Hubungan Obesitas dengan Usia Awitan Menstruasi pada Siswi SMPN 1 Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Obesitas

2.1.1. Definisi Obesitas
Obesitas adalah suatu kondisi medis berupa kelebihan lemak tubuh yang
terakumulasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan dampak merugikan bagi
kesehatan, yang kemudian menurunkan harapan hidup dan/atau meningkatkan
masalah kesehatan. Seseorang dianggap menderita kegemukan ( obese) bila indeks
massa tubuh (IMT), yaitu ukuran yang diperoleh dari hasil pembagian berat badan
dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter, lebih dari 30 kg/m2
(WHO, 2000).

2.1.2. Epidemiologi Obesitas
Data dari sampel probabilitas nasional memperlihatkan peningkatan
prevalensi obesitas dan obesitas ekstrem di antara anak dan remaja sejak awal
tahun 1960 hingga akhir tahun 1970 dan pertengahan tahun 1980. Peningkatan
terbesar muncul pada pra-remaja putra dan remaja putri. Prevalensi obesitas di

Amerika Serikat saat ini kira-kira 25-40% pada pra-remaja serta 20-30% pada
remaja (Rudolph, 2006).
Insidens obesitas pada masa anak berhubungan kuat dengan variabel
keluarga, termasuk obesitas orang tua, status sosio-ekonomi yang lebih tinggi,
bertambahnya pendidikan orangtua, ukuran keluarga kecil dan pola inaktivitas
keluarga. Anak dari orangtua dengan tingkat aktivitas tinggi cenderung lebih
langsing daripada sebayanya. Bertambahanya jumlah waktu yang digunakan
untuk melihat televisi tampak berkorelasi dengan kenaikan insidens obesitas masa
anak dan dapat berkaitan tidak hanya dengan sifat tidak bergerak tetapi juga
mempengaruhi konsumsi makanan akibat iklan produk-produk makanan (Nelson,
2012)

2.1.3. Faktor – Faktor Penyebab Obesitas
Penyebab obesitas menurut Marley (1982) yang dikutip oleh Amanta
(2009) antara lain :
1. Asupan kalori yang lebih besar daripada kebutuhan
Pertambahan berat badan dapat dilakukan dengan mengonsumsi lebih banyak
kalori, tetapi hanya sedikit energi yang dikeluarkan.
2. Kurang aktifitas
Aktifitas berkurang seiring bertambahnya umur.

3. Hereditas
Sebagian besar kasus obesitas, faktor hereditas lebih berperan. Obesitas terjadi
dalam satu keluarga, apabila konsumsi dan kebiasaan olahraga yang sama pada
anggota keluarga. Disamping itu, anak-anak dari keluarga yang kedua
orangtuanya overweight mempunyai resiko lebih tinggi menjadi obese pada saat
dewasa.
4. Faktor sosial ekonomi
Peningkatan standar hidup dan banyaknya waktu luang mendorong peningkatan
konsumsi makanan termasuk pemilihan makanan yang lezat dan tinggi kalori.
5. Faktor psikologis
Pada orang dewasa, kejadian obesitas antara lain karena ingin mendapatkan
pengakuan tentang status sosial, misalnya dengan mengikuti pesta-pesta yang
menyediakan snack dan minuman yang berlebihan.
Selain kelima faktor diatas pemakaian obat-obatan dapat menyebabkan
obesitas karena efek samping berupa meningkatnya berat badan, misalnya obat
kontrasepsi ( Ariella, 2009).
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa obesitas berkembang ketika
pemasukan energi melebihi energi yang dikeluarkan dan berat badan berkurang
ketika energi yang dikeluarkan melebihi pemasukan energi. Namun, ada
kontroversi


tentang

mekanisme

spesifik

yang

menyebabkan

terjadinya

ketidakseimbangan ini. Anak dengan obesitas tidak menampakkan perbedaan

dengan anak yang tidak menderita obesitas dalam hal metabolisme istirahat atau
respon metabolik terhadap makanan (Rudolph, 2006).
Menurut Sherwood (2011) mengatakan bahwa, makanan yang dimakan
sebelum tidur lebih besar kemungkinannya akan disimpan sebagai cadangan
makanan atau biasa disebut glikogen. Dalam hal ini, makanan yang dimakan

sebelum tidur lebih menyebabkan seseorang menjadi gemuk jika dibandingkan
dengan makanan yang dimakan lebih awal.
Saat ini kontribusi genetik terhadap obesitas semakin mendapatkan
perhatian, dari data yang telah didapati genetik menyumbang 25% untuk
menyebabkan terjadinya obesitas sedangkan 75% dipengaruhi oleh non-genetik.
Genetik tampaknya memainkan peranan utama yang membuat seseorang rentan
terhadap obesitas, namun pengaruh lingkungan dan perilaku menentukan cara
genetik yang rentan tersebut dinyatakan (Rudolph, 2006).

