Kendala The ASEAN Intergovernmental Comm

Kendala The ASEAN Intergovernmental Commission of Human Rights
(AICHR) Dalam Mengatasi Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Rohingya di
Myanmar
MAHFUD KHOIRUL AMIN
20120510041
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas ISIPOL
Universitas Muhammadyah Yogyakarta
mahfudka@yahoo.co.id

Abstrak
Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi dibelahan dunia, membuat HAM
saat ini menjadi salah satu isu global yang yang hangat diperbincangkan oleh
banyak pihak di negara-negara belahan dunia. Adapun salah satu pelanggaran HAM
yang terjadi di wilayah Asia Tenggara adalah, pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh pemerintah junta militer terhadap Etnis Rohingya di Myanmar. Dalam hal ini
pada saat KTT ASEAN ke 15 dibentuklah AICHR. Yang mana merupakan badan
yang menggurusi persoalan dan permasalahan HAM di Asia Tenggara. Adanya
badan ini dimaksudkan untuk mempermudah dan mengurangi berbagai macam
permasalahan pelanggaran HAM di Asia Tenggara. Berdasarkan konsep Efektifitas
Organiasi Internasional diugkapkan bahwa upaya yang dilakukan AICHR dalam
menangani permasalahan tersebut kurang efektif. Ketidak efektifitasan tersebut

bukanlah tanpa sebab. AICHR dalam melaksanakan tugasnya menyelesaikan
masalah pelanggaran HAM di Rohingya, Myanmar menghadapi beberapa kendala
yang mana hal ini lah yang menghambat penyelesaian pelanggaran HAM terhadap
Etnis Rohingya yang terjadi di Myanmar.
Kata Kunci : AICHR, HAM, Etnis Rohingya, Efektifitas Organisasi Internasional.

1

Pendahuluan
The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR)
merupakan badan yang menggurusi persoalan dan permasalahan HAM di Asia
Tenggara. Yang mana didirikan pada saat KTT ASEAN ke 15, tanggal 23 October
2009 di Hua Hin, Thailand. Adanya badan ini dimaksudkan untuk mempermudah dan
mengurangi berbagai macam permasalahan pelanggaran HAM di Asia Tenggara.
Sebagaimana yang diatur dalam TOR AICHR pasal 1, tujuan AICHR adalah sebagai
berikut; (1) memajukan serta melindungi HAM dan kebebasan fundamental dari
rakyat ASEAN, (2) menjunjung tinggi hak rakyat ASEAN untuk hidup damai,
bermartabat dan makmur, (3) memberikan kontribusi terhadap realisasi tujuan
ASEAN, (4) memajukan HAM dalam konteks regional dengan mempertimbangkan
kekhususan nasional dan regional, (5) meningkatkan kerjasama regional untuk

membantu upaya-upaya nasional dan internasional, (6) menjunjung tinggi standar hak
asasi manusia internasional sebagaimana dijabarkan dalam Deklarasi Universal HAM
, Program Aksi dan Deklarasi Wina dan instrumen HAM internasional dimana negara
anggota ASEAN merupakan negara pihak (Secretariat 2009).
Akan tetapi penegakkan HAM di Asia Tenggara tidaklah mudah. Sebagai
mana yang dituliskan dalam ―Buletin Komunitas ASEAN‖ bahwasanya penegakan
HAM di Asia Tenggara bukanlah perkara yang mudah, bukan berarti setelah
terbentuknya AICHR permasalahan HAM di Asia Tenggara bisa serata merta dapat
diatasi dan berkurang. ("Potensi Pasar ASEAN‖ Majalah ASEAN Edisi 4, 4 Maret
2014). Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya pelanggaran HAM di negara Myanmar,
yang mana pelanggaran ini dilakukan oleh Pemerintahan Myanmar kepada Etnis
Rohingya. Pemerintah Junta Militer Myanmar telah memberikan tuduhan kepada
Etnis Rohingya, sehingga terjadi beberapa tindakan diluar prikemanusiyaan (Utami,
Mengenal Etnis Rohingya Lebih Dekat n.d.). Yang mana dalam permasalahan ini
AICHR menghadapai banyak kendala dalam menyelesaikannya.

