EBN Penanganan Osteoporosis Post Menopouse Lansia Blok 3 6

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang ditandai
dengan pengurangan massa tulang yang disertai kemunduran mikroarsitektur tulang
dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.
Keadaan ini berisiko tinggi karena tulang menjadi rapuh dan mudah retak bahkan
patah. Banyak orang tidak menyadari bahwa osteoporosis merupakan penyakit
tersembunyi (silent diseases).
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Hal ini
disebabkan pengaruh hormon esterogen yang mulai menurun kadarnya dalam
tubuh sejak usia 35 tahun sedangkan pada pria hormon testoteron turun pada usia
65 tahun. Menurut statistik dunia 1 dari 3 wanita rentan terkena penyakit
osteoporosis. Pada waktu seorang wanita mengalami menopause, pembuangan
massa tulang meningkat karena tidak adanya hormon esterogen. Pada kebanyakan
wanita,

pembuangan

massa


tulang

lebih

banyak

dibandingkan

dengan

pembentukan tulang. Akibatnya, terjadilah osteoporosis alias keropos tulang. Dan
pada usia 50-an tahun, kemungkinan untuk mengalami patah tulang karena
osteoporosis menjadi lebih besar dengan perbandingan lebih kurang 1 orang pada
setiap 2 orang.
Insiden osteoporosis meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi usia
lanjut. Pada tahun 2005 terdapat 18 juta lanjut usia di Indonesia, jumlah ini akan
bertambah hingga 33 juta pada tahun 2020 dengan usia harapan hidup mencapai 70
tahun. Menurut data statistic Itali tahun 2004 lebih dari 44 juta orang Amerika
mengalami osteopenia dan osteoporosis. Pada wanita usia ≥ 50 tahun terdapat 30%
osteoporosis, 37-54% osteopenia dan 54% berisiko terhadap fraktur osteoporotic.

Komdisi osteoporosis dapat menyebabkan fraktur (patah tulang) dan frkatus di
tulang pinggul (pangkal paha) adalah yang paling mengkhawatirkan.
Menurut WHO (1994), angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat
osteoporosis di seluruh dunia mencapai angka 1,7 juta orang dan diperkirakan
angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3 juta orang pada tahun 2050
dan 71% kejadian ini akan terdapat di negara - negara berkembang. Di Indonesia
19,7% dari jumlah lansia atau sekitar 3,6 juta orang diantaranya menderita
1

osteoporosis[5]. Lima provinsi dengan risiko osteoporosis lebih tinggi adalah
Sumatra Selatan (27,75%), Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatra
Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%), Kalimantan Timur (10,5%)[6]. Prevalensi
wanita yang menderita osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50-59 tahun
yaitu 24% sedang pada pria usia 60-70 tahun sebesar 62%.
Osteoporosis merupakan salah satu dari tiga penyakit kronik utama yang
disebabkan karena faktor usia termasuk juga pada wanita postmenopause.
Menopause berhubungan dengan reduksi hormone esterogen pada wanita yang
dapat mengakibatkan menurunnya kepadatan tulang sehingga terjadi osteoporosis.
Penderita osteoporosis dicirikan dengan tubuh yang bungkuk atau bengkok.
Namun sebenarnya tidak selalu demikian, banyak orang yang sudah mulai

menderita osteoporosis tetapi tidak terlihat dari luar. Penderita osteoporosis
merasakan linu-linu dan sakit terutama ketika melakukan pergerakan anggota
tubuhnya. Oleh karena itu perlu diwaspadai gejalagejala sebagai awal osteoporosis
seperti rasa pegal, linu-linu dan nyeri tulang terutama pada bagian punggung dan
pinggang.
Pencegahan osteoporosis harus dilakukan sejak dini sampai usia dewasa
muda agar mencapai kondisi puncak massa tulang (peak bone mass). Bila tercapai
kondisi puncak massa tulang pada usia dewasa muda, kemungkinan terjadi
osteoporosis pada usia lanjut akan kecil atau paling sedikit ditunda kejadiannya
dengan membudayakan perilaku hidup sehat yang intinya mengkonsumsi makanan
dengan gizi seimbang yang memenuhi kebutuhan nutrisi dengan unsur kaya serat,
rendah lemak dan kaya kalsium (1000-1200 mg kalsium per hari), berolahraga
secara teratur, tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol karena rokok dan
alcohol meningkatkan risiko osteoporosis dua kali lipat.
Latihan-latihan olahraga dapat menguatkan tulang-tulang kita. Dengan
melakukan latihan-latihan olahraga yang secara teratur dan benar gerakannya maka
akan bermanfaat dalam pencegahan maupun dalam pengobatan osteoporosis.
Olahraga, obat-obatan, dan pengaturan makanan yang baik merupakan kombinasi
yang baik untuk menanggulangi osteoporosis dibandingkan dengan pengobatan
atau pengaturan makan saja.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas tentang
penanganan

osteoporosis

yang

disebabkan

2

oleh

kondisi

postmenopause

berdasarkan evidence based nursing yang dapat dilakukan di praktik klinis
keperawatan.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dari laporan yang
telah penulis susun antara lain :
1. Apa yang dimaksud dengan osteoporosis postmenopause?
2. Bagaimana penatalaksanaan osteoporosis postmenopause yang sesuai dengan
evidence yang ada?
C. Tujuan
Tujuan dari laporan penanganan osteoporosis post menopause yang telah
disusun oleh penulis antara lain untuk :
1. Mengetahui penjelasan dari osteoporosis postmenopause
2. Mengetahui penatalaksanaan osteoporosis postmenopause yang sesuai dengan
evidence yang ada.
D. Manfaat
Manfaat yang diharapkan penulis bagi penulis dan pembaca dari disusunnya
laporan tersebut antara lain :
1. Mendapatkan pengetahuan tentang penjelasan maksud dari osteoporosis
postmenopause
2. Mendapatkan
postmenopause

pengetahuan

yang

sesuai

tentang
dengan

mempraktikkannya di kondisi klinis.

