Relasi Islam-Kristen di Kota Gunungsitoli Dalam Kehidupan Bermasyarakat

BAB II
LOKASI PENELITIAN

2.1.Letak Geografis
Suku Nias adalah suku yang orang-orangnya atau masyarakatnya hidup di
Pulau Nias. Orang Nias menamakan diri sebagai "Ono Niha" (Ono =
anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö =
tanah). Nias adalah kepulauan yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera,
Indonesia, dan secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sumatera
Utara. Pulau ini merupakan pulau terbesar dan paling maju di antara jejeran pulaupulau di pantai barat Sumatera. Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² dan
memiliki koordinat 1°6′LU 97°32′BT ini berpenduduk hampir 900.000 jiwa.
Agama mayoritas di daerah ini adalah Kristen Protestan dimana 90%
penduduknya memeluk agama ini, sedangkan sisanya beragama Katolik, Islam,
dan Budha. Penduduk yang memeluk agama Islam pada umumnya berada di
wilayah pesisir Kepulauan Nias. Perjalanan menuju Pulau Nias dari Kota Medan
(ibukota Provinsi Sumatera Utara) dapat ditempuh melalui dua jalur perhubungan
yakni perhubungan darat-laut dan perhubungan udara. Apabila memilih
perjalanan darat-laut maka perjalanan dari Kota Medan menuju Pelabuhan Sibolga
dapat ditempuh selama kurang lebih 10-12 jam menggunakan angkutan darat
seperti mobil pribadi, bus umum, atau mobil travel. Di pelabuhan ini, perjalanan
menuju Pulau Nias dapat menggunakan Kapal Ferry yang setiap hari berlayar dari

dan menuju Pulau Nias. Pulau Nias bejarak sekitar 85 mil dari laut Kota Sibolga.
Perjalanan laut ini dapat ditempuh selama 12 jam perjalanan. Apabila memilih

Universitas Sumatera Utara

perjalanan udara, penerbangan dari Kota Medan ke Gunungsitoli dapat ditempuh
dari Bandar Udara Internasional Kualanamu dalam waktu kurang lebih 55 menit
menuju ke Bandar Udara Binaka, dengan menggunakan maskapai Garuda
Indonesia dan juga maskapai Lion Air Group yang dioperasikan oleh anak
perusahaannya Wings Air. Pada pertengahan Juli 2016, penerbangan dari Kota
Padang menuju Kota Gunungsitoli juga dioperasikan oleh Wings Air setiap hari.
Meskipun sebelumnya di jalur ini sudah ada Susi Air yang melayani penerbangan
dari Kota Padang, Sumatera Barat ke Pulau Nias tetapi penerbangan ini harus
transit terlebih dahulu di Pulau Tello (Kepulauan Batu, Nias Selatan).
Pulau Nias yang sebelumnya adalah hanya 1 kabupaten saja, saat ini telah
dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias,
Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota
Gunungsitoli.

2.2.Asal Usul Nenek Moyang Orang Nias

Menurut tulisan E. Fries4, seorang penulis bangsa Persia yang bernama
Soleiman, pernah menyinggahi Pulau Nias pada tahun 850 M, yang mengatakan
bahwa pulau ini “PULAU NIAN”. Dia melihat bahwa suku tersebut gemar
berperang dan mengayau kepala manusia. Dan suku yang mendiami pulau
tersebut disebut bangsa NIAN.

Kalau mengikuti istilah nama aslinya, dapat

disimpulkan bahwa istilah NIAS itu berasal dari perkataan NIHA tadinya.
Pendatang-pendatang orang kulit putih yang banyak memakai huruf “s” di dalam
menyatakan sesuatu yang banyak, menambahkan huruf “s” menjadi “NIHA-S”,
4

E. Fries, NIAS, 1919, hlm 53.

Universitas Sumatera Utara

yang kemudian diperlunak menyebutnya menjadi “NIAS”. Bahasa penduduk asli
pun selamanya hanya memakai kata-kata huruf hidup dan tidak pernah dengan
kata-kata yang berakhiran huruf mati5 .

Beberapa peniliti sejarah mengungkapkan kalau asal usul Orang Nias itu
adalah berasal dari keturunan Negara Vietnam yang terjadi saat Perang Dunia I.
Terdapat seorang wanita dari kerajaan Vietnam dilarikan ke suatu pulau yang
sekarang dikenal Pulau Nias. Memang bisa saja itu masuk akal kalau dilihat dari
bentuk muka atau gaya rambut orang Nias kebanyakan mirip dengan orang orang
Vietnam. Salah satu mitos juga mengungkapkan asal usul suku Nias berasal dari
sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah
tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas
mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja
Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena
memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orangorang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias6.
Selain itu, beberapa pendapat para antropolog dan sejarahwan tentang
asal-usul nenek moyang orang Nias. Seperti pendapat F.M. Schnitger dalam
bukunya yang berjudul, “Forgotten Kingdom in Sumatra” terbitan Oxford
University Press-Singapur pada tahun 1989 pada halam 125 yang mengatakan
bahwa,
Orang Nias dan Suku Naga di Burma memiliki kesamaan budaya megalitik.
Sebab itu, tak diragukan lagi bahwa nenek moyang kedua suku itu berasal dari
daerah yang sama yaitu Lembah Irrawaddy-Burma (They must at one time have
had a common land of origin and this can have been nowhere but also the valley

of the Irrawaddy).
Sökhi’aro Welther Mendröfa atau Ama Rozaman, Fondrakö Ono Niha (agama purba,
hukum adat, hikayat dan mitologi masyarakat Nias. Jakarta: Inkultra Fondation Inc, 1982, hlm 7.
6
Reliusman Dachi, Asal Usul Nenek Moyang Masyarakat Nias.
5

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, Schroder pun memiliki sebuah pendapat tersendiri tentang asal usul
nenek moyang orang Nias. Ia mengatakan:
Orang-orang Nias begitu pula penduduk lain di pulau-pulau sebelah barat,
tiba dari Asia di bagian dunia yang terpisah ini disebabkan keinginan
penduduk untuk pindah. Di tempat ini kehidupan mereka masih utuh
seperti sediakala tanpa ada

pengaruh arus luar. Kalau pun ada pengaruh

kebudayaan lain dari suku-suku lain, pengaruh itu sangat terbatas7.


