Dampak Fisik Kenaikan Muka Air Laut terhadap Wilayah Pesisir Kota Medan

TINJAUAN PUSTAKA

Wilayah dan Ekosistem Pesisir
Pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis serta kaya akan
sumberdaya alam hayati dan non hayati. Indonesia memiliki sumberdaya yang
sangat besar karena merupakan negara kepulauan dengan panjang garis pantai
mencapai 81.000 km. Namun demikian wilayah pesisir ini sangat rentan terhadap
fenomena pemanasan global yang menyebabkan kenaikan muka air laut (Sulma,
2012).
Kawasan pesisir merupakan wilayah perairan laut yang terkait dengan
kegiatan budidaya dan wilayah daratan yang berada di belakang garis sempadan
pesisir yang secara langsung berkaitan dengan kegiatan sosial ekonomi di wilayah
sempadan pesisir dan perairan laut. Berdasarkan undang-undang No. 27 tahun
2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bahwa daerah pesisir
dihitung ke daerah darat yaitu dari garis pantai sampai batas administrasi, dan
kearah laut dihitung dari garis pantai sepanjang 12 mil kearah laut. Sehingga
kawasan pesisir merupakan daerah atau kawasan yang kaya akan potensi baik dari
sisi ekonomi, wisata sumberdaya serta potensi besar bencana. Namun secara batas
ekologis, kawasan pesisir ke darat masih dipengaruhi oleh laut dan laut masih
dipengaruhi darat (Dahuri, 2002 diacu oleh Hidayat, 2012).
Menurut kesepakatan internasional terakhir, wilayah pesisir didefinisikan

sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, kearah darat mencakup daerah
yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan kearah laut

meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley dkk., 1994 diacu oleh
Dahuri, dkk., 2004).
Wilayah pesisir merupakan ekosistem sangat produktif yang berfungsi
sebagai penopang utama bagi pertumbuhan ekonomi. Lebih dari 55% dari hasil
perikanan nasional berasal dari perikanan tangkap di wilayah pesisir. Wilayah
pesisir, laut dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah ekosistem yang kaya
akankeanekaragaman hayati, termasuk terumbu karang, mangrove, padang lamun,
laguna, dan estuari. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan
rumah bagi 2.500 spesies moluska, 2.000 spesies krustasea, 6 jenis penyu, 30
spesies mamalia laut, dan lebih dari 2.000 spesies ikan. Dengan 70 genera dan 500
spesies karang keras yang meliputi 32.935 km2 (atau 16,5% dari luas terumbu
karang dunia). Indonesia merupakan bagian dari segi tiga terumbu karang (coral
traingle), wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia (megadiversity country).Sebagai bagian dari kawasan Coral
Triangle, daerah keanekaragaman hayati laut yang luar biasa ini dianggap sebagai
bentangan terumbu karang terbesar kedua di dunia setelah Great Barrier Reef di
Australia.Ekosistem terumbu karang tersebut memberikan multi manfaat,

termasuk diantaranya untuk perlindungan pantai dari gelombang badai, sumber
makanan dan habitat biota, bahan genetik untuk obat, hamparan pantai karang dan
pasir, serta surga bawah aiir untuk menyelam bagi jutaan wisatawan (Suraji,
2012).
Kegiatan-kegiatan di kawasan pesisir seperti perikanan tangkap, perikanan
budidaya (tambak), pelabuhan, pariwisata, permukiman dan suaka alam dapat
mempengaruhi keseimbangan ekosistem dan geomorfologi kawasan pesisir.

