Sifat mekanik dan struktur mikro paduan cu-sn bahan genta dengan metode investment casting.


,,
) 2 334


  

    
  0 . 
- . ) "' 



 
 "
#


  

& 

#"##
 ' 
#"#
'
!
#"#
 '  #"#
 '$#"#


 & /

 
 

 


 


 
 !
)
#
*+#"## 
 
"
#
$
#

%
 #"#"
"& 

,$
-

&
"'

'"

!""%#"

  ##
$




#"%#'

&'
#


##"
(
&#


"#
     

 0 .  " #  $  . %1 
 %&+
     
        
  
     ! "
" #  $  . %1  %&+


   
    " #  $ 
 . %1 
%&'
 ( "
 " ' ( )*'  +







KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmatNya acara Konferensi Engineering Perhotelan IV (KNEP-IV) bisa
terselenggara dengan sukses pada tanggal 27-28 Juni 2013 di Bali. KNEP-IV ini
diselenggarakan oleh jurusan Teknik Mesin Universitas Udayana dalam rangkaian
kegiatan BKFT ke 48 dan Dies Natalis ke 51 Universitas Udayana, didukung oleh
Badan Kerjasama Teknik Mesin (BKSTM) seluruh Indonesia.
KNEP IV – 2013 ini merupakan forum untuk mendiskusikan dan
mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian terkini engineering dalam konteks
perhotelan; dan topik-topik pendukung lain dalam lingkup Teknik Mesin. Disamping
itu untuk meningkatkan kerja sama dengan organisasi profesi engineering perhotelan.
Hasil yang dihapakan adalah meningkatnya mutu riset-riset yang akan dilakukan,
meningkatnya daya kompetisi untuk mendapatkan grant penelitian, hubungan yang
baik inter akademisi dan antara akademisi dengan praktisi.
Konferensi ini mengangkat beberapa Grup topik yang meliputi:
1. Engineering perhotelan (EP): manajemen dan optimasi energi, manajemen

air, AC dan Chiller, pompa, perpipaan, maintenance, elektrikal, sistem
pengamanan, boiler, building service, bangunan hemat energi, dll.
2. Konversi energi (KE): Perpindahan panas, mekanika fluida, termodinamika,
sumber energi alternatif.
3. Teknik dan manajemen manufaktur (TMM): proses permesinan,
pembentukan, fabrikasi, sistem manufaktur, CAD-CAM, otomasi industri,
sistem pengontrolan.
4. Teknologi, pengujian dan pengembangan material (TPPM): Korosi,
pengelasan, pengecoran, polimer dan komposit, analisis kegagalan.
5. Bidang umum (BU): pendidikan Teknik Mesin, metode pengajaran, kebijakan
energi, pengelolaan dampak lingkungan.
Adapun jumlah artikel yang dipresentasikan dalam konferensi ini adalah
sebanyak 87 makalah yang mencakup ke lima topik di atas.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Keynote speaker, para akademisi,
peneliti, praktisi dan professional di bidang perhotelan yang telah mengirimkan
artikelnya, serta semua pihak yang meliputi panitia pengarah, panitia pelaksana,
scientific committee dan sponsor yang telah terlibat dan membantu terselenggaranya
kegiatan ini dengan sukses.

Denpasar, Bali 28 Juni 2013


Dr. Ir. IKG Sugita, M.T.
Ketua Panitia




DAFTAR ISI
ii
iii

Kata Pengantar
Daftar Isi
Makalah KNEP IV - 2013

iii
Grup Engineering Perhotelan




,   5    &    # 6&
   2 .$ &!# /
"   


3
/     7 5&   5 869:      
&;          8#: 2 
 
# 

 




Grup konversi energi




!              2 "(
#1'
"$#-
+&




      
 " #  /    3-"
'!
"
# $
 1 #"(#-&



  1                #?%
4 2 5 6
5 #" 

# 1



3
$        !      ;  2 "8


@
,    $  /      9;   , ;  A &5
89,A: 2 ' '
#1'!" 



*
               1 55        2







-
     5             
 2 &&"
 (#"! &

#"

1
!#1
"&!8


)
,                  
     &    8 1 &  15 B: 3 !
&!
#"
1



C
/     &           2
.&










0



/2


4/


47


22


27


92


9:


0:


;7




9     0 B        !   2 "8



 
 ! ,   $ 3 #   $   (  A  ! 5 
6 ( $ 2 ,$




,        2 "   #!  