2.1.4. Cara Menentukan Obesitas
2.1.4.1.Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks Massa Tubuh (IMT) didefinisikan sebagai berat badan/ tinggi
badan kuadrat (dalam kilogram per meter persegi), merupakan indeks yang paling
berguna dan digunakan untuk skrining populasi remaja obesitas karena indeks ini
berkorelasi secara bermakna dengan lemak subkutan maupun lemak tubuh total
pada remaja, terutama mereka yang dengan proporsi lemak tubuh terbesar.
Lagipula kenaikan IMT berkorelasi dengan tekanan darah, kadar lipid darah, dan
kadar lipoprotein pada remaja dan meramal kenaikan IMT, kadar lipid, dan
tekanan darah pada orang dewasa muda. Pada orang dewasa muda kenaikan IMT
adalah prediktif untuk morbiditas dan mortalitas akibat obesitas orang dewasa (

Nelson, 2012).
Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut :

Berat Badan (kg)
IMT =
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Tabel 2.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Kategori
IMT (kg/m2)
Kekurangan berat badan tingkat berat
18,5 – 25,0
Normal
Kelebihan berat badan tingkat ringan
>25,0 – 27,0
Gemuk
Kelebihan
berat
badan

tingkat
berat
>27,0
Obesitas
(Sumber: depkes)
Tabel 2.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan Kriteria Asia
Pasifik
Klasifikasi
IMT
23,0
Berat bada lebih
23,0 – 24,0
Beresiko
25,0 – 29,9
Obesitas I
>30,0
Obesitas II
(Sumber : Sugondo. 2006)

Untuk anak-anak dalam masa tumbuh kembang penentu obesitas dapat

menggunakan grafik CDC 2000. Dengan memasukkan data ke dalam grafik, dapat
menentukan posisi persentilnya. Untuk persentil 86- 94 dikategorikan dalam
overweight dan untuk persentil ≥ 95 dikategorikan dalam obesitas. Grafik CDC

dapat kita lihat pada grafik 2.1 dan 2.2 berikut ini.

Gambar 2.1 Grafik IMT Berdasarkan Usia CDC 2000 untuk Anak Laki-laki Usia
2 – 20 Tahun
(sumber: CDC, 2002)

Gambar 2.2 Grafik IMT Berdasarkan Usia CDC 2000 untuk Anak Perempuan
Usia 2 – 20 Tahun
(Sumber: CDC, 2002)

2.1.4.2.Berdasarkan Lingkar Pinggang
Metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh selain IMT adalah
dengan cara mengukur lingkar pinggang.

IDF (Internasional Diabetes


Federation) mengeluarkan kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis

dapat dilihat di tabel 2.3. (Alberti, 2005).

Tabel 2.3. Kriteria Ukuran Lingkar Pinggang Berdasarkan Etnis
Negara / grup etnis
Eropa

Lingkar pinggang (cm) pada obesitas
Pria > 94
Wanita >80
Pria > 90
Asia selatan
Populasi China, Melayu, dan Wanita > 80
Asia- India
Pria > 85
Jepang
Wanita > 90
Gunakan rekomendasi Asia Selatan hingga
Amerika Tengah

tersedia data spesifik
Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia
Sub-Sahara Afrika
data spesifik
Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia
Timur Tengah
data spesifik
(Sumber :Alberti, 2005)
2.1.4.3.Berdasarkan Lingkar Pinggang Panggul (RLPP)
Salah satu metode pengukuran tingkat obesitas dan overweight adalah
dengan menggunakan antropometri yaitu perbandingan Rasio Lingkar Pinggang
dan Lingkar Panggul (RLPP). Seseorang dikatakan over weight jika hasil RLPP
lebih dari 0,9 sedangkan seseorang dikatakan obesitas jika RLPP kurang dari 0,8
(Indika, 2010).
2.1.4.4.Berdasarkan Lingkar Lengan Atas (LILA)
Pengukuran lingkar lengan atas dimaksudkan untuk mengetahui prevalensi
wanita usia subur umur 15–45 tahun dan ibu hamil yang menderita Kurang Energi
Kronis (KEK) (Riskesdas, 2007).
Sasaran : wanita usia subur umur 15–45 tahun dan ibu hamil.
Alat


: pita LILA sepanjang 33 cm dengan ketelitian 0,1 cm atau meteran kain.