3

penatalaksanaan
evidence

yang

ada

osteoporosis
dan


dapat

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai
dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan mineral
yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, sehingga
terjadi penurunan kekuatan tulang. World Health Organization (WHO) secara
operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone Mineral Density (BMD),
yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari -2,5 SD dari nilai rata-rata BMD
pada orang

dewasa muda sehat (Bone Mineral Density T-score < -2,5 SD).

Osteopenia adalah nilai BMD -1 sampai -2,5 SD dari orang dewasa muda sehat.
Osteoporosis postmenapousal merupakan osteoporosis tipe I. Pada wanita
menopause,


kadar

esterogen

mulai

menurun

sehingga

terjadi

gangguan

keseimbangan antara sel penghancur tulang (esteoklas) dan sel pembentuk tulang
(osteoblas). Dahulu dikatakan bahwa esterogen menyebabkan gangguan resorbsi
jaringan tulang secara tidak langsung. Hal ini karena belum terbukti adanya reseptor
tulang. Tetapi pada penelitian selanjutnya dapat dibuktikan adanya reseptor
esterogen pada sel-sel tulang, sehingga dapat diketahui adanya pengaruh langsung
esterogen terhadap proses pembentukan dan penghancuran tulang. Selain hormon

esterogen, hormon paratiroid, vitamin D dan kalsitonin sangat berpengaruh terhadap
masa depan wanita yang akan mencapia usia 70 tahun (Alkaff, 2001 Cit. Tanzil,
2007).
B. Patofisiologi Osteoporosis
Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam remodeling tulang
sehingga mengakibatkan kerapuhan tulang. Terjadinya osteoporosis secara seluler
disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan
aktivitas sel osteoblas (sel pembentukan tulang). Keadaan ini mengakibatkan
penurunan massa tulang.
Ada 3 penyebab utama untuk masa tulang yang rendah (Ridjab et al, 2004):
1. Kegagalan untuk mencapai puncak masa tulang yang optimal. Selain dipengaruhi
oleh genetik, dapat pula dipengaruhi gaya hidup, terutama asupan kalsium dan
aktivitas fisik pada saat pertumbuhan tulang.
4

2. Peningkatan resorpsi tulang, defisiensi esterogen merupakan faktor utama pada
wanita dan pria. Pada wanita post menopause terjadi defisiensi kalsium dan
vitamin D, berkurangnya absorbsi kalsium pada usia lanjut, abnormalitas
endokrin (hipertiroid atau hiperparatiroid), sitokin dan faktor lokal lainnya
dapat mempunyai peranan.

3. Tidak adekuatnya formasi tulang, hal ini dapat terjadi karena hilangnya elemen
tulang secara total karena resorpsi yang berlebihan, sehingga elemen tulang yang
diperlukan dalam proses formasi tulang sebagai contoh (template) tidak ada.
Gangguan fungsi osteoblas yang berhubungan dengan usia serta faktor lokal dan
sistemik dapat mempengaruhi regulasi formasi tulang.
Selama pertumbuhan, rangka tubuh meningkat dalam ukuran dengan
pertumbuhan linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang baru pada permukaan
luar korteks.
Remodeling tulang mempunyai dua fungsi utama : (1) untuk memperbaiki
kerusakan mikro di dalam tulang rangka untuk mempertahankan kekuatan tulang
rangka, dan (2) untuk mensuplai kalsium dari tulang rangka untuk mempertahankan
kalsium serum. Remodeling dapat diaktifkan oleh kerusakan mikro pada tulang
sebagai hasil dari kelebihan atau akumulasi stress. Kebutuhan

akut kalsium

melibatkan resorpsi yang dimediasi-osteoklas sebagaimana juga transpor kalsium
oleh osteosit. Kebutuhan kronik kalsium menyebabkan

hiperparatiroidisme


sekunder, peningkatan remodeling tulang, dan kehilangan jaringan tulang secara
keseluruhan.
Remodeling tulang juga diatur oleh beberapa hormon yang bersirkulasi,
termasuk estrogen, androgen, vitamin D, dan hormon paratiroid (PTH), demikian
juga faktor pertumbuhan yang diproduksi lokal seperti IGF-I dan IGF–II,
transforming growth factor (TGF), parathyroid hormone-related peptide (PTHrP),
ILs, prostaglandin, dan anggota superfamili tumor necrosis factor (TNF). Faktorfaktor ini secara primer memodulasi kecepatan dimana tempat remodeling baru
teraktivasi, suatu proses yang menghasilkan resorpsi tulang oleh osteoklas, diikuti
oleh suatu periode perbaikan selama jaringan tulang baru disintesis oleh osteoblas.
Sitokin bertanggung jawab untuk komunikasi di antara osteoblas, sel-sel sumsum
tulang lain, dan osteoklas telah diidentifikasi sebagai