3
,       &       
5 2 ! "  !$


@
A   9 &   0  $  / ,  ' (

#   6 #   $  , 
 5  5 
  2 $
#
=






*
/&   ;          5 5   1 5
 5 ; 5  3  ,$' !# #&) 


-
       /&          5 . $
# "&!'

# 



)
,      2     1 B 2 -
"
#"



C

         1  85 :    
   55 !   ! 31! 
8'#-
=

# !
*
 



 !  
      1     2 
& 
# 

"$  '  "



/      &       5 1      2
' $#' ' '
$# '




#   5  5      5     ;      
  2  "
 # 
$



,&            !  !    2   '"

#
 "
 


3
  (  ( (! "  / ,    (      
! 
# > # 
 /'

  >!   & 2 %"!
 #
)
# '


1



7/


7:


:


//0


/42


/4:


/27


/90


/02


/;/



@
     ,         5 ,  
$  >  5 3 '# "
 #1' ,
(


*

5  / >      B  $& " 2  
$# 
 #- "'
#"&!'



-
,   ;      2 !"((
# '"%
(#

!-! 


)
1 ,   ( 
8,
 D  /$
  : 2  '" #5 

Grup Teknik dan Manajemen Manufaktur
#$$
6    5            ,  #  $ ;
( 3'


#$$
       !  &   2 - & #%! 
 #!

 #'
* 

#$$
/  !           !  
  ,E 5 + 2 ' $#"

#$$3
/ , 
  6 $ 
 
&
   2  '
-
' ' #"

#$$*
     (  (   
   9   / 

( ( 2  2 "
 '
 #-"'



#$$-

! #         (      8$:        2 '
!
 29:



Grup Teknologi, Pengujian dan Pengembangan Material
#$
    7 5    * '*3' *C          
   !         2 8 &+


#$
/       !   &         
 31!! 88  
-!


#$
             5      
     >  (  $    2 &
#

#  5

#$3

             5  ! 
&     ; 1 2 " !
&#"85=8
# 1

#$@
/    !        ! /,#$ /@     
    2 2 )' ='

#$*
                    
2     ! ,$ 33@ 2   
 




#$-
   5       8 & : ;    5 8>: 
    5            5 0) 2
!! *
&&# $# -
%
!

#$)
/ "2    /0
#%6 ,&  2  
5


#$C
/ $5      $  #   5
 =
$  ( ( (  ( 
 6  2 
 !
$


#$
,    5  5     55   2 ,
 (
 
#


#$
   ' 1   ;        /(,
    & 2 ! .
# !#"'



#$
    / 
 # , 
 2 1'
$
#-"'

#1


"






1




200


2;/


2;:


277


2: 
        !      2  '$


'
 # ' ''  "

(%3
        !         
;    !    ? ' 
   

'

(%@
  !  $     ,      >   $  2 
' ' "$


Jadwal Lengkap KNEP IV - 2013







B



042


04:


020


092


09:



000


0;/


0;0


07/


077


@








Sifat mekanik dan struktur mikro paduan cu-sn bahan genta dengan metode
investment casting
I Made Gatot Karohika, I Nym Gde Antara
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Udayana
Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Indonesia
E-mail: [email protected]

Abstract
Bell is one of important tool that used by Hindu priest in performing Hinduism ceremonys in Bali. Making
of bell in Bali is mainly focused in Klungkung district, the process is done traditionally with investment
casting method. This causes bell that are made can not be quality ascertained because there are
parameter which is difficult to control such as the alloy composition, preheating temperature and the mold
material. Since there is no research about that problem, the writer was interested carrying out a research
with topic " The Influence Of Mold Material And Preheating Temperature Toward Bronze Mechanical
properties And Microstructure At Bell-Making Process With Investment Casting Method". Research is
carried out with making specimen from bronze material that usually used by bell crafter generally with
composition 80%Cu-20%Sn, with method investment casting and then by varying the mold material which
is clay (traditional method) and gypsum ( modern method) and temperature variation of preheating that is
310 °C, 410 °C and 510 °C. Every specimen is photographed its microstructure to observe what kind of
phases formed and then continued with Vicker's hardness test to get the hardness value of each
specimen. Result of research shows the increase of preheating temperature will tend to increasing the
hardness. Lowest hardness obtained at clay mold with preheating temperature 310 °C which is 98 HVN
whereas highest hardness obtained at gypsum mold with preheating temperature 410 °C which is 290 HVN.
observation of microstructure indicates that increase of preheating temperature made the grain phase of
α+δ eutectoid which determine the hardness of bronze tends to be jagged-thin form and the porosity
formed tends to be less often compared to lower preheating temperature.
Key word: Bell bronze, Investment Casting, Preheating temperature, Hardness, Microstructure

