Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Mahasiswa UKSW terhadap Makna Indonesia: Studi Iklan Televisi Partai Persatuan Indonesia versi “Siapakah Indonesia?” T1 362012017 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keterlibatan etnis Tionghoa dalam politik Indonesia dewasa ini bukanlah
hal yang baru bagi masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Mandagie (2009: 24)
setelah tahun 1999 yang mana merupakan awal era reformasi, iklim politik bagi
etnis Tionghoa di Indonesia lebih kondusif. Hal tersebut terbukti dengan
meningkatnya partisipasi etnis Tionghoa dalam politik jika dibandingkan dengan
pada masa Orde Baru, tercatat pada pemilu legislatif tahun 2004 terdapat lebih
dari seratus calon legislatif beretnis Tionghoa yang tersebar di beberapa partai
politik. Bahkan hingga saat ini, beberapa tokoh politik beretnis Tionghoa telah
sukses menduduki jabatan kepala daerah. Hal tersebut sangat kontras jika
dibandingkan pada masa Orde Baru di mana etnis Tionghoa terasingkan dari
dunia politik.
Meskipun sudah cukup banyak etnis Tionghoa yang terjun ke dunia
politik namun perjalanan mereka tak sepenuhnya mulus. Identitas etnis Tionghoa
yang notabene merupakan etnis minoritas nonpribumi seakan masih menjadi
masalah bagi mereka untuk berkiprah di bidang politik. Sebut saja Basuki
Tjahaja Purnama atau yang lebih akrab disapa Ahok merupakan salah satu tokoh
politik Indonesia beretnis Tionghoa. Track record Ahok dalam kancah politik
terbilang cemerlang hingga kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta

menggantikan Jokowi yang naik ke kursi presiden Republik Indonesia. Namun
kenyataannya, pada masa sebelum dikukuhkan sebagai Gubernur Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta pun Ahok banyak mengalami penolakan dari kalangan
masyarakat. Salah satunya dari Front Pembela Islam (FPI). Ahok yang berasal

dari etnis Tionghoa dan beragama non muslim dianggap tidak pantas memimpin
Jakarta yang mayoritas penduduknya Muslim 1.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2015 lalu 2 pun
mengungkapkan bahwa penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinan
nasional dari etnis minoritas dan perempuan memang tergolong masih rendah.
Riset kualitatif LSI menemukan tiga alasan yang melatari masih rendahnya
penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional etnis minoritas dan
perempuan. Pertama, bagi publik pemimpin nasional lebih dianggap sebagai
representasi dari mayoritas publik yang aktif di politik yang umumnya memang
muslim, lelaki, dan pribumi. Kedua, perkembangan kesadaran publik selalu lebih
lambat dibandingkan perkembangan hukum nasional. Hukum nasional
kemungkinan pemimpin nasional itu bukan lelaki, bukan muslim dan bukan asli
pribumi. Hukum nasional dirumuskan oleh elit yang umumnya lebih terbuka
dibandingkan massa. Sementara pemilih Indonesia didominasi massa. Ketiga,
masih dominannya doktrin dan interpretasi agama yang lebih pro kepada lelaki

untuk menjadi pemimpin, dan beragama yang sama. Etnis minoritas terutama
etnis Tionghoa mayoritas diketahui beragama non muslim.
Penolakan terhadap etnis Tionghoa nampaknya memang belum
sepenuhnya bisa diatasi. Penggolongan pribumi dan non-pribumi yang mendarah
daging sejak jaman kolonial menjadi dinding pemisah bagi etnis Tionghoa di
Indonesia. Meskipun pada masa sekarang etnis Tionghoa tampaknya sudah
diterima di lingkungan masyarakat, namun etnis Tionghoa masih dianggap
sebagai orang asing, bukan Indonesia asli. Hal ini mengingat asal-usul etnis
Tionghoa yang berasal dari negeri Cina sehingga keberadaan etnis Tionghoa di
Indonesia dinilai sebatas administratif saja, bahwa benar etnis Tionghoa
1

Diah
Utami,
“Dari
Kapitan
China
Batavia
ke
Ahok”

(online),
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141119142512-20-12519/dari-kapitan-china-batavia-keahok/
2
Kinoy Jackson, “Survei LSI, Etnis Minoritas Masih Sulit Jadi Pimpinan Nasional” (online),
http://dekandidat.com/2015/03/27/survei-lsi-etnis-minoritas-masih-sulit-jadi-pimpinan-nasional/

