Relasi Islam-Kristen di Kota Gunungsitoli Dalam Kehidupan Bermasyarakat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Skripsi ini membahas tentang relasi yang terjadi di antara pemeluk agama
Islam dan pemeluk agama Kristen di Kota Gunungsitoli. Penelitian skripsi ini
dilakukan di Kota Gunungsitoli dikarenakan Kota Gunungsitoli merupakan salah
satu daerah yang multiagama. Terdapat berbagai agama di antaranya agama
Kristen, Islam, Katolik, Budha, dan Konghuchu.
Sebagai bangsa yang multietnik, Indonesia memiliki berbagai potensi
konflik. Baik konflik secara vertikal maupun konflik secara horizontal. Konflik
vertikal di sini dimaksudkan sebagai konflik antara pemerintah dengan rakyat,
termasuk di dalamnya adalah konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah
pusat. Sedangkan konflik horizontal adalah konflik antar warga masyarakat atau
antar kelompok yang terdapat dalam masyarakat. Dalam dimensi vertikal,
sepanjang sejarah sejak proklamasi Indonesia hampir tidak pernah lepas dari
gejolak kedaerahan berupa tuntutan untuk memisahkan diri. Kasus Aceh, Papua,
Ambon merupakan konflik yang bersifat vertikal yang bertujuan untuk
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasus-kasus tersebut
merupakan perwujudan konflik antara masyarakat daerah dengan otoritas

kekuasaan yang ada di pusat. Konflik tersebut merupakan ekspresi ketidakpuasan
terhadap kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan di daerah. Di samping itu

Universitas Sumatera Utara

juga adanya kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat yang ada di
daerah. Kebijakan pemerintah pusat sering dianggap memunculkan kesenjangan
antar

daerah, sehingga

ada

daerah-daerah tertentu yang sangat

maju

pembangunannya, sementara ada daerah-daerah yang masih terbelakang.
Di samping konflik vertikal tersebut, konflik horizontal juga sering
muncul, baik konflik yang berlatarbelakang keagamaan, kesukuan, antarkelompok

atau golongan dan semacamnya yang muncul dalam bentuk kerusuhan, perang
antarsuku, pembakaran rumah-rumah ibadah, dan sebagainya. Konflik horizontal
yang sering terjadi adalah konflik yang berlatar belakang keagamaan. Konflik
keagamaan sering terjadi dalam intensitas yang sangat tinggi oleh karena agama
merupakan sesuatu hal yang sifatnya sangat sensitif. Ketersinggungan yang
bernuansa keagamaan sering memunculkan pertentangan yang meruncing yang
disertai dengan tindak kekerasan di antara kelompok penganut suatu agama dan
kelompok penganut agama lainnya. Konflik dengan intensitas yang demikian
tinggi disebabkan karena masalah yang bernuansa keagamaan sangat mudah
membangkitkan solidaritas di kalangan sesama pemeluk agama untuk melibatkan
diri ke dalam konflik yang sedang berlangsung, dengan suatu keyakinan bahwa
perang ataupun konflik membela agama adalah perjuangan yang suci. Dalam hal
ini dapat kita sebutkan kasus-kasus yang terjadi di Aceh, Poso, Sampit, Ambon,
Lombok, Sambas dan masih banyak lagi.
Seperti di Aceh, konflik telah tersulut sejak awal kemerdekaan bangsa
Indonesia. Konflik horizontal yang melibatkan lapisan masyarakat ningrat dengan
kelompok sosial-politik lainnya. Lalu, pemberontakan Darul Islam, perlawanan
terhadap kekuatan komunis, konflik antara GAM dan pemerintah, yang

Universitas Sumatera Utara


berdimensi horizontal manakala masyarakat Aceh mengusir para transmigran
yang telah menetap sekian tahun dan bertani di Aceh (Abdullah,2002). Selain itu,
konflik agama di Aceh Singkil pada tahun 2015 yang di tandai dengan
pembakaran gereja yang di anggap kontradiktif dengan doktrin suatu agama yang
jumlah mayoritas mempengaruhi jumlah minoritas dan belum lagi terdapat faktor
politik yang terselubung.
Selain di Aceh, di Papua pun terdapat Insiden pembakaran Masjid di
Kabupaten Tolikara, Papua tanggal 17 Juli 2015 telah menyebabkan konflik
agama di Papua memanas. Tragedi yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri
tersebut merupakan salah satu bentuk diskriminasi di Indonesia. Umat Nasrani
dari Gidi (Gereja Injili di Indonesia) menyerang umat Islam yang sedang
melaksanakan shalat Idul Fitri 1 Syawal 1436 H di Markas Korem 1702-11 di
Tolikara. Padahal umat Islam dimanapun tidak pernah melakukan tindakan barbar yang melarang apalagi mengusir umat Nasrani yang sedang melaksanakan
ibadah. Belum lagi, aparat keamanan sama sekali tidak antisipatif. Sejatinya
antisipatif, karena pimpinan Gidi sudah membuat surat yang melarang umat Islam
melaksanakan shalat Idul Fitri dilapangan dan memasang pengeras suara. Selain
itu, pada saat yang sama, umat Nasrani dari Gidi melaksanakan kebaktian rohani
sekaligus seminar internasional dengan jarak sekitar 200 meter dari lapangan
tempat diselenggarakannya shalat Idul Fitri, sehingga patut di duga bisa

menciptakan konflik horizontal.

Wakil presiden Indonesia, Jusuf Kala

mengatakan bahwa tragedi Tolikara disebabkan oleh pengeras suara atau speaker.
JK menjelaskan didaerah tersebut ada dua acara yang berdekatan atar umat agama
yang berbeda, yaitu Kristen dan Islam. "Ada acara Idul Fitri, ada pertemuan

Universitas Sumatera Utara

pemuka masyarakat gereja. Memang asal-muasal soal speaker itu," ujar JK dalam
konferensi pers di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat.