1. Latar Belakang
Genta merupakan salah satu prasarana yang sangat penting dalam melaksanakan upacara-upacara agama
Hindu. Genta biasanya digunakan oleh para pemuka agama (Pendeta, Pemangku) Hindu di Bali. Mengingat
fungsinya yang penting, memiliki genta merupakan suatu keharusan bagi para pemuka agama Hindu di Bali,
walau biaya yang harus dikeluarkan relatif mahal untuk mendapatkannya. Harga genta menjadi mahal
disebabkan karena proses pembuatannya terbilang susah, memerlukan tingkat ketelitian dan kesabaran tinggi
serta pengalaman yang cukup, selain itu kemungkinan genta gagal dan rusak dalam proses pembuatan cukup
tinggi.
Proses pembuatan genta di Bali berpusat di Kabupaten Klungkung dan oleh pengerajin masih dikerjakan
secara tradisional dengan metode lost-wax casting atau investment casting. Pertama-tama, genta dibuat pola
lilinnya dengan tangan dari bahan lilin lebah, kemudian tanah liat sebagai bahan cetakan (investment)
dibungkuskan pada pola lilin dan dibiarkan mengering lalu dipanaskan untuk mencairkan dan mengeluarkan lilin
sehingga menyisakan rongga cetak didalam cetakan tanah liat. Scrap perunggu jenis bell metal dari gamelan dan
gong yang telah rusak, umumnya dengan perbandingan 80%Cu dan 20%Sn dicairkan dengan tungku sederhana
lalu dituangkan ke dalam cetakan tanah liat yang sebelumnya telah mendapatkan preheating. Setelah dibiarkan
mendingin dan membeku, cetakan tanah dihancurkan untuk mengeluarkan genta yang telah selesai dicor.
Proses pembuatan cetakan serta penuangan perunggu cair dalam proses pembuatan genta di Bali masih
dilakukan secara manual dan sederhana. Karena prosesnya yang masih terbilang tradisional maka ada beberapa
parameter yang cukup sulit di kontrol, misalnya komposisi paduannya, temperatur pencairan logam, bahan dan
komposisi cetakan yang digunakan, pemanasan awal cetakan dan sebagainya, akibatnya sifat mekanik dari
produk genta yang dihasilkan tidak seragam dan belum bisa dipastikan kualitasnya.
Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa pengrajin genta, permasalahan yang umum terjadi pada genta
adalah rendahnya sifat mekanik dari genta yang dihasilkan sehingga sering muncul retak permukaan dan jika
terjatuh akan mengakibatkan genta mudah pecah. Retak permukaan yang sering muncul pada genta sangat
berhubungan dengan kondisi permukaan, kekerasan permukaan dan struktur mikro dari hasil pengecoran
perunggu, kondisi permukaan yang kasar, banyak terdapat porositas serta struktur mikro yang tidak homogen
dapat menyebabkan keausan yang secara signifikan akan mengurangi kekerasan dan ketangguhan genta. Pada
investment casting, kondisi permukaan hasil coran sangat dipengaruhi oleh jenis lilin untuk pola awal, jenis dan
komposisi bahan cetakan (investment), suhu penuangan, pemanasan awal cetakan dan laju pendinginan.

Prosiding Konferensi Nasional Engineering Hotel IV, Universitas Udayana, Bali, 27-28 Juni 2013