RANK ligan (reseptor

aktivator dari NF-kappa-B; RANKL). RANKL, anggota dari keluarga TNF,
disekresikan oleh oesteoblas dan sel-sel tertentu dari sistem
5

imun. Reseptor

osteoklas untuk protein ini disebut sebagai RANK. Aktivasi RANK oleh RANKL
merupakan suatu jalur final umum dalam perkembangan dan aktivasi osteoklas.
Umpan humoral untuk RANKL, juga disekresikan oleh osteoblas, disebut sebagai
osteoprotegerin. Modulasi perekrutan dan aktivitas osteoklas tampaknya berkaitan
dengan interaksi antara tiga faktor ini. Pengaruh tambahan termasuk gizi (khususnya
asupan kalsium) dan tingkat aktivitas fisik.
Ekspresi RANKL diinduksi di osteoblas, sel-T teraktivasi, fibroblas sinovial,
dan sel-sel stroma sumsum tulang. Ia terikat ke reseptor ikatan-membran RANK
untuk memicu diferensiasi, aktivasi, dan survival osteoklas. Sebaliknya ekspresi
osteoproteregin (OPG) diinduksi oleh faktor-faktor yang menghambat katabolisme
tulang dan memicu efek anabolik. OPG mengikat dan menetralisir RANKL, memicu
hambatan osteoklastogenesis dan menurunkan survival osteoklas yang sebelumnya
sudah ada. RANKL, aktivator reseptor faktor inti NBF; PTH, hormon paratiroid;
PGE2, prostaglandin E2; TNF, tumor necrosis factor; LIF, leukemia inhibitory
factor; TP, thrombospondin; PDGF, platelet-derived growth factor; OPG-L,
osteoprotegerin-ligand; IL, interleukin; TGF-, transforming growth factor.
Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi digantikan oleh jumlah yang
seimbang jaringan tulang baru. Massa tulang rangka tetap konstan setelah massa
puncak tulang sudah tercapai pada masa dewasa. Setelah usia 30 - 45 tahun, proses
resorpsi dan formasi menjadi tidak seimbang, dan resorpsi melebih formasi.
Ketidakseimbangan ini dapat dimulai pada usia yang berbeda dan bervariasi pada
lokasi tulang rangka yang berbeda; ketidakseimbangan ini terlebih-lebih pada wanita
setelah menopause. Kehilangan massa tulang yang

berlebih dapat disebabkan

peningkatan aktivitas osteoklas dan atau suatu penurunan aktivitas osteoblas.
Peningkatan rekrutmen lokasi remodeling tulang membuat pengurangan reversibel
pada jaringan tulang tetapi dapat juga menghasilkan kehilangan jaringan tulang dan
kekuatan biomekanik tulang panjang.
C. Faktor Resiko :
1. Usia
Ketika manusia lahir sampai berusia 30 tahun pembentukan tulang terjadi lebih
banyak daripada penghancurannya. Sedangkan ketika usia sudah mencapai diatas
30 tahun, maka tulang yang hilang akan lebih banyak daripada tulang yang

6

dibentuk. Proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 5565 tahun) daripada lansia lanjut (usia 65-85 tahun).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis.
Wanita secara signifikan memilki risiko yang lebih tinggi

untuk terjadinya

osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan pria
adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya
osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari hipogonadisme,
konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan. Secara
keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1.
3. Riwayat Keluarga
Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian
terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian
pinggul dan tulang punggung sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan
dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki massa
tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih
rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam
menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang.
4. Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh yang rendah, dan kekuatan tulang yang menurun memiliki
risiko yang lebih tinggi terhadap berkurangnya massa tulang pada semua bagian
tubuh wanita. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa efek berat badan
terhadap massa tulang lebih besar pada bagian tubuh yang menopang berat badan,
misalnya pada tulang femur atau tibia.
Estrogen tidak hanya dihasilkan oleh ovarium, namun juga bisa dihasilkan oleh
kelenar adrenal dan dari jaringan lemak. Jaringan lemak atau adiposa dapat
mengubah hormon androgen menjadi estrogen. Semakin banyak jaringan lemak
yang dimiliki oleh wanita, semakin banyak hormon estrogen yang dapat
diproduksi. Penurunan massa tulang pada wanita yang kelebihan berat badan dan
memiliki kadar lemak yang tinggi, pada umumnya akan lebih kecil. Adanya
penumpukan jaringan lunak dapat melindungi rangka tubuh dari trauma dan patah
tulang.

7

5. Aktifitas Fisik
Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan menyebabkan
tulang berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang. Kurang aktifitas
karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dapat mengurangi massa
tulang. Hidup dengan aktifitas fisik yang cukup dapat menghasilkan massa tulang
yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet memiliki massa tulang yang lebih
besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi

osteoporosis

seseorang yang

memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia
25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih rendah daripada yang memiliki
aktifitas fisik tingkat sedang dan rendah.
6. Pil KB
Terdapat beberapa bukti bahwa wanita yang menggunakan pil KB untuk waktu
yang

lama

memiliki

tulang

yang

lebih

kuat

daripada

yang

tidak

mengkonsumsinya. Kontrasepsi oral mengandung kombinasi estrogen dan
progesteron, dan keduanya dapat meningkatkan massa tulang. Hormon tersebut
dapat melindungi wanita dari berkurangnya massa tulang dan bahkan merangsang
pembentukan tulang.
7. Densitas Tulang
Densitas masa tulang juga berhubungan dengan risiko terjadinya fraktur. Setiap
penurunan 1 SD, berhubungan dengan risiko peningkatan fraktur sebesar 1,5 - 3,0
kali. Faktor usia juga menjadi pertimbangan dalam menentukan besarnya risiko
menurut densitas tulang.
8. Menopause
Wanita yang memasuki masa menopause akan terjadi fungsi ovarium yang
menurun sehingga produksi hormon estrogen dan progesteron juga menurun.
Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling tulang berubah dan
pengurangan jaringan tulang akan dimulai. Salah satu fungsi estrogen adalah
mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat resorpsi tulang
akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang, yang mengakibatkan
berkurangnya massa tulang. Sangat berpengaruh terhadap kondisi ini adalah
tulang trabekular karena tingkat turnover yang tinggi dan tulang ini sangat rentan
terhadap defisiensi estrogen. Tulang trabekular akan menjadi tipis dan akhirnya
berlubang atau terlepas dari jaringan sekitarnya. Ketika cukup banyak tulang yang
terlepas, tulang trabekular akan melemah.
8

