Manajemen Osteoporosis Pada Lansia

MANAJEMEN OSTEOPOROSIS PADA LANSIA
Bistok Sihombing, Guntur Ginting
Divisi Geriatri – Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Sumatera Utara – RSUP H. Adam Malik
Pendahuluan
Osteoporosis berasal dari kata osteo (tulang) dan porous (berlubang-lubang/keropos).
Osteoporosis merupakan suatu penyakit tulang sistemik yang kronik dan progresif dengan
karakteristik menurunnya massa tulang, kerusakan mikroarsitektur, kerapuhan tulang yang
selanjutnya meningkatkan resiko terjadinya fraktur.1 Definisi operasional osteoporosis menurut
World Health Organization (WHO) adalah nilai kepadatan tulang dibawah 2,5 SD (standar deviasi)
dari rerata orang dewasa yang sehat dengan jenis kelamin yang sama (nilai T-score < -2,5). Namun
pada wanita paska menopause, nilai T < -1 telah dimasukkan dalam kategori densitas tulang rendah
(osteopenia) dan dimasukkan dalam kelompok berisiko tinggi osteoporosis .2
Diperkirakan, osteoporosis menghabiskan biaya sekitar 3,9 milyar dolar per tahun di Kanada.
Biaya ini mencakup penanganan kondisi akut, rehabilitasi, perawatan jangka panjang, biaya obatobatan, hilangnya produktivitas, dan lain sebagainya. Kini osteoporosis tidak lagi dianggap hanya
sekeda persoalan mengobati nilai massa kepadatan tulang saja, namun lebih kepada mencegah
fraktur akibat kerapuhan tulang, mencegah sekuele jangka menengah dan jangka panjang. Telah
diketahui saat ini bahwa selain dari persoalan nyeri, morbiditas, biaya akibat fraktur dan fragilitas,
djumpai pula peningkatan risiko mortalitas akibat fraktur tersebut (infeksi paru, keganasan), dan
saat ini terdapat terapi antiresorptif yang terbukti dapat mengurangi risiko ini.3,4,5,6,7
Pada tahun 2007, Basette dkk. melaporkan 81% fraktur yang dialami oleh wanita usia lebih

dari 50 tahun merupakan fraktur fragilitas, dimana 79% di antaranya tidak pernah mendapatkan
pengobatan ataupun skrining terhadap osteoporosis. Setiap fraktur yang terjadi terbukti
meningkatkan risiko fraktur berikutnya sebesar 9,5 kali lipat. Kaitan yang paling kuat ditemukan
pada hubungan kejadian fraktur vertebra sebelum, dan fraktur berikutnya, dimana risiko semakin
meningkat sejalan dengan jumlah fraktur vertebra yang terjadi.8,9

Epidemiologi
Secara global, hingga saat ini osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang yang paling
banyak dijumpai, dengan jumlah lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia. Diperkirakan 75 juta
penderita osteoporosis ada di Eropa, Amerika, serta Jepang.10 Prevalensi osteoporosis semakin
meningkat sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup dan populasi usia tua.11 usia
merupakan salah satu faktor risiko independen dari osteoporosis dan fraktur osteoporotik (fraktur
akibat trauma ringan).12 Berdasarkan data dari National Health and Nutrition Examination Survey

Universitas Sumatera Utara

(NHANES), prevalensi osteoporosis berdasarkan penurunan densitas tulang pangkal paha sebesar 4%
pada wanita usia 50-59 tahun hingga 44% pada usia 80 tahun keatas.13,14 Osteoporosis senilis paling
sering dijumpai di usia > 70 tahun, sedangkan osteoporosis sekunder dapat dijumpai pada usia
berapa saja. Frekuensi osteoporosis paska menopause paling sering dijumpai pada usia 50-70 tahun.

Kondisi osteoporosis biasanya tidak disadari secara klinis oleh pasien hingga terjadinya fraktur. 10
Fraktur pergelangan tangan (Colles fracture) paling sering terjadi di usia 50-69 tahun, sedangkan
fraktur hip lebih sering dijumpai pada usia > 70 tahun (Gambar 1).2 Risiko osteopororis diketahui
lebih tinggi pada wanita kulit putih (khususnya Eropa Utara) dan Asia. Pada abad selanjutnya,
diperkirakan 50% fraktur hip akan terjadi di Asia.10 Wanita diketahui memiliki risiko terkena
osteoporosis lebih tinggi secara signifikan dibanding pria. Setengah (50%) dari wanita paska
menopause akan mengalami fraktur akibat osteoporosis selama sepanjang sisa hidupnya. 25% dari
angka tersebut akan mengalami deformitas vertebra, dan 15% akan mengalami fraktur hip.10
Sementara itu pada pria >50 tahun, 21% nya akan mengalami fraktur terkait osteoporosis. Laki-laki
memiliki prevalensi yang lebih tinggi terhadap kejadian osteoporosis sekunder, dimana 45-60% dari
jumlah tersebut adalah akibat hipogonadisme, alkoholisme, ataupun kelebihan glukortikoid. Hanya
35-40% kejadian osteoporosis pada pria merupakan kasus primer. Secara umum perbandingan
kejadian osteoporosis pada wanita dan pria adalah 4:1.10

Gambar 1 Epidemiologi fraktur vertebra, femur proksimal (hip fracture) dan metafisis distal
radius/pergelangan tangan (colles fracture).2