2

Efektifitas Organisasi Internasional
Konsep merupakan abstraksi yang mewakili suatu objek, sifat suatu objek, atau

suatu fenomena tertentu. Adapun salah satu fungsi konsep adalah menjadi batu bata
bagi bangunan yang disebut teori (Mas‘oed 1990). Efektifitas organisasi merupakan
suatu konsep menyeluruh yang menyertakan sejumlah konsep komponen (Ivancevich
2005) Dalam mencapai efektivitas suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan bidang kegiatan atau usaha suatu
organisasi. Sejalan dengan hal tersebut maka Komberly dan Rottman (dalam Gibson
et al, 1996: 32) berpendapat bahwa efektivitas organisasi ditentukan oleh lingkungan,
teknologi, pilihan strategi, proses dan kultur (Isa Desember, 2009)
Berkaitan dengan bagian pertama, efektifitas organisasi dapat dilihat dari perilaku
organisasi ketika berinteraksi dengan lingkungan, baik internal maupun ekternal
(Hutapea 2008) Lingkungan internal dikenal sebagai iklim organisasi. Yang meliputi
macam-macam atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi dan
efektifitas khususnya atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi
tertentu dari efektifitas khususnya atribut diukur pada tingkat individual. Lingkungan
internal lebih condong kepada individu yang berada dalam struktural organisasi
tersebut, adapaun yang di maksudkan individu dalam AICHR adalah perwakilan tiap
negara dalam organisasi ini. Memang pada dasarnya setiap negara anggota memiliki
perwakilan di ASEAN atau pun AICHR. Begitu juga dengan Myanmar, H.E.U Kyaw
Tint Swe selaku perwakilan dari Myanmar untuk AICHR dan sekaligus Ketua
AICHR dan perwakilan-perwakilan negara yang lain belum dapat bergerak secara

efisien dalam menyelesaikan permasalahan di Myanmar. Hal ini dikarenakan mandat
dan wewenang AICHR yang masih sangat terbatas.
Lingkungan eksternal adalah kekuatan yang timbul dari luar batas organisasi yang
memperngaruhi keputusan serta tindakan di dalam organisasi seperti kondisi
ekonomi, pasar dan peraturan pemerintah (Efektifitas Organisasi n.d.). Dalam hal ini

3

kebijakan pemerintah Myanmar merupakan lingkungan ekternal yang dimaksudkan.
Adapun kebijakan pemerintah yang cenderung tertutup terhadap negera maupun
organisasi internasional yang berkaitan mengenai pelanggaran HAM di Rohingya
menjadi kendala bagi AICHR dalam menyelesaikan permasalahn tersebut.
Dalam faktor teknologi, efektifitas organisasi sebagian besar merupakan hasil
bagaimana organisasi tersebut dapat sukses memadukan teknologi dengan struktur
yang tepat. Keselarasan antara struktur dan teknologi yang digunakan sangat
mendukung terhadap pencapaian tujuan organisasi. Teknologi dapat memiliki
berbagai bentuk, termasuk variasi-variasi dalam proses mekanisme yang digunakan
dalam produksi, variasi dalam pengetahuan teknis yang dipakai untuk menunjang
kegiatan menuju sasaran. Memang pada dasarnya AICHR memiliki teknologi yang
memadai, terutama dalam hal informasi. Akan tetapi tertutupnya pemerintah

Myanmar terhadap negara lain maupun organisasi internasional seperti AICHR itu
sendiri yang menjadi kendala bagi AICHR dalam menangani permaslahan tersebut,
yang mana kendala ini mengahalangi kemampuan AICHR dalam berinteraksi secara
langsung.
Pilahan strategi yang dimaksudkan adalah bagaimana suatu organisasi memilih
dan menentukan strategi dalam menyelesaikan atau melakukan sebuah program.
Adapun dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Rohingya, dalam langkahnya
AICHR strategi yang dilakukan oleh AICHR belum tepat dan cenderung pasif yaitu
hanya sebatas dalam pengadaan workshop dan pertemuan-pertemuan tidak dapat
terjun langsung guna menyelesaikan permasalahan tersebut, hal juga dikendalai oleh
mandat yang dimiliki oleh AICHR itu sendiri yang masih sangat terbatas pada
promosi dan perlindungan HAM, dan bukan sebagai lembaga pembuat keputusan
(decision making body).
Proses merupakan serangkaian langkah sistematis, atau beberapa tahapan yang
jelas dan dapat ditempuh berulangkali oleh sebuah organisasi untuk mencapai hasil