D. Dampak Osteoporosis Postmenopousal
Usia dan berat badan (indeks masa tubuh) berkorelasi dengan densitas
mineral tulang (BMD). Densitas mineral yang menurun akan menyebabkan massa
tulang yang menurun. Pengukuran densitas mineral tulang dapat digunakan untuk
mengetahui adanya penurunan massa tulang. Hal ini mampu memicu terjadinya
fraktur. Hubungan antara BMD dan resiko fraktur secara signifikan dipengaruhi oleh
usia. Dilihat dari nilai BMD lansia lebih tinggi resiko untuk mengalami fraktur
daripada usia muda.
E. Penatalaksanaan
Tujuan treatmen pada osteoporosis adalah :
1. Mencegah fraktur dengan meningkatkan kekuatan tulang fan menurunkan resiko
jatuh dan injuri
2. Menurunkan gejala frkatur dan deformitas tulang
3. Memaksimalkan fungsi fisik
Agen farmako yangtelah disetujui oleh FDA united States untuk osteoporosis :
No

Nama Obat

Postmenauposal Osteoporosis
Pencegahan
Treatment
(berbagai Berbagai macam aturan

1

Estrogen

2

macam formula)
Calcitonin (Miacalcin,

-

200 IU intra nasal sehari

Fortical)

-

sekali atau 100 IU sub
kutan

pada

hari

yang

berbeda
60 mg sub kutan setiap mo

3

Denosumab (Prolia)

4

Raloxifene (Evista)

60 mg per oral setiap 60 mg per oral setiap hari

Ibandronate (Boniva)

hari
2.5 mg per oral setiap 2.5 mg per oral setiap hari

5

6

Alendronate (Fosamax)

-

hari

150 mg per bulan

150 mg per bulan
5 mg per oral per hari

3 mg IV setiap mo
10 mg per oral perhari

35 mg per oral per 70 mg per oral setiap
minggu a

minggu

70 mg + D b

9

7

Residonate (Actenol)

5 mg per oral per hari

5 mg per oral per hari

35 mg per oral per 35 mg per oral per minggu
minggu

150 mg per oral per bulan

150 mg per oral per
bulan
zelodronic 5 mg IV setiap 2 tahun 5 mg IV setiap 1 tahun

8

Asam

9

(Reclast)
Teriparatide (Forteo)

sekali
-

sekali
20 µg Sub kutan per hari

Keterangan :
a = Fosamax 70 mg tersedia dalam bentuk tablet dan dosis cairan. Alendronate
(Fosamas jenis generik) juga tersedia
b = Fosamax plus D adalah tablet yang terdiri dari 70 mg aldendronate dan 2,800 IU
atau 5,600 dari vitamin D per minggu
Terapi non Farmako :
1. Menjaga agar intake protein tercukupi
2. Menggunakan body mekanisme yang sesuai
3. Menggunakan proteksi untuk hip pada individu dengan resiko tinggi terjatuh
4. Ambil tindakan untuk mengurangi resiko jatuh
5. Rujuk pada terapi fisik dan terapi okupasional
6. Terapi pilates. Terapi ini meskipun sering digunakan untuk orang yang sehat,
namun dapat juga digunakan untuk individu dengan kelainan muskuloskeletal
yang dapat memberi manfaat pada nyeri dan kualitas hidup.

BAB III
PEMBAHASAN

10

A. Kasus
OSTEOPOROSIS POSTMENOPHOUSE
Ibu Syifa (57 tahun) adalah seorang wirausahawati. Sejak usia 40 tahun ia
banyak menghabiskan waktunya mengurus toko di rumah. Ia memanajemen bagian
kasir dan sirkulasi keuangan. Aktivitas sehari-harinya banyak dilakukan di dalam
ruangan dan tidak terlalu banyak pergerakan fisik. Semenjak masih muda, Ibu Syifa
tidak suka dengan olah raga. Setiap kali diajak oleh teman, suami atau anak-anaknya
selalu saja ada alasan untuk menolak. Sebenarnya orang-orang terdekatnya telah
menyadari bahwa pola aktivitas fisik Ibu Syifa harus ditingkatkan. Semenjak 3 tahun
terakhir, Ibu Syifa mulai merasakan bahwa fisiknya mulai melemah, tidak seperti
biasanya, sering kali terjatuh ketika sedang beraktivitas. Ketika dibawa ke petugas
kesehatan, ia menyatakan merasakan nyeri skala 4. Lambat laun, setelah dilakukan
pengkajian perawat dan anamnesis dokter dengan matang, dinyatakan Ibu Syifa
menderita penyakit postmenophouse

osteoporosis. Perawat Fatin yang sedang

menangani Ibu Syifa sedang memikirkan treatment apa yang paling sesuai untuk Ibu
Syifa agar penyakitnya semakin membaik, sedangkan keadaan Ibu Syifa masih
dalam kategori yang tidak terlalu lemah dan masih dapat diajak untuk beraktivitas.
B. Analisis Jurnal I
Judul :
EFFECTS OF PILATES EXERCISES ON PAIN, FUNCTIONAL STATUS AND
QUALITY OF LIFE IN WOMEN WITH POSTMENOPAUSAL OSTEOPOROSIS
Penulis :
 Nurten Ku¨c¸u¨kc¸akır, MD, (Uludag University Medical Faculty, Physical
Medicine and Rehabilitation, Turkey
 Lale Altan, MD (Uludag University Medical Faculty, Physical Medicine and
Rehabilitation, Turkey)
 Nimet Korkmaz, PhD (Uludag University, Faculty of Education, Department of
Physical Education and Sports, Turkey)
Sumber :
Journal of Bodywork & Movement Therapies (2013) 17, 204e211