Klasifikasi
Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis
sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebab sekundernya,

sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya.15 Yang

Universitas Sumatera Utara

termasuk dalam osteoporosis primer adalah osteoporosis juvenile dan osteoporosis idiopatik.
Osteoporosis kemudian dapat dibagi lagi menjadi osteoporosis paska-menopause (osteoporosis tipe
I) dan osteoporosis terkait usia atau osteoporosis senilis (osteoporosis tipe II). Karakteristik dari
osteoporosis senilis ini antara lain : (1) dapat terjadi pada wanita dan pria dimana BMD (bone mass
density) menurun secara gradual terhadap pertambahan usia ; (2) Hilangnya jaringan tulang terkait
penuaan ; (3) Fraktur yang terjadi biasanya berlokasi di korteks dan trabekular tulang ; (4) Fraktur
yang terjadi biasanya melibatkan tulang belakang (vertebra), pergelangan tangan (colles) dan tulang
pangkal paha/pinggul (hip).10 Penyebab osteoporosis sekunder dapat dilihat dari tabel 1.

Tabel 1 Berbagai kondisi, penyakit dan obat-obatan yang berperan pada osteoporosis dan fraktur 1
Berbagai kondisi, penyakit dan obat-obatan yang berperan pada osteoporosis dan fraktur
Faktor gaya hidup
Penyalahgunaan alkohol
Diet tinggi garam
Jatuh
Kurang asupan kalsium

Aktifitas fisik yang kurang adekuat
Diet berlebihan
Insufisiensi vitamin D
Imobilisasi
Fraktur sebelumnya
Kelebihan vitamin A
Merokok (aktif/pasif)
Faktor genetik
Kistik fibrosis
Sindroma Ehler-Danlos
Penyakit Gaucher
Glycogen storage disease
hemokromasitosis

Homosistinuria
Hipofosfatasia
Idiopatik hiperkalsiuria
Sindrom Marfan
Me kes’ steely hair sy dro e


Osteogenesis imperfekta
Rw. orang tua dengan fraktur hip
Porfiria
Sindrom Relay-Day

Status hipogonadal
Insensitifitas androgen
Anoreksia nervosa dan bulimia
Sindrom Turner dan Klinefelter

Hiperprolaktinemia
Menopause prematur
Kegagalan fungsi ovarium prematur

Amenorea atletik
panhipopituitarisme

Kelainan endokrin
Insufisiensi adrenal
Diabetes melitus tipe 1 dan 2


Sindroma Cushing
Hiperparatiroidisme

Adipositas sentral
Tirotoksikosis

Kelainan gastrointestinal
Penyakit Celiac
Pintas lambung
Pembedahan gastrointestinal

Inflammatory bowel disease
Malabsorbsi
Penyakit pankreas

Sirosis bilier primer

Kelainan hematologi
Mieloma multipel

Hemofilia
thalasemia

Gamopati monoklonal
Leukemia dan limfoma

Penyakit sickle cell
Mastositosis sistemik

Penyakit reumatologi dan autoimun
Ankilosing spondilitis
Lupus

Reumatoid artritis

Penyakit reumatik dan autoimun
lainnya

Gangguan sistem saraf pusat
Epilepsi

Sklerosis multipel

Penyakit Parkinson
Cedera saraf spinal

Stroke

Berbagai kondisi dan penyakit lain
HIV/AIDS
Alkoholisme

Gagal jantung kongestif
Depresi

Distrofi otot
Penyakit tulang paska transplantasi

Universitas Sumatera Utara

Amiloidosis

Asidosis metabolik kronik
PPOK

Penyakit ginjal stadium akhir
Hiperkalsiuria
Skoliosis idiopatik

Sarkoidosis
Penurunan berat badan

Obat-obatan
Aluminium (pada antasida)
Antikoagulan (heparin)
Antikonvulsan
Penghambat aromatase
Barbiturat
Obat kemoterapi kanker
Siklosporin A dan takrolimus
Depo-medroksiprogesteron (kontrasepsi
pra-menopause)


Glukokortikoid (prednison >5mg/ hari
atau yang ekuivalen selama > 3 bulan)
Gonadotropin-releasing hormone
antagonist and agonist
Lithium
Methotrexate
PPI
SSRI

Tamoxifen
(penggunaan
premenopause
Thiazolidinediones (mis, pioglitazone dan rosiglitazone
Kelebihan hormon tiroid
Nutrisi parenteral

Patogenesis Osteoporosis pada Lansia
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar 42% dan
kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke delapan dan sembilan kehidupannya,

terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi
tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan
mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur. Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko
fraktur yang independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada orang
tua, namun hal ini lebih menunjukkan peningkatan turnover tulang dan bukan peningkatan formasi
tulang. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti pebnyebab penurunan fungsi osteoblas pada
orang tua, diduga karena penurunan kadar estrogen dan IGF-1. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga
sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang
kurang, anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium,
akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan
resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4
musim. Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis
IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan
karboksilasi protein tulang, misalnya osteokalsin. Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan
masalah yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki
maupun perempuan Demikian juga kadar terstosteron pada laki-laki. Defisiensi estrogen pada lakilaki juga berperan pada kehilangan massa tulang. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L
pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause
(penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada
wanita tidak pernah terjadi. Estrogen pada laki-laki berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan
estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang trabekular pada lakilaki berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula
seperti pada wanita. Penipisan trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan formasi tulang,

