Penentuan Kandungan Residu Pestisida Organofosfat Pada Jeruk Secara Kromatografi Gas

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida
Pada umumnya pengertian pestisida sangatlah luas sekali karena meliputi
produk-produk yang digunakan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan,
peternakan/kesehatan hewan, perikanan, dan kesehatan masyarakat. Dalam
pembahasan kali ini akan dijelaskan tentang pestisida yang digunakan dalam
bidang pertanian (termasuk kehutanan dan perkebunan), lebih khusus lagi
pestisida-pestisida yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu
tanaman/tumbuhan (OPT).
Pestisida (Inggris: pesticide) secara harfiah pestisida berarti pembunuh
hama (pest: hama; cide: membunuh). Menurut pasal 1 (a) Peraturan Pemerintah
Republik indonesia Nomor 7 tahun 1937 tentang Pengawasan atas Peredaran,
Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida; Pestisida adalah semua zat kimia atau
bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang
merusak tanaman,bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian
2. Memberantas rerumputan
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian

tanaman tidak termasuk pupuk
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan
ternak

Universitas Sumatera Utara

6. Memberantas atau mencegah hama-hama air
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang atau jasad-jasad renik
dalam rumah tangga,bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman,tanah atau air (Djojosumatro,2000).
Penggunaan racun yang tidak tepat tentu dapat menimbulkan hal – hal yang
tidak diinginkan, seperti seperti jasad pengganggu yang akan diberantas tidak mati
karena salah jenis pestisida yang digunakan. Oleh sebab itu sebelum
menggunakan pestisida, harus dipilih jenis dan merek dagang pestisida yang
sesuai dengan hama dan penyakit tanaman, formulasi yang sesuai dengan
peralatan yang tersedia, alat apa yang digunakan, bagaimana menggunakan
pestisida


secara efektif dan efisien, dan bagaimana cara mengaplikasikan

pestisida tersebut untuk memberantas jasad pengganggu.
Memilih bentuk atau formulasi pestisida juga sangat penting dalam
penggunaan pestisida. Formulasi pestisida yang bagaimana yang harus kita pilih,
apakah cairan, butiran, atau bentuk lainnya. Kalau dilihat dari bahaya pelayangan
di udara, pestisida berbentuk butiran paling sedikit kemungkinannya untuk
melayang. Pestisida yang bebentuk cairan, bahaya pelampung. Disamping itu
pertimbangan lain dalam memilih formulasi pestisida adalah alat yang akan
digunakan untuk menyebarkan pestisida tersebut (Widianto,1999)
Penggelompokan pestisida menurut jenis organisme pengganggu tanaman
(OPT) sasaranya (Djojosumatro,2000), dapat dilihat pada Tabel 2.1

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1: Penggelompokan Pestisida Menurut Jenis OPT Sasaranya
Pestisida

OPT sasaran


Contoh

Insektisida

Hama : serangga

Diafentiuron,karbofuran,metidation,
Profenofos,sipermetrin,siromazin

Akarisida

Hama : tungau

Akrinotrin,dikofol,heksatiazok

Molluskisida

Hama : siput

Metaldehida


Rodentisida

Hama : tikus

Brodifakum,kumaklor,klorofasinon,
kumatetralil

Fungisida

Penyakit : jamur

difenokonazol,maneb,mankozeb,
melalaksil,thiram,ziram

Bakterisida

Penyakit : bakteri

Nematisida


Penyakit: nematoda etrefos,natrium metham,

Herbisida

Gulma (tumbuhan

oksamil 2,4-D,atrazin,ametrin,

Penggangu)

bromasil,butaklor,diuron,glifosat,

oksitetrasiklin,streptomisin,tetrasiklin

piperofos,sianazin,sinosulfuron
Sumber : Djojosumatro (2000)
2.1.2 Insektisida
Salah satu contoh dar pestisida adalah insektisida, Insektisida juga dapat meracuni
dan membahayakan makhluk hidup lainnya, yang meliputi serangga bermanfaat

(benefical insect), hewan peliharaan dan manusia.
Secara umum, insektisida adalah bahan kimia beracun yang dapat
digunakan untuk mengendalikan dan membasmi serangga hama yang menyerang
tanaman dan membahayakan kesehatan manusia (Hasibuhuan,2015).

