Pengertian and macam macam Euthanasia

Pengertian & macam-macam Euthanasia

Labels: Ilmu Kebidanan
Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu arrahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan
penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut
perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah
(Utomo, 2003:176).
Macam-macam Euthanasia
Euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang
luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan
akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis)


yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus (Utomo, 2003:178).
Contoh
euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan
dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,
yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis
masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi
(Utomo, 2003:176).
Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah
dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan
dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).

Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam
praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter
terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan
pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik
kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak
pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di

segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif.
A. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan.
Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah
SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif.
Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS AlBaqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan),
qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat
(tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS AlBaqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam
keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika
dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000
dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai
35.700

gram

perak

(1

dirham

=

2,975

gram


perak)

(Al-Maliki,

1990:

113).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat
penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan
Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa

pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada
pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut
Syariah

Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (attadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu
hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,

seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat,
sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas
(wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul
Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada
dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Haditshadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan
(epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga.
Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu
berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering
tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.”
Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan

hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi
(qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya,

hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam
hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah,
apakah

dokter

berhak

mencabutnya

dari

pasien

yag

telah

kritis


keadaannya?

Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si
pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti
menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat
bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib.
Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi
pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat
mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak
berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada
pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat
dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum,
1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika

pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (AlHakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).

Beberapa Aspek Euthanasia

 Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai
pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga
dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk
mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat
yang belum diketahui pengobatannya.
 Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru
dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum
euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung
seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari

segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
 Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan
medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara
ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak
diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya

dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
 Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia
ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.
Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia,
apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan
kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat
dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Aspek lain dari
pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa
menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi
penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak
akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya
medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. 1[10] tapi Selain itu
G. Euthanasia Dipandang Dari Aspek Hukum Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari
ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat
pada pasal 344 KUHP.
 Pasal 344 KUHP

1

barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini
perlu diketahui oleh dokter.
 Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati
atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.

 Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang,
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan
selama-lamanya satu tahun.
 Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk
membunuh

diri,

menolongnya

dalam

perbuatan

itu,

atau

memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun penjara.

Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan
euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang
memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat
dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara
selama-lamanya empat tahun penjara.2[11]

2

PRO EUTANASIA
#PRO EUTHANASIA PASIF bagi seorang yang memang
menderita penyakit yang sudah tidak bisa disembuhkan
dengan jalan apapun. Euthanasia merupakan istilah
untuk pertolongan medis agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan
meninggal dunia diperingan. Juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya karena
penyakit yang dideritanya berkemungkinan besar untuk
tidak dapat disembuhkan.
#Pro Menurut Rasa kasian
prinsip yang menjadi pedoman adalah pendapat bahwa
manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi,
tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan
pasien. Selain itu dengan melihat kondisi penderitaan
yang sangat menyiksa dan memang ia tidak dapat
sembuh yang akhirnya kematian menjadi jalan yang
dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan
penderitaan tanpa harapan karena sudah lelah hidup
monoton hanya begitu saja dan tak berdaya.
#Pro menurut hak asasi
Setiap manusia memiliki pilihan yang bebas sebagai hak
asasi, termasuk hak untuk hidup maupun atau mati. Jika
pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta
agar penderitaannya segera diakhiri. Euthanasia hanya
sekadar mempercepat kematiannya, sehingga

memungkinkan pasien mengalami “kematian yang baik”
tanpa penderitaan yang lama. Alasan lain adalah cara
lega ketika kualitas hidup seseorang rendah,
membebaskan dana medis untuk membantu orang lain,
dan kasus lain dari kebebasan memilih.
#Pro Eutanasia Pasif
SETUJU dengan eutanasia yang diajukan oleh
keluarganya. Tentunya keluarga yang melakukan
pengajuan eutanasia pastinya mempunyai pertimbangan
dan alasan yang kuat hingga tega melakukan eutanasia.
Pertimbangan faktor kemanusiaan, faktor kasih sayang
dan faktor ekonomi kemungkinan besar mendasari
diputuskannya eutanasia. Jadi menurut saya eutanasia itu
bisa dilaksanakan atau tidak, tergantung kasus yang
terjadi, jika seseorang tersebut sudah tidak ada harapan
hidup seperti pepatah “hidup segan mati tak mampu”
maka untuk mengakhiri penderitaannya akan lebih
baiknya jika dia lebih baik mati.
Jika euthanasia tidak ada seakan-akan orang yang sakit
hanya bisa merasakan sakit dan mebiarkan penyakitnya
semakin membuatnya sakit dan lama-lama organ yang
ada didalam tubuhnya rusak dan memberikan efek sakit
yang luarbiasa. maka eutanasialah solusi yang lebih baik
daripada harus memperpanjang penderitaan pasien tsb
Bukan tidak menghargai hidup yang diberikan tuhan
kepada hambanya, ini merupakan salah satu bentuk
usaha terbaik guna mempermudah skaratul maut misal
jika dia dipasangi dengan berbagai alat seperti pacu
jantung, alat bantu pernafasan, alat pengejut jantung,