Pastor Yohannes M. Hammerle, OFMCap pun memberikan pendapat tentang asal
usul nenek moyang orang Nias. Beliau mengatakan:
Namun kami berpendapat bahwa eksistensi adat dan budaya Cina di Nias tidak
terlalu sulit untuk dibuktikan karena sejarahnya relatif baru. Informasi daratan
Sumatera yang berhadapan dengan pulau Nias, khususnya kota atau pelabuhan
Singkuang yang didirikan oleh orang Cina, jarak tersebut dengan tepi laut di
Kecamatan Lahusa di pantai Timur Nias sekitar 115 kilometer8.

Dalam tulisan Pater Yohannes tersebut, dapat diterka bahwa ada kemungkinan
nenek moyang Nias berasal dari Cina tapi bukan daratan Cina melainkan orangorang Cina yang bermukim di Singkuang9.
Drs. Ketut Wiradnyana, MM juga memiliki pendapat, bahwa:
Selama zaman glacial (2.5 juta tahun yang lalu) berlangsung, umumnya keadaan
alam lebih dingin, air terkumpul dalam bentuk es di daerah-daerah yang bergaris
lintang tinggi, hal ini mengakibatkan permukaan air laut terletak 100 meter lebih
rendah dari sekarang. Perubahan tersebut pun sangat mempengaruhi bentuk
kepulauan Indonesia. Laut Jawa dan sebagian laut Cina Selatan menjadi surut
sehingga mengakibatkan jembatan daratan yang luas di atas paparan Sunda yang
menghubungkan pulau bagian barat Indonesia dengan daratan Asia. Jembatan
daratan inilah yang memungkinkan berlangsungnya proses migrasi awal dari


7

Schroder, E. E. W. G. Nias, Etnographische, geographische en historishe aanteekeningen en studien Leiden
Bril, 1917. Teluk Dalam, Yayasan Gema Budaya Nias, 2013, hlm 9.
8
Ibid, hlm 10
9
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

daratan Asia menyebar ke Jawa. Proses ini juga memungkinkan terjadinya
migrasi darat dari Asia Tenggara ke Sumatera atau dapat juga dari Sumatera ke
Nias10.

Jajang Agus Sonjaya juga memiliki persepsi lain, yaitu:
Jika dikaitkan dengan teori persebaran kebudayaan yang didasarkan pada bukti
bukti linguistik dan arkeologi, Nias dihuni oleh kelompok-kelompok migran
penutur


bahasa

Austranesia

yang

datang

dari

Yunnan

secara

bergelombang/bertahap pada hitungan 3500 Sebelum Masehi hingga awal-awal
abad Masehi11.

Selain masih banyaknya pendapat yang dilontarkan oleh para antropolog
dan sejarahwan, terdapat juga kabar bahwa nenek moyang orang Nias tiba di
Pulau Nias sekitar 1500 Sebelum Masehi. Hal ini berdasarkan penelitian DNA

orang Nias yang menjelaskan bahwa nenek moyang orang Nias berasal dari
rumpun Taiwan Aborigin. Tentu saja yang dimaksud, penduduk Taiwan 5000
tahun yang lalu berbeda dengan ras penduduk Taiwan sekarang. Pada 500 tahun
yang lalu, manusia mendiami Taiwan adalah manusia rumpun Austronesia.
Sedangkan pada masa sekarang, penduduk Taiwan bukan lagi ras Austronesia
tetapi ras Tionghoa yang berasal dari daratan Tiongkok dan dalam penelitian
DNA orang Nias, mereka disebut Taiwan China. Berdasarkan ilmu linguistik dan
hasil DNA, nenek moyang orang Nias serumpun dengan nenek moyang orang
Taiwan Aborigin dari rumpun Austronesia yang mendiami Taiwan 5000 tahun
yang lalu12.
10
11
12

Ibid, hlm 11
Ibid.
Ibid, hlm 42

Universitas Sumatera Utara


2.3.Marga-marga Nias

Lowalangi menciptakan langit berlapis Sembilan. Lalu menciptakan pohon
kehidupan bernama Tora’a. pohon kehidupan itu berbuah dua buah yang
kemudian dierami oleh seekor laba-laba. Lalu lahirlah sepasang dewa dari buah
tersebut bernama Tuhamora’anggi Tuhamoraana’a (berjenis kelamin laki-laki)
dan Burutiraoangi Burutiraoana’a (berjenis kelamin perempuan). Kedua Dewa ini
kemudian menjadi penghuni langit berlapis Sembilan tersebut. Teteholi Ana’a
adalah nama lapis langit yang terdekat ke bumi. Salah satu keturunan Dewa
tersebut bernama Sirao Uwu Zihono atau nama lain Sirao Uwu Zato mendiami
langit lapis pertama atau yang paling dekat ke bumi. Sirao ini beristri 3 dan
masing – masing istrinya melahirkan 3 anak sehingga total anak Sirao ini ada 9
orang.
Konon, kesembilan anak Sirao ini berselisih memperebutkan tahta
penguasa lapis pertama untuk menggantikan ayahnya yang sudah tua. Untuk
mengatasi permasalahan itu, Sirao Uwu Zihono melakukan sayembara
ketangkasan menari di atas mata Sembilan tombak. Sayembara ini dimenangkan
oleh si bungsu, Luo Mewona. Dengan demikian, Luo Mewona menjadi penguasa
langit lapis pertama. Kedelapan abangnya yang kalah beserta seorang anak dari
Luo Mewona diturunkan ke Bumi yaitu ke Tano Niha (Tanah Nias) atas kehendak

mereka sendiri. Lima dari Sembilan orang tersebut mendarat dengan selamat di
bumi dan keempat lainnya mendarat tidak sempurna. Mereka yang mendarat
selamat ialah :

Universitas Sumatera Utara

1. Hiawalangi Sinada (Hia) turun di Boronadu, kecamatan Gumo dan
menjadi leluhur dari marga Telaumbanua, Gulo, Mendofa dan Harefa.
2. Gozo Hela-Hela mendarat di Barat Laut Hilimaziaya, Nias Utara,
kecamatan Lahewa sekarang dan menjadi leluhur dari marga : Baeha,
Wuruwu, Zendrato dan Lase.
3. Daeli Bagambolangi (Daeli) turun di Tolamera, negeri Idanoi adalah yang
menjadi leluhur marga – marga Daeli, Larosa, Zai, dan Hulu.
4. Hulu Borndano (putra sulung Luo Mewona) turun di Laehuwa, Nias
Barat Laut dan menjadi leluhur dari marga-marga : Ndruru, Bu’uolo dan
Hulu.
5. Silogu (putra sulung Luo Mewona) turun di Nias Timur dan menjadi
leluhur dari marga-marga Zebua, Bawo dan Zega.