2.1.4.5.Berdasarkan Lingkar Leher
Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah
untuk skrining individu dengan obesitas (Liubov et al., 2001). Lingkar leher
sebagai indeks untuk obesitas tubuh bagian atas merupakan salah satu prediktor
terjadinya penyakit kardiovaskuler (Sjostrom et al., 2001).
Lingkar leher ≥37 cm untuk laki-laki dan ≥34 cm untuk wanita merupakan
cutt of point yang paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan IMT ≥25

kg/m2 , lingkar leher ≥39,5 cm untuk laki-laki dan ≥36,5 cm untuk wanita adalah
cutt of point paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan obesitas (IMT

≥30 kg/m2 ). Berdasarkan validasi yang dilakukan pada kelompok yang berbeda,
sebagai salah satu metode skrining obesitas lingkar leher memiliki sensitivitas
98%, spesifitas 89%, akurasi 94% untuk laki-laki dan 99% untuk perempuan
(Liubov et al., 2001).

2.1.5. Komplikasi Obesitas.

Komplikasi obesitas menurut World Health Organization (2015), yaitu:
1.Penyakit kardiovaskuler (terutama penyakit jantung dan stroke) yang
merupakan penyebab utama kematian pada tahun 2012.
2. Diabetes.
3. Gangguan muskuloskeletal (terutama osteoartritis).
4. Beberapa jenis kanker endometrium, payudara, dan usus besar.

Anak obesitas dikaitkan dengan kesempatan yang lebih tinggi untuk
terkena obesitas, kematian dini dan kecacatan di masa dewasa. Di samping
peningkatan risiko di masa depan, anak-anak obesitas juga mengalami kesulitan
bernapas, peningkatan resiko patah tulang, hipertensi, tanda awal penyakit
kardiovaskular, resistensi insulin dan efek psikologis (WHO, 2015).
Obesitas juga dapat mengganggu psikologis seorang anak yang dapat
menimbulkan:
1. Dikucilkan dari teman-teman sekolahnya.

2. Menjadi bahan ejekan teman-temannya.
3.Gangguan suasana hati seperti kecemasan terus-menerus, depresi, mudah
tersinggung, marah dan dapat menyakiti diri sendiri.
4.Perilaku berisiko (misalnya, aktivitas seksual, alkohol, penggunaan narkoba,
dan kenakalan) (Rojas dan Storch, 2010).

2.2.

Menstruasi

2.2.1. Definisi menstruasi
Menstruasi adalah suatu keadaan fisiologis atau normal, yaitu peristiwa
pengeluaran darah, lendir dan sisa-sisa sel secara berkala yang berasal dari
mukosa uterus dan terjadi relatif teratur mulai dari awitan menstruasi sampai
menopause, kecuali pada masa hamil dan laktasi. Lama perdarahan pada
menstruasi bervariasi, pada umumnya 4-6 hari, tapi 2-9 hari masih dianggap
fisiologis (Ganong, 2003).

2.2.2. Siklus menstruasi
Siklus menstruasi dibagi menjadi siklus ovarium dan siklus endometrium.
Di ovarium terdapat tiga fase, yaitu fase folikuler, fase ovulasi dan fase luteal. Di
endometrium juga dibagi menjadi tiga fase yang terdiri dari fase menstruasi, fase
proliferasi dan fase ekskresi (Ganong, 2003).
Ovarium secara terus-menerus mengalami dua fase secara bergantian: fase
folikular yang didominasi oleh keberadaan folikel matang; dan fase luteal, yang
ditandai oleh adanya korpus luteum. Siklus ovarium rata-rata berlangsung 28 hari,
tetapi hal ini bervariasi di antara wanita dan di antara siklus pada wanita yang
sama. Folikel bekerja pada paruh pertama siklus untuk menghasilkan telur matang
yang siap untuk berovulasi pada pertengahan siklus. Korpus luteum mengambil
alih selama paruh terakhir siklus untuk mempersiapkan saluran reproduksi wanita
untuk kehamilan jika terjadi pembuahan telur yang dibebaskan tersebut
(Sherwood, 2011).