4

yang diinginkan. Adapun proses yang dilalui AICHR dalam menyelesaikan
permasalahan HAM di Rohingnya tidaklah berjalan mulus. Hal ini dikarenakan

banyaknya kendala dan hambatan-hambatan bagi AICHR dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut.
Selanjutnya, yang dimaksudkan kultur adalah budaya massyarakat yang dihadapi
AICHR, dalam hal ini lebih kepada pola pemerintah Myanmar yang condong tertutup
dalam menanggapi beberapa kasus (termasuk pelanggaran HAM di Rohingnya), yang
mana hal ini lah yang menjadi hambatan bagi AICHR dan menyebabkan kurangnya
efektifitas AICHR dalam menangani masalah pelanggaran HAM di Rohingya,
Myanmar.
Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Rohingya, Myanmar
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap orang semata-mata karena dia
adalah manusia. HAM didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dilahirkan setara
dalam harkat dan hak-haknya. Semua HAM sama pentingnya dan mereka tidak dapat
dicabut dalam keadaan apapun (Hak Asasi Manusia (HAM) n.d.).
Adapun pelanggaran HAM di negara Myanmar dilakukan oleh Pemerintahan
Myanmar kepada Etnis Rohingya. Pemerintah Junta Militer Myanmar telah
memberikan tuduhan kepada Etnis Rohingya, sehingga terjadi beberapa tindakan
diluar prikemanusiyaan.
Etnis Rohingya adalah warga muslim minoritas yang sebagian besar menetap
di negara bagian Arakan, Myanmar, dekat perbatasan Bangladesh sejak abad 15 SM.
Pada 1785, daerah Arakan ditaklukan oleh warga Burma beragama Budha dari

wilayah selatan Myanmar dan mengeksekusi seluruh pria muslim Rohingya dan
mengusir etnis ini dari tanah Arakan. Sekitar 35 ribu warga Arakan terpaksa
melarikan diri ke Bengali dan kemudian menjadi bagian dari warga koloni Inggris,
British Raj di India. Ketika pecah perang Inggris-Burma Pertama tahun 1826

5

pemerintah kolonial Inggris mengambil alih Arakan dan menganjurkan para petani
dari Bengali untuk pindah ke daerah Arakan yang saat itu belum berpenduduk padat.
Para petani itu terdiri dari etnis keturunan Rohingya yang berasal dari Arakan dan
warga Bengali asli. Proses imigrasi petani Bengali ke Arakan yang terjadi secara tibatiba memunculkan reaksi keras dari mayoritas warga Budha Rakhine yang tinggal di
Arakan saat itu, seakan menabur benih perselisihan antar etnis yang hingga kini
masih berlangsung.
Ketika Perang Dunia II berlangsung, Arakan lepas dari kekuasaan Inggris dan
dijajah Jepang yang kala itu melakukan ekspansi ke Asia Tenggara. Di tengah
penarikan pasukan Inggris dari Arakan, pasukan Muslim Rohingya maupun warga
Myanmar penganut agama Buddha berupaya memanfaatkan kesempatan dengan
membantai satu sama lain. Kondisi Arakan yang penuh pertumpahan darah membuat
banyak warga Rohingya meminta perlindungan kepada Inggris, dan menawarkan diri
untuk menjadi mata-mata Sekutu. Ketika pemerintah Jepang mengetahui hal ini,

mereka menyiksa, memerkosaan dan membunuh warga Rohingya di Arakan. Puluhan
ribu warga Rohingya di Arakan kembali melarikan diri ke Bengali (Utami, Mengenal
Etnis Rohingya Lebih Dekat n.d.).
Krisis di Rohingya dipicu oleh insiden pemerkosaan dan pembunuhan
terhadap Ma Thida Htwe (27 tahun), seorang gadis Buddhis Arakan, yang dilakukan
oleh beberapa oknum muslim Rohingya pada Mei 2012. Insiden tersebut kemudian
memicu gejala kebencian terhadap muslim Rohingya di seluruh daerah Arakan.
Beberapa hari setelah insiden itu, masyarakat Buddhis Arakan membalas dengan
memukuli dan membunuh 10 orang etnis Rohingya, dalam satu insiden pencegatan
dan pembunuhan penumpang bus antar-kota, hingga tewas di Taunggup.
Insiden pembunuhan tersebut menjadi awal bagi meningkatnya gejala
kekerasan yang dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh muslim
Rohingya. Kelompok Buddhis Arakan, didukung oleh pendeta Buddha lokal dan