441


Gambar 1.1 Genta yang mengalami retak
Kurangnya akses informasi mengenai investment casting di kalangan pengrajin genta tradisional Bali
mengakibatkan terbatasnya pengetahuan tentang perkembangan terbaru teknologi investment casting, salah
satunya tentang bahan cetakan. Dari hasil wawancara, pengrajin genta tradisional hanya mengenal dan memakai
satu jenis bahan untuk membuat cetakan yakni tanah liat.
Pengrajin genta di Bali mendapatkan tanah liat yaitu diambil langsung dari alam, sehingga dikhawatirkan
komposisi dan ukuran butirnya tidak seragam karena tercampur unsur-unsur lain, hal ini tentunya akan
mempengaruhi kondisi permukaan genta yang dihasilkan sehingga sifat mekanis khususnya kekerasannya
menjadi tidak optimal. Gipsum merupakan bahan cetakan yang saat ini paling banyak dipakai untuk investment
casting, karena ukuran butirnya seragam serta ketahanan suhu tinggi yang baik, sehingga memungkinkan
dihasilkannya genta dengan kondisi permukaan yang lebih baik dan kekerasan yang optimal.
Dari kenyataan diatas, penulis ingin memperkenalkan gipsum sebagai alternatif lain bahan cetakan dan
meneliti lebih lanjut tentang sifat mekanik perunggu yang digunakan oleh pengrajin genta di Bali terhadap genta
yang dihasilkan khususnya kekerasan dan struktur mikro akibat bahan cetakan dihubungkan dengan salah satu
parameter investment casting yaitu suhu preheating cetakan.
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui berapa besar pengaruh bahan cetakan (investment) terhadap kekerasan dan struktur mikro
perunggu (80%Cu-20%Sn) sebagai bahan baku genta yang digunakan oleh pengrajin genta di daerah Klungkung,
Bali.
2.
Mengetahui berapa besar pengaruh pemanasan awal (preheating) cetakan terhadap kekerasan dan
struktur mikro perunggu (80%Cu-20%Sn) sebagai bahan baku genta yang digunakan oleh pengrajin genta di
daerah Klungkung, Bali.
2. METODE
2.1 Variabel Penelitian
Adapun variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
·
Variabel bebas, meliputi:
Bahan cetakan (investment)
Suhu pemanasan awal cetakan
·
Variabel terikat, meliputi:
Kekerasan perunggu
Struktur mikro perunggu
2.2 Lingkup Penelitian
1. Komposisi paduan perunggu yang digunakan sesuai dengan yang digunakan oleh pengrajin yakni
perunggu (80%Cu – 20%Sn).
2. Bahan cetakan investment yang digunakan adalah tanah liat seperti yang digunakan oleh pengrajin dan
gipsum sebagai bahan pembanding yang dipilih oleh penulis.
3. Variasi suhu pemanasan awal cetakan investment yakni 310 °C, 410 °C dan 510 °C
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil pengujian kekerasan Vickers tiap spesimen ditampilkan pada tabel berikut:

Prosiding KNEP IV 2013



ISSN 2338 - 414X

442



Tabel 3.1 Data Hasil Pengujian Kekerasan Vickers pada Spesimen Perunggu Berdasarkan Bahan Cetakan dan
Suhu Preheating
Spesimen Perunggu
Bahan
Cetakan

Suhu
Preheating

Tanah Liat

Gipsum

Rata-rata nilai
kekerasan
Vickers
(HVN5/10)

310 °C

98

410 °C

150

510 °C

196

310 °C

102

410 °C

290

510 °C

230


Tabel data pengujian kekerasan kemudian diplot pada grafik berikut:

HVN (Kgf/mm²)

350

Grafik nilai kekerasan vs. suhu
pemanasan awal
290

300

230

250

196

200
150

150
98 102

Cetakan
tanah liat
Cetakan
gipsum

100
50
0
310 °C

410 °C

510 °C

Suhu pemanasan awal

Gambar 3.1 Grafik nilai kekerasan vs. suhu pemanasan awal
3.1. Pengamatan Foto Struktur Mikro
1. Spesimen A1 (Cetakan tanah liat; suhu pemanasan awal 310 °C)
Fase α

4GVCM
Fase α+δ eutektoid

2QTQUKVC
U

Gambar 3.2 Spesimen A1
Terlihat jelas fase α mengalami pengintian (coring), begitu juga fase α+δ eutektoid yang berjumlah sedikit dengan
ukuran kecil dan bentuk cenderung membulat.Jumlah porositas relatif banyak dan ukuran cukup besar, sebagian
besar terbentuk pada batas butir (interdendritic porosity) dimana pada butir ini adalah tempat terbentuknya fase
α+δ eutektoid, retak juga terlihat menjalar antar porositas.
2. Spesimen A2 (Cetakan tanah liat; suhu pemanasan awal 410 °C)

Prosiding Konferensi Nasional Engineering Hotel IV, Universitas Udayana, Bali, 27-28 Juni 2013

443


Gambar 3.3 Spesimen A2

Gambar 3.4. spesimen A3

Pengintian fase utama α tidak terlihat begitu jelas, pada fase α+δ eutektoid yang terlihat jelas mengalami
pengintian. Fase pengisi α+δ eutektoid beberapa mempunyai bentuk yang lebih pipih memanjang dan cenderung
bergerigi pada pinggirannya menyerupai dendrit, dan beberapa lainnya masih berbentuk membulat.Distribusi
porositas terlihat acak dan sedikit berkurang daripada spesimen A1.
3. Spesimen A3 (Cetakan tanah liat; suhu pemanasan awal 510 °C)
Semakin banyak fase α+δ eutektoid yang berbentuk pipih dan bergerigi, pengintian juga terlihat pada fase
ini.Porositas yang terbentuk lebih sedikit serta bentuknya yang cenderung bulat daripada kedua spesimen
sebelumnya yang lebih memanjang walaupun demikian masih terbilang besar ukurannya.
4. Spesimen B1 (Cetakan gipsum; suhu pemanasan awal 310 °C)

