peneliti bermaksud mengungkap makna-makna dari realitas sosial dalam Jamaah Tabligh. Namun penting untuk diperhatikan, bahwa dalam mengungkapkan makna-makna tersebut, peneliti tidak menggunakan metode semiotik. Makna-makna yang dimaksud, peneliti ungkapkan berdasarkan perspektif Jamaah Tabligh sendiri. Dengan kata lain peneliti bermaksud mengungkapkan bagaimana Jamaah Tabligh mendefinisikan bangunan makna-makna realitas sosial yang telah mereka susun. Untuk kepentingan ini maka peneliti menggunakan metode etnografi.

Inti dari penelitian etnografi adalah untuk mengungkap makna-makna dari objek atau realitas sosial yang ingin kita pahami. Makna-makna tersebut dapat tersimpan dalam gagasan, bahasa, penampilan, tindakan, artefak dan sebagainya. Untuk dapat mengungkap makna-makna yang dimaksud menuntut peneliti hidup langsung di antara objek dan subjek yang diteliti. Tujuan penelitian etnografi adalah untuk memahami sudut pandang penduduk asli hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunia.

Penting juga untuk diperhatikan bahwa kajian yang peneliti lakukan tidak sedang diarahkan pada suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa Jamaah Tabligh sebagai gerakan yang benar atau salah dalam perspektif Islam. Peneliti juga tidak akan mendudukkan fenomena Jamaah Tabligh sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan politik, pertahanan dan keamanan. Peneliti tidak bermaksud menghasilkan suatu kesimpulan yang menyatakan Jamaah Tabligh terlibat atau tidak terlibat dalam jaringan terorisme global. Penelitian ini merupakan kajian yang bersifat akademik dengan tujuan pengembangan keilmuan terutama teori yang peneliti gunakan, yaitu interaksionisme simbolik.


(9)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Jamaah Tabligh memaknai konsep dakwah dan realitas sosial (objek) lain yang melingkupinya?

Realitas sosial (objek) yang dimaksud adalah meliputi objek fisik (masjid, pakaian dll), objek sosial (jamaah, amir dll) dan objek abstrak (iman, sunnah dll). Ini menarik bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana Jamaah Tabligh memaknai konsep-konsep tersebut. Karena pada prakteknya konsep-konsep tersebut diaplikasikan oleh Jamaah Tabligh cukup unik di tengah-tengah gerakan Islam lainnya.

2. Bagaimana makna-makna tersebut terbangun?

Yaitu dari mana dan bagaimana cara meaning construction dalam Jamaah Tabligh terbentuk

3. Bilamana dan bagaimana Jamaah Tabligh mempertahankan atau memodifikasi makna-makna realitas sosial yang mereka bangun?

Suatu makna yang telah diterima bersama biasanya cenderung bertahan. Namun pada kondisi tertentu tidak menutup kemungkinan makna tersebut akan dinegosiasikan ulang sehingga memunculkan tindakan yang berbeda.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana Jamaah Tabligh memaknai objek atau realitas sosial mereka sehingga tindakan, perilaku dan aktivitas yang mereka lakukan terlihat unik dibandingkan gerakan Islam yang lain.

2. Mengetahui proses terbentuknya meaning contruction dalam Jamaah Tabligh.

3. Mengetahui kondisi atau syarat apa saja yang mendukung Jamaah Tabligh mempertahankan atau mempertimbangkan ulang makna yang telah dibangun.


(1)

yang menjelma menjadi organisasi baru yaitu Partai Keadilan (PK) dan berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sampai sekarang, tidak ditemui mendirikan media komunitas. Namun ada beberapa media di Indonesia yang terlihat jelas memiliki afiliasi terhadap gerakan Tarbiyah ataupun PKS, seperti majalahSabilidanSAKSI.

Berbeda dengan gerakan-gerakan Islam yang telah disebutkan, Jamaah Tabligh memiliki metode yang unik dalam berdakwah. Para karkun1 atau pekerja dakwah mendatangi rumah-rumah di sekitar masjid tempat tinggal mereka, mengajak untuk sholat berjamaah atau mendengarkan ceramah di masjid. Aktivitas ini biasa mereka sebut dengan istilah jaulah. Mereka juga mendatangi orang yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan, berbicara sebentar tentang pentingnya iman dan taqwa kemudian diajak datang ke masjid. Tidak jarang juga mereka mendatangi kumpulan orang-orang yang sedang mabuk atau main judi. Duduk bersama mereka, membicarakan masalah agama, diajak taat pada agama tanpa ada pemaksaan apalagi kekerasan fisik.