Universitas Sumatera Utara

sedangkan putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang
berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu menopause.15
Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar
sex hormone binding globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan SHBG akan akan meningkatkan
pengikatan estrogen dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif. Laki-laki yang menderita
kanker prostat dan diterapi dengan antagonis androgen atau agonis gonadotropin juga akan
mengalami kehilangan massa tulang dan peningkatan risiko fraktur. Penurunan hormon
pertumbuhan (GH) dan IGF-1 juga berperan terhadap peningkatan resorpsi tulang. Tetapi penurunan
kadar androgen adrenal (DHEA dan DHEA-S) ternyata menunjukkan hasil yang kontroversial
terhadap penurunan massa tulang pada orang tua.15
Faktor lain yang juga ikut berperan dalam terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua
adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama). Dengan
bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal akan meningkat, sehingga
kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan meningkatkan risiko fraktur tulang
kortikal, misalnya pada femur proksimal. Total permukaan tulang untuk remodeling tidak berubah
dengan bertambahnya umur, hanya saja berpindah dari tulang trabekular ke tulang kortikal. Pada
laki-laki usia tua, peningkatan resorpsi endokortikal tulang panjang akan diikuti peningkatan formasi
periosteal, sehingga diameter tulang panjang akan meningkat dan menurunkan risiko fraktur pada
laki-laki usia tua (gambar 2).15

Gambar 2 Patogenesis osteporosis senilis (osteoporosis tipe II) dan fraktur

Risiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah risiko jatuh yang lebih tinggi pada lansia.
Hal ini berhubungan dengan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas postural,
gangguan penglihatan, lantai licin atau tidak rata, dan lain sebagainya (tabel 2), pada umumnya
risiko jatuh pada lansia tidak disebabkan oleh penyebab tunggal.15
Tabel 2 Penilaian risiko jatuh pada lansia 16,17,18

Universitas Sumatera Utara

Penilaian risiko jatuh a
Riwayat jatuh sebelumnya (mis, jumlah dan keadaan sekitar saat jatuh)
Riwayat penggunaan obat-obatan : hentikan obat-obat psikoaktif yang tidak tepat/tidak perlu termasuk antipsikotik,
ansiolitik, hipnotik, antidepresan, relaksan otot, antikolinergik, narkotik, serta obat-obatan seperti diuretik dan
beberapa antihipertensi yang diketahui dapat menyebabkan hipotensi postural
Catat konsumsi alkohol
Catat kondisi medis akut dan kronik
Catat tanda vital ortostatik (tekanan darah dan pols)
Tes ketajaman penglihatan
Evaluasi cara berjalan, keseimbangan, dan kekuatan fisik (mis, Get Up and Go Test) b
Status kognitif (mis, Mini-Mental State Exam)
Evaluasi keamanan personal dan rumah
a Evaluasi yang direkomendasikan untuk pasien dengan riwayat jatuh sebanyak dua kali atau lebih, atau riwayat jatuh satu
kali dengan cedera dan setahun terakhir.
b Get Up and Go Test : pasien diminta untuk berdiri dari posisi duduk tanpa menggunakan tangan, berjalan 10 kaki,
berputar, berjalan kembali ke kursi, lalu duduk kembali. Pasien yang memerlukan 30 detik untuk menyelesaikan tes ini
berisiko tinggi untuk mengalami jatuh.

Penapisan Terhadap Osteoporosis
Prevalensi osteoporosis sebenarnya tinggi pada lansia, namun kebanyakan tidak
menyadarinya. Berdasarkan data dari NHANES dari tahun 1988 hingga 1994, hanya 1,3% laki-laki
usia 75-84 tahun dan 1,6% laki-laki usia >85 tahun, serta 12,1% perempuan usia 75-84 tahun dan
9,7% perempuan usia > 85 tahun yang melaporkan bahwa yang dirinya penderita osteoporosis,
sementara kerita diperiksa, sesungguhnya prevalensinya secara berurutan mencapai 6,4% dan 13,7%
untuk laki-laki (75-84 tahun dan >85 tahun), 32,5% dan 50,5% untuk perempuan (75-84 tahun dan
>85 tahun). Pemeriksaan Bone mass density (BMD) dengan menggunakan central dual-energy x-ray
absorptiometry (DXA) merupakan standar emas untuk mendiagnosis osteoporosis. BMD merupakan
pemeriksaan dengan biaya yang paling efektif terhadap lansia yang berisiko tinggi menderita
osteoporosis serta dapat mempengaruhi keputusan untuk memulai terapi farmakologi.19,20,21,22
Dalam laporan yang disampaikan oleh the US Preventive Services Task Force, untuk dapat mencegah
satu kasus fraktur tulang belakang dan tulang pangkal paha, diperkirakan hanya diperlukan
penapisan terhadap 75 dan 143 orang perempuan berusia 70-79 tahun (selanjutnya diterapi jika
perlu). Hal ini cukup kontras jika dibandingkan dengan kelompok usia 60-64 tahun yang harus
melakukan penapisan terhadap 458 dan 1856 orang untuk mencegah satu kasus serupa. Dalam
laporan ini disampaikan pula bahwa efektivitas biaya akan semakin meningkat sejalan dengan
pertambahan usia terhadap upaya skrining densitas tulang secara menyeluruh yang dilakukan pada
wanita usia > 65 tahun.21,23
The National Osteoporosis Foundation (NOF) membagi faktor-faktor risiko osteoporosis
menjadi 2 kategori yang dapat dilihat pada tabel 3.1 Yang menjadi perhatian adalah bahwa faktorfaktor risiko ini lebih sesuai untuk dijadikan acuan pada populasi yang lebih muda untuk menjadi
dasar melakukan penilaian kepadatan tulang. Sedangkan pada usia > 65 tahun, faktor-faktor risiko ini
tidak terlalu berperan dalam upaya penapisan, sehingga pemeriksaan kepadatan tulang sebaiknya