2

mendapatkan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) namun bukan
sebagai bangsa Indonesia. Konsep bangsa Indonesia yang kaku (rigid), yaitu,
konsep pribumi, selalu menjadi rintangan besar untuk terintegrasinya orang
Tionghoa, terutama yang peranakan, ke dalam wadah bangsa Indonesia
(Suryadinata, 2010: 187).
Padahal dengan membatasi identitas etnis Tionghoa sedemikian dapat
menghalangi mereka untuk menggali potensinya guna membangun Indonesia.
Terkait hal itu, Soebagjo dalam Hidayat (2008: 599) berpendapat, untuk
menemukan kembali masa depan bangsa Indonesia, kita perlu menentukan
konsep nasionalisme seperti apa yang ingin kita bangun bersama untuk
menghadapi masa depan yang semakin kompleks. Pun menurut Suryadinata
(2010: 187), salah satu kunci dari penyelesaian “masalah Tionghoa” 3 terletak

pada konsep bangsa Indonesia. Menurut David Brown dalam Hidayat (2008:
599) bangsa-bangsa dengan kebhinnekaan etnis menghadapi ketegangan antara
tiga bentuk nasionalisme: etnokultural, civic, dan multikultural. Nasionalisme
etnokultural menawarkan visi suatu komunitas yang terikat bersama oleh
kepercayaan pada asal-usul bersama dan persamaan etnokultural. Nasionalisme
civic menawarkan suatu komunitas yang terdiri dari warga negara dengan
persamaan hak, sedangkan nasionalisme multikultural mengangankan suatu
komunitas yang menghargai dan mempromosikan otonomi budaya dan
persamaan status antarkelompok-kelompok etnis yang berbeda.

3

Masalah Tionghoa merujuk pada permasalahan keminoritasan etnis Tionghoa di Indonesia dan
adanya dinding pemisah antara etnis Tionghoa dengan pribumi. Masalah Tionghoa di Indonesia
berakar dari politik devide et impera yang diterapkan Belanda pada masa penjajahannya. Pada masa
itu, etnis Tionghoa dipisahkan dari pribumi dan diberikan privilege untuk menguasai sektor
perniagaan. Hal itu dilakukan untuk mencegah bersatunya etnis Tionghoa dengan pribumi melawan
penjajahan Belanda. Hal serupa terjadi pada masa Orde Baru, sehingga terciptalah kesenjangan antara
etnis Tionghoa dan pribumi, khususnya dalam bidang ekonomi yang menimbulkan kecemburuan
sosial. Pada masa itu pula, etnis Tionghoa yang merupakan pendatang dari Cina dikaitkan dengan

berkembangnya paham komunisme di Indonesia. Dari situlah sentimen anti-Tionghoa berkembang
hingga memuncak pada tragedi 1998.

3

Persoalan ini dijawab oleh Perindo melalui iklannya bertajuk “Siapakah
Indonesia?”. Lewat iklan berdurasi 60 detik ini Perindo mencoba merumuskan
kembali siapakah sesungguhnya yang disebut Indonesia. Iklan tersebut diawali
dengan lead audio yang mempertanyakan “Siapakah Indonesia?”. Sesaat
kemudian bermunculan gambar orang-orang dengan menggunakan pakaian serta
aksesoris yang menunjukkan identitas etnis dibarengi dengan kalimat “Apakah
mereka yang dilahirkan dari orang Jawa, Dayak, Papua atau lebih dari 300 suku
lainnya?”. Setelah itu, pertanyaan “Siapakah Indonesia?” diulang, kali ini
dilanjutkan dengan menampikan sosok yang menggunakan atribut tokoh-tokoh
enam agama yang diakui di Indonesia dengan dibarengi kalimat “Apakah mereka
yang beragama Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, dan aliran
kepercayaan lainnya?”. Pertanyaan “Siapakah Indonesia?” kembali diulang,
namun kali ini dilanjutkan dengan menampilkan kelas sosial ekonomi di
Indonesia dibarengi kalimat “Apakah mereka yang berpenghasilan milyaran atau
mereka yang hanya mampu menafkahi hidup mereka hari demi hari?”. Pada