Universitas Sumatera Utara

Dilihat dari cara kerjanya,insektisida dibedakan atas peracun fisik,
peracun protoplasma,dan peracun pernapasan:
a) Insektisida peracun fisik akan menyebabkan dehidrasi,yaitu keluarnya
cairan tubuh dari dalam tubuh serangga
b) Insektisida peracun protoplasma dapat mengendapkan protein dalam tubuh
serangga
c) Insektisida peracun pernapasan dapat menghambat aktifitas enzim
pernapasan (Wudianto,1997).
Insektisida terdiri dari beberapa golongan yaitu, (1) golongan benzoilurea,
(2) golongan karbamat, (3) golongan organoklorin, (4) golongan organofosfat, dan
(5) golongan piretroid. Sebagian besar golongan benzoilurea merupakan
insektisida dengan atom fluor dan memiliki berat molekul tinggi, contoh:
diflubenzuron, heksabenzuron. Contoh insektisida golongan karbamat adalah

adicarb, karbaril, karbofuran.
Insektisida golongan organoklorin memiliki tiga karakteristik analog DDT,
isomer benzen heksaklorida (BHC), dan ikatan sikodiena, karena presistensi dan
toksisitasnya, sebagian besar organoklorin dilarang penggunaanya, contoh
golongan ini yaitu aldrin, dieldrin, metosiklor. Insektisida golongan organofosfat
adalah senyawa hidrokarbon yang terdiri dari satu atau lebih atom fosfor pada
molekulnya, contoh : diazinon, metidation, profenofos. Dan golongan piretroid
adalah

piretrin

sintetis,

contohnya

sipetmetrin,

deltametrin,

permentrin


(Tadeo,2008).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Insektisida Organofosfat
Insektisida organofosfat atau lebih dikenal senyawa OP pada saat inii hampir
mencapai lebih dari 50% dari yang terdaftar. OP adalah insektisida penghambat
cholinesterase dan bekerja melalui perut, racun kontak, sistematik atau
fumigasi.Spektrum dari insektisida ini bermacam-macam seperti Parathion dan
TEPP berspektrum luas, sedangkan Malathion dan Ronel merupakan insektisida
selektif. Senyawa OP berupa aril atau alifatik (Baehaki, 1993).
Insektisida organofosfat dikembangkan di jerman pada masa Perang Dunia
II sebagai pengganti insektisida nikotin yang saat itu merupakan insektisida
pertama

untuk

pengendalian


kumbang

kentang

colorado

(leptinotarsa

decemlineata). Penemuan sifat insektisida dari kelompok organofosfat berkaitan
erat dengan penelitian jenis-jenis gas syaraf seperti sarin, soman, dan tabun
(Sudarsono,2015).
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Insektisida
organofosfat adalah insektisida yang mengandung unsur fosfat, dihasilkan dari
asam fosforik, dikenal sebagai insektisida yang paling toksik diantara jenis
insektisida organik sintetik lainnya dan juga yang paling sering menyebabkan
keracunan pada manusia. Indikator yang digunakan untuk menilai efek peracunan
insektisida adalah nilai LD 50 (Lethal Dose) 50% yang menunjukkan banyaknya
binatang-uji. Dalam aplikasinya, nilai LD 50 dapat dibagi menjadi : LD50 akut oral
(termakan) dan LD 50 akut dermal (terserap kulit). Nilai LD 50 yang tinggi (diatas
1000) menunjukkan pestisida bersangkutan tidak begitu berbahaya bagi manusia.

Namun sebaliknya, nilai LD 50 yang rendah (dibawah 100) menunjukkan bahwa
insektisida tersebut sangat beracun terhadap mamalia. Nilai LD50 akut oral

Universitas Sumatera Utara

(termakan) dan LD 50 akut dermal (terserap kulit) insektisida organophosfat dapat
dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Toksisitas Insektisida Organofosfat Terhadap (mg/kg of body weight)
Secara Oral Maupun Dermal
Nama Umum

Rat oral LD 50

Rabbit dermal LD 50

(mg/kg of body weight)

(mg/kg of body weight)

Acephate


1,030 - 1,447

>10,250

Azinphos-methyl

4

150 – 200 (rat)

Chlorpyrifos

96 – 270

2,000

Diazinon

1,250

2,020

Dimethoate

235

400

Disulfoton

2 – 12

3.6 – 15.9

Ethoprop

61.5

2.4

Fenamiphos

10,6 – 24,8

71.5 – 75.7

Malathion

5,500

>2,000

Methamidophos

122

Methidathion

13 (female only) 25 – 44

200

Methyl parathion

6

45

Naled

191

360

Oxydemeton-methyl

50

1,350

Phorate

2–4

20 – 30 (guinea pig)