Universitas Sumatera Utara

rutin dilakukan pada populasi ini baik pria ataupun wanita.7 Namun the United States Preventive
Services Task Force and the United Kingdom—National Osteoporosis Guideline Group
merekomendasikan pemeriksaan kepadatan tulang dapat dilakukan secara rutin pada wanita usia >
65 tahun dan pria > 70 tahun.24,25
Tabel 3 Faktor risiko osteoporosis menurut The National Osteoporosis Foundation (NOF) 1
Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Faktor risiko yang dapat diubah
Riwayat fraktur yang terjadi di usia dewasa
Riwayat merokok
Riwayat fraktur pada saudara sekandung (1st-degree Berat badan rendah (IMT 3 unit per hari)
Wanita
Gangguan penglihatan meski upaya koresi sudah adekuat
Demensia
Riwayat jatuh berulang
Tingkat kesehatan yang buruk / kerapuhan (fragilitas)
Kurangnya aktifitas fisik
Kelemahan (Frailty)

Pemeriksaan Klinis
Osteoporosis dapat terjadi pada orang yang tidak memiliki/sedikit faktor risiko. Biasanya jika
penderita osteoporosis belum mengalami fraktur, maka pasien tidak akan mengalami keluhan
apapun, dan klinisi pun sering tidak menduganya. Oleh karena itu, penyakit ini disebut sebagai
pe curi dia -dia

yang artinya tidak akan disadari hingga telah terjadi fraktur.10 Oleh karena itu

upaya penapisan terhadap populasi dengan populasi berisiko perlu dilakukan, khususnya bagi
mereka yang sudah diketahui memiliki kondisi/penyakit yang dapat menjadi etiologi bagi
osteoporosis sekunder (tabel 1).10
Anamnesis memegang peranan penting pada populasi geriatri. Tujuannya adalah untuk
faktor-faktor ya g

e i gkatka risiko kepadata tula g re dah , risiko jatuh (tabel 2), dan akibat

dari fraktur. Hal-hal diatas mencakup riwayat jatuh, jumlah jatuh dalam setahun terakhir, gait (gaya
berjalan), kesulitan menjaga keseimbangan serta fraktur fragilitas. Faktor-faktor risiko lain yang telah
disebutkan di atas juga perlu untuk ditanyakan termasuk obat-obatan seperti glukokortikoid
ataupun non-glukokortikoid yang diketahui dapat menginduksi osteoporosis, lalu ditanyakan pula
riwayat fraktur akibat trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua,
kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, kurangnya latihan yang
teratur yang bersifat weight-bearing.7,26 Kadang-kadang keluhan utama dapat langsung mengarah
pada diagnosis osteoporosis ataupun diagnosa banding alinnya, misalnya fraktur kolumna femoris
yang mengarah pada osteoporosis, bowing leg pada penyakit riket, atau rasa kebas di sekitar mulut
dan ujung jari pada hipokalsemia, dan lain-lain.26
Pada pemeriksaan fisik, 2 tujuan utama yang ingin dicapai adalah : menilai risiko terjadinya
fraktur serta mengidentifikasi kemungkinan fraktur yang telah terjadi namun belum terdiagnosis.

Universitas Sumatera Utara

Tinggi badan dan berat badan wajib diukur pada kasus osteoporosis. Demikian pula gaya berjalan,
deformitas tulang, range of motion (ROM), ketidaksamaan panjang kaki, nyeri spinal (termasuk nyeri
tekan pada vertebra), pemeriksaan neurologi secara menyeluruh, jaringan parut pada leher (bekas
operasi tiroid), uji Get-Up-and-Go-Test (menilai kelemahan otot proksimal, gait dan risiko jatuh),
skrining fraktur vertebra dengan ditemukannya : (1) berkurangnya tinggi badan >2 cm ; (2) jarak iga
ke pelvis 5 cm (evidence level A). Lokasi kemungkinan fraktur
yang perlu diidentifikasi adalah vertebra, kolumna femur dan pergelangan tangan.7,10,26
Selain itu pemeriksaan fungsi kognitif juga penting dilakukan, karena hal ini terbukti
berkaitan terhadap kejadian jatuh dalam rentang setahun. Kondisi hipokalsemia akan ditandai
dengan adanya iritasi muskuloskletal yang berupa tetani,biasanya akan didapatkan aduksi jempol
tangan, fleksi sendi MCP, dan ekstensi sendi-sendi IP. Pada keadaan laten, akan didapatkan tanda
Cvostek dan Trosseau. Pada penderita hiperparatiroidisme primer akan didapatkan band
keratoplasty akibat deposisi kalsium fosfat pada tepi limbik kornea. Penderita dengan osteoporosis
sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (dowager hump), dan penurunan tinggi badan, selain
itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot para vertebral dan kulit yang tipis.7,26