Gambar 3.5 Spesimen B1-perbesaran 400 X

Gambar3.6 Spesimen B2-perbesaran 400 X

Fase-fase penyusun seperti fase α terlihat mengalami pengintian walau terlihat samar-samar, begitu pula
pada fase α+δ eutektoid yang jumlahnya bisa dibilang sedikit dengan bentuk umumnya membulat. Porositas yang
terbentuk pun terbilang jarang walau ukurannya cukup besar, kemunculan retak dapat terlihat pada foto struktur
mikro diatas, menjalar melalui batas butir letak fase eutektoid ke porositas disekitarnya (intercrystalline crack).
5. Spesimen B2 (Cetakan gipsum; suhu pemanasan awal 410 °C)
Pada specimen B2 terlihat dengan jelas bentuk fase α+δ eutektoid didominasi oleh bentuk pipih bergerigi dengan
jumlah cukup besar, pengintian juga terlihat pada fase ini.Retak pada batas butir muncul di beberapa bagian,
porositas yang terbentuk relatif jarang jika dibandingkan spesimen-spesimen sebelumnya, bentuknya pun lebih
kecil dan membulat.
6. Spesimen B3 (Cetakan gipsum; suhu pemanasan awal 510 °C)

Gambar 3.7 Spesimen B3-perbesaran 400 X
Fase α+δ eutektoid pada specimen terakhir ini umumnya berbentuk bulat dengan ukuran relatif kecil
dibanding spesimen-spesimen lainnya, bentuknya tidak terlalu beda satu sama lainnya, namun masih dapat
dijumpai beberapa fase α+δ eutektoid yang berbentuk pipih. Porositas tersebar di beberapa tempat, bentuk
didominasi membulat, beberapa memang terlihat lebih besar dibanding yang lainnya tapi umumnya berukuran
seragam.