Ia menuturkan,

masyarakat seharusnya dapat mengetahui bahwa ada dua kepentingan yang terjadi
bersamaan. "Satu Idul Fitri, satu karena speaker, saling bertabrakan. Mestinya
kedua-duanya menahan diri. Masyarakat yang punya acara keagamaan lain harus
memahami," kata JK. Menurut dia, kedua belah pihak membutuhkan komunikasi
yang lebih baik jika mau menggelar acara-acara serupa. Ia pun berharap

kepolisian dan kepala daerah setempat bisa menyelesaikan masalah tersebut sesuai
jalur hukum. Surat edaran dari Sinode Gereja Injili di Indonesia yang disebar pada
11 Juli 2015 disebut-sebut menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik
tersebut. Pemerintah melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (BIMAS)
Kristen Kementrian Agama, Oditha Ronny Hutabarat menyatakan baru
mengetahui ada surat edaran tersebut setelah terjadi kerusuhan di Tolikara. Ronny
mengaku prihatin karena surat edaran tersebut dibiarkan beredar begitu saja karna
dapat memancing konflik bila sampai di tangan yang tidak benar. Konflik ini
menyebabkan setidaknya seorang tewas dan puluhan terluka.
Di Kabupaten Sambas, Kalimantan, pertikaian yang terjadi adalah
pertikaian antar etnis Melayu dan Madura. Penyebabnya, munculnya kesadaran
etnis dan kesetiakawanan etnis Melayu sebagai reaksi spontan atas kondisi
keterpurukan dan marginalisasi etnis Melayu (Alqadrie, 1992: 29). Etnis Madura
menerapkan prinsip menguasai kebudayaan yang berlaku di daerah setempat dan
memantapkan patokan-patokan aturan main sesuai dengan kebudayaan mereka
untuk diikuti oleh suku bangsa lainnya, termasuk suku bangsa setempat yang
semula dominan (Suparlan, 1999: 19). Selain itu, permasalahan lain yang memicu

Universitas Sumatera Utara


terjadinya konflik yaitu dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang
warga suku Madura yang ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku
Melayu. Peristiwa kemudian berkembang dengan bergabungnya ratusan warga
suku Madura dan menyerang beberapa warga suku Melayu yang berakibat 3
orang suku Melayu meninggal dunia dan 2 orang luka-luka. Selain itu terjadi pula
kasus perkelahian antara kenek angkot warga suku Melayu dengan penumpang
angkot warga suku Madura yang tidak mau membayar ongkos. Akibatnya terjadi
saling balas membalas antara warga tempatan yakni suku Melayu dan suku Dayak
menghadapi warga suku Madura dalam bentuk perkelahian, penganiayaan dan
pengrusakan. Peristiwa berkembang dengan terjadinya kerusuhan, pembakaran,
pengrusakan, perkelahian, penganiayaan dan pembunuhan antara warga suku
Melayu dan warga suku Dayak menghadapi warga suku Madura, yang meluas
sampai kedaerah sekitarnya. Telah terjadi pengungsian warga suku Madura secara
besar-besaran. Kemudian isu ini dieksploitir oleh kelompok-kelompok tertentu
untuk kepentingannya. Peristiwa ini adalah kejadian yang kesepuluh sejak tahun
1970.
Lain halnya di Sambas, lain pula yang terjadi di Lombok. Konflik sosial
politik etnis Samawa dengan etnis Bali pemicu konflik, yaitu munculnya isu
ketidakadilan, kecemburuan sosial dan prasangka dikalangan warga etnis
Samawa, bahwa “Sumbawa telah dikuasai oleh etnis Bali”. Konflik dipicu oleh

perkelahian pemuda Bali dengan pemuda Sumbawa, melebar kasus kawin lari
yang sering terjadi sepanjang tahun, sampai kepada terjadinya penembakan
oknum pejabat atau aparat yang mengakibatkan korban luka dan meninggal dunia,
akhirnya memicu meletusnya konflik secara meluas pada tanggal 17 November

Universitas Sumatera Utara

1980 (puncak amuk massa secara besar-besaran diseluruh kota maupun
dibeberapa desa atau kecamatan. Masalah-masalah muncul yang seolah-olah
mengkambing hitamkan warga yang berasal Ari etnis Bali, juga isu sara yang
sengaja dihembuskan oleh kelompok kepentingan yang ingin menjadi bupati
Sumbawa periode berikutnya akhirnya memicu kemarahan yang begitu besar
dikalangan warga lokal (Sumbawa). Amukan massa Sumbawa pada saat itu
dilampiaskan dengan cara membakar berbagai tempat yang diketahui sebagai
milik etnis Bali, seperti hotel, toko, hingga beberapa rumah. Seperti halnya masa
lalu tersebut, konflik etnis Samawa – Bali kembali terjadi pada tanggal 23 Januari
2013 yang juga dipicu oleh sebuah isu, yakni kematian seorang perempuan
Sumbawa yang diisukan dibunuh oleh pacarnya sendiri yang tidak lain adalah
seorang polisi berasal dari Bali. Berdasarkan laporan yang diberikan oleh pihak
polres Sumbawa, bahwa korban meninggal dunia murni karena kecelakaan lalu

lintas. Akan tetapi, isu berbeda mulai berhembus di kalangan masyarakat yang
mengatakan bahwa korban meninggal dunia dikarenakan penganiayaan oleh
pacarnya. Isu pertama kali berkembang dari pihak keluarga korban yang merasa
ada yang aneh dari kematian putri mereka, melihat luka lebam dibeberapa bagian
tubuh korban yang tidak mungkin disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Sampai
pada titik, dimana beberapa mahasiswa beserta massa berujuk rasa meminta
penjelasan pada pihak kepolisian dan juga pihak tersangka. Mereka tidak puas
dengan jawaban yang diberikan. Amukan massa kembali terjadi, pembakaran
hotel Tambora, hotel yang termasuk hotel terbesar di wilayah kabupaten
Sumbawa, kurang lebih 35 rumah dan beberapa toko, satu supermarket, hingga