6

aparat keamanan Myanmar, melakukan berbagai tindakan kekerasan secara sistematis
terhadap muslim Rohingya meliputi pemukulan, pemenggalan, pembunuhan,
pemerkosaan, pembakaran tempat tinggal, pengusiran dan isolasi bantuan ekonomi.
Berbagai tindakan kekerasan ini digunakan sebagai cara untuk mengusir etnis

Rohingya keluar dari Myanmar (Wibisono n.d.).
Menjadi suatu kabar yang sangat mengagetkan bahwasanya warga Rohingya
etnis Bengali tidak diakui oleh pemerintah junta militer sebagai warga negara
sehingga mereka sering mengalami tindak diskriminasi. Kebijakan junta militer yang
bersikap represif dan anarkis terhadap etnis Rohingya mulai terlihat secara nyata
sejak operasi Naga Min tahun 1978. Ne Win melancarkan Operasi Raja Naga yaitu
operasi militer dalam skala besar di Arakan, operasi ini ditujukan untuk membasmi
kelompok Mujahidin yang dituduh melakukan upaya separatis di wilayah utara
Arakan. Warga Rohingya banyak yang mengalami penyiksaan, penangkapan
sewenang-wenang, dan pembunuhan massal. Bahkan dalam sebulan terakhir, tercatat
650 orang etnis Rohingya tewas, 1.200 warga hilang, dan sekitar 80 ribu lainnya
kehilangan tempat tinggal (Mangku, KASUS PELANGGARAN HAM ETNIS
ROHINGYA : DALAM PERSPEKTIF ASEAN 2 Agustus 2013).
Mereka dituduh berafiliasi dengan para pemberontak Mujahidin yang ingin
mendirikan negara Islam di daerah Mayu, Rakhine utara berbatasan dengan
Bangladesh. Banyak warga Rohingya terutama etnis Bengali yang melarikan diri ke
Bangladesh dan Negara lain untuk berlindung dari operasi militer tersebut. Sejak
peristiwa itulah, warga Rohingya dianggap sebagai imigran gelap. Mereka tidak
memiliki kartu tanda penduduk di Myanmar dan hidup sengsara sampai saat ini
(Revolusi n.d.).

Bahkan direktur Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan di Indonesia
(Heri Aryanto) mengatakan bahwa pemerintah Myanmar berada dibalik kerusuhan
yang menimpa Muslim Rohingya dengan membiarkan kerusuhan serta pembakaran

7

rumah dan masjid. Selain itu, Heri menyebutkan adanya tim khusus yang disebut
Rohingya Elimination Group (REG). REG merupakan sebuah kelompok yang dibuat
untuk menghilangkan etnis Muslim di Myanmar yang terkenal dengan 969.
Kelompok ini sengaja dibentuk untuk menyisihkan etnis Muslim dan juga melakukan
provokasi terhadap warga dengan distribusi buku atau video yang menghina Islam
dan Muslim (Bahri n.d.).
Peran AICHR di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara, penegakan dan perlindungan HAM telah dilakukan dan
diupayakan oleh The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights
(AICHR). Yang mana AICHR disini berperan sebagai organisasi yang bergerak
dalam isu HAM dibawah naungan ASEAN. Adapun peran AICHR dalam uapaya
perlindungan Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara, antara lain :
Pertama AICHR sebagai Instrumen. Sesuai dengan salah satu peran organisasi
internasional menurut Clive Archer, dimana AICHR memegang peran sebagai

instrument (Lastania n.d.). AICHR memenuhi peran tersebut dengan menjadi alat
yang dipakai oleh negara-negara anggota ASEAN untuk dapat melaksanakan
kepentingannya dalam hal ini tentu saja penegakan HAM, yakni dengan
pengimplementasian ketentuan HAM secara preventif guna menghindari coercion
dan mengadakan konvensi-konvensi tentang HAM.
Konvensi-konvensi tentang HAM yang dijalankan negara-negara HAM pada
intinya tidak bersifat memaksa apalagi bersifat ―coercive‖. Menurut Menteri Luar
Negeri Singapura George Yeo KTT ke-13 ASEAN tahn 2009 yang menyinggung
masalah HAM merupakan upaya lanjut untuk integrasi kawasan pada level yang lebih
tinggi, tanpa harus memaksakan kehendak pada negara-negara anggotanya.
Pada tanggal 21 februari 2010 diadakan sebuah pertemuan dimana di dalam
pertemuan itu membahas masalah pembuatan sebuah kebijakan yang berisi tentang
pencegahan tindakan koersif yang dilakukan oleh penegak hak asasi manusia kepada
8