Empat putra Sirao yang turun tidak wajar adalah :


1. Bauadano Hia karena badannya yang terlalu berat turun ke Tano Niha
menembus ke dalam Bumi dan menjelma menjadi ular yang dikenal
dengan sebutan Da’o Zanaya Tano Sisagoro (si penadah bumi). Konon
jika di bumi terjadi perang dan darah manusia merembes ke bumi, Da’o
Zanaya akan sangat marah dan mengguncang bumi dari bawah hingga
menimbulkan gempa. Untuk menghentikan gempa bumi itu, orang Nias
akan berteriak “BihaTua !” artinya : Sudahlah Nenek, kami tidak akan
berperang lagi
2. Gozo Tuhazangarofa ketika turun di bumi tercebur ke sugai dan
menjelma menjadi dewa sungai penguasa segala kehidupan di air. Karena

Universitas Sumatera Utara

itu bila nelayan hendak mencari ikan di sungai atau laut terlebih dahulu
mereka berdoa keada Dewa Sungai tersebut.
3. Lakindrolai Sitambalina ketika turun di bumi tertiup oleh angin kencang
dan tersangkut di pohon. Dia menjelma menjadi roh penunggu hutan
bernama Bela Hogugeu. Karena itu kaum pemburu selalu lebih dahulu
menyembah dewa hutan ini sebelum berburu ke hutan.
4. Sofuso Kara mendarat di bukit bebatuan di daerah Laraga sekarang.
Sofuso Kara kemudian menjadi leluhur orang – orang berilmu kebal13.
Terdapat juga cara lain dalam melihat marga-marga yang terdapat di
masyarakat Nias. Seperti dalam penelitian Mannis Van Oven dari Negeri Belanda
tentang penelitian seputar DNA orang Nias yang di terjemahkan oleh Bapak
Saharman Gea, Ph. D, seorang doktor jebolan Inggris. Dalam pengambilan sampel
DNA, ia mengelompokkan marga-marga sebagai berikut:

1. Kelompok Hulu: terdiri dari marga Hulu, marga Lahagu
2. Kelompok Gözö: terdiri dari marga Zalukhu, marga Lahagu, marga
Waruwu, marga Baeha
3. Kelompok Laoya: terdiri dari marga Lase, marga Zendratö, marga
Mendröfa, marga Dahöna, marga Laoli, Marga Za’i, marga Telaumbanua,
marga Harefa
4. Kelompok Daeli: terdiri dari marga Daeli, marga Gea, marga Farasi,
marga Laowö, marga Larosa, marga Humendru
5. Kelompok Si’ulu: terdiri dari marga Gaho, marga Duha, marga Hondrö,
13

Dikutip dari buku “Silsilah marga – marga Batak” karya Drs. Richard Sinaga.

Universitas Sumatera Utara

marga Zagötö, marga Bago, marga Wau, marga Dachi, marga Bu’ulölö,
marga Zamili, marga Ziraluo, marga Sarumaha, marga Fau, marga Laia,
marga Zamili, marga Zebua, marga Talunohi, marga Ge’e, marga Lö’i,
marga Harita, marga Harefa, marga Lature, marga Barasi.
Cara pengambilan sampel darah orang Nias dilaksanakan pada tahun 2002
dan 2003 oleh Prof. Ingo Kennerknecht dari Munster University-Jerman dan
Mannis Van Oven, mahasiswa S3, bidang Biologi Molekuler Forensik, dari
Erasmus MC-University Medical Center-Rotterdam-Nederland dan difasilitasi
oleh Museum Pusaka Nias dibawah komando Pastor Yohannes M. Hammerle,
OFMCap14.
Tabel 3. Garis besar silsilah-silsilah marga Nias

Sirao

Ma ge ohi A a’a

Hia

Hoo A a’a

14

Ziatö Luo

Mölö

Gözö

Hulu

Zalukhu

Gulö

Harefa

Nazara

Daeli

Zebua

Gea

Zega

Ibid, hlm 23

Universitas Sumatera Utara

2.4. Agama: Dahulu dan Sekarang

Agama, yang dalam bahasa Sansekerta berarti “aturan”, atau religi, yang
dalam bahasa Latin berarti “mengikat”, adalah sebuah kata yang sangat sulit
dirumuskan batasannya, di mana pangkal dan di mana ujungnya (Permata, 2000:
14). Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan
manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan
lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem
keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu
kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan
terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para
penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan
mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di
dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari
sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan
para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai
kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.
Dahulu, sebelum agama masuk ke Nias, orang-orang Nias memuja roh-roh
leluhur yang dianggap menguasai banyak objek kehidupan, seperti laut, sungai,
angin, pohon besar, batu besar, sungai, dan sebagainya. Orang Nias percaya
bahwa kehidupan manusia di dunia ini dikendalikan oleh roh-roh yang menempati
dunia atas, dunia bawah dan dunia tengah di mana manusia hidup. Lowalani
adalah roh atau zat yang menguasai dunia atas, Laturadanö yang menguasai dunia
bawah dan Silewa Nazarata yang menguasai dunia tengah. Silewa Nazarata