Prosiding KNEP IV 2013



ISSN 2338 - 414X

444



3.2 Pembahasan
Struktur mikro tiap specimen menunjukkan terjadinya pengintian (coring) dimana kondisi ini lumrah terjadi
paduan Cu-Sn dan paduan binary lain yang mempunyai perbedaan titik cair yang jauh berbeda. Tembaga
mempunyai titik cair 1083 °C dan Sn titik cairnya 232 °C, ketika terjadi pendinginan dari perunggu cair dan mulai
solidifikasi oleh segregasi dendrit, lengan dendrit pertama yang terbentuk akan kaya dengan Cu, karena Cu lebih
dahulu memadat, sedang lengan dendrit terluar akan kaya akan Sn. Hal ini menyebabkan terjadinya gradien
komposisional dari bagian dalam lengan dendrit ke permukaan luarnya.
Setelah dendrit membeku (faseα), cairan pada batas butir atau saluran interdendrit kemudian membeku dan
membentuk fase baru yaitu fase α+δ eutektoid (  ).Fase α (fase yang kaya Cu) mempunyai penampilan
terang kecuali pada bagian yang dekat dengan faseα+δ eutektoid berwarna biru terang pada bagian interdendritik
yang mengalami pengintian.Pada proses investment casting dimana sebelum penuangan perunggu cair, cetakan
mendapatkan pemanasan awal, menyebabkan pendinginan yang terjadi lambat dan penampakan dendrit hampir
tak terlihat. Struktur yang terbentuk merupakan butir yang kasarnya dapat dikatakan hexagonal, dengan orientasi
arah acak dan umumnya berukuran sama hasil pertumbuhan dendrit yang berkembang dan bertemu satu sama
lain.
Bentuk dan ukuran butir baik fase α maupun fase α+δ eutektoid sangat dipengaruhi oleh laju pendinginan. Teknik
cetakan modern, seperti halnya gipsum melepaskan panas lebih cepat dibanding cetakan tanah liat pada
metode tradisional sejak jaman dulu.Hal ini tentunya menjadikan butir pada struktur mikro perunggu yang
dihasilkan cetakan gipsum lebih kecil dibanding cetakan tanah liat.Semakin tinggi laju pendinginan semakin kecil
butir fase α, sebaliknya semakin banyak area batas butir yang terisi fase α+δ eutektoid sehingga kekerasan
material yang dihasilkan semakin tinggi.
Laju pendinginan gipsum lebih tinggi dikarenakan gipsum mempunyai komposisi dan bentuk ukuran butir
seragam sehingga laju pendinginanya merata ke segala arah, dibanding tanah liat yang menggunakan tanah
yang didapatkan dari alam, sehingga komposisi dan bentuk ukuran butirnya tidak seragam, terlebih cetakan
tanah liat menggunakan 2 jenis tanah yang berbeda, tanah liat pada bagian dalam dan tanah merah pada bagian
luar, sehingga besar kemungkinan laju pendinginanya berbeda-beda di tiap tempat. Namun perlu diketahui
kekerasan tidak hanya dipengaruhi laju pendinginan, tetapi juga oleh porositas yang terjadi pada perunggu,
bahkan fase α+δ eutektoid yang terbentuk pun dapat dipengaruhi oleh porositas ini.
Porositas adalah salah satu karakteristik dari benda coran, berupa lubang-lubang kecil yang terbentuk akibat
terdapat gelembung gas hidrogen pada logam cair yang tidak sempat terbebaskan pada saat logam cair
membeku, letak porositas dapat menyebar atau berkumpul didaerah tertentu, semisal pada batas butir. Porositas
yang terbentuk juga sangat dipengaruhi oleh laju pendinginan, jika laju pendinginan tinggi maka porositas yang
terbentuk berukuran lebih kecil namun berjumlah banyak, sedang jika laju pendinginan lambat, porositas yang
terbentuk berukuran besar namun jarang. Spesimen cetakan tanah liat yang pertama yaitu A1 dengan suhu
preheating 310 °C mempunyai kekerasan terendah yaitu 98 HVN dimana spesimen ini mempunyai tingkat
porositas terbesar, terlebih pada batas butir yang seharusnya merupakan tempat terbentuknya fase α+δ eutektoid
yang menentukan kekerasan perunggu, dibeberapa bagian juga ditemukan retak (hot cracks) yang diduga
disebabkan oleh kontraksi perunggu cair selama solidifikasi, retak ini dapat menurunkan kekerasan perunggu dan
pada genta, kemunculan retak dapat menyebabkan genta yang dihasilkan tidak akan berbunyi ketika diketuk.
Bentuk fase α+δ eutektoid pada spesimen A1 yang berbentuk membulat juga turut berpengaruh, bentuk fase α+δ
eutektoid yang cenderung pipih dan bergerigi lebih bersifat getas dibanding yang berbentuk cenderung
membulat.Bandingkan dengan nilai kekerasan yang meningkat pada spesimen A2 dan A3 dengan suhu
preheating 410 °C dan 510 °C, masing-masing bernilai 150 HVN dan 196 HVN, dimana keduanya mempunyai
tingkat porositas yang lebih jarang dan bentuk fase α+δ eutektoid yang lebih didominasi bentuk pipih dan
bergerigi.
Pada kelompok spesimen dengan cetakan gipsum, spesimen B1 mempunyai kekerasan 102 HVN pada
suhu preheating 310 °C, porositas yang muncul paling banyak dan besar ukurannya jika dibandingkan dengan
specimen gipsum yang lainnamun lebih jarang jika dibandingkan dengan spesimen A1, fase α+δ eutektoid yang
terbentuk tidak jauh berbeda dengan spesimen A1. Spesimen B2 dengan suhu preheating 410 °C menunjukkan
peningkatan nilai kekerasan yang sangat signifikan yaitu sebesar 290 HVN.Hal ini wajar jika melihat besarnya
jumlah fase α+δ eutektoid berbentuk pipih bergerigi yang terbentuk sedang porositasnya terbilang sedikit. Tidak
demikian halnya dengan spesimen B3 dengan suhu preheating paling tinggi yaitu 510 °C yang nilai kekerasannya
malah menurun yaitu 230 HVN, jika dilihat dari foto struktur mikronya hal ini disebabkan karena bentuk fase α+δ
eutektoid yang berbentuk lebih didominasi bentuk membulat yang berukuran kecil, walaupun berjumlah banyak
namun sifatnya tidak segetas fase α+δ eutektoid yang berbentuk pipih dan bergerigi.Selain itu karena suhu
preheating-nya yang paling tinggi sehingga pendinginanya lambat, hal ini menyebabkan butir fase α yang bersifat
ulet mempunyai waktu lebih banyak untuk tumbuh dan memenuhi sebagian besar area sehingga kekerasan pada
spesimen ini menurun.
Dari kenyataan diatas dapat dianalisa bahwa tidak selalu laju pendinginan yang tinggi (suhu prehating rendah)
pasti menghasilkan nilai kekerasan yang lebih tinggi daripada laju pendinginan rendah (suhu preheating tinggi),
karena kekerasan perunggu juga sangat dipengaruhi oleh kemunculan porositas dan retak, dan hal ini tidak bisa
diabaikan. Spesimen A1 misalnya, mempunyai laju pendinginan paling tinggi namun kekerasannya lebih rendah
dibanding spesimen A2 dan A3 yang laju pendinginanya lebih rendah, dikarenakan porositas pada spesimen A1
lebih banyak dibanding spesimen A2 dan A3.
Pada cetakan gipsum, kekerasan meningkat drastis dari spesimen B1 ke B2 namun menurun pada spesimen B3
sedang suhu preheating-nya meningkat terus, penulis belum mendapatkan referensi yang mendukung untuk
menjelaskan hal ini, namun diduga hal ini disebabkan karena ketika mencapai suhu preheating diatas400 °C,