Phosmet

147 – 316

>4,640

Profenofos

358

Universitas Sumatera Utara

Organofosfat dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan tergantung
dari kombinasi unsur oksigen, karbon, sulfur, dan nitrogen. Namun, dalam
perkembangannya dan untuk lebih menyederhanakannya, insektisida organofosfat
dikelompokkan hanya menjadi 3 grup yaitu :
1. Derivat alifatik
2. Derivat fenil
3. Derivat heterosiklik (Hasibuhuan,2015)
2.1.3.1 Profenofos
Profenofos merupakan insektisida yang berspektrum luas sehingga dapat
mengendalikan berbagai jenis hama. Profenofos merupakan insektisida yang
berdaya racun sedang dengan nilai LD50 oral akut 358-502 mg/kg. Profenofos
bersifat insektisida dan akarisida. Insektisida profenofos telah dikembangkan
secara luas dan dipasarkan dengan berbagai merk dagang seperti : Prahar,
Romifos, Sanofos, Polycron, Selecron, cga 15324, Fornofos, Curacon. Rumus
kimia insektisida profenofos tertera pada gambar berikut (Hasibuhuan,2015).

Gambar 1. Rumus struktur Profenofos
Insektisida profenofos ini diaplikasikan pada tanaman kapas, mangga,
manggis, kubis, sayuran buah seperti tomat dan cabai, dan kacang. Di Indonesia,
profenofos pada umunya diaplikasikan pada cabai dan tomat. Profenofos pada

Universitas Sumatera Utara

cabai merah di Indonesia diaplikasikan dengan konsentrasi penyemprotan 0,0250,15 kg ai/hL dengan waktu aplikasi sesuai kebutuhan (Irie,2007).
Sifat-sifat kimia senyawa profenofos dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut :
Tabel 2.3 Sifat Fisika dan Kimia Senyawa Profenofos
Kriteria

Hasil

Kemurnian

Minimum 91,4%

Bentuk

Cair

Warna

Coklat terang

Bau

Bau

lemak,seperti

bawang

yang

dimasak
Kelarutan dalam pelarut organik n-heksan : larut sempurna
pada suhu 25oC

n-oktanol : larut sempurna
toluena : larut sempurna
etanol : larut sempurna
diklorometana : larut sempur na
etil asetat : larut sempurna
aseton : larut sempurna
metanol : larut sempurna

Sumber : Irie (2007)

2.1.3.2 Khlorpirifos
Bahan aktif khlorpirifos diperdagangkan sebagai

Drusban�

dan

Lorsban� . Bahan aktif ini mempunyai rumus bangun sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Rumus struktur Khlorpirifos

Khlorpirifos berupa kristal putih dikembangkan oleh Dow Chemical
Company 1996. Insektisida ini dipergunakan untuk mengendalikan Atherigona
exigua, spodoptera mauritia, Agromyza phaseoli, Agrotis sp, dan lain lain.
Formulasi yang diperdagangkan yaitu Drusban 20 EC mengandung 200 gr
khlorpirifos/l, Drusban 15/5E mengandung 150 gr khlorpirifos dan 50 gr BPMC/l
dan Basmidan 200EC mengandung 200 gr khlorpirifos/l.
Sifat-sifat fisik dan kimia senyawa khlorpirifos dapat dilihat pada Tabel
2.4 berikut :
Tabel 2.4 Sifat Fisika dan Kimia Senyawa Klorpirifos
Kriteria

Hasil

Kemurnian

Minimum 85 %

Bentuk

Butiran Kristal

Warna

Putih hingga kecoklatan

Bau

Merkaptan lembut

Kelarutan dalam pelarut organik dan Acetone >400 g/L
Dichloromethane >400 g/L
anorganik pada suhu 20oC
Ethyl Acetate >400 g/L
Methanol 250 g/100mL
Toluene >400 g/L
n-Hexane >400 g/L
Air 1.05 ppm (w/v)
Sumber : Irie (2007)