Universitas Sumatera Utara

dipandang sebagai juru pendamai karena konon ia adalah saudara Lowalani dan
Laturadanö15. Dewa lain yang terdapat di Nias pun diantaranya Afocha-dewa
perusak, Bechu Gatua-hantu hutan, Zihi-hantu laut, Simalapari-hantu sungai yang
bertemu dengan laut, Si so ba Hogu Geu-pemilik segala binatang hutan yang
berdiam di atas pohon. Ada juga kepercayaan yang di yakini seperti Maciana atau
roh-roh yang mulanya seorang manusia tetapi setelah mati maka roh tersebut
menjelma sebagai roh penganggu para wanita yang hendak melahirkan, ada juga
Salofo atau roh orang yang pandai berburu dan Bechu atau hantu orang yang mati.
Bermacam-macam ciptaan dan makhluk yang disembah oleh orang Nias . bendabenda ciptaan meliputi matahari, bulan, buaya, cecak dan lain-lain. oleh sebab itu,
orang Nias bukan hanya polytheistis, tetapi juga animistis16.
Dalam kepercayaan ini, orang Nias mengenal pemuka agama yang disebut
Ere. Ere berperan sebagai perantara dalam memanjatkan doa dan menyampaikan
permohonan kepada roh leluhur. Saat melakukan komunikasi dengan leluhur,
biasanya akan diberikan sesaji sirih pinang, biji-bijian, hasil ladang, dan kepingan
emas. Untuk ritual yang bersifat massal, maka akan disajikan hidangan yang
kemudian dibagikan kepada hadirin yang datang. Sementara itu, sesaji akan
dibiarkan tetap di lokasi pemujaan. Ere biasanya akan menerima anak babi, ayam,
atau telur untuk pekerjaannya. Ere sanggup melihat roh-roh halus tetapi dewadewa, tidak. Manusia mengenal dewa-dewa itu dalam berbagai bentuk.
Umpamanya, mereka menganggap ayah di dunia atau nenek moyang sebagai
wakil ilahi. Orang Nias mengatakan, “Ama, Lowalani ba gulidano,” ang artinya,
“ayah adalah illahi dari Tuhan yang nampak di atas bumi.” Ayah diyakini sebagai
15

Jajang Agus Sonjaya. Melacak batu menguak mitos. Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm 75.

16

Ibid, hlm 24

Universitas Sumatera Utara

pelindung dan ayah dianggap memiliki hak untuk memberkati dan mengutuk.
Semua yang di katakan oleh ayah akan dituruti dan tak akan di bantah. Jika ayah
meninggal, mereka akan memahat “bayangan” nya pada kayu dan batu dan
pahatan tersebut menjadi tanda akan kehadiran ayah yang telah mati di tengahtengah keluarga

yang masih hidup. Orang Nias percaya bahwa manusia itu

hanyalah sebagai ciptaan biasa dari dewa-dewa. Manusia itu adalah babi dari
dewa-dewa atau illahi. Bila dewa berselera memakan daging “babi” (dalam hal ini
“babi” adalah manusia) maka secara bebas dewa bisa mengambil dan membunuh
salah satu babinya. Oleh sebab itu, “babi” merupakan unsur penting dalam
kebudayaan Nias. Kubailönu kubailöna, seiring berjalannya waktu, kepercayaan
terhadap roh leluhur mulai luntur karena masuknya agama baru.
Bagian yang menyertai setiap orang dari masa lalu, ialah apa yang
dinamakan kepercayaan. Agama itu datang dengan berbagai nama dan bentuk,
namun agama sebenarnya berhubungan dengan kepecayaan kepada dewa atau
dewa-dewa di dalam suatu bentuk kekuatan gaib, yang menguasai bumi dan
mengatur nasib semua yang hidup di dalamnya. Beberapa kepercayaan seperti ini
disertai dengan peraturan-peraturan, upacara dan praktik yang merupakan bagian
dari kebudayaan manusia yang diketahui semenjak masa lampau yang terjauh
sampai sekarang ini17.
2.4.1. Masuknya Agama Kristen
Kedatangan etnis lain di Kota Gunungsitoli adalah etnis Aceh dan
Minangkabau (1700), Belanda/VOC (1775-140), Cina (1850), Jerman (1865) dan
Jepang (1942). Berdasarkan sejarahnya, motif kedatangan etnis asing tersebut
17

Harold R. Isaacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Identitas Kelompok dan Perubahan Politik,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, hlm 190.

Universitas Sumatera Utara

adalah berdagang, kecuali Jerman (motif pengembangan agama Kristen) dan
Jepang (motif politik dan kekuasaan). Agama Kristen secara terus-menerus mulai
masuk ke wilayah Nias sejak 27 September 1865 yang dibawa oleh E. L.
Denninger atas keputusan Rheinische Mission Gesellshaft (RMG) di Barmen,
Jerman. Selama 25 tahun pertama (1865-1890), usaha pengabaran Injil di Nias
tetap terbatas pada daerah kekuasaan Belanda di sekitaran Gunungsitoli. Dalam
masa 25 tahun berikutnya, usaha pengabaran Injil maju dengan lebih cepat karena
Injil telah diterjemahkan kedalam bahasa Nias agar lebih mudah dipahami oleh
orang Nias. Bidang kegiatan zendeling begitu luas. Mereka membangun jalanjalan, membuka kebun-kebuk kopi agar melicinkan jalan bagi usaha pengabaran
Injil dan meningkatkan daya ekonomi pasar jemaat Kristen. Berkat usaha-usaha
tersebut, jumlah orang Kristen meningkat. Akan tetapi terdapat sedikit
kekhawatiran di hati mereka karana Injil belum benar-benar masuk ke hati orang
Nias. Terlihat jelas pada tingkah laku mereka yang mengalami kekacauan dalam
hal pernikahan karena harga perempuan yang sangat mahal, merajalelanya
minuman keras, keengganan memberi sumbangan bagi kehidupaan jemaat.
Terlebih lagi, mayoritas orang Nias menolak Injil.
Masa terpenting pada penyebaran agama Kristen tersebut terjadi antara
tahun1915-1930 dan tahun ini disebut sebagai tahun pertobatan (fangesa dődő
sebua).