Prosiding Konferensi Nasional Engineering Hotel IV, Universitas Udayana, Bali, 27-28 Juni 2013

445


oksigen menjadi sangat reaktif dan menyebabkan gipsum teroksidasisehingga beberapa bagian cetakan gipsum
menjadi rusak, misalnya mengalamikeretakan ataupun gipsum ikut terbakarpada saat penuangan perunggu cair
kemudian membentuk kerak pada spesimen perunggu selama pendinginan, sehingga laju pendinginan perunggu
cair menjadi terganggu.

Gambar 3.8 Gipsum yang terbakar menjadi kerak pada spesimen B3
Hal ini sejalan jika dibandingkan dengan penelitian (Jiann, 2005) yang juga menggunakan cetakan gipsum dan
suhu preheating cetakan 400 °C, dimana nilai kekerasan hasil coran yang mulanya menurun tiba-tiba meningkat
drastis. Pada penelitiannya (Jiann, 2005) menduga hal ini disebabkan pada cetakan gipsumdengan hasil
coranyang nilai kekerasannya meningkat drastis mengalami kerusakan berupa retak, sehingga pendinginannya
lebih cepat. Kerusakan serupa tidak dialami oleh cetakan tanah liat karena tanah liat mempunyai ketahanan
panas yang lebih tinggi daripada gipsum, tanah liat tahan sampai suhu 2050 °C sedang gipsum hanya tahan
sampai suhu 1450 °C.
Dari hasil wawancara penulis dengan kedua pengrajin yang berpengalaman lebih dari 20 tahun di bidang
pengecoran, tempat penulis melaksanakan penelitian, menuturkan dari pengalamannya, ada suatu kondisi
dimana ketika suhu preheatingcetakan dinaikkan terus, kekerasan perunggu pun terus meningkat sampai pada
suatu nilaioptimal tertentu, namun jika suhu preheating cetakkan dinaikkan lagi justru akan menurunkan
kekerasan perunggu yang dihasilkan.Terlepas dari benar tidaknya teori yang dikemukakan oleh kedua pengrajin
diatas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait masalah tersebut.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan pengujian kekerasan Vickers pada pengecoran bahan perunggu genta yang digunakan oleh
pengrajin genta di daerah Klungkung, Bali dengan memvariasikan suhu preheating dan bahan cetakan
menunjukkan semakin tinggi suhu preheating, kekerasan perunggu yang dihasilkan cenderung meningkat.
Kekerasan perunggu yang dibuat dengan cetakan gipsum mempunyai nilai kekerasan lebih tinggi dibanding
perunggu yang dibuat dengan cetakan tanah liat. Nilai kekerasan terendah yaitu 98 HVN pada spesimen A1
dengan cetakan tanah liat pada suhu preheating 310 °C, terus meningkat pada spesimen A2 dan A3 pada
suhu preheating 410 °C dan 510 °C masing-masing dengan nilai kekerasan 150 HVN dan 196 HVN. Nilai
kekerasan tertinggi yaitu 290 HVN pada spesimen B2 dengan cetakan gipsum pada suhu preheating 410 °C,
spesimen B1 pada preheating 310 °C dengan nilai kekerasan 102 HVN, sementara spesimen B3 pada suhu
preheating 510 °C terjadi penurunan nilai kekerasan menjadi 230 HVN.penurunan nilai kekerasan disebabkan
oleh beberapa faktor misalnya kemunculan porositas dan retak serta terganggunya laju pendinginan akibat
gipsum yang teroksidasi pada suhu preheating melebihi suhu 400 °C.
2. Pengamatan struktur mikro menunjukkan, semakin tinggi suhu preheating, fase α+δ eutektoid yang terbentuk
cenderung meningkat dan berbentuk pipih bergerigi sehingga nilai kekerasannya cenderung meningkat
dibanding spesimen dengan fase α+δ eutektoid dengan jumlah sedikit dan bentuk membulat. Semakin tinggi
suhu preheating, jumlah porositas yang terbentuk menjadi jarang dan berukuran lebih besar. Pada cetakan
tanah liat jumlah porositas cenderung lebih banyak dan ukurannya pun lebih besar dibanding porositas pada
cetakan gipsum, sedang fase α+δ eutektoid yang terbentuk, pada cetakan gipsum cenderung didominasi oleh
bentuk pipih bergerigi dan ukurannya relatif lebih besar dibanding pada cetakan tanah liat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada Universitas Udayana yang telah membiayai Penelitian ini melalui hibah
Dosen Muda 2013.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]
Audy, J. and Audy, K., (2009), Effects of microstructure and Chemical Composition on Strenghth and
Impact Toughness of Tin Bronzes, MM Science Journal, Vol. 303, page. 125-130
[2]
Bayne, Stephen C., 2009, Cast and Die Stone (Gypsum Products) Slides, Departement of Operative
Dentistry, School of Dentistry, University of North Carolina, NC, USA
th
[3]
Braddy, George S., Clauser, Henry R., Vaccari, John A., (2002), Material Handbooks, 15 Edition,
McGraw-Hill, United States
[4]
Chacko, Tilly, 12 September 2009, “The Bell Metal Industry”, (Articlebase, free online article directory), url:
http://www.articlesbase.com/entrepreneurship-articles/the-bell-metal-industry-1223194.html, Diakses: 5
November 2009
[5]
Cooper.org, 2010, “Microstrutures – An Overview”, (Cooper Development Association), url:
http://www.copper.org/resources/properties/microstructure/homepage.html, Diakses: 16 Pebruari 2010
[6]
Harvey, Hank, 2009, “Investment Casting FAQs”, (Metal Casting Design Digital Magazine), url:
http://www.metalcastingdesign.com/content/view/397/212/, Diakses: 26 Oktober 2009
[7]
Hasan, S., Omar, B. Bin, Thamizhmnaii, S., (2008), Surface Roughness Investigation and Hardness by