Siklus menstruasi dipengaruhi oleh mekanisme neuroendokrin yang
kompleks. Suatu hormon pelepas, gonadotropin-releasing hormone (GnRH),
sudah dikenali berperan terhadap pelepasan gonadotropin, follicle-stimulating
hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). GnRH dihasilkan di hipotalamus

dan dihantarkan ke hipofisis anterior melalui sistem vaskular periportal. (Benson
& Pernoll, 2008)
Siklus menstruasi normal diatur secara cermat oleh sekresi gonadotropin
dari hipofisis anterior ke sirkulasi sistemik. Dengan onset setiap siklus, folikel
yang siap untuk pematangan dirangsang berkembang oleh FSH. Satu folikel
(jarang lebih) melampaui yang lainnya untuk membentuk folikel de graaf.
Kemudian folikel yang tersisa akan mengalami regresi. Sementara itu estrogen
dihasilkan oleh sel lutein teka pada folikel. Estrogen ovarium yang utama adalah
estron (E1), estradiol (E2), dan sejumlah kecil estriol (E3) (Benson & Pernoll,
2008).
Pada siklus hari ke-8 dan ke-9, kadar estrogen berhenti meningkat kadar
LH yang tinggi dan mendadak (LH surge) memicu pecahnya folikel dan ovulasi
(lepasnya ovum). Terjadinya sedikit perdarahan dan folikel yang kosong segera
terisi oleh darah yang menggumpal (folikel hemoragis). LH dan mungkin
prolaktin merangsang luteinasi sel granulosa sehingga terbentuk korpus luteum.
Sel lutein granulosa menghasilkan progesteron, yang mencapai puncaknya pada
kira-kira hari ke-23 atau ke-24. Jika pada saat itu tidak terjadi fertilisasi dan nidasi
ovum (kehamilan), korpus luteum mengalami regresi. Kemudian kadar
progesteron dan estrogen turun mencapai kadar kritis pada sekitar hari ke-28
ketika terjadi perdarahan endometrium (menstruasi) (Benson & Pernoll, 2008).

Gambar 2.3 Siklus mestruasi
(Sumber: Benson dan Pernoll, 2008)
Benson dan Pernoll (2008) mengemukakan siklus endometrium terdiri
dari 4 fase , yaitu :
1. Fase Proliferatif
Fase proliferatif (estrogenik) mempunyai durasi yang sangat bervariasi tetapi
biasanya konsisten untuk setiap individu. Biasanya sekitar 14 hari pada siklus 28
hari.

Gambar 2.4 siklus menstruasi
(Sumber: Benson dan Pernoll, 2008)

Fase proliferatif dini dimulai pada kira-kira hari keempat atau kelima
siklus, tepat sebelum akhir menstruasi dan berlangsung selama 2-3 hari. Akhir
fase ini bertepatan dengan kira-kira hari ketujuh siklus klasik. Epitel permukaan
diperbaiki tetapi tipis atau mudah rusak. Ketebalannya tergantung pada hilangnya
jaringan selama perdarahan menstruasi. Kelenjar- kelenjarnya lurus. Inti sel-sel
epitel berlapis-lapis palsu (pseudostratifikasi), dan sering terjadi mitosis. Sel-sel
stroma menunjukkan inti yang relatif besar dengan sedikit sitoplasma. Terdapat
beberapa sel fagosit.
Fase midproliferatif bertepatan dengan kira-kira hari ke 10 siklus. Fase ini
hanya berbeda derajat dengan fase proliferatif dini. Permukaannya lebih teratur,
kelenjarnya lebih berliku-liku dan sel kelenjar berlapis-lapis palsu. Ketebalan
endometrium meningkat.

Gambar 2.5. Suhu Basal Khas dan Konsentrasi Hormon Plasma Selama Siklus
Menstruasi Manusia Normal 28 Hari. M, Menstruasi; IRP-hMG, Standar Acuan
Gonadotropin Internasional.
(Sumber: A.R. midgley, dalam Benson dan Pernoll, 2008)

Fase proliferatif lanjut terjadi pada kira-kira hari ke-14 siklus rata-rata.
Permukaannya berombak, sel stoma sangat padat, dan berbagai cairan
ekstraseluler hilang. Ketebalan kira-kira seperti sebelum proliferasi, tetapi dengan
konsentrasi sel yang lebih besar. Kelenjar semakin berliku-liku dan mengandung
sekresi minimal. Tidak ada glikogen dalam cairan.