Keajaiban dalam pengabaran Injil terjadi pada 1916 ketika digelar

Fangefa SebuaFangesa Sebua (Pertobatan Massal) yang dimotori oleh misionaris
Kristen (zendeling). Sejak peristiwa tersebut, orang-orang Nias mulai berani
menghanyutkan patung-patung perwujudan nenek moyang mereka, menhir,

Universitas Sumatera Utara

patung-patung dewa, dan benda-benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai.
Keberhasilan misi Kristen di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang
cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual

adat sehingga makna ritual tersebut

bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya

ritual fanano buno (menanam

bunga) sebagai ganti famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang
sudah meninggal). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap kepercayaan
orang Nias, yang mana kepercayaan yang sebelumnya ditinggalkan dengan
membuang

atau menghancurkan dan membakar patung-patung yang tadinya

mereka jadikan sebagai dewa. Sangsi-sangsi hukum adat dengan hukum badan,
poligami, penyembahan patung, penyembuhan penyakit melalui dukun sudah
semakin berkurang. Hingga kini sebagian besar masyarakat Nias beragam kristen
(S. Zebua 1984:62). Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat
Kristen tumbuh dan berkembang.

2.4.2. Masuknya Agama Islam

Selain memeluk agama Kristen, orang Nias di Kota Gunungsitoli ada juga
yang memeluk agama Islam. Syiar Islam di Nias bermula ketika Teuku Polem,
berlayar ke selatan Sumatra pada tahun 1642. Putra sulung Teuku Cik, kepala
pemerintahan Aceh Barat ini datang di Nias di muara Luaha Laraga Idano dan
disambut baik warga setempat, Balugu Harimao. Setahun kemudian, Teuku
Polem menikah dengan Bowo’ana’a, putri Balugu Harimao. Setelah mengucapkan
dua kalimat syahadat, Bowo’ana’a menjadi orang Nias pertama yang memeluk
Islam. Tak lama, kerabatnya Acah Herefa juga masuk Islam. Keturunannya
tinggal di Kampung Miga, Ori Tabaloho Dahana, Kecamatan Gunungsitoli.

Universitas Sumatera Utara

Keturunan saudara yang lain, Kehomo Harefa tinggal di Kampung Mudik,
Gunungsitoli dan sebagian di Sifahandro, Kecamatan Tuhemberua.

Siti Zohora, putri Teuku Polem, dinikahkan dengan Datuk Ahmad,
bangsawan dari Padang Pariaman, pada 1690. Keturunannya tinggal di Hele Duna
yang terus berkembang hingga dikenal sebagai Mudik. Berhubungan dan kawin
mawin dengan penduduk asli Nias membuat penyebaran Agama Islam semakin
terlihat. Anak cucu Datuk Ahmad ada yang tinggal di Kelurahan Ilir, Kampung
Baru, Gunungsitoli. Kampung Islam, Ilir dan Mudik berkembang sepanjang
sungai Kali Nou, meneruskan tradisi kesultanan. Raja Sulaeman (1755-1790)
mengadakan pesta adat (owasa) pada 1756. Belanda masuk ke Nias pada tahun
1840 dan tiga tahun kemudian mengangkat Datuk Rajo Bendahara di Mudik dan
penerusnya tetap mengadakan owasa hingga Raja Muhd Aiyub (1896-1920).
Sejak itu, jabatan raja Mudik dihapus dan diganti dengan sebutan Sawala (kepala
kampung). Mereka yang beragama Islam biasanya mengadakan upacara
mangikuti ajaran-ajaran agama Islam. Mereka tidak lagi mengikiuti tradisi
sanomba adu (penyembah patung), tidak lagi percaya kepada dukun-dukun, tidak
lagi mengadakan sesajen untuk roh-roh leluhur. Mereka tidak lagi memotong babi
lagi karena dalam ajaran Islam, babi ini merupakan hewan yang haram dagingnya
untuk dimakan. Biasanya digantikan dengan lembu atau kambing yang
diabsahkan oleh ajaran Islam sebagai hewan yang halal. Masyarakat muslim di
Nias juga giat melakukan kegiatan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, wirid yasin,
memperingati isra’mi’raj Nabi Muhammad dan lainnya. Walaupun memiliki
perbedaan kepercayaan, masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli hidup dengan
harmonis dan rukun, serta saling menghormati antar umat beragama.

Universitas Sumatera Utara

Penduduk Islam berpusat di wilayah Kota Gunungsitoli dan memanjang ke
Nias Selatan pulau Nias mengalami sentuhan ajaran Islam dari orang-orang yang
datang dari wilayah Sumatera Barat sedangkan wilayah Nias bagian Utara dan
Barat sentuhan ajaran Islam dari Aceh. Ini menunjukkan bahwa anggapan
sebagian masyarakat yang ada di luar Pulau Nias tentang agama Islam tidaklah
benar. Sentuhan keagamaan yang merambah subur di Pulau Nias juga
mempengaruhi adat istiadat yang ada, salah satu dicontohkan bahwa di Nias
memiliki adat Tabuik yang perpaduannya berasal dari Sumatera Barat dan Daerah
Istimewa Aceh. Dalam adat pernikahan pun adat istiadat dua daerah ini
menempati posisi yang sangat sentral terhadap penduduk yang beragama Islam.
Pelaksanaan pesta pernikahan di daerah ini hampir seluruhnya menggunakan
bahasa Minang yang di daerah ini di kenal dengan bahasa pesisir.
Di muka rumah Bupati KDH Tingkat II Kabupaten Nias dan Masjid Jami’
Mudik, Kota Gunungsitoli bisa kita temui dua meriam yang dibawa T Simeugang,
Datuk Ahmad dan Acah Harefa , keturunan Teuku Polem dari Aceh yang
mengenalkan Islam di Nias pada abad ke 17, dua abad sebelum Belanda
menginjakkan kaki di Nias. Ada belasan masjid dan musala di Gunungsitoli
(dibandingkan tempat peribadatan kaum Nasrani yang berjumlah lebih dari 30
gereja), menunjukkan kehidupan beragama di kota ini berlangsung anggun.