11

Latar Belakang Penelitian :
Osteoporosis (OP) adalah penyakit tulang metabolik yang paling sering
terjadi. OP menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di beberapa negara dalam
kaitannya untuk meningkatkan angka harapan hidup. Berbagai dampak yang
ditimbulkan dari OP yaitu fraktur, nyeri, kehilangan fungsi, isolasi sosial, gangguan
emosional sehingga dapat berdampak pada kesehatan pasien secara umum dan
kualitas hidup.
Tujuan utama dari penanganan pada OP adalah untuk mencegah fraktur.
Meskipun beberapa alternatif penanganan medikasi direkomendasikan untuk
mencegah berkurangnya kekuatan tulang atau meningkatkan pembentukan tulang,
latihan (exercise) juga ditekankan sebagai bagian dari manajemen pada OP di
beberapa pedoman penanganan.
Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya efek positif pada tulang
dengan berbagai program latihan. Program-program latihan kini juga bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan otot-otot tubuh dan ekstremitas bawah untuk
mencegah kejadian jatuh. Meskipun latihan sudah dijadikan sebagai bagian integral
dari manajemen OP, namun sebuah program latihan standar yang dapat dipercaya
untuk meningkatkan bone mineral density (BMD) dan meningkatkan kualitas hidup
belum ada.
Pilates adalah sebuah program latihan spesifik yang dikembangkan setelah
Perang Dunia I oleh Joseph Pilates (1880-1967). Tujuan dari Pilates training adalah
untuk meningkatkan fleksibilitas tubuh secara umum dan meningkatkan kesehatan
dengan berfokus kepada kekuatan otot pada tubuh dan koordinasi postur dan
pernafasan.
Pada dasarnya Pilates exercise merupakan bagian dari aktivitas olah raga
untuk menjaga kesehatan seorang individu, namun ternyata Pilates exercise juga
dapat

direkomendasikan

sebagai

terapi

pada

beberapa

kasus

gangguan

musculoskeletal. Hal ini terbukti pada beberapa penelitian yang menunjukkan
manfaat dari Pilates exercise seperti halnya efek bermanfaat dari Pilates pada nyeri
dan kualitas hidup pasien fibromyalgia dan ankylosing spondylitis (Altan et al.,
2009, 2011). Manfaat lain juga ditunjukkan dari penelitian Siqueira Rodrigues et al.,
pada tahun 2010 yaitu Pilates menunjukkan efek positif pada otonomi pribadi,
keseimbangan statis, dan kualitas hidup pada penelitian yang melibatkan para lansia.

12

Tujuan :
Mengevaluasi efek dari Pilates exercise yang terpantau pada nyeri dan kualitas hidup
di pasien dengan postmenopausal osteoporosis.
Metode :
Populasi :
100 wanita usia 45-65 tahun yang didiagnosa postmenopausal osteoporosis
baik lumbar maupun femur. Tidak memiliki riwayat fraktur.
Kriteria eksklusi :
Pasien mengkonsumsi obat yang dapat menyebabkan osteoporosis sekunder



(antiepileptics, steroids, lithium, heparin and thyroid hormone)


Pasien dengan penyakit sistemik



Pasien dengan kondisi sistemik yang terbatas kemampuannya untuk
melakukan latihan
Pasien yang tidak ingin berpartisipasi dalam program latihan


Sampel :

Sejumlah 70 wanita yang memenuhi kriteria untuk dijadikan sampel dibagi
menjadi dua kelompok secara acak. Kelompok home exercise sejumlah 35 orang dan
kelompok Pilates exercise sejumlah 35 orang. Di tengah penelitian ada 5 orang dari
kelompok home exercise dropout dan 5 orang dari kelompok Pilates Exercise
dropout. Sehingga sampel total di akhir penelitian ada masing-masing 30 orang.

13

Intervensi :
 Kelompok Pirates exercises (Group 1)
Pirates exercises diberikan selama satu tahun secara terpantau dengan frekuensi
dua kali seminggu dengan masing-masing pertemuan berdurasi selama satu jam.
Pirates exercise berisikan 9 macam latihan utama yaitu : postural education,
maintaining neutral position, sitting exercises, antalgic exercises, stretching
exercises, proprioceptive training, and respiratory training.
 Kelompok Home exercises (Group 2)
Pada kelompok ini pasien diberikan demonstrasi tentang Thoracic extention
exercises dengan posisi duduk oleh fisioterapis dan pasien disuruh untuk
mempraktekkan latihan tersebut 3 set dari 20 pengulangan selama 1 tahun. Pasien
akan dicek melalui telepon apakah mereka mempraktekannya atau tidak.
 Pada akhir program mereka akan dievaluasi oleh investigator yang tidak
mengetahui akan pembagian kelompok mereka.
Parameter evaluasi :
 Nyeri
Nyeri dievaluasi menggunakan Visual Analogue Scale (VAS)

14

 Six-minute walk test
Pasien berjalan secepat mungkin pada koridor 25m selama 6 menit kemudian
diukur seberapa jauh pasien bisa berjalan
 Sit-to-stand test
Pasien disuruh untuk berdiri dari kursi kemudian duduk secepat mungkin, selama
1 menit diukur berapa kali pasien bisa duduk berdiri untuk mengukur kekuatan
ekstremitas bawah.
 Quality of life assessment
Kualitas hidup diukur dengan menggunakan Quality of Life Questionnaire of the
European Foundation for Osteoporosis (Qualeffo-41) dan Short-Form (SF)-36.
1. Qualeffo-41 meliputi 5 domain kesehatan yaitu : pain, physical function,
social function, general health and mental function. Kelima domain tersebut
terbagi lagi ke dalam subdomain yaitu :


pain (Qualeffo-A),



physical function activities of daily living (Qualeffo-B),



physical function jobs around the house (Qualeffo-C),



physical function mobility (Qualeffo-D),



social function (Qualeffo-E),



general health status (Qualeffo-F),



mental function (Qualeffo-G)