Meskipun sehari-hari para pekerja dakwah berinteraksi secara wajar dengan masyarakat di sekitarnya, pada saat jaulah mereka hanya menemui dan mengajak laki-laki, terutama yang sudah dewasa. Aktivitas ini mereka lakukan biasanya sepekan sekali pada waktu sore menjelang atau setelah maghrib.

Pada saat jaulah, para pekerja dakwah biasanya membatasi diri hanya membicarakan topik-topik seputar agama. Lebih khusus lagi topik agama yang mereka bicarakan adalah seputar iman, yaitu keyakinan pada Tuhan, dan amal sholeh atau ibadah. Saat melakukanjaulah, para pekerja dakwahmenghindari pembicaraan seputar politik praktis, keburukan orang lain atau masyarakat, sumbangan atau pangkat seseorang, dan perbedaan pendapat seputar agama atau biasa disebutkhilafiyah.

Para pekerja dakwah melakukan dakwah tidak hanya di daerah tempat tinggal mereka. Secara rutin mereka pergi meninggalkan keluarga dan pekerjaan untuk berdakwah ke daerah lain. Daerah yang menjadi tujuan mereka kadang hanya kampung yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Tapi tidak jarang mereka pergi berdakwah sampai ke luar kota, propinsi atau bahkan negara lain. Kegiatan ini mereka lakukan selama 3 hari tiap bulan, 40 hari tiap satu tahun dan 4 bulan dalam seumur hidup. Aktivitas ini biasa mereka sebut dengan istilah khuruj fii sabilillah (keluar di jalan Allah) atau biasa disebutkhurujsaja.

1Karkun

merupakan sebutan bagi orang-orang yang mengikuti gerakan dakwah dan tabligh dalam bahasa Urdu. Di Indonesia istilahkarkunsering dialih-bahasakan dengan istilah “pekerja dakwah”.


(2)

Selama khuruj mereka tinggal di dalam masjid di tempat yang mereka datangi kemudian melakukan aktivitas dakwah kepada penduduk di daerah tersebut. Di setiap masjid yang didatangi biasanya mereka tinggal selama dua atau tiga hari, kemudian pindah ke daerah lain untuk melakukan aktivitas yang sama.

Pada daerah-daerah yang baru mereka datangi, biasanya masyarakat diajak untuk menjaga sholat terutama sholat berjamaah di masjid. Kemudian masyarakat diajak untuk memakmurkan masjid yaitu dengan cara mengadakan taklim dan sebagian berkeliling mengajak masyarakat di sekitar masjid. Pada tahap tertentu mereka juga mengajak masyarakat untuk mengikuti aktivitas sebagaimana yang mereka lakukan yaitukhuruj, pergi ke daerah lain dalam rangka mendakwahkan agama.

Jamaah Tabligh tidak pernah membangun gedung khusus sebagai pusat gerakan mereka. Sebagai pusat aktivitas Jamaah Tabligh adalah masjid. Di manapun aktivitas yang mereka lakukan, baik ketika khuruj maupun tinggal di rumah, masjid menjadi pusat aktivitas beragama mereka. Bahkan ketika melakukan jaulah mereka akan mengidentifikasi dan memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari masjid.

Selain melalui jaulah dan khuruj, sebagaimana gerakan Islam lainnya, Jamaah Tabligh juga berdakwah dengan menggelar tabligh akbar. Acara ini diselenggarakan satu tahun sekali, yang mereka sebut sebagai ijtima’. Menarik untuk diketahui, bahwa

ijtima’ merupakan pertemuan besar skala nasional yang dihadiri ratusan ribu anggota Jamaah Tabligh, namun tidak pernah menggunakan undangan resmi, pamflet, poster maupun mengirimkan release dan memasang iklan di media massa. Bahkan ijtima’

skala internasional yang dihadiri jutaan manusia dari berbagai negara, juga tidak pernah dipublikasikan menggunakan media sebagaimana pertemuan besar pada umumnya.

Di tengah kehidupan masyarakat kita sekarang, maka aktivitas yang dilakukan Jamaah Tabligh tampak sebagai suatu perilaku atau kebiasaan yang aneh. Aktivitas dakwah yang mereka lakukan tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Apalagi dengan atribut dan alat-alat yang biasa dipakai Jamaah Tabligh, membuat komunitas ini tampak semakin aneh.