Universitas Sumatera Utara

motor

dan mobil box angkutan barang. Selain pembakaran, massa juga

mengambil beberapa elektronik yang berasal dari toko-toko tersebut.
Lain pula di Sampit. Kerusuhan Sampit dengan korban ratusan jiwa
ternyata hanya bermula dari perkelahian siswa SMK di Baamang. Perkelahian itu

melibatkan anak warga Dayak dan Madura. Perkelahian siswa itulah, yang
kemudian memicu konflik antarkeluarga, antaretnis, hingga pembantaian sampai
pengusiran puluhan ribu warga Madura. Anak polah, bapa kepradah. Pepatah
Jawa yang berarti anak berbuat, orang tua ikut terlibat ini terjadi atas diri keluarga
Matayo. Warga asal Madura yang sudah lama tinggal di Baamang, Sampit, ini tak
terima anaknya berkelahi dengan anak warga Dayak. Tapi, keterlibatan Matayo
atas perkelahian anaknya ini malah memicu kegeraman warga dayak. Warga
Madura tak bisa menerima. Sejak hari itu, pertarungan antara warga Dayak dan
Madura dimulai.
Hal serupa juga terjadi dalam konflik etnis antara etnis Ambon dengan
etnis Buton, Bugis, Makasar (BBM) di Ambon. Konflik yang semula dipicu oleh
persoalan ketidakadilan kemudian berkembang menjadi persoalan agama. Konflik
ini berawal dari masalah sepele. Saat bulan puasa, seorang warga yang sedang
mabuk membacok seorang warga yang berbeda agama di masjid. Polisi telat
mengantisipasi masalah tersebut, kerusuhan pun berbuntut panjang. Kerusuhan
demi kerusuhan di Pulau Ambon pada akhirnya bersangkut paut dengan sikap
toleransi warga yang berdomesili di Pulau Ambon. Sementara isu pertikaian yang
bernuasa SARA semakin dipertajam sehingga menimbulkan fanatisme antara
masing-masing umat beragama. Apalagi menjelang berlangsungnya pilkada Poso,
terjadi saling provokasi dengan membuat selebaran yang menghasut. Kedua


Universitas Sumatera Utara

provokator dan pemimpin penyerangan akhirnya memang mati terbunuh.
Selanjutnya, terjadi saling lempar ke perkampungan berbeda agama. Saling serang
dan bakar rumah penduduk dan rumah ibadah. Bahkan saling bunuh.
Bukan hanya sebagai konflik antar agama yang menimbulkan konflik ini
tetapi ada faktor lain yaitu adanya kesenjangan ekonomi dan sosial yang menjadi
penyebab konflik. Konflik yang terjadi antara warga Muslim baik pribumi
maupun pendatang, yang perekonomiannya dianggap relatif baik karena
pekerjaannya sebagai pedagang dan lebih banyak berperan dalam pemerintahan
menyebabkan kelompok Kristen merasa termarjinalisasi oleh keadaan tersebut.
Konflik ini terbagi menjadi empat babak yang latar belakangnya berbeda.
Dijelaskan bahwa isu SARA yang dilakukan oleh orang-orang yang
berkepentingan merupakan ikut menjadi pemicu terjadinya konflik agama
tersebut. Budaya pela1 pun terkoyak. Begitu pula dengan semboyan sintuwu
maroso2 yang mencerminkan nilai kekerabatan dan semangat gotong royong
masyarakat Poso kini seolah tinggal kenangan setelah konflik berdarah menimpa
wilayah tersebut sejak akhir Desember 1998 hingga 2000 (Mangun dalam Jurnal
Perempuan 24, 2002: 38).

Terjadinya konflik horizontal biasanya juga merupakan akumulasi dari
berbagai faktor baik faktor kesukuan atau etnis, agama, ekonomi, sosial, dan
sebagainya. Apa yang tampak sebagai kerusuhan yang berlatarbelakang agama
bisa jadi lebih terkait dengan sentimen etnis atau kesukuan, begitu juga dengan
konflik yang tampak dengan latar belakang etnis atau keagamaan sebenarnya
1

2

Pela dalam bahasa Poso adalah suatu ikatan persatuan di masyarakat Maluku yang terdiri dari dua negeri
yang berlainan agama (Islam dan Kristen)
Sintuwu Maroso dalam bahasa Poso mengandung dua makna, yaitu Sintuwu yang berarti bersatu atau
persatuan dan maroso berarti kuat.

Universitas Sumatera Utara

hanya merupakan perwujudan dari kecemburuan sosial 3.

Memperhatikan pluralitas keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
dan

penyebaran

penduduk

(demografis)

serta

geografisnya,

pembagian

masyarakat ke dalam kelompok-kelompok keagamaan diyakini akan berpengaruh
terhadap relasi yang terjadi di antara mereka. Relasi antara umat Islam dan Kristen
bisa muncul dalam bentuk yang ideal, seperti terjalinnya relasi yang harmonis,
kerjasama yang baik di antara mereka, dan toleransi. Tetapi bisa juga, relasi itu
muncul dalam bentuk yang negatif, seperti terjadinya pertentangan, permusuhan,
sampai pada tingkat kekerasan fisik. Manusia dan agama adalah dua realitas dari
kehidupan sosial yang tak terpisahkan. Agama merupakan fenomena universal
yang menyertai kehidupan umat manusia.

Seperti kejadian terakhir ini yang mewarnai ranah perpolitikan di ibu kota
yang menggunakan unsur keagamaan. Pemilihan gubernur DKI Jakarta berbasis
agama di jadikan sebagai tameng untuk memenangkan sebuah pertarungan.
Banyak yang menjadi provokator untuk memanas-manaskan pihak lawan yang
dianggap tidak pro dengan suatu pasangan. Tak luput, terdapat banyak dampakdampak yang di rasakan apabila memilih anggota yang di anggap tidak pro
dengan suatu pasangan seperti larangan menguburkan mayat yang memilih salah
satu pasangan yang di anggap tidak pro dengan dominan pendukung salah satu
calon peserta.