2.5. Profil Kota Gunungsitoli

Kota Gunungsitoli merupakan sebuah daerah otonom di wilayah
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang dibentuk berdasarkan Undang-

Universitas Sumatera Utara

Undang Nomor : 47 Tahun 2008. Jauh sebelum menjadi sebuah daerah otonom,
Gunungsitoli dikenal sebagai salah satu kota tertua dan representasi dari
perkembangan peradaban modern di wilayah Kepulauan Nias. Kepulauan Nias
sebelum adanya pemekaran beberapa daerah otonom baru, dulunya merupakan
suatau wilayah administratif pemerintahan, yakni Pemerintahan Daerah tingkat II
Nias dengan ibu kotanya Kecamatan Gunungsitoli. Seiring dengan perkembangan
kondisi ketatanegaraan yang ditandai lahirnya regulasi tentang Pemerintahan
daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, wilayah pemerintahan
Kabupaten Nias secara bertahap mulai mengalami pemekaran. Mulai dari
terbentuknya Kabupaten Nias Selatan pada tahun 2003, dan dilanjutkan oleh Kota
Gunungsitoli, Kabupaten Nias Utara, dan kabupaten Nias Barat pada tahun 2008.
Berdasarkan catatan sejarah, Istilah Gunungsitoli itu sendiri secara
etimologis dan historis merupakan terjemahan akulturatif bahasa Melayu dengan
bahasa Nias, berasal dari istilah “Hili Gatoli” yakni sebuah nama gunung dalam
kota Gunungsitoli saat ini (Hili =

Gunung; Gatoli= Sitoli). Cikal bakal

munculnya istilah Gunungsitoli muncul pada saat diadakan kontrak dagang VOC
Belanda (terjadinya interaksi orang Nias dengan Belanda untuk kepentingan
dagang VOC), sedangkan alasan penggunaan bahasa Melayu dalam istilah
Gunungsitoli karena pada saat itu karena bahasa Melayu telah digunakan secara
umum di seluruh Nusantara dan orang Belanda telah menguasai bahasa Melayu.
Pada tahun 1755 kota Gunungsitoli menjadi kota Pelabuhan yang dinamakan
“Kade”dan pada tahun 1840 kota Gunungsitoli menjadi ibu kota Pemerintahan
yang disebut Ina Mbanua.

Universitas Sumatera Utara

Ada beberapa pendapat tentang lahirnya kota Gunungsitoli sebagai ibu
kotanya pulau Nias. Momentum ini antara lain Menurut Zebua(1996), ada
beberapa peristiwa terdekat yang menjadi pra-momentum lahirnya Kota
Gunungsitoli yakni:
a. Pusat kota Gunungsitoli yang sekarang, pada awalnya adalah suatu lokasi
dalam teritorial yurisdiksi kerajaan Laraga (yang berpusat di desa
Luahalaraga kawasan sungai Idanoi)
b. Pemukiman pertama di Gunungsitoli adalah banua Hilihati (di Hilihati
sekarang) yang dididiami oleh Baginda Lochozitolu Zebua, kawasan
muara sungai Nou (kampung Dahana’uwe) yang didiami oleh Baginda
Bawolaraga Harefa dan kampung Bonio yang didiami oleh Baginda Laso
Borombanua Telaumbanua.
c. Ketiga leluhur pemukiman tersebut (Marga Zebua, Harefa, dan
Telaumbanua) disebut Sitolu Tua. Menurut Zebua (1996), pada awalnya
penduduk dan populasi kota Gunungsitoli adalah bersifat homogen yang
disebut Ono Niha (Orang Nias) namun dari sisi Marga (Mado) bersifat
heterogen terdiri dari 3 marga yakni Harefa, Zebua, dan Telaumbanua.
d. Penduduk pemukiman Sitolu Tua sama-sama menggunakan Luahanou
segera meningkat penggunaan jasanya dan tampak agak ramai. Dengan
demikian Luaha Nou menjadi Saota (Pelabuhan) dagang dan menjadi
saingan pelabuhan Luaha Idanoi di Luahalaraga.
Dengan demikian momentum lahirnya kota Gunungsitoli dianalogikan
dengan kelahiran pelabuhan yang dinamakan Luahanou. Pelabuhan tersebut pada
awalnya masih sebagai pelabuhan alam terbuka pada tahun 1629 (juga disebut

Universitas Sumatera Utara

dengan nama Luaha). Tano niha dengan kepulauannya (kepulauan Hinako dan
kepulauan Batu) menjadi satu Lurah yang dipimpin oleh Kepala Lurah, dengan
Ibu

Kotanya

Gunungsitoli.

Kepala

Luhak

pertama

adalah

Daliziduhu

Marunduri(1945-1946).Kemudian tahun 1946, status wilayah Luhak

Nias di

tingkatkan menjadi Kabupaten Nias yang dikepalai oleh Bupati. Bupati pertama
adalah Pendeta Ros Telaumbanua (1946-1950), dengan ibu kotanya Gunungsitoli.
Belum dikenal secara pasti asal muasal penamaan Gunungsitoli namun
menurut referensi buku yang ditulis seorang pastor yang mendirikan Museum
Pusaka Nias, disebutkan nama Gunungsitoli diberikan oleh para pedagang yang
berasal dari Indocina daratan Asia. Kelak para pedagang inilah yang disebut-sebut
sebagai nenek moyang orang Nias. Kata Gunungsitoli berasal dari kata Gunung
dan kata Sitoli. Gunung berarti tanah yang tinggi atau berbukit dan Sitoli berasal
dari nama orang yang berdiam di bukit dekat rumah sakit atau sekarang lebih
dikenal dengan daerah Onozitoli.
Tanggal 25 mei 2009, Kota Gunungsitoli resmi dinakhodai oleh Drs.
Martinus lase, MSP, sebagai pejabat Walikota. Sejak saat itu, semangat perubahan
menuju tatanan kehidupan yang lebih baik mewarnai dinamika perkembangan
Kota Gunungsitoli sebagaimana wilayah perkotaan pada umumnya. Posisi
strategis kota Gunungsitoli sebagai pintu gerbang Kepulauan Nias semakin
meningkatkat, daya saing perekonomian daerah khususnya di sektor jasa,
perdagangan dan industri. Selanjutnya pada Pemilihan Umum Kepala Daerah
(PEMILUKADA) perdana di Kota Gunungsitoli telah berhasil menorehkan tinta
emas dalam lembaran sejarah kepemimpinan pemerintahan yakni terpilihnya
Walikota dan Wakil Walikota Gunungsitoli periode 2011-2016 Drs. Martinus