mereka yang mengalami tindakan pelanggaran HAM yang di adakan di Vientiane,
Laos. Pertemuan ini juga membahas pembuatan draft kebijakan tersebut. Pertemuan
ini di buka oleh Thongsing Thammavong, Perdana Menteri Laos.
Berdasar pada fakta inilah terdapat mekanisme penerapan HAM secara
holistik yang berperan sebagai momentum pembelajaran (education moment),
sekaligus menjadi pembeda antara penerapan mekanisme HAM di ASEAN dengan
negara atau wilayah lainnya. Salah satu bentuk penerapan HAM secara holistic
adalah dengan peratifikasian intrtumen HAM ASEAN yakni Deklarasi HAM
ASEAN oleh seluruh negara anggota ASEAN.
Bentuk lain dari penerapan HAM secara holistik ialah dengan memberikan
edukasi kepada masyarakat ASEAN tentang hak asasi manusia. Hal ini di wujudkan
dalam sebuah seminar yang diadakan oleh AICHR yang bertajuk ―AICHR Youth
Debate of Human Rights‖ dimana di dalam seminar tersebut AICHR berkunjung ke
beberapa universitas di kesepuluh negara anggota ASEAN untuk memberikan
pemahaman pada HAM guna meningkatkan kesadaran anak muda ASEAN terhadap
isu HAM (Saputri, PERAN ASEAN Intergovernental Commission Of Human Rights
(AICHR) DALAM MENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA DI KAWASAN
NEGARA ANGGOTA ASEAN 1 Februari 2014).
Kedua AICHR Sebagai forum komunikasi negara-negara ASEAN dalam
perlindungan dan mengatasi permasalahan HAM. Berdasarkan pada pengalamanpengalaman yang telah ada, peneganan HAM seringkali dipandang sebagai ‗pisau
bermata dua. Di satu sisi penegakan HAM dapat mencelakai sebuah kepemimpinan,
namun di sisi lain HAM dapat mendukung kemajuan suatu bangsa karena secara
prinsipil faham ini menekankan pada supremasi sipil. Jika dikaitkan dengan
konstelasi politik regional maka sebenarnya keberadaan AICHR dapat dianggap
sebagai laboratorium politik nilai dalam konteks ASEAN.
Sebagai komunikator, AICHR juga menyampaikan informasi yang benar dan tepat
tentang isu-isu tematik HAM kepada negara-negara anggota untuk mendorong
pemajuan dan perlindungan HAM di negaranya masing-masing, khususnya bagi
9

negara seperti Myanmar yang lemah akan penegakan HAM. Selain itu, AICHR juga
mendapatkan informasi dari negara-negara anggota ASEAN tentang pemajuan dan
perlindungan HAM di negaranya dan menyerahkan laporan tahunan kegiatan atau
laporan lain apabila diperlukan, pada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN.
Dalam menyampaikan informasi terkait isu HAM serta meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk menghormati HAM, AICHR wajib memberikan informasi secara
berkala kepada rakyat tentang pekerjaan dan kegiatannya melalui materi informasi
publik yang dihasilkan oleh AICHR. AICHR menyampaikan informasi diberbagai
kesempatan seperti mengadakan seminar dan juga workshop sebagai salah satu
perannya sebagai perantara untuk mempromosikan isu HAM yang terjadi di kawasan
negara anggota ASEAN.
ketiga, dalam perannya sebagai arena AICHR sebagai insitusi penaung hak asasi
manusia di kawasan ASEAN dengan tanggung jawab menyeluruh terhadap pemajuan
dan perlindungan HAM di ASEAN dan dimanfaatkan oleh negara-negara anggota
sebagai forum untuk mendiskusikan masalah-masalah yang terkait dengan isu HAM
yang ada di negaranya. AICHR mengadakan rapat pertama di Sekretariat ASEAN di
Jakarta guna melakukan diskusi ekstensif dan dengan badan-badan ASEAN yang
relevan untuk membahas tentang operasi AICHR yang lebih efektif sebagai lembaga
HAM yang menyeluruh di kawasan ASEAN. Pertemuan membahas antara lain,
perumusan peraturan prosedur yang akan meletakkan pedoman operasional untuk
pelaksanaan pekerjaan AICHR di semua aspek. Pertemuan tersebut juga membahas
pengembangan Rencana Kerja Lima Tahun untuk menyediakan langkah-langkah
yang komprehensif dengan program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh AICHR
dalam lima tahun ke depan.
Rencana kerja lain yang akan dilakukan oleh AICHR dalam rangka menjalankan
mandatnya untuk medorong peningkatan kapasitas untuk implementasi kewajiban
HAM berdasarkan traktat internasional yang ditandatangani oleh negara-negara
anggota ASEAN, AICHR telah mengadakan workshop regional pada tahun 2011
dengan tema : ―Mempromosikan Kesehatan Ibu dan Mengurangi Angka Kematian
10