Persoalan keagamaan dan persoalan kerukunan hidup antar umat beragama
dan juga antar internal umat beragama harus dijadikan prioritas utama dalam
3

http://sejarah-kelam-indonesia.blogspot.co.id/2015/01/kerusuhan-ambon-dan-poso-1999.html.

Universitas Sumatera Utara

kebijakan negara kapanpun dan di bawah kepemimpinan siapapun. Dalam
perbandingan agama, ditemukan prinsip-prinsip “bagimu agamamu dan bagiku
agamaku,” dan “tidak ada paksaan dalam beragama.” Kebangsaan Indonesia yang
bersatu dalam keanekaragaman telah membentuk sikap toleran dan intoleran antar
sesama. Berbeda-beda tetapi tetap satu dalam kebersamaan. Bersama-sama
bersatu padu tetapi tidak menghilangkan keanekaan. Inilah yang dirumuskan
menjadi “Persatuan Indonesia” sebagai sila kedua Pancasila. Persatuan bukanlah
kesatuan. Dalam persatuan ada dinamika dan keanekaragaman, sedangkan dalam
kesatuan hanya ada keseragaman yang tidak memberi tempat pada perbedaan.
Karena itu, meskipun menganut banyak sekali ajaran dan aliran keagamaan, tetapi
bangsa Indonesia tetap hidup rukun dan damai. Setiap orang meyakini agamanya
masing-masing tanpa harus diganggu dan dipengaruhi. Setiap keyakinan harus
dihargai dan dihormati tanpa harus menjadi alasan sebagai sesama warga negara
untuk tidak bekerjasama dan saling bahu membahu. Memang, pengalaman
Indonesia sejak kemerdekaan hingga sekarang mengalami pasang surut mengenai
toleransi dan intoleransi dalam kehidupan beragama.
Di banyak wilayah, kerjasama antar kelompok agama dapat terjalin
dengan baik, yang dijembatani oleh rasa kekerabatan, solidaritas, persaudaraan,
kemanusiaan dan kebangsaan. Untuk menjaga kondisi masyarakat yang tetap
kondusif, dimana masing-masing kelompok dapat mengekspresikan keyakinan
ajarannya dalam kehidupan bermasyarakat sedemikian rupa sehingga tak
menganggu hak kelompok lainnya yang berbeda keyakinan, negara memiliki
kebijakan yang ditetapkan dalam UUD 45 pasal 29 yakni negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

Universitas Sumatera Utara

untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu. Akibat kebijakan
tersebut, setiap warga negara bebas memeluk agama apapun tanpa adanya paksaan
dari pihak manapun.

Sejauh informasi yang penulis dengar, terdapat salah satu daerah di
Indonesia yang memiliki beragam agama serta kompisisi penduduk yang tidak
sama, terdapat mayoritas dan minoritas keagamaan yaitu di Kota Gunungsitoli,
Nias. Kota Gunungsitoli merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara,
Indonesia yang terletak di Pulau Nias yang berjarak sekitar 85 mil dari laut Kota
Sibolga yang merupakan salah satu dari hasil pemekaran dari Kabupaten Nias.
Kecamatan yang berada di Kota Gunungsitoli adalah: Gunungsitoli, Gunungsitoli
Alo’oa,

Gunungsitoli

Barat, Gunungsitoli

Idanoi, Gunungsitoli

Selatan,

Gunungsitoli Utara. Batas wilayahnya, yaitu:

Tabel 1. Batas Wilayah

Utara

Kecamatan Sitolu Ori (Kabupaten Nias Utara)

Selatan

Kecamatan Gido dan Hili Serangkai (Kabupaten Nias)

Barat

Kecamatan Alasa Talumuzoi dan Namohalu Esiwa (Kabupaten Nias
Utara), serta Hiliduho (Kabupaten Nias)

Timur

Samudera Indonesia

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Gunungsitoli,
masyarakat di Kota Gunungsitoli menganut beberapa agama, diantaranya Islam,
Kristen, Katolik, Budha. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat di Kota
Gunungsitoli memiliki kondisi masyarakat yang multi-religius.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Umat Beragama di Kota Gunungsitoli
Tahun 2012-2015

Jumlah
Agama

Tahun 2012

Tahun 2013

Tahun 2014

Tahun
2015

Islam

20.193

21.147

21.774

17.834

Protestan

91.277

92.510

92.530

94.419

Katolik

16.382

16.278

16.384

16.384

Hindu

0

0

0

0

Budha

0

284

328

328

Data Sumber: Kementrian Agama Kantor Kabupaten Nias

Dari data di atas, agama yang memiliki jumlah penganut terbanyak dan
selalu mengalami peningkatan yaitu agama Kristen, selanjutnya disusul oleh
agama Islam yang pada tahun 2015 mengalami sedikit penurunan, Katolik yang
mengalami perubahan turun-naik, Budha yang awalnya 0 menjadi 284 dan
mengalami peningkatan walau pada tahun 2015 jumlah penganutnya sama seperti
tahun sebelumnya. Dengan keberagaman diatas, masyarakat di Kota Gunungsitoli
akan selalu terkait dengan interaksi ataupun konfrontasi diantara semua agama
dengan menjunjung tinggi toleransi tanpa harus mempersoalkan perbedaan.

Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat isu
keagamaan yang terdapat di Kota Gunungsitoli. Peneliti ingin mengkaji tentang
bagaimana hubungan antar umat beragama di daerah tersebut mengingat di
beberapa daerah mengalami pasang-surutnya permasalahan tentang makna

Universitas Sumatera Utara

toleransi dan relasi. Belajar dari konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan di
daerah lain yang membawa peneliti ingin mempelajarinya dan mengkajinya di
daerah Kota Gunungsitoli. Selain itu juga, informasi di daerah tersebut mudah di
akses dikarenakan peneliti bagian dari komunitas tersebut dan peneliti setidaknya
mengerti akan bahasa yang terdapat di daerah tersebut. Peneliti juga tertarik untuk
mengetahui sejauh mana relasi terjalin diantara berbagai agama. Keadaan ini
sangat menarik untuk diteliti dan dideskripsikan.