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium baseline yang perlu diperiksa pada semua kasus osteoporosis
atara lain : Pemeriksaan darah perifer lengkap (anemia, penyakit sickle cell, mieloma multipel,
keganasan hematlogi), kadar kalsium serum (hiperkalsemia akibat malignansi, hipokalsemia pada
osteoporosis, osteomalasia), pada osteoporosis primer kadar kalsium, fosfat dan alkalin fosfatase
(ALP) biasanya normal, namun kadar ALP dapat meningkat selama beberapa bulan setelah terjadinya
fraktur. Kadar kreatinin serum (gagal ginjal, hiperparatiroidisme), magnesium (homeastasis kalsium),
SGOT, SGPT, gamma-glutamy transferase (GGT), bilirubin dan ALP dapat menunjukkan kondisi akibat
penyalahgunaan alkohol. Kadar TSH dan 25-hydroxyvitamin D juga perlu diperiksa pada kecurigaan
defisiensi vitamin D. Pengukuran kadar ion kalsium jauh lebih bermakna dibandingkan dengan kadar
kalisum total, sebab kadar kalsium dapat dipengaruhi oleh banyak kondisi. Ekskresi kalsium urin 24
jamjuga harus diperhatikan walaupun tidak secara langsung menunjukkan kelainan metabolisme
tulang. Pada orang dewasa dengan asupan kalsium 600-800 mg/hari, akan mengekskresikan kalsium
100-250 mg/24 jam. Bila ekskresi kalsium kurang dari 100 mg/24 jam, harus dipikirkan kemungkinan
adanya malabsorbsi atau hiperparatiroidisme akibat retensi kalsium oleh ginjal. Peningkatan ekskresi
kalsium urin yang disertai asidosis hiperkloremik menunjukkan adanya asidosis tubular renal
(RTA).10,26

Universitas Sumatera Utara

Untuk menilai turnover/formasi dan resorpsi tulang dapat diperiksa marker biokimia tulang.
Pemeriksaan ini dapat memprediksi risiko fraktur dan memonitoring efektivitas terapi yang diberikan
(tabel 4)
Tabel 4 Penanda Biokimia Tulang 10,26
Petanda formasi (turn over) – Produk Osteoblas
Serum
Bone-spesific alkaline phosphatase (BSAP)*
Osteocalcin (OC)*
Carboxyterminal propeptide if type I collagen (PICP)
Aminoterminal propeptide of type I collagen (PINP)

Petanda Resorpsi – Produk Osteoklas
Aminoterminol tetopeptide of type I collogen (NTx)
Corboxyterminol tetopeptide of type I collogen (CTx)
Cross-linked C-telopeptide of type I collagen (ICTP)
Tartrate-resistant acid phosphatase
Aminoterminol tetopeptide of type I collogen (NTx)*
Corboxyterminol tetopeptide of type I collogen (CTx)*
Hidroksiprolin
Piridinolin bebas dan total (Pyd)
Deoksipiridinolin bebas dan total (Dpd)

Urine

*Paling sering digunakan dalam praktik klinik

Selain pemeriksaan terhadap biokimia tulang perlu pula diperiksa parameter laboratorium
lain yang dapat menjadi penyebab sekunder terjadinya osteoporosis jika dijumpai terdapat kelainankelainan tersebut secara klinis (tabel 5).
Tabel 5 Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan dalam rangka evaluasi penyebab sekunder osteoporosis pada 27
Pemeriksaan laboratorium
Penyebab sekunder
Kreatinin serum dan BUN
Penyakit ginjal kronik
Alkaline fosfatase serum
Penyakit Paget ; Osteomalasia
TSH serum
Hipertiroidisme atau kelebihan suplementasi hormon tiroksin
Kalsium dan fosfor serum
Defisiensi vitamin D ; Malabsorbsi
Kalsium urin 24-jam
Ekskresi kalsium berlebihan di urine
Hipogonadisme
Testosteron dan gonadotropin (pria usia muda)
Insufisiensi/defisiensi vitamin D
25-hydroxy vitamin D
Hiperparatiroidisme primer/sekunder
PTH serum
Mieloma multipel
Serum protein elektroforesis
Leukemia
Darah perifer lengkap
Penyakit hati primer
Tes fungsi hati
Kelainan hemaotologi
Biopsi sumsum tulang
Penyakit celiac
Antigliadin dan anti endomisial antibodi
Mastositosis
Serum triptase dan N-metilhistamin urin
Sindroma Cushing
Kortisol bebas urin & uji hipersekresi adrenal

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan rontgen polos masih direkomendasikan untuk menilai integritas tulang secara
keseluruhan ataupun untuk memastikan kecurigaan terhadap terjadinya fraktur baik simtomatik
ataupun asimtomatik. Gambaran osteopenia dapat dijumpai pada pemeriksaan rontgen polos
namun tidak dapat dijadikan dasar diagnosis osteporosis. Gambaran osteopenia yang dimaksud
adalah ketika lebar area kortikal lebih kecil dari pada medula. Gambaran lain yang dapat muncul
selain

gambaran

fraktur

adalah,

osteoartritis,

kelainan-kelainan

pada

diskus,

ataupun

spondilolistesis.10

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan densitas massa tulang (bone mass densitometry, BMD). Densitas massa
tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan risiko fraktur. Densitometri tulang merupakan
pemeriksaan yang akurat dan tepat untuk menilai densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan
untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan bahkan diagnosis osteoporosis. Berbagai metode
lain yang digunakan untuk menilai densitas massa tulang adalah single-photon absorptiometry (SPA)
dan single-energy-X-ray absorptiometry (SPX) lengan bawah dan tumit; dual-photon absorptiometry
(DPA) dan dual-energy-X-ray absorptiometry (DPX) lumbal dan proksimal femur; serta quantitative
computed tomography (QCT). Untuk menilai hasil pemeriksaan densitometri tulang, digunakan
kriteria kelompok kerja WHO (tabel 6).26 Adapun indikasi pemeriksaan densitometri antara lain :
 Wanita usia > 65 tahun dan pria usia > 70 tahun (sebagian berpendapat wanita dan pria >
60 tahun) dengan atau tanpa risiko osteoporosis
 Wanita paska-menopause dini, wanita pada masa transisi menopause, serta laki-laki usia
50-69 tahun dengan faktor risiko klinis terjadinya fraktur.
 Orang dewasa yang mengalami fraktur setelah usia >50 tahun
 Orang dewasa dengan kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan rendahnya massa
tulang atau hilangnya struktur tulang (mis, artritis reumatoid), atau sedang dalam
pengobatan (mis, steroid dengan dosis harian setara prednison >5 mg selama >3 bulan).
2,7,28