2. Fase Ovulasi
Fase ovulasi terjadi pada kira-kira hari ke-14 pada siklus 28 hari, dengan
disertai ovulasi. Karena tidak ada perubahan endometrium yang cukup besar
dalam 24-36 jam setelah ovulasi, endometrium pada hari ke-14 tidak dapat
dibedakan dengan hari ke-15. Perubahan yang nyata tampak pada sel kelenjar
pada hari ke-16 dan kemudian menunjukkan aktivitas korpus luteum dan
tampaknya ovulasi.

3.Fase Sekretoris
Fase sekretoris (progestasional) secara teknis dimulai dengan ovulasi.
Pada hari ke-16, kelenjar semakin berliku-liku, terdapat banyak gambaran mitosis
dan muncul vakuola basal penuh berisi glikogen. Pada hari ke-17 terjadi
vakuolisasi sel yang paling jelas. Hampir dua pertiga bagian basal kelenjar ini
berisi cairan yang penuh mengandung glikogen. Dapat diamati adanya edema
ringan, dan jarang terjadi mitosis. Pada hari ke-18 sekresi cairan dalam kelenjar
menjadi jelas. Pada hari ke-22, kelenjar lebih berliku tetapi aktivitas sekretorisnya
lebih sedikit dan terlihat sekresi mukoid yang cukup banyak dalam lumennya.
Edema stoma saat ini mencapai puncaknya. Keadaan ini akan mempermudah
implantasi ovum. Puncak aktivitas sekretoris dan edema stroma yang tinggi
bertepatan dengan periode fungsi korpus luteum yang maksimal. Dari hari ke-24
sampai hari ke-27, edema berkurang dan sel desidua. Perubahan pertama terlihat
dalam sel di sekeliling arteriola spiralis dengan gambaran mitosis pada stroma
perivaskuler. Kelenjar semakin lama semakin berliku-liku dengan dinding yang
bergerigi. Sekresi sel kelenjar berkurang. Terdapat infiltrasi oleh netrofil
polimorfonuklear dan monosit. Akhirnya, terjadi nekrosis dan peluruhan.

Jika terjadi kehamilan, sekresi aktif dan edema akan menetap. Kelenjar
menjadi lebih berbulu dan bergerigi. Namun, predesidua tidak segera terlihat jelas
kecuali yang berada di sekitar ovum.

4. Fase Menstruasi
Selama fase menstruasi, edema endometrium dan perubahan degeneratif
yang terjadi pada akhir fase sekretoris menyebabkan nekrosis jaringan. Keadaan
ini tersebar secara tidak merata di seluruh lapisan endometrium kecuali lapisan
basal. Nekrosis menyebabkan pembuluh darah robek, menghasilkan perdarahanperdarahan kecil yang tersebar. Perdarahan ini membesar dan bersatu membentuk
hematoma yang menyebar, yang nantinya akan menyebabkan pemisahan
endometrium dan semakin robeknya pembuluh darah kecil. Lepasnya fragmenfragmen jaringan biasanya diawali dengan bercak-bercak sekitar 12 jam setelah
dimulainya perdarahan pada siklus ovulatoir. Yang menarik, seluruh isi ruang
endometrium terpisah sebagai apa yang disebut dismenore membranosa.
Diperkirakan sekitar dua pertiga endometrium hilang setiap menstruasi
ovulatoir. Pada saat aliran cepat ini berhenti, penyusutan jaringan dan pemisahan
telah terjadi pada bagian yang lebih besar dari permukaan kavum uteri.
Setelah menstruasi berlangsung selama 4-7 hari, perdarahan perlahanlahan berkurang. Perdarahan regional berkurang akibat konstriksi dan trombosis
sisa arteriola spiralis yang tidak rusak, sehingga bercak perdarahan akhirnya
berhenti.
Interval antara ovulasi dan menstruasi normalnya hampir tepat 14 hari.
Sebaliknya, pada periode praovulatoir, interval hari pertama menstruasi dengan
hari ovulasi, dapat beragam dari 7 sampai 8 hari hingga lebih dari satu bulan.
Variasi periode praovulatoir ini menyababkan perbedaan interval antar periode
menstruasi.