Universitas Sumatera Utara

2.1.3.3 Metidation
Metidation merupakan insektisida dan akarisida OP sebagai racun kntak.
Insektisida ini dikembangkan untuk mengendalikan Parlatoria proteus, aphis
tavaresii, empoasca sp, phaedonia inclusa, setora nitens, coccus viridis,
pseudococcus citri dan lain – lainnya. Formulasi yang diperdagangkan di
Indonesia yaitu Supracide 40EC mengandung 420 gr metidation/l.
Metidation ini berupa Cairan emulsi (emulsifiable concentrates/emulsible
concentrates) Pestisida yang berformulasi cairan emulsi meliputi pestisida yang di
belakang nama dagang diikuti oleb singkatan ES (emulsifiable solution), WSC
(water soluble concentrate). B (emulsifiable) dan S (solution). Biasanya di muka
singkatan tersebut tercantum angka yang menunjukkan besarnya persentase bahan
aktif. Bila angka tersebut lebih dari 90 persen berarti pestisida tersebut tergolong
murni. Komposisi pestisida cair biasanya terdiri dari tiga komponen, yaitu bahan
aktif, pelarut serta bahan perata. Pestisida golongan ini disebut bentuk cairan
emulsi karena berupa cairan pekat yang dapat dicampur dengan air dan akan
membentuk emulsi.
Metidation ini diperdagangkan sebagai Supracide dengan struktur kimia sebagai
berikut :

S
R= (C2H5O)2

P
O

Gambar 3. Rumus struktur Metidation

Universitas Sumatera Utara

Sifat-sifat fisik dan kimia senyawa metidation dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut
ini:
Tabel 2.5 Sifat fisika dan kimia Senyawa Metidation
Kriteria
Nama kimia
Kemurnian
Bentuk
Warna

Hasil
O,O-dimetil-S-(2-metoksi-1,3,4thiadiazol-5(4H)-onyl-(4)-metil)ditiopospat
minimum 95 %
Butiran Kristal bubuk
Putih

Bau
Titik lebur

Merkaptan lembut
39-40 0 C

Tekanan uap

1.0 x 10 −6 mm Hg pada 20 0 C

Massa jenis

1.495 g/cm 3 pada 20 0 C

Kelarutan

pada air 240 ppm = 0.024% pada 20 0
C,tidak larut pada metanol, aseton,
benzena
relatif stabil pada pH netral dan unsur
yang bersifat Asam lemah, tidak ada
perubahan selama 3 hari didalam
penyangga pospat atau dalam larutan HCl
0,01 N. Kestabilan pada unsur alkali
sangat rendah

Kestabilan

Sumber : Irien,2007
2.1.3.4 Fention
Bahan aktif fention diperdagangkan sebagai LebaycidR , Baytex, Entex,
Tiguvon, Mercaptophos, Queletox, dan Baycid. Yang memiliki struktur kimia
sebagai berikut :

Gambar 4. Rumus struktur Fention

Universitas Sumatera Utara

Fention adalah fosfat organik insektisida dan akarisida mempunyai aktivitas
residu yang panjang, merupakan racun perut dan racun kontak. Insektisida ini
berupa cairan tidak berwarna, bila digunakan menurut anjuran tidak menimbulkan
fitotoksik, zat ini dikembangkan oleh Bayer A.G. German tahun 1962. Insektisida
fention dapat digunakan untuk mengendalikan Helopeltis sp., plusia chalcites,
empoasca sp, ulat sinanangkeup paralebeda plagifera, dan lain – lain. Formulasi
yang diperdagangkan yaitu Lebaycid 550EC mengandung 540 gr fention/l dan
Lebaycid 1000ULV mengandung 1.011 gr fention/l.
Sifat fisik dan kimia senyawa fention dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut :
Tabel 2.6 Sifat fisik dan kimia fention
Kriteria

Hasil

Nama kimia
Rumus Kimia
Kemurnian
Bentuk
Warna

O,O-Dimethyl O-[3-methyl-4(methylsulfanyl)phenyl] phosphorothioate
C 10 H 15 O 3 PS 2
minimum 95-98%
Butiran Kristal bubuk
Putih

Bau
Kepadatan

Merkaptan lembut
1,25 g/cm³

Titik didih

87 °C (189 °F; 360 K) at 0.01 mmHg

Massa jenis

278.33 g/mol

Kelarutan

Kelarutan dalam minyak gliserida,
metanol, etanol, eter, aseton, dan sebagian
besar pelarut organik, hidrokarbon
terutama chlorinated