membayangkan saja rasanya begitu sakit , Bukan tidak
menyukuri kehidupan yang diberikan, lalu apakah kualitas
hidup seperti ini yang harus dipertahankan.
#Pro Faktor Ekonomi
Faktor lain yang menyebabkan PANTASNYA EUTANASIA
DILAKUKAN adalah karena faktor ekonomi, Untuk
keluarga yang kaya raya tentunya berapapaun uangnya
tak apalah, namun untuk kalangan rakyat biasa harus
“ngoyo” dalam membiayai perawatan intensiv sedangkan
kebutuhan yang lain guna kelangsungan hidup keluarga
yang lain terbatas bahkan kurang. Jika hanya sehari dua
hari masih bisa diupayakan dengan meminjam sana-sini
namun sampaikapan hal ini akan berlanjut seperti ini?
Tentunya saat menentukan harus meng-euthanasia orang
telah dipikirkan secara global, jangka panjang atau
masadepan,memang Tidak dapat diselamatkan.
Alasan pro euthanasia adalah sebagai berikut :
1.

Rasa kasihan (mercy killing)

2.

Faktor ekonomi

3.

Faktor sosial

4.

Pasien siap mati wajar

5.

Mati batang otak

6.

Pasien menolak semua tindakan medis

7.

Tindakan medis tidak menolong lagi

8. Setujuh asal dilakukan dinegara yang melegalkan
Euthanasia.
Faktor-Faktor Euthanasia
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberlakuan Euthanasia
1.
Rasa sakit yang tidak tertahankan
- Pro :
Melihat salah satu anggota keluarganya menderita
penyakit ganas yang tidak kunjung sembuh merupakan
kepedihan. Mereka tidak tega melihat pasien tersebut
tersiksa dengan rasa sakitnya. Oleh karena itu, mereka
menyetujui untuk melakukan euthanasia.
2.
Manusia memiliki hak untuk mati secara bermartabat
- Pro :
Manusia telah menjalani proses kehidupan yang begitu
panjang dan begitu banyak pengalaman. Manusia melalui
jalan kehidupannya karena pilihannya sendiri di
awal kehidupannya sehingga manusia pula yang akan
memilih
jalan
kehidupannya
untuk
mengakhiri
hidupnya. Merupakan hak manusia untuk memilih tetap
hidup atau mengakhiri kehidupannya dengan damai,
tanpa rasa sakit.
3.
Ketidakmampuan dalam pembiayaan pengobatan
- Pro :
Biaya pengobatan tidak tergolong murah, apalagi jika
pasien menderita
penyakit parah dan harus rawat inap di rumah sakit.
Karena dana tidak cukup untuk menutup semua
biaya,akhirnya pasien memutuskan untuk melakukan
euthanasia.
4.
Keadaan seseorang yang tidak berbeda dengan orang
mati
- Pro :

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. James
Dubois dari Universitas SaintLouis dan Tracy Schmidt dari
Intermountain Donor Service, sekitar 84% dari seluruh
warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang
dapat dikatakan mati apabila yang membuatnya
tetap bernafas adalah obat-obatan dan mesin medis. Hal
ini menjadi alasan beberapa orang untuk melakukan
euthanasia. Mereka berpikir bahwa seseorang yang
hanya bernafas karena bantuan mesin tersebut sudah
tidak menunjukkan adanya suatu interaksi dengan orang
lain atau respons dan secara kebetulan bisa bernafas
karena kecanggihan dari penerapan teknologi saja
sehingga tidak ada salahnya untuk melakukan euthanasia
karena pada dasarnya orang tersebut sudah mati
sehingga dengan kata lain kita tidak mencabut nyawa
seseorang.
dalam islam euthanasia pasif dianggap sebagai tidakan
mengakhiri hidup dengan tidak mempergunakan alat-alat
atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si
sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan.
Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak
berguna lagi dan tidak memberikan harapan apa-apa
kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum
sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan
hukum sebab-akibat. Secara medis, orang yang seperti
ini sudah tidak mungkin sembuh dan jika dia hidup maka
itu hanya akan menyiksa dirinya mengingat tubuhnya
sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dan satu-satunya
alasan yang membuat dia masih hidup (tentunya setelah
izin Allah) adalah adanya alat bantu pernafasan yang
membuat dia masih bisa bernafas. Maka melihat
kenyataan seperti itu, si dokter melepaskan alat bantu
pernafasan tersebut sehingga akhirnya pasien meninggal

karena memang sudah tidak bisa bernafas. Yang menjadi
pedoman adalah dimana tidak ada kewajiban dalam islam
dalam hal memperoleh dan mencari pengobatan, apalagi
pengobatan yang memang tidak ada faedahnya,
sehingga euthanasia ini insyaallah tidak akan menyalahi
aturan agama islam. Seperti yang dilakukan oleh Dr. Jack
Kevorkian yang dikenal sebagai “doctor death”

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

The correlation intelligence quatient (IQ) and studenst achievement in learning english : a correlational study on tenth grade of man 19 jakarta

0 57 61

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22