Tabel 6 Definisi osteoporosis berdasarkan BMD menurut WHO

Penatalaksanaan
Penanganan osteoporosi mencakup 2 hal yakni : (1) Manajemen akut fraktur dan (2)
penanganan penyakit dasar.2

Penatalaksanaan Fraktur pada Osteoporosis
Fraktur pinggul hampir selalu memerlukan tindakan operatif agar pasien bisa berjalan
kembali. Prosedur tindakannya dapat berupa reduksi terbuka dan fiksasi internal (ORIF) dengan
menggunakan pins dan plate, hemiartroplasti, total artroplasti. Prosedur bedah ini diikuti dengan

Universitas Sumatera Utara

rehabilitasi intensif, dalam upaya mengembalikan fungsi pasien pada kondisi pra-fraktur. Fraktur
pergelangan tangan biasanya memerlukan fiksasi internal ataupun eksternal. Fraktur lainnya
(vertebra, iga, pelvis) biasanya ditangani secara suportif tanpa prosedur ortopode spesifik. Nyeri
yang muncul karena fraktur ditangani dengan pemberian analgesik OAINS dengan atau tanpa
asetaminofen, kadang-kadang ditambah dengan obat golongan narkotik (kodein atau oksikodon).
Injeksi perkutaneus semen artifisial (polimetilmetakrilat) ke dalam corpus vertebra (vertebroplasti
atau kifoplasti) dapat dengan cepat meredakan nyeri yang hebat secara signifikan akibat fraktur
vertebra akut maupun subakut. Tirah baring dalam waktu yang singkat perlu dilakukan untuk
mengatasi nyeri, namun secara umum mobilisasi sesegera mungkin perlu dilakukan untuk mencegah
fraktur berikutnya yang berkaitan dengan pengeroposan tulang akibat imobilisasi. Penggunaan
korset yang lembut dapat digunakan untuk mempercepat mobilisasi. Spasme otot sering terjadi
pada fraktur yang menyebabkan kompresi akut, hal ini dapat diatasi dengan pemberian relaksan
otot dan terapi panas. Nyeri yang hebat biasanya akan sembuh dalam 6-10 minggu. Jika nyeri hebat
berlangsung kronik maka dapat dipikirkan kemungkinan adanya mieloma multipel atau kondisi
metastasis tumor. Sumber dari nyeri hebat yang kronik kemungkinan tidak berasal dari tulang,
namun sebaliknya lebih disebabkan oleh peregangan abnormal ligamen, otot dan tendon. Fraktur
yang terjadi pada osteoporosis khususnya pada vertebra, dapat menyebabkan perubahan bentuk
tubuh (fraktur multipel), hal ini akan berdampak pada keseharian pasien, pasien akan kehilangan
percaya diri, gangguan keseimbangan, takut terjatuh sehingga cenderung malas keluar rumah,
mengalami depresi dan isolasi. Kondisi ini dapat diatasi dengan adanya dukungan dari keluarga dan
atau psikoterapi serta obat-obatan anti depresan.2

Penatalaksanaan Penyakit Dasar
Algoritme tatalaksana osteoporosis dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7 Algoritme tatalaksana osteoporosis 26
Presentasi klinik
Pendekatan diagnostik
Fraktur karena trauma minimal
Diagnosis osteoporosis tegak

Penatalaksanaan
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologi
Pembedahan atas indikasi

Dugaan fraktur vertebra (nyeri
punggung/pinggang, hiperkifosis, tinggi
badan turun)

Radiografi spinal untuk memastikan
adanya fraktur vertebra

Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologi
Pembedahan atas indikasi

Pasien usia >60 tahun

Densitometri
tulang

Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologi
Pembedahan atas indikasi
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi

T-score < -2,5

T-score -1 s.d -2,5

Universitas Sumatera Utara

Faktor risiko osteoporosis atau fraktur
lainnya :
 Wanita paska menopause
 Berat badan kurang
 Asupan kalsium rendah
 Aktivitas fisik kurang
 Riwayat osteoporosis atau fraktur
osteoporotik dalam keluarga
 Risiko terjatuh

Densitometri
Tulang

Penggunaan glukokortikoid jangka
panjang

Densitometri
Tulang

T-score > -1

Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi

T-score < -2,5

Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologi
Pembedahan atas indikasi
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi

T-score -1 s.d -2,5
T-score > -1

T-score > -1

T-score < -1

Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologi
Pembedahan atas indikasi
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi

Non-farmakologi
Secara umum, perlu disampaikan edukasi dan program pencegahan terhadap pasien-pasien
osteoporosis antara lain :
1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk memelihara
kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem neuromuskular serta kebugaran, sehingga
dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan
30-60 menit/hari, bersepeda maupun berenang.
2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun
suplementasi,
3. Hindari merokok dan minum alkohol.
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron pada laki-laki dan
menopause awal pada wanita.
5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis,
6. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang sudah pasti
osteoporosis
7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang
licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi
ortistatik.
8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orangorang yang kurang terpajan sinar
matahari atau pada penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila diduga ada
defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila 25(OH)D serum
menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 lU/hari pada orang tua