Sumber : Irie,2007

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Residu Pestisida
Masalah residu pestisida pada hasil pertanian merupakan isu penting dan
mendapat perhatian serius baik secara nasional maupun internasional. Bahan
pangan dapat menjadi tidak aman untuk dikonsumsi apabila tercemar oleh
pestisida terutama dengan adanya residu pestisida pada komoditas pangan.
Bahaya residu pestisida yang dapat membahayakan kesehatan konsumen meliputi:
timbulnya reaksi alergis, keracunan dan karsinogenik (Hasibuhuan,2015).
Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang
terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau
tanah (Deptan,2007). Beberapa yang mengidentifikasikan batas residu, digunakan
untuk memprediksi pemasukan residu pestisida. Batas maksimum residu (BMR)
adalah salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida (ditetapkan
dalam mg/kg) yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal
pada komoditas makanan dan daging hewan.
Apabila pelaksanaan pengujian residu pestisida mengikuti pedoman
tersebut secara tepat dan cermat, maka hasil pengujian yang diperoleh merupakan
hasil pengujian yang memiliki validitas dan reabilitas yang tinggi. Dengan
demikian keputusan diambil berdasarkan hasil pengujian tersebut akan merupakan
suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga
pelaksanaan SKB (Surat Keputusan Bersama) dari Menteri Kesehatan dan
Menteri Pertanian tersebut dapat berjalan dengan efekktif dan efisien. Data BMR
pestisida berdasarkan FAO dan WHO (2010) dan Deptan dapat dilihat pada Tabel
2.4 berikut ini :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.7 Batas Maksimum Residu Pestisida golongan organofosfat pada
Makanan

No Nama/Jenis Pestisida
1

2

3

4

Fention

Klorporipos

Metidation

Profenofos

Komoditas/Bahan
Makanan
Anggur

BMR (mg/kg)
0,5

Apel

2

Beras

0,1

Jeruk

2

Jus jeruk

0,2

Anggur

1

Apel

1

Beras

0,1

Jamur

0,05

Jeruk

1

Advokat

0,2

Anggur

0,2

Apel

0,5

Jagung

0,13

Jeruk

0,12

Tomat

10

Kentang

0,05

Cabai

5

Manggis

10

Jeruk

1

Sumber : FAO dan WHO (2010); Deptan (2009)
Selain BMR, Acceptable Daily Intake (ADI) atau batas yang dapat
diterima tubuh dalam sehari juga merupakan parameter internasional untuk

Universitas Sumatera Utara

dievaluasi. Berdasarkan FAO dan WHO, ADI untuk profenofos adalah 0-0,03
mg/kg berat badan (FAO dan WHO,2010)
2.1.5 Analisis Residu Pestisida dengan Menggunakan alat Kromatografi Gas
Cair atau Gas Liquid Chromatography (GLC)
Analisis residu pestisida dapat dilakukan dengan berbagai metode dan alat antara
lain Kromatografi Cair, Elektroporesis Kapiler, Metode Bioteknologi, dan
Kromatografi Gas, dimana dari semua metode yang disebutkan Kromatografi Gas
Cairan atau yang sering disebut dengan Gas Liquid Chromatography (GLC)
merupakan teknik penentuan yang paling sering digunakan untuk analisis
pestisida terutama pestisida golongan organofosfat. Dengan menggunakan
kromatografi gas, pestisida dapat dideteksi pada tingkat konsentrasi yang sangat
rendah dengan selektivitas yang tinggi, hal tersebut disebabkan oleh detektor
selektif GC seperti electron-capture detector (ECD), flame photometric detector
(FPD), dan nitrogen phosphorus detector (NPD). Metode ini cepat dan
menyediakan resolusi yang baik untuk penentuan residu multikomponen, dan
penggunaan dengan sensitivitas yang tinggi dan detektor yang spesifik, residu
diukur dengan perbandingan presisi dan akurasi yang tinggi (Mc Nair,1998).
Kromatografi gas (KG) merupakan teknik instrumental yang dikenalkan
pertama kali pada tahun 1950-an. KG merupakan metode yang dinamis untuk
pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa organik yang mudah menguap dan
senyawa-senyawa gas anorganik dalam suatu campuran. Perkembangan teknologi
yang signifikan dalam bidang elektronik, komputer, dan kolom telah
menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah serta indentifikasi senyawa menjadi
lebih akurat.