Para pengikut Jamaah Tabligh atau yang disebut karkun atau pekerja dakwah sangat mudah untuk dikenali. Sebagian mereka memakai jubah atau gamis. Pakaian ini identik dengan budaya Timur Tengah dan Asia Selatan sehingga tidak lazim di Indonesia. Namun sebagian yang lain juga ada yang mengenakan baju koko atau kemeja


(3)

lengan panjang sebagaimana masyarakat yang lain juga mengenakannya. Mereka tidak mempermasalahkan bagaimana model pakaian mereka. Namun yang menjadi karakter bersama dari cara berpakaian mereka, yaitu mengenakan penutup kepala. Sebagian memakai peci dengan berbagai model dan motif, sebagian yang lain mengenakan sorban. Beberapa memakaipeci atau sorban hanya ketika melakukan aktivitas agama, seperti ketika sholat, jaulah, dan khuruj. Namun ada juga yang mengenakan peci atau sorbandalam aktivitas sehari-hari, termasuk ketika bekerja.

Fenomena-fenomena seputar Jamaah Tabligh ini menarik untuk didalami. Pengikut Jamaah Tabligh yang begitu banyak dan tersebar di banyak negara menunjukkan bukan gerakan pragmatis dan oportunis. Berbagai aktivitas dakwah Jamaah Tabligh tentunya dilakukan bukan tanpa alasan. Mereka begitu yakin dengan ajaran yang dijalankan menunjukkan bahwa mereka memiliki alasan yang jelas dari setiap aktivitas dakwah yang dilakukan. Alasan tersebut merupakan dasar bagi Jamaah Tabligh dalam mengaplikasikan ajaran mereka.

Aktivitas dakwah yang dilakukan Jamaah Tabligh merupakan objek yang akan dikaji dalam penelitian ini. Karena aktivitas atau tindakan manusia tidak bisa dipahami kecuali dengan memahami maknanya, maka konstruksi makna menjadi isu sentral dalam penelitian ini. Mengapa dakwah yang dilakukan Jamaah Tabligh berbeda dengan gerakan Islam lainnya, yaitu dengan melakukan khuruj dan jaulah, inilah masalah utama yang ingin didalami dalam penelitian ini.

Untuk dapat memahami dakwah yang dilakukan Jamaah Tabligh maka harus memahami bagaimana mereka memaknai konsep dakwah. Untuk kepentingan ini peneliti menggunakan perspektif interaksionisme simbolik. Perspektif ini peneliti gunakan karena interaksionisme simbolik secara mendasar merupakan sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, melalui interaksi sosial, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini membentuk perilaku manusia. Dengan perspektif ini dikaji seperti arti, maksud, dan nilai dakwah dalam pemahaman Jamaah Tabligh. Kemudian dikaji secara lebih mendalam konsep-konsep yang lebih spesifik dalam aktivitas dakwah Jamaah Tabligh terutama yaitu khuruj danjaulah. Dikaji juga posisi atau hubungan dakwah dengan konsep Islam lainnya dalam pemahaman Jamaah Tabligh.


(4)

Secara lebih spesifik peneliti menggunakan pemikiran Herbert Blumer. Tiga premis dasar interaksionisme simbolik yang dirumuskan oleh Blumer peneliti pandang sangat sesuai untuk membedah masalah yang dimunculkan dalam penelitian ini. Menurut pemikiran Blumer yang pertama, tindakan manusia terhadap sesuatu bergantung pada makna sesuatu itu bagi manusia. Dengan kata lain makna akan memengaruhi tindakan. Maka, bagaimana Jamaah Tabligh memaknai dakwah merupakan dasar dari setiap tindakan dan perilaku dakwah yang mereka lakukan. Asumsi awal yang bisa diperoleh berdasarkan perspektif interaksionisme simbolik bahwa Jamaah Tabligh memiliki makna khusus terhadap konsep dakwah yang mana berbeda dengan makna yang dibangun gerakan Islam lainnya. Bangunan makna yang berbeda ini kemudian mendasari konsep dakwah diaplikasikan cukup berbeda oleh Jamaah Tabligh dibandingkan gerakan Islam lainnya.

Bagaimana objek yang sama, yaitu dakwah, bisa dimaknai secara berbeda oleh Jamaah Tabligh dan gerakan Islam lainnya? Menurut pemikiran Blumer pengalaman masa lalu yang berlainan, masyarakat sekitar yang berbeda dan berbagai faktor lainnya yang juga berbeda sehingga menghasilkan makna yang berlainan. Jadi melalui interaksi makna-makna itu terbangun. Ini merupakan pemikiran Blumer yang kedua. Kemudian interaksi yang bersifat dinamis memungkinkan makna-makna yang telah terbangun tersebut mengalami perubahan. Inilah pemikiran Blumer yang ketiga, yaitu makna terhadap suatu objek dimodifikasi melalui interaksi.