1.2.Tinjauan pustaka
Perbedaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari realitas kehidupan.
Adanya perbedaan kebudayaan diantara masing-masing suku bangsa di Indonesia,
pada khakekatnya disebabkan oleh adanya perbedaan sejarah perkembangan
kebudayaan masing-masing dan oleh

adaptasi terhadap lingkungan masing-

masing. Kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi lebih kompleks lagi karena
adanya sejumlah warga negara/masyarakat Indonesia yang tergolong sebagai
keturunan orang asing yang hidup di dalam dan menjadi sebagian dari masyarakat
Indonesia. Mereka ini mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda dengan
kebudayaan-kebudayaan yang ada pada umumnya yang dipunyai orang Indonesia.
Perbedaan bisa menjadi potensi kekayaan, bisa juga menjadi persoalan. Menjadi
potensi kekayaan jika dipahami secara baik dan dikelola secara konstruktif agar
semakin memperkaya makna hidup. Rumit kondisinya jika perbedaan dipaksa
untuk sama persis dalam segala hal. Salah satu hal yang menarik dari Indonesia
adalah pluralisme etnik dan agama yang dimilikinya. Terdapat enam agama resmi
di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan
Kong Hu Cu.

Universitas Sumatera Utara

Mengacu pada kondisi masyarakat Indonesia yang plural, mereka saling
berinteraksi satu dengan yang lainnya. Konsep tak bisa hidup tanpa bantuan
oranglain merupakan hal mendasar yang membuat masyarakat Indonesia
membutuhkan oranglain dan menyebabkan interaksi terjadi diantara seseorang
maupun kelompok. Menurut Taneko (1990:116), interaksi sosial diantara mereka
dapat dibedakan dalam empat bentuk yaitu kerja sama, persaingan, pertikaian, dan
akomodasi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa, kerja sama adalah suatu bentuk proses
sosial dimana dua atau lebih perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan
bersama guna mencapai tujuan yang sama. Timbulnya kerjasama apabila orang
menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama, dan saat yang
bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri
untuk memenuhi kepentingan tersebut melalui kerjasama, kesadaran akan adanya
kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta
yang penting dalam kerjasama yang berguna.
Di dalam interaksi pun, terdapat sebuah persaingan. Persaingan merupakan
suatu proses sosial, dimana beberapa orang atau kelompok berusaha mencapai
tujuan yang sama dengan cara yang lebih cepat dan mutu yang lebih tinggi.
Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan, misalnya bidang
ekonomi, kedudukan dan kekuasaan. Gillin dan Gillin (dalam Soekanto,1990:78),
menyatakan persaingan dapat diartikan sebagai proses sosial, dengan perorangan
atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui
bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian publik
dengan cara berusaha menarik perhatian publik atau dengan cara mempertajam
prasangka yang ada tanpa mempergunakan ancaman kekerasan. Persaingan dapat

Universitas Sumatera Utara

juga mengakibatkan semangat pada beberapa macam kegiatan, bahkan persaingan
ada yang mempunyai tendensi kepada pertikaian. Pertikaian dapat terjadi karena
proses interaksi, dimana penafsiran makna perilaku tidak sesuai dengan maksud
dari pihak pertama, yaitu pihak yang melakukan aksi, sehingga menimbulkan
suatu keadaan dimana tidak terdapat keserasian diantara kepentingan dan pihakpihak yang melakukan interaksi. Pada pertikaian terdapat usaha untuk
menjatuhkan pihak lawan dengan menggunakan kekerasan. Pertikaian dapat
memicu sebuah konflik.
Menurut Stedman (1991:373), penyebab konflik kedaerahan adalah:
1. Krisis pemerintahan nasional, baik karena persoalan suksesi maupun jatuh
bangunnya pemerintahan karena lemahnya konstitusi.
2. Kegagalan lembaga-lembaga negara menengahi konflik, baik yang
melibatkan unsur-unsurr masyarakat maupun lembaga-lembaga negara.
3. Pembatasan partisipasi politik warga negara di daerah-daerah.
4. Ketidakadilan distribusi sumber daya ekonomi nasional dan sulitnya akses
masyarakat di daerah terhadap sumber daya tersebut.
5. Rezim yang tidak responsif terhadap tuntutan warga negara dan tidak
bertanggungjawab terhadap rakyatnya.
Konflik keagamaan sejak masa revormasi mulai mewarnai kehidupan
keagamaan di indonesia. Suatu pendapat menyatakan bahwa terjadinya konflik
keagamaan disebabkan oleh eksklusivitas dari sementara pemimpin dan penganut
agama; sikap tertutup dan saling curiga antaragama; keterkaitan yang berlebihan
dengan simbol-simbol keagamaan; agama yang seharusnya merupakan tujuan
hanya dijadikan sebagai alat; serta faktor lain yang berupa kondisi sosial, politik

Universitas Sumatera Utara

dan ekonomi (Assegaf dalam: Sumartana, 2001:34-37). Apa yang disebutkan
paling akhir memberikan pemahaman bahwa konflik berlatarbelakang keagamaan
tidak lepas dari aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan
antarumat beragama biasanya terjadi apabila kepentingan-kepentingan tertentu
memainkan peranan dalam percaturan hubungan anatarumat beragama (Ismail,
1999:1). Dengan demikian, apa yang dikatakan sebagai konflik agama ketika
dicermati ternyata bukan konflik yang berlatarbelakang keagamaan tetapi konflik
lain yang memanfaatkan simbol-simbol agama sebagai sarana membangkitkan
solidaritas kelompoknya. Konflik horizontal juga banyak terjadi dengan latar
belakang perbedaan kepentingan, baik kepentingan politik, ekonomi, maupun
sosial. Kepentingan suatu kelompok berbeda atau bahkan bertentangan satu sama
lain, sehingga upaya suatu kelompok untuk mencapai tujuan dirasakan
mengganggu pencapaian tujuan kelompok lainnya. Konflik yang demikian
biasanya tidak bersifat laten akan tetapi hanya merupakan kejadian sesaat, dan
ketika kepentingan itu bergeser, konflik pun akan selesai dan bahkan berubah
menjadi kerjasama. Konflik antarpendukung partai, calon presiden, atau kepala
desa misalnya merupakan beberapa contoh di antaranya.
Jika dilihat dari perspektif kecepatan reaksi (speed of reaction) yang
diberikan para pihak atas ketidaksepahaman yang terbentuk di kalangan
berkonflik, maka konflik sosial dapat berlangsung dalam beberapa variasi tipe
atau bentuk, yaitu:
1. Gerakan sosial damai (peaceful collective active) yang berlangsung berupa
aksi penentangan, yang dapat berlangsung dalam bentuk: aksi korektif,
mogok kerja, mogok makan, dan aksi diam. Dalam hal tidak ditemukan