Universitas Sumatera Utara

Analisis dengan Kromatografi Gas Cair atau GLC tidak selalu mudah
untuk menghasilkan kromatogram yang baik. Banyak faktor yang harus dipilih
secara tepat, seperti pemilihan ase stasioner, penentuan suhu kolom dan kecepatan
aliran gas pembawa, disamping kecermatan preparasi sampel, pembuatan kolom
dan conditioningnya. Hal – hal yang seterusnya akan diuraikan dalam naskah ini
akan dapat dipakai untuk membantu memecahkan masalah – maslah yang
dihadapi dalam menoperasikan alat GLC.
2.1.6 Susunan Alat dan Cara Operasinya
Keuntungan penggunn GLC selain kecepatan dan variasi penggunaannya yang
luas, juga karena dengan cara ni hanya dibutuhkan jumlah sampel relatif snagat
kecil. Meskipun dengan sampel yang sangat kecil, komponen yang jumlahnya
banyak dalam bentuk kromatogram yang dapat memberikan informasi tidak hanya
kuantitasnya, tetapi jugab identitasnya. Selain berbeda dengan kromatografi lain,
kolom yang digunakan dalam GLC secara kontinyu dapat mengalami regenerasi,
sehingga praktis dapat digunakan dalam waktu yang tidak terbatas asalkan
persyaratan yang diminta selalu dapat dipenuhi.
Tidak seperti pada kromattografi cairan, kromatografi gas cairan
merupakan sistem yang tertutup. Komponen dasarnya terdiri dari tangki gas
pembawa, pengatur tekanan/aliran gas, injektor, kolom, detektor, oven pemanas,
amplifier, dan rekorder. Untuk masing – masing penjelasannya dapat diuraikan
sebagai berikut ini.
1. Gas Pembawa
Gas yang umum digunakan adalah Helium (He), Nitrogen, Hidrogen dan Argon.
Gas pembawa tersebut pada suhu dan tekanan yang normal tidak reaktif dan tidak

Universitas Sumatera Utara

berbahaya kecuali gas hidrogen yang mudah terbakar. Oleh karena itu, harus hati
– hati bila menggunakan hidrogen, terutama harus dijagag jangan sampai ada
kebocoran. Karena gas pembawa terssebut tidak reaktif, interaksi antara senyawa
– senyawa dalam sampel denga gas pembawa tidak terjadi.
Gas pembawa yang dipakai harus sesuai dengan jenis detektornya,
misalnya Thermal Conductivity Detector cocok bila digunakan gas Hidrogen dan
Helium. Selain itu gas pembawa juga harus mempunyai kemurnian yang tinggi,
karena kontaminasi dalam jumlah yang kecilpun dapat menyebakan noise pada
signal yang dikirimkan oleh detektor, sehingga dapat memberikan garis dasar
yang tidak baik/tidak lurus.
2. Injektor
Injektor yang digunakan sama seperti pada kromatografi yang lainnya, injektor
tersebut haruslah dipanaskan terlebih dahulu agar sampel yang berupa cairan
dapat menguap. Selain itu desain injektor harus sedemikian, sehingga sampel
yang telah menguap tersebut dapat langsung masuk kolom dengan perantaraan gas
pembawa. Pada beberapa alat, sampel tersebut dapat diinjeksikan langsung ke
dalam kolom (on column injection), terutama untuk menghindari kelemahan tadi.
Hal ini juga lebih disukai khususnya untuk sampel yang titik didihnya tidak terlalu
tinggi.
3. Kolom
Ada dua jenis kolom, yaitu kolom dengan isian (packed column) dan kolom pipa
terbuka (open tubular column). Kolom isian merupakan suatu pipa yang diisi
bahan penyangga padat yang permukaanya dilapisi dengan cairan (fase stasioner)
yang volatil. Berbeda dengan kolom isian, pada kolom pipa terbuka fase

Universitas Sumatera Utara

stasionernya melapisi permukaan dinding kolom. Oleh karena itu gas pembawa
dapat mengalir tanpa terjadi penurunan tekanan dan hal inilah yang
memungkinkan kolom jenis ini dapat dipakai lebih panjang. Panjang kolom isisan
biasanya hanya antara 0,7 sampai 2 m, sedangkan kolom pipa terbuka dapat
bervariasi antara 30 sampai 300 m.
4. Penyangga Padat
Zat padat penyangga (solid support) mempunyai fungsi agar fase cair atau fase
stasioner dapat terdistribusi dengan rata pada permukaan yang luas. Penyangga
padat tersebut harus tidak reaktif agar tidak terjadi adsorbsi pada senyawa –
senyawa yang dipisahkan. Selain itu harus mempunyai ukuran yang seragam,
tidak mudah pecah karena tekanan, tahan terhadap suhu tinggi, dan mempunyai
permukaan yang luas.
Penyangga padat umumnya dibuat dari tanah diatome, yang tersusun dari
senyaw silikat yang porous. Tanah diatome, yang tersusun dari senyaw silikat
yang porous. Penyangga padat yang dihasilkan dengan cara ini disebut
Chromosorb-P, karena warnanya jingga (pink). Bahan tersebut mempunyai
permukaan kira – kira 4 �2 /g dan masih aktif pada senyawa polar.