Prosiding KNEP IV 2013



ISSN 2338 - 414X

446



[8]

[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]

[15]

Burnishing on Titanium Alloy, JAMME, Volume 8, Issue 2, page. 139-142
Jiann, Phuan Yoong, (2005), Fe Evaluation Of Thermal Property Of Mould Wall Material For Investment
Casting And The Effect Of Layers On The Hardness Of The Casting Product, Skripsi Fakulti Kejuruteraan
Mekanikal Universiti Teknologi Malaysia
Leco, 2009, Metallography Principles and Procedures, Leco Corporation, 3000 Lakeview Avenue, St.
Joseph, MI, USA
Rupp, Andreas, (2006), Ringing Bells – State of the Art in the Durability Evaluation, of Church Bells,
LAVEK, University of Applied Sciences Kempten, Germany
Saito, S. dan Surdia, T., (2000), Pengetahuan Bahan Teknik, edisi kelima, Pradnya Paramita, Jakarta
Scott, David A., (1991), Metallography and Microstructure of Ancient and Historic Metals, Tien Wah Press,
Ltd., Singapore
nd
Westcott, Wendell, (1998), The Musical Bell, 2 Edition, G.P. Putnam, New York
Wmtr, (2009), “ASTM E 92 Standard Test Method for Vickers Hardness of Metallic Materials”,
(Westmoreland Mechanical Testing & Research, Inc.), url: http://www.wmtr.com/Content/ASTME92.htm,
Diakses: 17 Pebruari 2010
Wmtr, (2009), “ASTM E 384 Standard Test Method for Microindentation Hardness of Materials”,
(Westmoreland Mechanical Testing & Research, Inc.), url: http://www.wmtr.com/Content/ASTME384.htm,
Diakses: 17 Pebruari 2010






























Prosiding Konferensi Nasional Engineering Hotel IV, Universitas Udayana, Bali, 27-28 Juni 2013

447






Prosiding KNEP IV 2013



ISSN 2338 - 414X

448