Universitas Sumatera Utara

resolusi konflik yang memuaskan, maka aksi damai dapat dimungkinkan
berkembang menjadi aksi membuat gangguan umum (strikes and civil
disorders) dalam bentuk demonstrasi ataupun huru-hara.
2. Demonstrasi (demonstrations) atau protes bersama (protest gatherings)
adalah kegiatan yang mengekspresikan atas ketidaksepahaman yang
ditunjukan oleh suatu kelompok atas suatu isu tertentu. Derajat tekanan
kurang lebih sama dengan pemogokan. Aksi kolektif seperti ini biasanya
diambil

sebagai

protes

yang reaksioner

yang dilakukan

secara

berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditujukkan oleh
suatu pihak tertentu kepada pihak berseberangan atas suatu masalah
tertentu. Biasanya skala bersifat lokalitas, sporadik (meski tidak tertutup
kemungkinan dapat meluas).
3. Kerusakan dan huru-hara (riots) adalah peningkatan derajat keberingasan
(degree of violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung
sebagai reaksi massal atas suatu keresahan umum. Oleh karena disertai
dengan histeria massa, maka huru-hara seringkali tidak bisa dikendalikan
dengan mudah tanpa memakan korban luka (bahkan kematian).
4. Pemberontakan (rebellions) adalah konflik sosial berkepanjangan yang
biasanya digagas dan direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan
dengan baik. Pemberontakan bisa menyangkut perjuangan atas suatu
kedaulatan atau mempertahankan kawasan termasuk eksistensi ideologi
tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara mantfest,
melainkan bisa diawali di bawah tanah sehingga tampak latent sifatnya.

Universitas Sumatera Utara

5. Aksi radikal-revolusioner (revolutions) adalah gerakan penentangan yang
menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan tertentu.
6. Perang, salah satu bentuk konflik yaitu konflik antar negara yang sangat
tidak dikehendaki oleh masyarakat dunia karena dampaknya sangat luas
terhadap kemanusiaan.

Hendropuspito

(dalam

Arkanudin,

2001:40),

menyatakan

bahwa

akomodasi merupakan suatu bentuk proses sosial yang didalamnya terdapat dua
atau lebih individu atau kelompok berusaha untuk tidak saling mengganggu
dengan cara mencegah, mengurangi atau menghentikan ketegangan yang akan
timbul atau yang sudah ada. Soekanto (1990:62-67), menyatakan bahwa
akomodasi itu menunjuk pada dua arti: pertama akomodasi itu menunjuk pada
suatu proses, dan kedua; akomodasi itu menunjuk pada suatu keadaan. Sebagai
suatu proses menunjuk pada usaha-usaha untuk mencapai penyelesaian atau
pertikaian, sedangkan sebagai suatu keadaan menunjuk pada suatu kondisi
selesainya suatu pertikaian.
Secara filosofis, orang yang tidak bisa menerima dan menghargai
keunikan orang lain dan tidak mampu lebur dalam proses dialog dengan orang
lain adalah orang yang gagal memahami diri dan sesamanya. Orang yang mampu
memahami dirinya sendiri pasti akan menerima dan menghargai keunikan orang
lain. Kehidupan sendiri sesungguhnya merupakan proses dialog terus-menerus
dengan oranglain agar tercipta suatu hubungan atau relasi baik. Melalui dialog,
seseorang akan memberi dan menerima. Untuk bisa melakukan hal tersebut, tentu
saja diperlukan kesabaran, sikap saling memahami/toleransi, kepercayaan diri

Universitas Sumatera Utara

serta kematangan pribadi. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika dari
masing-masing partisipan tidak akan ada kesediaan untuk membuka diri,
kesediaan saling memberi dan menerima secara sukarela dan antusias (Hidayat,
2001: 43).
Toleransi dan non-kekerasan lahir dari sikap menghargai diri (self-esteem)
yang tinggi. Kuncinya adalah bagaimana semua pihak memersepsi dirinya dan
oranglain. Jika persepsinya lebih mengedepankan dimensi negatif dan kurang
apresiatif terhadap orang lain, kemungkinan besar sikap toleransinya akan lemah,
atau bahkan tidak ada. Sementara jika persepsi diri dan mengedepankan dimensi
positif, maka yang akan muncul adalah sikap yang toleran dalam menghadapi
keberagaman. Toleransi akan muncul pada orang yang telah memahami
kemajemukan secara optimis-positif. Sementara pada tataran teori, konsep
toleransi mengandaikan fondasi nilai bersama sehingga idealitas bahwa agamaagama dapat hidup berdampingan secara koeksistensi harus diwujudkan
(Baidhowy, 2002: 17).
Memang bukan hal mudah membangun semangat toleransi dan
mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kata toleransi memang sangat
mudah diucapkan, namun memiliki kesulitan dan kerumitan tersendiri ketika
diimplementasikan, sebab realitas yang sarat keragaman, perbedaan dan penuh
dengan

tantangan

dalam

kehidupan,

menjadikan

usaha

untuk

mengimplementasikan toleransi menjadi agenda yang tidak ringan. Toleransi
bukan semata-mata persoalan prosedur pergaulan untuk kerukunan hidup, tapi
lebih mendasar dari itu yang merupakan persoalan prinsip ajaran kebenaran
(Madjid, 1999: 66). Toleransi yang menjadi bagian dari kesadaran warga