akhirnya pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan kalimat “Bukan itu
semua! Indonesia adalah mereka yang tulus hati mencintai negeri ini. Mereka
yang tulus berjuang, bertindak secara nyata, menyejahterakan Indonesia”. Pada
saat kalimat tersebut diucapkan, iklan menayangkan gambar Hary Tanoesoedibjo
(HT) sedang berjalan di tengah-tengah rakyat kecil. Iklan kemudian ditutup
dengan menampilkan logo Perindo disertai akun twitter, website, serta facebook
resmi Perindo dengan diiringi narasi “Perindo untuk Indonesia sejahtera”.
Tak hanya menyuguhkan konsep Indonesia, iklan tersebut juga secara
tidak langsung merupakan bentuk personal branding HT. Iklan tersebut
berupaya menghubungkan konsep kebangsaan Indonesia yang ideal dengan HT,
yang notabene berlatarbelakangkan minoritas ganda, dari segi agama dan etnis.
Menilik pada “masalah Tionghoa”, iklan ini seolah berusaha menjadi jawaban
atas permasalahan tersebut. Secara tidak langsung iklan ini membawa pesan
keinginan HT untuk diakui sebagai Indonesia dan mengubah paradigma
4

masyarakat mengenai konsep kebangsaan Indonesia yang tanpa memandang
etnisitas maupun agama.
Melalui penelitian ini, peneliti ingin menggali lebih dalam bagaimana
persepsi mahasiswa terhadap konsep kebangsaan Indonesia yang disuguhkan

Perindo. Peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan mahasiswa UKSW
mengenai konsep kebangsaan Indonesia dalam iklan tersebut serta bagaimana
kaitannya dengan identitas etnisitasnya.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana persepsi mahasiswa UKSW terhadap makna Indonesia dalam
iklan Partai Perindo versi Siapakah Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian
Menggambarkan bagaimana persepsi mahasiswa UKSW terhadap makna
Indonesia dalam iklan Partai Perindo versi Siapakah Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran
dalam bidang komunikasi politik khususnya mengenai persepsi
audiens terhadap muatan ideologi dalam iklan politik.
1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
mengenai

bagaimana

konsep

kebangsaan

Indonesia

yang

dipersepsikan oleh mahasiswa UKSW. Selain itu dapat dijadikan
acuan bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian dalam
bidang ilmu dan tema yang serupa.

5

1.5. Batasan Penelitian

Penelitian ini akan terfokus pada bagaimana persepsi mahasiswa UKSW
terhadap makna Indonesia dalam iklan Partai Perindo. Penelitian ini dilakukan
dengan mengacu pada konsep persepsi dalam konteks Ilmu Komunikasi.

6

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Mahasiswa UKSW terhadap Makna Indonesia: Studi Iklan Televisi Partai Persatuan Indonesia versi “Siapakah Indonesia?” T1 362012017 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Mahasiswa UKSW terhadap Makna Indonesia: Studi Iklan Televisi Partai Persatuan Indonesia versi “Siapakah Indonesia?” T1 362012017 BAB IV

2 5 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Mahasiswa UKSW terhadap Makna Indonesia: Studi Iklan Televisi Partai Persatuan Indonesia versi “Siapakah Indonesia?” T1 362012017 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Mahasiswa UKSW terhadap Makna Indonesia: Studi Iklan Televisi Partai Persatuan Indonesia versi “Siapakah Indonesia?”

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Mahasiswa UKSW terhadap Makna Indonesia: Studi Iklan Televisi Partai Persatuan Indonesia versi “Siapakah Indonesia?”

0 0 80

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Iklan Berkaitan dengan Etika Pariwara Indonesia (Analisis Semiotika Iklan XL dan Iklan As) T1 362007012 BAB I

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Citra Iklan Televisi M-150 Versi “Everybody Can Be A Hero" T1 362007003 BAB I

0 0 9

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Galery Foto Event UKSW T1 BAB I

0 0 4

T1__BAB VI Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekerasan Simbolik dalam Iklan Televisi: Studi Semiotika Pesan Iklan Politik Partai Golkar dan Partai Nasdem dalam Pemilu DPR 2014 T1 BAB VI

0 0 3

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekerasan Simbolik dalam Iklan Televisi: Studi Semiotika Pesan Iklan Politik Partai Golkar dan Partai Nasdem dalam Pemilu DPR 2014 T1 BAB I

0 0 7