Skor dijumlah dari rentang skala 0-100, dimana 0 mengindikasikan status
kesehatan yang baik dan 100 mengindikasikan status kesehatan yang sangat
buruk.
2. SF-36 adalah skala pengkajian yang sering digunakan untuk menilai kualitas
hidup dan tidak spesifik untuk usia tertentu, penyakit tertentu atau pun
kelompok penanganan tertentu. Kuesioner ini berisikan 36 pertanyaan yang
mengevaluasi konsep kesehatan umum dan terdiri dari 8 bagian yaitu :


physical functioning (10 items),



physical role limitation (4 items),



emotional role limitation (3 items),



bodily pain (2 items),



social functioning (2 items),
15



mental health (5 items),



vitality (4 items),



general health (5 items)

 Number of falls
Angka kejadian jatuh selama satu tahun dicatat.
Analisis : Analisis statistik menggunakan SPSS v. 13.0.
Hasil :
1. Pengukuran sebelum pemberian intervensi
Berdasarkan usia dan hasil evaluasi dasar, tidak ada perbedaan kriteria yang
signifikan antara Group 1 dan Group 2 kecuali pada hasil sit-to-stand test.

2. Pengukuran setelah pemberian intervensi
Berdasarkan hasil evaluasi dia akhir program, didapatkan peningkatan yang
signifikan di semua parameter pada kelompok Pilate exercise (Group 1).
Pada kelompok home exercise (Group 2) juga didapatkan peningkatan yang
signifikan hampir di semua parameter kecuali pada parameter Qualeffo- Leisure
Time Activities, SF-36 physical role limitation and SF-36 emotional role
limitation subscales.
16

3. Perbandingan peningkatan antara Group 1 dan Group 2
Kelompok yang menerima Pilate excercise secara signifikan mengalami
peningkatan yang lebih dibandingkan dengan kelompok yang menerima Home
exercise.
17

4. Angka kejadian jatuh
Kejadian jatuh sangat jarang ditemui selama periode penelitian. Angka kejadian
jatuh tidak tertulis secara statistic karena sedikitnya angka kejadian.
Diskusi


Efek dari menderita osteoporosis itu sangat banyak mulai dari nyeri kronik,
peningkatan kifosis, berkurangnya tinggi, dan berbagai hambatan dalam
melakukan aktivitas akibat nyeri sehingga semuanya itu akan berefek lebih
lanjut pada kualitas hidup pasien.



Pilates exercise terbukti memiliki manfaat dalam meningkatkan kekuatan tubuh
dan fleksibilitas. Selain itu exercise ini juga dapat meningkatkan kemampuan
motorik sehingga mengurangi resiko jatuh.



Thoracic extension exercise memberikan efek yang bermanfaat dengan
memperbaiki postur dan mengurangi resiko fraktur vertebral.



Kedua intervensi tidak memimbulkan komplikasi atau efek samping sehingga
aman untuk dipraktekkan.



Berdasarkan hasil penelitian ini, meskipun Thoracic extension exercise memiliki
efek yang lebih rendah daripada Pilate exercise namun Thoracic extension

18

exercise dapat disarankan kepada pasien yang tidak cocok dengan program
Pilate Exercise.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa Pilate Exercises merupakan penanganan
alternatif yang efektif dan aman yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien
dengan postmenopausal osteoporosis. Hasil positif potensial pada penelitian
selanjutnya mungkin berkontribusi pada penerimaan program Pilate Exercise sebagai
standar pendekatan terapeutik pada osteoporosis.
C. Analisis Jurnal II
Judul: Bisphosphonates vs Exercise for the Prevention and Treatment of
Osteoporosis
Penulis:
Ben Hurley, PhD, and
Terry Jessup Armstrong, FNP-BC
Introduction:
Di Amerika Serikat hampir 12 juta orang yang berumur lebih dari 50
diperkirakan menderita osteoporosis, dan hampir 34 juta beresiko mengalami
penurunan BMD (Bone Mineral Density).
NOF

(National

Osteoporosis

Foundation)

merekomendasikan

untuk

perempuan post menopaus dan laki-laki diatas 50 tahun setidaknya mencukupi
asupan kalsium paling sedikit 1200 mg/ hari dan vitamin D 800 sampai 1000 IU per
hari untuk orang – orang yang beresiko kekurangan kalsium dan vitamin D.
WHO menetapkan standar terapi pengobatan untuk orang dengan patah
tulang akibat osteoporosis yang telah disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administration),

diantaranya

adalah

biphosphonate

(alendronat,

risedronat,

zeledronic acid), kalsitonin, estrogen/terapi hormone, paratiroid hormone.
Tujuan dari review ini adalah untuk mendiskusikan mengenai manfaat
biphosphonate dan olahraga rutin untuk orang yang beresiko patah tulang pada
wanita yang osteoporosis pos menopaus dan laki-laki yang osteoporosis.