5. Fase Stasioner (Liquid Phase)

Fase cairan (Liquid phase) disebut juga fase stasioner. Pad waktu sekarnag fase
cairan yang terdapat dalam perdagangan banyak sekali. Hal ini menyebabkan
bertambahnya kemampuan GLC sebagai alat pemisah dan alat analisis. Pemisahan
fase caiiran biasanya didasarkna atas pedoman like dissolves like. Hal ini berarti
bahwa fase stasioner yang bersifat polar cocok untuk sampel yang bersifat polar
juga, demikian pula sebaliknya.

Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya fase stasioner yang nonpolar bersifat nonselektif. Hal ini
berarti bahwa bila tidak terdapat daya tarik menarik antara senyawa yang
dainalisis dengan fase stasioner, volatilitas senyawa tersebut terutama akan
ditentukan oleh tekanan uapnya. Sebaliknya dalam fase stasioner yanh bersifat
polar, volatilitasnya sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi antara senyawa
yang dianalisis dengan fase stasioner.
6. Detektor
Komponen zat – zat yang terrdapat dalam sampel yang telah dipisahkan oleh
kolom harus dapat di deteksi dan akhirnya digambarkan dalam bentuk
kromatogram. Mengingat bahwa masing – masing komponen tersebut dalam
konsentrasi yang sangat rendah dalam gas pembawa, detektor harus mempunyai
kepekaan yang sangat tinggi.
Berdasarkan jenis respon yang diberikan, detektor dapat digolongkan
menjadi detektor integral dan detektor diferensial. Pada detektor integral besarnya
signal bersifat kumulatif, sedangkan pada detektor diferensial besarnya signal
bersifat individual dari masing – masing komponen senyawa yang melalui
detektor tersebut.
Detektor dapat juga dibedakan menjadi detektor yang bersifat destruktif,
bila senyawa yang dideteksi menjadi rusak seperti Flame Ionization Detektor
(FID). Sebaliknya senyawa tersebut tidak rusak pada waktu dideteksi seperrti pada
thermal conductivity detektor (TCD) sehingga masih dapat diteliti lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Jeruk
Jeruk merupakan buah unggulan yang memiliki berbagai jenis. Di
Indonesia, ada tiga jenis jeruk unggul yang dikomersialkan, yaitu jeruk besar
(citrus maxima Merr), jeruk keprok, dan jeruk siem (Citrus nobilis var
microcarpa). Dari ketiga jenis tersebut telah dihasilkan banyak varietas jeruk
keunggulan yang mampu menyaingi jeruk impor. Hingga kini, ada 41 varietas
jeruk

yang

sudah

dilepas

oleh

pemerintah

melalui

Mentri

Pertanian

RI.(Agromedia,2011).

2.2.1 Sejarah Perkembangan Jeruk
Tanaman jeruk (Citrus sp. ) adalah tanaman tahunan berasal dari Asia
Tenggara, terutama Cina. Sejak ratusan tahun yang lampau, tanaman ini sudah
terdapat di Indonesia, sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman di
pekarangan. Di Indonesia jeruk merupakan komoditas buah-buahan terpenting
ketiga setelah pisang dan mangga bila dilihat dari luas pertanaman dan jumlah
produksi per tahun (Soelarno,1996).

2.2.1.1 Klasifikasi dan Kualitas/Kandungan Gizi

Dalam sistem klasifikasi, tanaman jeruk manis dapat digolongkan sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Universitas Sumatera Utara

Sub divisio

: Angiospermae

Clasis

: Dicotyledoneae

Ordo

: Rutales

Famili

: Rutaceae

Genus

: Citrus

Spesies

: Citrus sp. (Soelarno,1996)

Varietas jeruk pada umumnya haruslah memiliki standar pemakaian yang
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Para konsumen pasti akan memilih varietas
buah jeruk yang bebas penyakit dan memiliki kandungan gizi yang baik serta
memiliki harga yang terjangkau.

Kandungan gizi dari varietas jeruk itu sendiri dapat dilihat dari
karakteristik jeruk pada umumnya, yaitu berdasarkan sifat fisik buah (ukuran,
warna dan rasa) dan sifat kimia (kandungan gula total, kandungan asam dan
vitamin C). Beberapa sifat fisik dan sifat kimia dapat dilihat pada Tabel 2.8 dan
tabel 2.9.
Sifat fisik buah varietas jeruk pada saat dipetik sangat erat hubungannya
dengan kualitas buah sementara karakteristik buah varietas jeruk pada saat dipetik
itu sangat erat hubungannya dengan kandungan giji buah. Untuk sifat fisiknya
dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut dibawah ini :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.8 Sifat fisik buah varietas jeruk pada saat dipetik (physical
characteristic of each variety atticking time).