Universitas Sumatera Utara

harus diberikan. pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 1,25(OH).D harus
dipertimbangkan.
9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan Natrium
sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium ditubulus ginjal. Bila ekskresi
kalsium urin > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).
10.Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang,
usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat
mungkin,
11.Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat penting mengatasi
aktivitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas
massa tulang akibat artritis inflamatif yang aktif.26

Terapi Farmakologi
Bifosfonat, merupakan terapi pilihan utama pada tatalaksana osteoporosis khususnya bagi
pasien dengan kontraindikasi terapi hormon, atau pada pasien laki-laki. Bifosfonat memiliki efek
penghambat osteoklas. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa absorbsi bifosfonat sangat
buruk, oleh karena itu harus diberikan dalam keadaan perut kosong dengan dibarengi 2 gelas air
putih dan setelah itu penderita harus dalam posisi tegak selama 30 menit. Efek samping bifosfonat
adalah hipokalsemia dan refluks esofagitis. Jenis-jenis bifosfonat yang tersedia saat ini antara lain :
Alendronat (oral; 10 mg/hari atau 70 mg/minggu), Risedronat (oral; 5 mg/hari atau 35 mg/minggu),
Ibandronat (oral; 2,5 mg/hari atau 150 mg/bulan) dan zoledronat (merupakan bifosfonat terkuat
dengan sediaan intravena, dosis 5 mg setahun sekali dan diberikan perlahan selama 15 menit).26
Raloksifen, merupakan salah satu dari golongan selective estrogen receptor modulators
(SERM). Obat ini disetujui oleh FDA sebagai terapi pencegahan dan pengobatan pada osteoporosis.
Mekanisme kerja raloksifen hampir sama dengan estrogen dengan dosis 60 mg/hari. Raloksifen
hanya diindikasikan pada wanita paska-menopause < 70 tahun.2,26
Terapi pengganti hormonal. (1) pada wanita paska menopause : estrogen terkonyugasi
(0,3125 – 1,25 mg/hari) dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat 2,5-10 mg/hari, setiap hari
secara kontiniu. (2) pada wanita pra-menopause : estrogen terkonyugasi diberikan dengan
penyesuaian terhadap siklus haid. (3) pada laki-laki : Pada laki-laki yang jelas menderita defisiensi
testosteron, dapat dipertimbangkan pemberian testosteron.26
Kalsitonin, dapat diindikasikan pada kasus osteoporosis, penyakit paget dan hiperkalsemia
karena keganasan. Obat ini dapat menurunkan resorpsi tulang. pemberiannya secara intranasal
dengan dosis 200 U per hari. Dapat juga diberika secara subkutan. 2,26

Universitas Sumatera Utara

Strontium Ranelat, merupakan obat osteoporosis yang memiliki efek ganda, yaitu
meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Akibatnya tulang endosteal
terbentuk dan volume trabelar meningkat. Mekanisme kerja strontium ranelat belum jelas benar.
Diduga efeknya berhubungan dengan perangsangan Calcium sensing receptor (CaSR) pada
permukaan sel-sel tulang. Dosis strontium ranelat adalah 2 gram/hari yang dilarutkan di dalam air
sebelum tidur atau 2 jam sebelum makanan atau 2 jam setelah makan. Sama seperti obat
osteoporosis lainnya, pemberian obat ini harus dibarengi pemberian kalsium dan vitamin D, tetapi
pemberiannya tidak boleh bersamaan dengan strontium ranelat.2,26
Vitamin D, berperan dalam meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Lebih dari 90% vitamin D
disintesis di dalam tubuh dari prekursornya di bawah kulit oleh paparan sinar ultraviolet. Pada orang
tua, kemampuan untuk aktivasi vitamin D di bawah kulit berkurang. Sehingga pada orang tua sering
terjadi defisiensi vitamin D. Kadar vitamin D di dalam darah diukur dengan cara mengukur kadar 25OH vitamin D. Pada penelitian didaptkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg kalsium per-oral
selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan fraktur non-spinal sampai 50%. Vitamin D
diindikasikan untuk orang tua yang tinggal di panti weda yang kurang terpapar sinar matahari. Tetapi
tidak diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar sinar matahari.26
Kalsitriol, saat ini tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan osteoporosis
paska-menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat hipokalsemia yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pemberian kalsium peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah
hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun akibat gagal ginjal terminal. Dosis
kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah 0,25 µg, 1-2 kali per hari.26
Kalsium. Asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih rendah dari kebutuhan
kalsium yang direkomendasikan oleh Institue of Medicine, National Academy of Science yaitu
sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai monoterapi ternyata tidak mencukupi untuk mencegah fraktur
pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat (kalsium
elemen 400 mg/gram, dalam bentuk serbuk dosis 2-3 x 500 mg) disusul kalsium fosfat (230
mg/gram), kalsium sitrat (211 mg/gram), kalsium laktat (130 mg/gram) serta kalsium glukonat (90
mg/gram).26

Monitoring Terapi
Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang pemeriksaan densitometri
setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai peningkatan densitasnya. Bila dalam waktu 1 tahun tidak
terjadi peningkatan maupun penurunan densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap
berhasil, karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan.26

Universitas Sumatera Utara

Selain mengulang pemeriksaan densitas massa tulang, maka pemeriksaan petanda biokimia
tulang juga dapat digunakan untuk evaluasi pengobatan. Penggunaan petanda biokimia tulang,
dapat menilai hasil terapi lebih cepat yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan. Yang dinilai
adalah penurunan kadar berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang.26