Jadi secara sederhana, melalui tiga premis interaksionisme simbolik Blumer diharapkan bisa mengungkap: pertama, makna di balik aktivitas dakwah yang dipraktekkan Jamaah Tabligh;kedua, bagaimana proses makna tersebut terbentuk; dan ketiga, bilamana dan bagaimana makna tersebut mengalami modifikasi.

Karena peneliti berada dalam disiplin Ilmu Komunikasi, maka fenomena yang dikaji berada dalam batasan proses komunikasi yang dilakukan Jamaah Tabligh dalam berbagai bentuk dan level komunikasi. Bentuk komunikasi yang dimaksud adalah meliputi komunikasi verbal dan nonverbal. Sedangkan level komunikasi yang dimaksud adalah meliputi komunikasi interpersonal dan kelompok. Objek kajian ini masih dikerucutkan lagi dengan perspektif yang peneliti gunakan, yaitu perspektif interaksionisme simbolik.


(5)

Dalam kajian ini peneliti bermaksud mengungkap makna-makna dari realitas sosial dalam Jamaah Tabligh. Namun penting untuk diperhatikan, bahwa dalam mengungkapkan makna-makna tersebut, peneliti tidak menggunakan metode semiotik. Makna-makna yang dimaksud, peneliti ungkapkan berdasarkan perspektif Jamaah Tabligh sendiri. Dengan kata lain peneliti bermaksud mengungkapkan bagaimana Jamaah Tabligh mendefinisikan bangunan makna-makna realitas sosial yang telah mereka susun. Untuk kepentingan ini maka peneliti menggunakan metode etnografi.

Inti dari penelitian etnografi adalah untuk mengungkap makna-makna dari objek atau realitas sosial yang ingin kita pahami. Makna-makna tersebut dapat tersimpan dalam gagasan, bahasa, penampilan, tindakan, artefak dan sebagainya. Untuk dapat mengungkap makna-makna yang dimaksud menuntut peneliti hidup langsung di antara objek dan subjek yang diteliti. Tujuan penelitian etnografi adalah untuk memahami sudut pandang penduduk asli hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunia.

Penting juga untuk diperhatikan bahwa kajian yang peneliti lakukan tidak sedang diarahkan pada suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa Jamaah Tabligh sebagai gerakan yang benar atau salah dalam perspektif Islam. Peneliti juga tidak akan mendudukkan fenomena Jamaah Tabligh sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan politik, pertahanan dan keamanan. Peneliti tidak bermaksud menghasilkan suatu kesimpulan yang menyatakan Jamaah Tabligh terlibat atau tidak terlibat dalam jaringan terorisme global. Penelitian ini merupakan kajian yang bersifat akademik dengan tujuan pengembangan keilmuan terutama teori yang peneliti gunakan, yaitu interaksionisme simbolik.


(6)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Jamaah Tabligh memaknai konsep dakwah dan realitas sosial (objek) lain yang melingkupinya?

Realitas sosial (objek) yang dimaksud adalah meliputi objek fisik (masjid, pakaian dll), objek sosial (jamaah, amir dll) dan objek abstrak (iman, sunnah dll). Ini menarik bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana Jamaah Tabligh memaknai konsep-konsep tersebut. Karena pada prakteknya konsep-konsep tersebut diaplikasikan oleh Jamaah Tabligh cukup unik di tengah-tengah gerakan Islam lainnya.

2. Bagaimana makna-makna tersebut terbangun?

Yaitu dari mana dan bagaimana cara meaning construction dalam Jamaah Tabligh terbentuk

3. Bilamana dan bagaimana Jamaah Tabligh mempertahankan atau

memodifikasi makna-makna realitas sosial yang mereka bangun?

Suatu makna yang telah diterima bersama biasanya cenderung bertahan. Namun pada kondisi tertentu tidak menutup kemungkinan makna tersebut akan dinegosiasikan ulang sehingga memunculkan tindakan yang berbeda.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana Jamaah Tabligh memaknai objek atau realitas sosial mereka sehingga tindakan, perilaku dan aktivitas yang mereka lakukan terlihat unik dibandingkan gerakan Islam yang lain.

2. Mengetahui proses terbentuknya meaning contruction dalam Jamaah Tabligh.

3. Mengetahui kondisi atau syarat apa saja yang mendukung Jamaah Tabligh mempertahankan atau mempertimbangkan ulang makna yang telah dibangun.