19

Biphosphonate untuk Mengurangi Resiko Patah Tulang
Patah tulang adalah hal yang sering terjadi sebagai akibat dari osteoporosis
pos menopaus dan biphosphonate ditetapkan sebagai treatment awal untuk orang
dengan resiko patah tulang.
Pengurangan resiko patah tulang belakang dapat dengan menggunakan 4 tipe
biphosphonate, yaitu alendronat (Fosamax), risedronate (Actonel), zoledronic acid
(Reclast), dan ibandronate.
Pada penelitian acak terkontrol menunjukkan bahwa fosamax, actonel, dan
reclast dapat mengurangi resiko patah tulang belakang, tulang-tulang lain, termasuk
tulang panggul. Berkebalikan dengan olahraga rutin, biphosphonate digunakan untuk
menghambat reabsorbsi kalsium dari tulang, yang mengakibatkan meningkatnya
Bone Mineral Density.
Latihan Rutin untuk Mengurangi Resiko Patah Tulang
Beberapa studi kohort prospektif pada laki-laki dan perempuan, serta
penelitian studi kasus menunjukkan bahwa penurunan resiko patah tulang panggul
terjadi pada responden yang secara fisik aktif dibanding dengan responden yang
tidak aktif.
Pada penelitian meta-analisis dengan studi kohort prospektif, Moayyeri et al
menunjukkan bahwa terdapat penurunan resiko patah tulang panggul sebesar 38%
pada wanita dan sebesar 45% pada laki-laki yang melakukan aktivitas fisik sedang
sampai berat.
Mekanisme spesifik dari penurunan resiko patah tulang karena melakukan
aktivitas fisik belum diketahui secara pasti. Tetapi diperkirakan karena adanya
perubahan Bone Mineral Density. Terdapat sedikit peningkatan BMD saat
melakukan olahraga rutin. Peningkatan BMD dapat berpengaruh pada peningkatan
kekuatan tulang, pembentukan tulang (osteogenesis), mengurangi resiko jatuh
(peningkatan kekuatan otot, peningkatan keseimbangan). Oleh karena itu olahraga
rutin sangat penting dalam mengurangi resiko patah tulang pada wanita yang
mengalami osteoporosis pos menopaus.
Kesimpulannya, baik terapi biphosphonate dan terapi olahraga secara rutin
dapat mengurangi resiko patah tulang.
20

Biphosphonate untuk Meningkatkan Bone Mineral Density
BMD yang rendah adalah factor resiko utama untuk terjadinya patah tulang
panggul karena osteoporosis. BMD menurun secara bermakna pada wanita 2 sampai
5 tahun setelah menopaus. Pengurangan secara bermakna pada patah tulang
ditunjukkan bahkan hanya dengan sedikit peningkatan BMD.
BMD dapat mempengaruhi bagian yang berbeda dari tulang belakang.
Contohnya pada pasien yang 3 tahun mengkonsumsi actonel, BMD meningkat hanya
pada bagian lumbar dianding dengan femoral.
Olahraga Rutin untuk Meningkatkan Bone Mineral Density
Untuk meningkatkan BMD dengan olahraga rutin, jaringan tulang harus
mendapat asupan rantai mekanis yang berasal dari kontraksi otot. Rantai mekanis
pada tulang yang dihasilkan dari kontraksi otot menstimulasi pembentukan tulang
pada bagian permukaan (periosteum).
Ada banyak aktivitas yang kita lakukan setiap harinya, salah satunya adalah
penguatan otot. Aktivitas penguatan otot seperti latihan ketahanan, loncat, lompat,
naik tangga lebih dapat membentuk tulang daripada aktivitas yang pengaruhnya
lemah seperti berenang dan bersepeda.
Aktivitas penguatan otot lebih besar pengaruhnya untuk pembentukan tulang
dibandingkan dengan weight bearing (lebih berat). Meloncat atau melompat 10 kali
sehari dapat meningkatkan proses pembentukan tulang sama halnya seperti meloncat
atau melompat 40 kali sehari. Jadi penguatan otot itu penting walaupun durasinya
tidak lama.
Bisphosphonates vs latihan untuk BMD (Bone Mineral Density)
Peneliti menemukan 1 buah penelitian pada manusia yang membandingkan
efek

pemberian

bisphosphonates

dengan

program

latihan.

Penelitian

ini

membandingkan antara pemberian intravena Reclast dengan program latihan di
rumah langsung dengan arahan rekaman latihan, pedometer, dan konseling motivasi
pada pasien kemoterapi kanker payudara. Dilaporkan bahwa kekonsistenan dan
besarnya peningkatan BMD cenderung lebih besar dengan pemberian terapi
bisphosphonates daripada pemberian program latihan.
21

Mengenai hal itu, ditemukan 1 kelebihan program latihan dibandingkan
bisphosphonates yaitu mampu meningkatkan struktur (massa otot) dan fungsi
(keseimbangan, kekuatan, kelenturan otot) yang tidak terdapat pada pemberian
bisphosphonates.

Peningkatan tersebut dapat menurunkan resiko jatuh dan

meningkatkan kekuatan tulang. Meskipun begitu, bisphosphonates pun memiliki
kelebihan dibanding program latihan karena mampu secara konsisten dan lebih besar
meningkatkan BMD.
Bisphosphonates dalam meningkatkan kekuatan tulang
Antiresorptive agent mampu menurunkan resiko fraktur dengan mencegah
pembentukan tulang, yang berdampak meningkatan kekuatan tulang. Dari penelitian
yang ada, boniva (salah satu bisphosphonates) mampu meningkatkan kekuatan
vertebral, periperal, dan trabecular sebesar 6-8% dibandingkan dengan kelompok
plasebo.
Latihan rutin untuk kekuatan tulang
Beck et all menemukan hubungan antara aktivitas fisik dengan BMD yang
ditaksir berhubungan dengan aktivitas fisik dan kekuatan tulang. Peningkatan
bentukan tulang dengan latihan rutin mampu mengarah pada peningkatan kekuatan
tulang ditunjukkan dengan peningkatan geometri pada tulang.
Efek bisphosphonates vs latihan pada kandungan mekanikal tulang
Dosis tinggi bisphosphonates dapat mengarah ke akumulasi kerusakan mikro
yang sognifikan dan menurunkan kapasitas absorbsi energi pada tulang trabecular,
menyebabkan adanya penurunan kekerasan tulang, yang mengarah ke peningkatan
resiko fraktur. Sebaliknya, latihan bertarget mampu meningkatkan substansi
kandungan tulang.
Kapan sebaiknya memulai latihan?
Penelitian meta analisis RCT menunjukkan kemajuan yang signifikan pada
kekuatan tulang dengan menjalani latihan rutin.
Resep latihan untuk kekuatan tulang
Pemberian resep latihan dibagi menjadi 2 sesuai tujuannya:
22