Universitas Sumatera Utara

masyarakat akan berimplikasi pada sikap saling menghormati, menghargai dan
memahami satu sama lain agar dapat menciptaka

kerukunan antar umat

beragama.
Kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling
menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam
kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus
melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama di
kehidupan bermasyarakat. Kerukunan merupakan kondisi dan proses tercipta dan
terpeliharannya pola-pola interaksi yang beragam diantara unit unit (unsure / sub
sistem) yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang
ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati
dan menghargai serta sikap saling memaknai kebersamaan dimana semua
golongan agama bisa hidup berdampingan bersama sama tanpa mengurangi hak
dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya ( Syaukani, 2008
: 5).
Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan dalam Trilogi
Kerukunan yaitu:
1. Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agamaIalah kerukunan
di antara aliran-aliran paham-paham /mazhab-mazhab yang ada dalam
suatu umat atau komunitas agama.
2. Kerukunan di antara umat / komunitas agama yang berbeda-bedaIalah
kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda-beda yaitu

Universitas Sumatera Utara

di antara pemeluk islam dengan pemeluk Kristen Protestan, Katolik,
Hindu, dan Budha.
3. Kerukunan antar umat / komunitas agama dengan pemerintah Ialah supaya
diupayakan keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat
agama dengan para pejabat pemerintah dengan saling memahami dan
menghargai tugas masing-masing dalam rangka membangun masyarakat
dan bangsa Indonesia yang beragama.
Ada beberapa pandanggan ahli Kristen dan ahli islam tentang kerukunan
umat beragama, diantaranya:


Hendrik Kraemer
Kreamer berpendapat bahwa hubungan antar-agama mestilah di pahami

dalam terang peryataan allah yang mencapai puncak penggenapannya dalam diri
yesus kristus. Pandang tersebut tidak lepas dari pegikutnya Karl Barth, yang
mengklaim bahwa ada perbedaan kualitatif mutlak antara allah dan manusia, dank
arena itu pula, ada perbedaan antara “ kebenaran yang di nyatakan dalam kristus”
dan “ kebenaran yang di temukan manusia”. Bertolak dari kaca mata ilmu agama,
kreamer megatakan bahwa agama atau agama adalah satu dari ungkapanungkapan besar yang menampilkan kebudayaan manusia. Jadi, apabila kreamer
beerbicara mengenai agama, berarti dia berbicaramengenai dunia dengan “seluruh
lapangan hidupnya. Pemikiran ini kemudian dikaitkan dengan apa yang di
sebutnya “kesadaran beragama, yang secara universal memenag terdapat pada
semua orang. Kesadaran beragama inilahyang menampakan diri secara formal dan
struktural dalam setiap agama. Dengan kata lain, setiap agama pada hakikatnya

Universitas Sumatera Utara

adalah pengungkapan darai kesadaran beragama. Pandangan ini memberikan
kesan bahwa kreamer bersikap positif terhadap agama agama lain.
Lalu bagaimana dengan islam? Bagi kraemer tidak diragukan bahwa islam
adalah juga agama penyataan. Secara historis, Islam adalah sala satu cabang
yudaisme dan kekristenan yang bersifat profetis. Karena itu ada hubungan khusus
islam dan kristenan. Tapi lebih dalam dari itu,dengan di ispirasikan oleh
pandangan tentang realisme Alkitab tersebut, kraemer megatakan bahwa islam
lahir dalam bayangan-bayangan realisme Alkitab. Islam mempunyai asal-usul
protefis dan mempunyai relasi-relasi yang mesra dengan iklim yang realisme
Alkitab. Nabi Muhammad menyampaikan amanah AIIAH yang rahmani dan
rahimi sebagai penyataan allah secara langsung. Jadi, kraemer memang megakui
islam sebagai agama penyataan, tetapi pada saat yang sama ia menempatkannya
dibawah penghakiman realisme Alkitab.
Pandangan ini membawa kraermer pada ajakan untuk bersifat positif
terhadap islam. Bagai manakah sikap positif itu diwujudkan? Disini ia mencoba
menerjemahkan“ kehadiran missioner”, dengan dua tugas, yaitu kesaksian dan
pelayanan sebagai hubungan antar-pribadi (interpersonal relationship) antara
orang muslim dan Kristen. Menurut kraemer, orang muslim diperlukan bukan
sebagai orang non-kristen tetapi sebagai sesame manusia dengan berbagai
kebutuhan fundamental, aspirasi dan frustrasi yang sama.



Isma‟il Ragi A. al Faruki
Ia berpendapat bahwa untuk menlai hubungan antara agamaperlu ada satu

patokan nilai yang sama, khususnya bagi agama pewaris imam Abrahamis, yaitu

Universitas Sumatera Utara

Yahudi, Kristen, dan Islam. Menurutnya, karna Allah itu Esa, maka unitas nilai
agamawi tidak bias di ingkari. Ia menegaskan perlunya unitas nilai yang dipake
sebagai prinsip meta relige untuk megevaluasi agama-agama. Menurut, prinsip
urabah inilah yang menjadi inti agama -agama. Dalam hubungan ini, maka agama
agama Yahudi,Kristen dan Islam ditempatkan nya dalam satu garis sejarah, yaitu
sejarah urabah. Apakah yang dipetik dari pahamanini? Memurut Faruqi, agama
Kristen dapat belajar dari Kristologi islami yang menekankan kemanusian Yesus
yang unik dan istimewa di antara nabi-nabi lain. Pada pihak lain, agama islam dapat
pula belajar dari Kristologi Kristen yang menekankankeilahian dan kemanusian yesus
kristus.

1.3.Rumusan Masalah

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan
antar umat beragama serta relasi yang terjalin di antara pemeluk agama IslamKristen di Kota Gunungsitoli sebagai suatu wilayah yang multiagama dengan
perbandingan yang jauh antara mayoritas Kristen dan minoritas Islam dalam
kehidupan bermasyarakat.