Konversi lahan dan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir menjadi salah satu
penyebab

utama

terjadinya

permasalahan

pada

kawasan


pesisir

yang

mempengaruhi penyimpangan tata guna lahan di kawasan tersebut (Adiprima dan
Sudrajat, 2012).
Sumberdaya hayati perairan pesisir yang merupakan satuan kehidupan
(organisme hidup) saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nonhayatinya (fisik) membentuk suatu sistem. Dengan demikian, pembahasan
selanjutnya dititik beratkan pada ekosistem pesisir yang merupakan unit
fungsional komponen hayati (biotik) dan non-hayati (abiotik) (Bengen, 2000).
Kawasan pesisir memiliki nilai strategis dengan berbagai keunggulan
komparatif dan kompetitif yang dimilikinya, sehingga berpotensi menjadi prime
mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukkan
bahwa kawasan pesisir telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena
berbagai keunggulan fisik dan geografisnya. Akan tetapi, pesisir merupakan
kawasan yang perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini disebabkan kawasan
pesisir memiiki karakteristik-karakteristik khusus yang terdiri atas karakteristik
daratan yang terdapat pada sub-sistem daratan pesisir (shore line) dan
karakteristik perairan yang terdapat pada subsistem periran pesisir (coastal line).

Adanya interaksi keduanya menyebabkan kawasan pesisir memiiki kendala alam
yang tidak ditemui pada ekosistem daratan lainnya (Rahmasari dan Hariyanto,
2011).
Konservasi wilayah pesisir yang dimaksud adalah upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan
kesinambungan sumberdaya pesisir dengan memelihara dan meningkatkan

kualitas nilai dan keanekaragaman hayati (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2007).
Komponen biotik yang menyusun suatu ekosistem pesisir terbagi atas
empat kelompok utama yaitu (1) produser, (2) konsumer primer, (3) konsumer
sekunder dan (4) dekomposer. Komponen abiotik dari suatu ekosistem pesisir
terbagi atas tiga komponen utama yaitu (1) unsur dan senyawa anorganik, karbon,
nitrogen dan air yang terlibat dalam siklus materi di suatu ekosistem, (2) bahan
organik, karbohidrat, protein dan lemak yang mengikat komponen abiotik dan
biotik, dan (3) regim iklim, suhu dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi
kehidupan (Bengen, 2000).
Kota Medan merupakan satu dari beberapa kota di Provinsi Sumatera
Utara. Kota Medan berpenduduk 2 juta orang yang memiliki areal seluar 26.510
hektar yang secara administratif dibagi atas 21 kecamatan yang mencakup 151

kelurahan. Secara geografis wilayah Kota Medan berada diantara 3”30’ – 3”43’
LU dan 98”35’- 98”44’ BT dengan luas 265,10 km2 dengan batas-batas sebagai
berikut :
a. Batas Utara

: Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka

b. Batas Selatan

: Kabupaten Deli Serdang

c. Batas Timur

: Kabupaten Deli Serdang

d. Batas Barat

: Kabupaten Deli Serdang

Dari luas wilayah Kota Medan dapat dipersentasekan sebagai berikut:

Pemukiman 36,3 %, Perkebunan 3,1%, Lahan Jasa 1,9%, Sawah 6,1%,
Perusahaan 4,2%, Kebun Campuran 45,4%, Industri 1,5%, Hutan Rawa 1,8%.
Topografi Kota Medan cenderung miring ke Utara dan berdada pada ketinggian

2,5- 37,5 meter diatas permukaan laut. Secara geografis, Kota Medan didukung
oleh daerah-daerah yang kaya sumber alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu,
Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai
dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu
mengembangkan berbagai kerjasama dan kelitraan yang sejajar, saling
menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.
Kenaikan Muka Air Laut
Secara umum, kenaikan muka air laut merupakan dampak dari pemanasan
global (global warming) yang melanda seluruh belahan bumi. Berdasarkan
laporan IPCC (International Panel on Climate Change) bahwa rata-rata suhu
permukaan global meningkat 0,3-0,6°C sejak akhir abad 19 dan sampai tahun
2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4-5,8°C (Dahuri, 2002 dan
Bratasida, 2002 diacu oleh Wirasatriya, 2006).
Kenaikan muka air laut sebagai akibat dari perubahan iklim global mulai
dirasakan ekstrim sejak abad ke–20. Kondisi muka air laut tersebut dapat
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu peningkatan temperatur air laut dan perubahan