Ukuran
Tebal
Berat / (Cm)
kulit
buah (gr) Ø Tinggi
(mm)

Jumlah
Juring

JumUmur
lah
(mgg)
biji

Warna
dag.
Buah

Batu 55

110,62

5,9

5,6

2,60

11

15

34

Orange

Tejakula

125,00

6,6

5,8

2,00

12

8

32

Siem

71,40

5,6

5,5

2,00

11

20

34

Orange
tua
Orange

Madura

103,60

6,2

5,5

11,00

7

7

34

Orange

Garut

215,00

7,6

7,9

2,87

10

7

34

Orange

150,55

6,7

6,2

2,86

10

12

30

Kuning
pucat s/d
kuning
segar

185,26

7,2

8,8

4,00

10

18

29

s.d.a

261,58

7,8

8,2

4,30

11

0

32

s.d.a

Varietas
C.
reticulata

C.
sinensis
Pacitan

Waturejo
Grovery
Sumber : Bambang, 1996
Kandungan gizi dari buah jeruk itu sendiri dapat berupa kandungan vitamin, asam,
dan lainnya yang terdapat pada varietas jeruk yang telah dipetik. Dimana pada
umumnya kandungan gizi dari suatu produk pertanian ini lah yang sering
diperhatikan para konsumen. Kandungan gizi yang tinggi biasanya akan lebih
diminati para konsumen. Kandungan gizi tersebut dapat kita lihat pada tabel
berikut dibawah ini :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.9 Sifat kimia setiap varietas jeruk saat dipetik (Chemical
Characteristics of each variety at picking time)

Varietas

PTT

Asam

(% sukrose)

(%

PTT
asam asam

Vit

C Kadar

(mg/100g)

sitrat)

Sari Buah
(g/50g)

C. reticulata

Batu 55

11,60

0,520

21,15

32,27

32,27

Tejakula

11,20

0,670

16,72

32,60

32,50

Siem

10,60

0,630

16,87

32,50

33,00

Madura

10,20

0,680

18,07

32,81

27,75

Garut

11,50

0,330

32,73

41,60

31,50

10,08

0,113

88,89

52,49

-

10,64

0,420

22,50

62,61

-

10,94

0,960

11,42

47,58

-

C. sinensis

Pacitan

Waturejo

Crovery

Sumber : Bambang,1996

Universitas Sumatera Utara

2.3.Dampak Negatif Pestisida/Insektisida

Secara

umum

dampak

negatif

penggunaan

insektisida

dapat

dikelompokkan ke dalam dua aspek, yaitu aspek kesehatan dan lingkungan hidup
dan aspek pengendalian hama dalam kegiatan usaha tani.
Dampak terhadap lingkungan hidup dan kesehatan :
a) Jika seseorang mendapat kontak secara terus-menerus dengan insektisida
apabila keadaan ini berlangsung dalam waktu yang lama. Penyakit kanker,
gangguan pernafasan, gangguan saraf, dan kelainan-kelainan lain dapat
muncul setelah waktu yang agak lama
b) Jika seseorang memakan hasil-hasil pertanian yang mengandung residu
insektisida. Jika tumpukan residu tersebut tersimpan didalam tubuh manusia
maka dalam waktu lama pasti akan menimbulkan kelainan didalam tubuh
c) Apabila terjadi limpahan insektisida/pestisida ke lingkungan dalam jumlah
besar, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dapat menewaskan penduduk
yang berada disekitarnya
Dampak negatif terhadap lingkungan dan pengelolaan hama :
a) Menekan populasi hama sasaran
b) Menimbulkan seleksi hama resisten
c) Menghancurkan populasi musuh alami
− Menekan populasi musuh alami secara langsung
− Mereduksi populasi inang atau mangsa dari musuh alami
− Mencemari makanan bahi musuh alami

Universitas Sumatera Utara

d) Menimbulkan resurjensi dan hama sekunder
e)

Membunuh serangga penyerbuk

f)

Mencemari jaringan makanan

g) Menyebabkan ekotoksisitas umum
(Sudarsono,2015)

Universitas Sumatera Utara