1. Untuk mengoptimalkan osteogenesis dan kekuatan tulang
Penelitian merekomendasikan latihan rutin yang aman seperti berjalan, jogging
dan latihan peregangan. Kemajuan bertahap frekuensi dari aktivitas latihan otot
dan tulang lebih diutamakan dibanding dengan peningkatan beratnya latihan
tanpa peningkatan frekuensi.
The American College of Sports Medicine merekomendasikan kedua latihan
berikut:
a. Aktivitas aerobik, berguna untuk kekuatan tulang. Berupa tenis, naik tangga
atau berjalan. Durasi yang disarankan 30-60 menit/hari, dengan frekuensi 35 hari/minggu dengan intensitas latihan 40-60% dari upaya maksimal
dengan monitor denyut jantung.
b. Latihan kekuatan, intensitas 5-12 kali pengulangan maksimal, dengan durasi
30-60 menit/hari dan dengan frekuensi 2-3 kali/minggu.
Pemberian resep latihan mungkin bervariasi antara pasien, tergantung dari
kondisi medis, ketersediaan waktu, dll.
2. Pencegahan jatuh
Latihan yang dapat meningkatkan keseimbangan, kelincahan, kekuatan, tenaga,
dan kebugaran kardiovaskular, seperti aerobik (berjalan, jogging).
Kesimpulan
Terdapat bukti ilmiah bahwa program latihan dan bisphosphonates samasama mampu menurunkan resiko fraktur meski dengan mekanisme berbeda. Masingmasing memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti bisphosphonates yang mampu
meningkatkan BMD. Sehingga program latihan tidak seharusnya menjadi pengganti
terapi bisphosphonates yang sudah dijadikan penagangan utama pada osteoporosis.
Saran yang direkomendasikan berikan konseling kepada pasien untuk menjalani
latihan secara rutin untuk pencegahan tulang keropos dan sebagai terapi tambahan
non-farmako disamping pemberian terapi bisphosphonates.

23

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.

Osteoporosis post menopause terjadi ketika seorang wanita itu mengalami
menopause maka kadar esterogen mulai menurun sehingga menyebabkan
gangguan keseimbangan antara sel penghancur (osteoklas) dan sel pembentuk
tulang (osteoblas) sehingga aktivitas osteoklas lebih banyak daripada aktivitas
osteoblas sehingga menyebabkan kerapuhan pada tulang. remodeling tulang
juga diatur oleh beberapa hormon yang bersirkulasi, termasuk estrogen,
androgen, vitamin D, dan hormon paratiroid (PTH).
Sedangkan pada wanita menopause mengalami, defisiensi kalsium dan vitamin
D, berkurangnya absorbsi kalsium pada usia lanjut, abnormalitas endokrin
(hipertiroid atau hiperparatiroid), dan defisiensi estrogen. Sehingga remodeling
tulang tidak dapat berlangsung dengan baik.
Sehingga proses remodeling tulang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan
penghancuran tulang lebih banyak dari pada pembentukannya. Hal ini
menyebabkan massa tulang menurun dan mengakibatkan kerapuhan pada
tulang.

2. Penanganan osteoporosis post menopause berdasarkan evidence meliputi :
a. Pilates excercise adalah sebuah program latihan spesifik yang dikembangkan
setelah Perang Dunia I oleh Joseph Pilates (1880-1967). Tujuan dari Pilates
training adalah untuk meningkatkan fleksibilitas tubuh secara umum dan
meningkatkan kesehatan dengan berfokus kepada kekuatan otot pada tubuh
dan koordinasi postur dan pernafasan. Pirates exercise berisikan 9 macam
latihan utama yaitu : postural education, maintaining neutral position,
sitting exercises, antalgic exercises, stretching exercises, proprioceptive
training, and respiratory training.
b. Bisphosphonates untuk meningkatkan kekuatan tulang serta mampu
meningkatkan kekuatan vertebral, periperal, dan trabecular sebesar 6-8%
dibandingkan dengan kelompok plasebo.

24

c. Olahraga rutin untuk meningkatkan bone mineral density yang mampu
meningkatkan struktur (massa otot) dan fungsi (keseimbangan, kekuatan,
kelenturan otot).
B. SARAN
1.

Sebagai perawat bisa mengaplikasikan ilmu ini atau menerapkannya dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang menderita osteoporosis
dengan baik dan benar.

2.

Perawat sebaiknya memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara
mencegah penyakit osteoporosis dan mengajak masyarakat untuk menjauhi
alkohol, nikotin dan kafein.

3.

Para penderita osteoporosis sebaiknya menjaga pola kesehatannya, misanya
dengan berolahraga secara teratur, sehingga dapat mencegah penurunan massa
tulang.

4.

Perawat mampu memberikan konseling kepada pasien bagaimana cara untuk
mengatasi osteoporosis baik cara farmako maupun nonfarmako.

25

DAFTAR PUSTAKA
AACE. (2010) American Association of Clinical Endocrinologist Medical Guidelines
For Clinical Practice for the Diagnosis and Treatment of Postmenopausal
Osteoporosis. Endocrine Practice,16, 1-37.
Hurley, Ben and Armstrong, Terry Jessup 2012, ‘Bisphosphonates vs Exercise for the
Prevention and Treatment of Osteoporosis’, The Journal for Nurse Practitioners
- JNP, Vol.8, Issue 3, pp. 220-224. doi: 10.1016/j.nurpra.2011.07.029
Ku¨c¸u¨kc¸akır Nurten, Altan Lale, and Korkmaz Nimet 2013, ‘Effects of Pilates
Exercises on Pain, Functional Status and Quality of Life in Women with
Postmenopausal Osteoporosis’, Journal of Bodywork & Movement Therapies ,
vol.17, pp. 204-211.

26

LAMPIRAN

27

28