massa air laut. Dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan topografi
Indonesia sebagai Negara kepulauan, maka dapat diketahui bahwa Indonesia
memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap berbagai dampak dari fenomena
perubahan iklim, khususnya kenaikan muka air laut (Isfandiari dan Djoko, 2010).
Kenaikan muka air laut merupakan fenomena naiknya muka air laut akibat
pertambahan volume air laut. Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat
sebagai suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik maupun menerus.
Perubahan secara periodik dapat dilihat dari fenomena pasang surut air laut,

sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah seperti yang teridentifikasi oleh
pemanasan global. Fenomena kenaikan muka air laut dapat di presentasikan
menggunakan Sea Level Rise (SLR) dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian
thermal sehingga volume air laut bertambah.

Selain itu mencairnya es di kutub

dan gletser juga memberikan kontribusi terhadap perubahan kenaikan muka air
laut. Kenaikan muka air laut bisa menyebabkan berkurangnya atau mundurnya
garis pantai, mempercepat terjadinya erosi pantai berpasir, banjir di wilayah
pesisir, dan kerusakan infrastruktur yang berada di wilayah pesisir seperti

dermaga, dan bangunan pantai lainnya (Liyani, dkk., 2012).
SLR ini dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pemuaian air
laut sehingga akan meningkatkan intensitas dan frekuensi banjir serta dapat terjadi
penggenangan suatu wilayah daratan (Wuriatmo, dkk., 2012).
Laporan dari Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC)
memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai dari tahun
2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15 – 90 cm dengan kepastian
peningkatan setinggi 48 cm (Sihombing, dkk., 2012).
Masyarakat pesisir sudah beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang
terjadi di wilayah pesisir sepanjang masa berkembangnya komunitas tersebut,
namun perubahan iklim akan menyebabkan perubahan yang berbeda baik
terhadap dinamikan pesisir maupun terhadap perubahan muka air laut yang
dramatis. Dari beberapa fakta di lapangan dan hasil prediksi berbagai model fisis,
terbangun sebuah asumsi bahwa perubahan sifat fisis perairan pesisir akan
berlangsung secara bertahap dan bersifat moderat. Dalam laporan asesmen IPSS
ke – 4 (2007) menyebutkan bahwa perubahan muka laut rata-rata selama abad 20

adalah 0,17 (0,12 – 1,22) meter dan diproyeksikan akan meningkat hingga 0,59
(0,18 – 0,59) meter pada tahun 2100. Ketinggian muka laut rata-rata 0,59 meter
tersebut merupakan batas pasang tertinggi saat ini dan ketinggian air saat terjadi

badai. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kenaikan muka laut rata-rata yang telah
diprediksikan tersebut akan menjadi ancaman bagi hamper semua lahan pesisir
terutama yang berelevasi rendah. Sedangkan SRES (Special Report on Emission
Scenarios) (IPCC, 2001) memprediksikan kenaikan muka air laut hingga
mencapai nilai ekstrim yakni 0,8 meter pada tahun 2095. Keadaan ini
mengharuskan pihak-pihak pemangku kepentingan untuk melakukan pendekatan
yang memadai untuk menghadapi berbagai kemungkuinan di abad mendatang
(Catwright, 2008 diacu oleh Rositasari, dkk., 2011)
Banjir Rob
Banjir merupakan peristiwa tergenangnya sejumlah luasan daratan oleh
sejumlah volume air yang meluap atau melimpas dari tempat dimana volume air
tersebut seharusnya berada atau mengalir. Banjir rob sendiri merupakan istilah
khusus yang hanya dipakai di Indonesia, untuk menggambarkan banjir yang
disebabkan oleh meluapnya sejumlah volume air laut ke daerah pesisir sekitarnya
kerugian materil serta nonmaterial yang dapat disebabkan oleh banjir rob di kotakota besar dapat di minimalisir dengan berbagai rancangan penanganan serta
pencegahan yang tepat sasaran, maka kita harus terlebih dahulu memahami
fenomena banjir rob ini lebih dalam dari segi penyebab, faktor-faktor yang
mempengaruhi, serta berbagai sk enario yang mungkin terjadi. Masih minimnya
studi ilmiah yang membahas tentang fenomena banjir rob di kota-kota strategis
hingga ke akar permasalahan serta faktor-faktor yang paling mempengaruhinya,