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
1. National Osteoporosis Foundation. Cli icia ’s Guide to Preve tio a d Treat e t of
Osteoporosis. Washington, DC: National Osteoporosis Foundation; 2014.
2. Lindsay R, Casman F. Osteoporosis. Dalam : Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo
DL, Loscalzo J editor . Harriso ’s Pri ciples of I ter al Medici e. Ed. 19. New York: McGraw-Hill,
Medical Pub. Division. 2488-504
3. Tarride JE, Hopkins RB, Leslie WD, et al. The burden of illness of osteoporosis in Canada.
Osteoporos Int. 2012;23(11):2591–600.
4. Papaioannou A, Morin S, Cheung AM, et al. 2010 clinical practice guidelines for the diagnosis and
management of osteoporosis in Canada: summary. CMAJ. 2010;182(17):1864–73.
5. Haentjiens P, Magaziner J, Colón-Emeric CS, et al. Metaanalysis: excess mortality after hip
fracture among older women and men. Ann Intern Med. 2010;152(6):380–90.
6. Center JR, Bliuc D, Nguyen ND, et al. Osteoporosis medication and reduced mortality in elderly
women and men. J Clin Endocrinol Metab. 2011;96(4):1006–14.
7. Liberman D, Cheung A. A practical approach to osteoporosis management in the geriatric
population. Canadian Geriatrics Journal, Volume 18, Issue 1, March 2015.
8. Bessette L, Ste-Marie LG, Jean S, et al. The care gap in diagnosis and treatment of women with a
fragility fracture. Osteoporos Int. 2008;19(1):79–86.
9. Posen J, Beaton DE, Sale J, et al. Bone mineral density testing after fragility fracture: Informative
test results likely. Can Fam Physician. 2013;59(12):e564–71.
10. Bethel
M.
Osteoporosis.
Medscape
Refference.
2016.
Diunduh
dari
:
http://emedicine.medscape.com/article/330598
11. Inderjeeth CA, Foo AC, Lai MM, Glendenning P. Efficacy and safety of pharmacological agent in
managing osteoporosis in the old old: review of the evidence. Bone 2009; 44: 744-51.
12. Kanis JA. Diagnosis of osteoporosis and assessment of fracture risk. Lancet.
2002;359(9321):1929–1936.\
13. National Health and Nutrition Examination Survey Osteoporosis Data Brief 12/02. Osteoporosis.
Department of Health and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention.National
Center
for
Health
Statistics.
[Cited
2009
Jan
9.]
Available
from:
http://www.cdc.gov/nchs/data/nhanes/databriefs/osteoporosis.pdf
14. Looker AC, Johnston CC Jr, Wahner HW, et al. Prevalence of low femoral bone density in older
US women from NHANES III. J Bone Miner Res. 1995;10(5):796–802
15. Setiyohadi B. Peran estrogen pada patogenensis osteoporosis. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
dalam FK UI; 2015: 3440-7.
16. Guideline for the prevention of falls in older persons. American Geriatrics Society, British
Geriatrics Society, and American Academy of Orthopaedic Surgeons Panel on Falls Prevention. J
Am Geriatr Soc. 2001;49(5):664–672.
17. Chang JT, Ganz DA. Quality indicators for falls and mobility problemsin vulnerable elders. J Am
Geriatr Soc. 2007;55 Suppl 2:S327–S334.
18. Moylan KC, Binder EF. Falls in older adults: risk assessment, management and prevention. Am J
Med. 2007;120(6):493 e1–e6.
19. Perreault S, Dragomir A, Desgagne A, et al. Trends and determinants of antiresorptive drug use
for osteoporosis among elderly women. Pharmacoepidemiol Drug Saf. 2005;14(10):685–695.
20. US Department of Health and Human Services. Bone health and osteoporosis: a report of the
Surgeon General In: Rockville, MD: US Department of Health and Human Services, Offi ce of the
Surgeon General; 2004:1–436.
21. Schousboe JT, Ensrud KE, Nyman JA, Melton LJ, 3rd, Kane RL. Universal bone densitometry
screening combined with alendronate therapy for those diagnosed with osteoporosis is highly
cost-effective for elderly women. J Am Geriatr Soc. 2005;53(10):1697–1704.

Universitas Sumatera Utara

22. Schousboe JT, Taylor BC, Fink HA, et al. Cost-effectiveness of bone densitometry followed by
treatment of osteoporosis in older men. JAMA. 2007;298(6):629–637.\
23. Nelson HD, Helfand M, Woolf SH, Allan JD. Screening for postmenopausal osteoporosis: a review
of the evidence for the US Preventive Services Task Force. Ann Intern Med. 2002;137(6):529–541
24. US Preventive Services Task Force. Screening for osteoporosis: US Preventive Services Task Force
recommendation statement. Ann Intern Med. 2011;154(5):356–64.
25. Compston J, Cooper A, Cooper C, et al. Guidelines for the diagnosis and management of
osteoporosis in postmenopausal women and men from the age of 50 years in the UK. Maturitas.
2009;62(2):105–08.
26. Setiyohadi B. Pendekatan diagnosis osteoporosis. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk
(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI;
2015: 3454-7.
27. Vondracek SF, Linnebur SA. Diagnosis and management of osteoporosis in the older senior.
Clinical Interventions in Aging 2009:4 121–136
28. Cos a F, de Beur “J, LeBoff M“, Lewiecki EM, Ta er B, Ra dall “, Li dsay R. Cli icia ’s Guide
to Prevention and Treatment of Osteoporosis. Osteoporos Int (2014) 25:2359–2381 DOI
10.1007/s00198-014-2794-2

Universitas Sumatera Utara