Universitas Sumatera Utara

Lase, M.SP dan Drs. Aroni Zendrato. Pada saat ini, nakhoda yang mengendarai
Kota Gunungsitoli yaitu Ir. Lakhomizaro Zebua yang di dampingi oleh Sowa’a
Laoli.
Moto dari Kota Gunungsitoli yaitu satukan langkah dan tekad, mandiri,
eekonomi kerakyatan dan beriman. Visi Kota Gunungsitoli yaitu Kota Samaeri,
dimana kata Samaeri berasal dari bahasa daerah Nias, memiliki makna Ina
Sendoro/seorang ibu yang memiliki, memelihara, melayani, dan mewujudkan
kesejahteran. Dengan misi menyatukan langkah dan tekad segenap rakyat Kota
Gunungsitoli menuju Kota mandiri dan masyarakat madani, memperjungkan
kesejahteraan umum masyarakat Kota Gunungsitoli, mencerdaskan kehidupan
rakyat Kota Gunungsitoli, serta memberdayakan semua sumber daya alam dan
sumber daya manusia untuk mempercepat pembangunan Kota Gunungsitoli.
Kota Gunungsitoli dalam perkembangannya sebagai sebuah daerah
otonom baru, memiliki ragam potensi sumber daya ekonomi lokal yang belum
dikelola secara optimal. Posisi strategis Kota Gunungsitoli sebagai pintu gerbang
Kepulauan Nias, serta ketersediaan infrastruktur strategis yang relatif memadai
dibandingkan dengan daerah otonom lainnya di wilayah Kepulauan Nias, pada
hakekatnya memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam struktur
perekonomian daerah terutama pertumbuhan sektor jasa, perdagangan dan industri
sebagaiman ciri kota pada umumnya.
Beranjak dari kondisi tersebut, Pemerintah Kota Gunungsitoli secara
bertahap melakukan upaya-upaya perubahan melalui sejumlah kebijakan
pembangunan yang mendorong percepatan peningkatan daya saing daerah.
Kebijakan pembangunan di daerah dilakukan secara terpadu, terarah, dan

Universitas Sumatera Utara

bersinergi dengan kebijakan pemerintah tingkat atas. Untuk mengoptimalkan
pelaksanaan kebijakan pembangunan tersebut, pemerintah daerah menetapkan
skala prioritas pembangunan daerah, yang pelaksanaannya dilakukan secara
simultan

meliputi

berbagai

sektor

pembangunan

dengan

senantiasa

mengedepankan azas pemerataan, proporsionalitas, dan keberpihakan pada
kepentingan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk memberi dampak yang luar
biasa terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Kota Gunungsitoli adalah kota yang terletak sebuah gugusan pulau yang
dikenal dengan nama Kepulauan Nias terletak di sebelah barat Pulau Sumatera,
yang secara geografis terletak antara 00012’-1032’ Lintang Utara (LU) dan
970000’-980000’ Bujur Timur (BT). Dengan ketinggian rata-rata 0-600 meter
diatas permukaan laut. Kota Gunungsioli merupakan salah satu daerah kota di
Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai jarak ± 85 mil laut dari Sibolga. Kota
Gunungsitoli memiliki luas wilayah 469,36 km2 atau 0,38 persen dari luas
wilayah Propinsi Sumatera Utara, terdiri dari enam kecamatan yaitu Kecamatan
Gunungsitoli utara, Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa, Kecamatan Gunungsitoli,
Kecamatan Gunungsitoli Selatan, Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kecamatan
Gunungsitoli Idanoi, 98 desa, dan 3 kelurahan. Dari 101 desa/kelurahan atau 27 %
terletak di daerah pesisir pantai, dan 74 desa atau 73 % berada di daerah dataran
tinggi atau pegunungan.

Universitas Sumatera Utara

Secara Administratif Kota Gunungsitoli berbatasan dengan:
Tabel 4. Letak administratif Kota Gunungsitoli
di sebelah utara

Kecamatan Sitolu Ori (Kabupaten
Nias Utara)

di sebelah timur

Samudra Indonesia

di sebelah Selatan

Kecamatan

Gido

dan

Kecamatan

Hiliserangkai (Kabupaten Nias)
di sebelah barat

Kecamatan
Nias)

Hiliduho

serta

(Kabupaten

Kecamatan

Alasa

Talumuzoi dan Kecamatan Namohalu
Esiwa

(Kabupaten Nias Utara).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 5. Peta wilayah Kota Gunungsitoli

Universitas Sumatera Utara

Kota Gunungsitoli beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi
yaitu mencapai 2.927,6 mm pertahun sedangkan jumlah hari hujan setahun 200250 hari atau 86 %. Kelembaban udara rata-rata setiap tahun antara 90 %, dengan
suhu udara berkisar antara 17,0ºC – 32,60ºC. Kondisi alam daratan Pulau Nias
sebagian besar berbukit-bukit dan terjal serta pegunungan dengan tinggi di atas
laut bervariasi antara 0-800 m, yang