telah menimbulkan banyaknya spekulasi serta studi ilmiah yang hanya berfokus
pada akibat dari banjir rob itu sendiri, sehingga ditakutkan menimbulkan persepsi
umum yang salah mengenai bagaimana fenomena banjir rob ini seharusnya
ditangani. Studi akan fenomena banjir rob ini pun menjadi semakin penting
mengingat meningkatnya rasa haus masyarakat akan penjelasan ilmiah mengenai
peristiwa banjir rob di kota-kota besar yang belakangan terjadi (Bakti dan
Muslim, 2011).
Banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus dan saluran tidak
dapat menampung air sehingga meluap.Tetapi banjir dapat pula disebabkan oleh
pasang surut air laut yang masuk ke wilayah daratan. Banjir genangan ini bisa
disebut dengan rob. Air laut masuk melalui sungai pada saat pasang dan
selanjutnya mengalir ke pemukiman setelah melewati saluran drainase. Rob
adalah kejadian/fenomena alam dimana air laut masuk ke wilayah daratan pada
waktu permukaan air laut mengalami pasang. Intrusi air laut tersebut dapat
melalui sungai, melalui drainase atau aliran bawah tanah. Rob dapat muncul
Karena dinamika alam atau karena kegiatan manusia. Dinamika alam yang
menyebabkan rob adalah adanya perubahan elevasi pasang surut air laut.
Sedangkan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia misalnya karena pemompaan
air yang berlebihan, pengerukan alur pelayaran, reklamasi pantai dan lain-lain.

Adanya rob menimbulkan dampak yang merugikan antara lain penurunan fungsi
dan keindahan pada pemukiman serta perkantoran, jalan tergenang dan cepat
rusak. Degradasi lingkungan dan kesehatan serta lahan pertanian menjadi tidak
berfungsi (Wahyudi, 2007).

Rob terjadi terutama karena pengaruh tinggi rendahnya pasang surut air
laut yang terjadi oleh gaya gravitasi. Gravitasi bulan merupakan pembangkit
utama pasang surut.Walaupun masa matahari jauh lebih besar dibandingkan masa
bulan, namun karena jarak bulan yang jauh lebih dekat ke bumi dibandingkan
matahari, maka gravitasi bahan bulan memiliki pengaruh yang lebih besar.
Terjadinya banjir rob akibat adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh
pasang surut, dan faktor-faktor atau eksternal force seperti dorongan air, angin
atau swell (gelombang yang akibatkan dari jarak jauh), dan badai yang merupakan
fenomena alam yang sering terjadi di laut. Selain itu, banjir rob juga terjadi akibat
adanya fenomena ikloim global yang ditandai dengan peningkatan temperatur
rata-rata bumi dari tahun ke tahun (Chandra dan Rima, 2013).
Fenomena banjir akibat pasang air laut (rob) ini telah memberikan dampak
negatif terhadap wilayah pemukiman pesisir. Dampak banjir akibat pasang air laut
(rob) ini telah merubah fisik lingkungan dan memberikan tekanan terhadap
masyarakat, bangunan, dan infrastruktur pemukiman yang ada di wilayah tersebut.
Adapun kaitanya dengan fenomena banjir akibat pasang air laut (rob), beberapa
ahli/pakar menyebutkan bahwa banjir akibat pasang air laut (rob) ini telah
memberikan dampak negatif terhadap kawasan pemukiman pesisir. Dampak
banjir ini telah merusak fisik lingkungan dan memberikan tekanan terhadap
masyarakat, bangunan, dan infrastruktur pemukiman yang ada di kawasan tersebut
(Putra, 2012).