2.2.3. Rata-rata Usia Awitan Menstruasi
Rata-rata usia awitan menstruasi pada umumnya adalah 12,4 tahun.
Awitan menstruasi dapat terjadi lebih awal pada usia 9-10 tahun atau lebih lambat
pada usia 17 tahun (Brown, 2002). Menurut hasil Riskesdas (2010) menunjukkan
bahwa berdasarkan laporan responden yang sudah mengalami menstruasi, ratarata usia awitan menstruasi di Indonesia adalah 13 tahun (20,0%) dengan kejadian
lebih awal pada usia kurang dari 9 tahun dan ada yang lebih lambat sampai 20
tahun serta 7,9 persen tidak menjawab/lupa. Terdapat 7,8 persen yang melaporkan
belum menstruasi.

2. 3.

Hubungan Obesitas dengan Usia Awitan Menstruasi
Teori yang dikenal sejak tahun 1990an ini menyatakan bahwa persentase

tertentu lemak tubuh dibutuhkan untuk memicu awitan menstruasi, karena
jaringan lemak subkutan juga berfungsi sebagai kelenjar hormonal sekunder
mempengaruhi sintesis dan pengeluaran estrogen, serta memicu awitan menstruasi
(Delemarre, 2005).
Faktor neuroendokrin yang berperan adalah leptin. Kadarnya dalam serum
berhubungan sangat erat dengan IMT dan massa lemak (Kaplowitz PB et al.,
2001). Leptin diproduksi di jaringan adiposa untuk mengatur pusat lapar dan
kenyang di hipotalamus. Kerjanya menyebabkan berkurang nafsu makan dan
meningkatkan simpanan energi di jaringan (Garcia-Mayor, RV., et.al, 1997).
Leptin disekresikan secara pulsatif mengikuti variasi diurnal. Sifat
pulsasinya sama pada orang kurus maupun gemuk, dengan perbedaan amplitudo,
yaitu pulsasi lebih tinggi pada orang yang gemuk. Sifat pulsasi leptin sinkron
dengan pulsasi LH dan estradiol serum. Kadar leptin yang sudah meningkat
selama prapubertas menunjukkan adanya interaksi antara leptin dan gonadotropin
pada masa kanak-kanak akhir. Keadaan ini menunjukkan pentingnya peran leptin
sebagai fasilitator dalam fase awal pubertas manusia (Bluher, 2007). Kegemukan
pada wanita berkaitan dengan proses perubahan hormon androgen menjadi
estrogen. Hipotalamus merangsang peningkatan sekresi hormon LH serta terjadi
hiperandrogenisme (Paath, et al., 2005)

Leptin yang ditemukan oleh Zang tahun 1994 merupakan protein homon
atau polipetida 16-kDa yang terdiri dari 146 asam amino dan dihasilkan oleh sel
lemak. Leptin diduga berperan sebagai mediator atau perantara jaringan lemak
dengan sumbu hipotalamus-hipofise-gonad yang memberikan sinyal kepada
sentral untuk dimulainya peningkatan sekresi GnRH sebagai awal dimulainya
awitan pubertas. Remaja obes akan mempunyai kadar leptin serum yang lebih
tinggi dan berhubungan dengan pematangan reproduksi (pubertas) dan awitan
menstruasi yang lebih dini juga (Butler, 2000, dalam Hendri, 2012).
Terdapat peningkatan kadar leptin serum dari periode anak sampai
prepubertas yang paralel dengan pertambahan usia dan berat badan kemudian
relatif menetap pada midpubertas dan kembali meningkat pada late pubertas
(siklus ovulatorik). Dengan demikian leptin berperan sebagai pintu gerbang
dimulainya onset pubertas dan awitan menstruasi (gueorquiev, 2000, dalam
Hendri, 2012).
Secara garis besar hubungan obesitas dengan awitan menstruasi dapat
dilihat dari konsep dibawah ini.

OBESITAS

KANDUNGAN LEMAK ↑

menghasilkan

LEPTIN ↑
LET

↑ SEKSRESI GnRH
AWAL DIMULAINYA
AWITAN MENSTURASI
LEBIH CEPAT

Gambar 2.6 Hubungan Obesitas dengan Usia Awitan Menstruasi