terdiri dari dataran rendah hingga

bergelombang sebanyak 24% dari tanah bergelombang hingga berbukit-bukit
28,8% dan dari berbukit hingga pegunungan 51,2% dari seluruh luas daratan.
Akibat kondisi alam yang demikian mengakibatkan adanya 102 sungai-sungai
kecil, sedang, atau besar ditemui hampir di seluruh kecamatan. Keadaan iklim
kepulauan Nias pada umumnya di pengaruhi oleh Samudra Hindia. Suhu udara
dalam satu tahun rata-rata 26°C dan rata-rata maksimum 31°C. Kecepatan angin
rata-rata dalam satu tahun 14 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata maksimum
sebesar 16 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara.
Sebagian besar wilayah Nias masih merupakan hutan, sebagian lagi merupakan
lahan pertanian dan perkebunan. Iklim daerah Nias sama dengan iklim wilayah
indonesia pada umumnya yaitu iklim tropis denagn curah hujan yang cukup besar
yaitu antara 3000 sampai 4000 milimeter pertahun. Karena itu antara musim
kemaru dan penghujan memiliki kelembaban (humiditas) yang cukup berimbang.
Jumlah penduduk Kota Gunungsitoli sendiri tahun 2013 menurut angka
proyeksi BPS Kota Gunungsitoli sebanyak 129.043 jiwa, terdiri dari penduduk
perempuan sebanyak 66.105 dan penduduk laki-laki sebanyak 63.298 jiwa. Dari
total penduduk Kota Gunungsitoli sebanyak 48,04 % berdomisili di Kecamatan
Gunungsitoli, sementara wilayah yang paling sedikit didiami yakni Kecamatan

Universitas Sumatera Utara

Gunungsitoli Alo’oa sebanyak 5,32 %. Berdasarkan jumlah penduduk menurut
kelompok umur, penduduk yang paling banyak berada pada kelompok umur 0-4
tahun sebanayak 16.332 jiwa, sementara yang paling sedikit berada pada
kelompok umur 60-64 sebanyak 3.400 jiwa.
Berdasarkan jenis kelamin, penduduk dengan jenis kelamin laki-laki
sebesar 63.299 atau 48,92 %, sementara penduduk dengan jenis kelamin
perempuan sebesar 66.104 atau 51,08 %. Kepadatan penduduk Kota Gunungsitoli
tahun 2013 berdasarkan angka proyeksi adalah sebesar 276 jiwa per Km2.
Sementara berdasarkan wilayah kecamatan, kepadatan penduduk terbesar berada
pada Keamatan Gunungsitoli sebesar 570 jiwa per Km2, dan wilayah kecamatan
dengan kepadatan penduduk terkecil berada di Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa
sebesar 114 jiawa per Km2.

Tabel 6. Perkembangan jumlah umat beragama di Kota Gunungsitoli tahun
2014-2015
2014
Kecamatan

Islam

Protestan

Katolik

Hindu

Budha

Gunungsitoli

16.125

26.104

877

0

328

Gunungsitoli Idanoi

1.412

16.515

6.858

0

0

506

10.890

4.269

0

0

Gunungsitoli Barat

0

7.295

1.748

0

0

Gunungsitoli Utara

3.732

11.069

537

0

0

0

10.657

2.095

0

0

Gunungsitoli
Selatan

Gunungsitoli

Universitas Sumatera Utara

Alo’oa
Kota Gunungsitoli

21.775

92.530

16.384

0

328

2015
Kecamatan

Islam

Protestan

Katolik

Hindu

Budha

Gunungsitoli

12.834

36.104

877

0

328

Gunungsitoli Idanoi

1.382

16.515

6.858

0

0

153

11.779

4.269

0

0

Gunungsitoli Barat

0

7.295

1.748

0

0

Gunungsitoli Utara

3.465

12.069

537

0

0

0

10.657

2.095

0

0

17.834

94.419

16.384

0

328

Gunungsitoli
Selatan

Gunungsitoli
Alo’oa
Kota Gunungsitoli

Sumber: Kementrian Agama Kantor Kabupaten Nias

Tabel 7. Perkembangan jumlah tempat ibadah di Kota Gunungsitoli tahun
2014-2015
2014
Kecamatan

Gereja
Masjid

Gunungsitoli

42

Gunungsitoli Idanoi 7

Vihara

Pura

Protestan

Katolik

95

3

1

0

56

5

0

0

Universitas Sumatera Utara

Gunungsitoli

1

31

14

0

0

Gunungsitoli Barat

0

25

4

0

0

Gunungsitoli Utara

11

28

1

0

0

Gunungsitoli

0

20

9

0

0

61

255

36

1

0

Selatan

Alo’oa
Kota Gunungsitoli

2015
Kecamatan

Gereja
Masjid

Vihara

Pura

Protestan

Katolik

68

5

1

0

Gunungsitoli Idanoi 7

33

14

0

0

Gunungsitoli

1

23

4

0

0

Gunungsitoli Barat

0

19

3

0

0

Gunungsitoli Utara

11

25

9

0

0

Gunungsitoli

0

27

1

0

0

61

195

36

1

0

Gunungsitoli

42

Selatan

Alo’oa
Kota Gunungsitoli

Sumber: Kementrian Agama Kantor Kabupaten Nias

Universitas Sumatera Utara

Peneliti hendak ingin meneliti di sebuah desa yang terdapat di
Gunungsitoli Selatan, yaitu Desa Fodo. Secara administratif, Desa Fodo
berbatasan dengan:
Utara

: Desa Miga

Selatan

: Desa Luaha Laraga

Barat

: Desa Lolomboli

Timur

: Samudera Indonesia

Desa Fodo di nakhodai oleh Mei Restu Zebua sebagai Kepala Desa dengan
Sekretaris Desa bernama Sidikman Laowo. Desa Fodo memiliki dua dusun, yang
di beri nama Dusun I dan Dusun II. Dusun I di kendalikan oleh Silianus Zebua
dan Dusun II di kendalikan oleh Fajar Kurniawan Zebua, SE. Desa Fodo berjarak
7 Km dari pusat Kota Gunungsitoli dan berjarak 12 Km dari Pelabuhan Udara
Binaka yang berada di perbatasan Kabupaten. Di Desa Fodo terdapat sebuah Gua
legendaris yang terkenal dan di kenal sebagai Tegi Laowomaru atau Gua
Laowomaru. Selain Gua Laowomaru, terdapat juga pantai laowomaru yang
berseberangan dengan gua tersebut. Tempat ini sering dijadikan sebagai tempat
wisata oleh masyarakat setempat maupun di luar masyarakat setempat.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 8. Peta Desa Fodo

Universitas Sumatera Utara