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengkaji dan
mengetahui bagaimana hubungan antar umat beragama serta relasi yang terjalin di
antara mayoritas dan minoritas yang perbandingan pengikutnya cukup jauh.

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah:

Universitas Sumatera Utara

a. untuk menambah dan memberikan wawasan ilmu pengetahuan seputar
hubungan antar umat beragama serta relasi antar mayoritas Kristen dan
minoritas Islam dari perspeltif antropologi, yang berfokus pada kehidupan
bermasyarakat.
b. dapat dijadikan sebagai bahan atau informasi bagi para pembaca,
mengenai hubungan antar umat beragama serta relasi mayoritas dan
minoritas di Kota Gunungsitoli dan bagaimana antropologi berbicara
mengenai relasi tersebut sehingga pembaca mampu mengerti, memahami
dan mengetahui pembelajaran antropologi dalam hal ini.
c. diharapkan dapat memberikam kontribusi positif dan bahan acuan
terhadap peneliti-peneliti lainnya maupun instansi terkait yang membahas
tentang hubungan antar umat beragama serta relasi keagamaan.

1.5.Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang di lakukan oleh penulis yaitu di Kota
Gunungsitoli. Alasan penulis melakukan penelitian di daerah tersebut dikarenakan
penulis hendak melihat langsung bagaimana relasi antar umat beragama serta
kerukunan antar umat masyarakat Islam dan Kristen yang terjadi di daerah
tersebut. Selain itu, tempat tinggal penulis pun berada di daerah tersebut sehingga
memudahkan penulis dalam mencari dan mengumpulkan data penelitian baik dari
hasil observasi, wawancara dengan masyarakat setempat.

Universitas Sumatera Utara

1.6.Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode deskriptif dan
metode penelitian kualitatif untuk mengumpulkan data-data penelitian. Metode
deskriptif menurut Nazir (1988: 63) dalam Buku Contoh Metode Penelitian, yaitu:
“metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti
status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi,
suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Tujuan dari peneltian ini untuk membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena
yang diselidiki.”

Dapat dikatakan bahwa penelitian deskriptif ini merupakan penelitian yang
berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa yang terjadi pada saat sekarang
atau masalah aktual. Peneliti memusatkan diri pada penelitian ini dengan studi
kasus secara intensive terhadap satu objek tertentu baik secara menyeluruh
maupun mengenai aspek-aspek tertentu yang mendapat perhatian khusus.

Menurut Lexy J.Moleong (2006:6), peneltian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang terjadi dan dialami
oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lainlain. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa.
Pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode kualitatif berupa pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan.

Dalam penelitian ini, ada dua macam data yang akan dikumpulkan yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari field research sehingga

Universitas Sumatera Utara

data yang diharapkan bisa tercapai secara objektif dan faktual. Adapun cara yang
dilakukan untuk mendapatkan data primer, yaitu:

a.

Observasi

Observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap berbagai gejala
yang tampak pada saat penelitian. Menurut Danandjaja (1988: 104)
dalam pengumpulan data kebudayaan apa saja, harus dikumpulkan
dengan

cara

pengamatan

langsung

(direct

observation)

dan

pengamatan tidak langsung (indirect observation). Observasi yang
akan dilakukan peneliti adalah observasi pertisipasi. Observasi
partisipasi dipilih karena memberi keuntungan tersendiri bagi peneliti.
Pertama, memberikan informasi langsung tentang tingkah laku
individu dan kelompok. Kedua, memungkinkan peneliti memasuki dan
memahami suatu situasi dan konteks situasi secara lebih baik. Kedua
hal tersebut tentu saja akan memudahkan peneliti dalam menangkap
realitas emik. Ketiga, dilakukan secara alami dan bebas, tidak
terstruktur dan fleksibel.

b.

Wawancara

Untuk memperoleh data yang tersirat dalam aktivitas masyarakat yang
tidak terliat oleh peneliti melalui cara observasi, maka peneliti akan
menggunakan metode wawancara. Dalam penelitian ini, teknik
wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth
interview). Burhan Bungi (20017:107) mengatakan metode wawancara

Universitas Sumatera Utara

mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian

dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara

pewawancara dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial yang relatif lama. Metode wawancara digunakan
untuk mendapatkan kelengkapan informasi mengenai sejauh mana
relasi yang terjalin diantara mayoritas dan minoritas. Wawancara dapat
diperoleh dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, orangtua
maupun masyarakat setempat yang dianggap dapat memberikan
informasi kepada peneliti sesuai dengan yang dibutuhkan. Peneliti
akan menyusun dan menggunakan pedoman wawancara (interview
guide). Pedoman wawancara disusun oleh peneliti sebelum melakukan
wawancara dengan informan. Wawancara ini dilengkapi dengan alat
perekam yang terdapat di Hp (handphone) sebagai alat bantu peneliti
dalam merekam segala informasi saat mewawancarai para informan.
Peneliti sadar bahwa peneliti juga mempunyai keterbatasan, namun
dengan adanya Hp memudahkan merekam kembali percakapan yang
terjadi di lapangan denga informan. Peneliti pun tak lupa untuk
mendokumentasikan hal-hal apa saja yang ditemukan selama di
lapangan yang berkaitan dengan masalah penelitian sebagai bukti dan
penguat data-data lapangan saat penelitian

Data sekunder diperlukan untuk mendukung data primer. Pada penelitian
ini, data sekunder diperoleh melalui analisis data berupa:

Universitas Sumatera Utara

a. Studi kepustakaan yaitu melalui buku-buku ilmiah atau jurnal atau hasilhasil penelitian peneliti lain yang berkaitan dengan topik penelitian.
b. Data dari lembaga-lembaga resmi seperti Kantor Desa, Kantor Kecamatan,
Badan Pusat Statistik.
c. Dokumentasi yaitu dengan menggunakan catatan-catatan yang terdapat di
lokasi penelitian.
d. Sumber online atau internet serta sumber-sumber lain yang relevan dengan
topik dan masalah penelitian.

Universitas Sumatera Utara