Ibu‖. Dan pada tahun 2013, AICHR memiliki rencana kerja selanjutnya untuk
melakukan pertemuan regional tentang : ―Pembangunan Millenium Tujuan ke-5
dalam Konteks Komunitas ASEAN‖.

Upaya AICHR Dalam Menanggulangi Pelanggaran HAM di Rohingya
Dalam pemaparannya Sekretaris Jenderal ASEAN, Dr. Surin Pitsuwan,
mengingatkan bahwa isu Rohingya dapat mengganggu stabilitas kawasan jika
komunitas internasional, termasuk ASEAN, gagal untuk merespon krisisi tersebut
secara tepat dan efektif. Surin Pitsuwan juga mengakui bahwa ASEAN tidak dapat
menekan pemerintah Myanmar untuk memberikan kewarganegaraan kepada etnis
Rohingya. Khususnya dalam kasus yang terjadi di Myanmar, prinsip non-intervensi
dalam urusan internal negara anggota ASEAN yang tercantum dalam piagam
ASEAN membatasi ruang ASEAN untuk bertindak melakukan penegakan dan
perlindungan hak asasi manusia dalam skala regional. ASEAN tidak mampu untuk
melakukan penegakan hukum terhadap pemerintah Myanmar karena tidak memiliki
legitimasi hukum dalam skala regional yang memiliki kewenangan di atas hukum
nasional negara anggotanya (Suncoko n.d.).
The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) sejak
kelahirannya beberapa tahun yang lalu, didasarkan pada fungsi dan mandatnya,
AICHR telah mencapai hasil-hasil antara lain; mengadopsi panduan operasi AICHR,
membentuk Tim Penyusun Deklarasi HAM ASEAN dimana deklarasi tersebut akan
menjadi sebuah roadmap untuk pembangunan HAM regional, mengadopsi TOR Tim
Penyusun Deklarasi HAM ASEAN, mengadopsi Aturan Prosedur untuk Dana
AICHR, mengadopsi TOR studi tematik mengenai CSR dan HAM di ASEAN,
menyetujui Elemen Kunci dari Rencana Kerja 5 tahun AICHR 2012-2015,
menyetujui TOR studi tematik tentang migrasi, berdialog dengan mekanisme HAM
Inter-Amerika, UNDP, UN Women, UNHCR , serta wakil Organisasi HAM
Internasional di washington dan New York; dan dialog dengan European
11

Fundamental Rights Agency, Council of Europe, Commissioner of Human Rights of
CoE, European Human Rights Court 2011 (Djamin n.d.).
Adapaun dalam upayanya menyelesaikan pelanggaran HAM di Rohingya
Myanmar, AICHR juga telah melakukan beberapa hal, antara lain; Pertama yaitu
mengadapakn beberapa pertemuan. Adapaun pertemuan pertamanya di Yangon,
Myanmar diadakan pada tanggal 8-11 Februari 2014, yang mana pertemuan ini
membangun atas keberhasilan dan prestasi tahun 2013. Serta membahas peran
AICHR untuk lebih berkontribusi terhadap perkembangan ASEAN post-2015 visi
masyarakat serta untuk review dari dengan ketentuan dari referensi (TOR). Dalam
hubungan ini, AICHR telah menjadwalkan serangkaian konsultasi untuk menilai dan
mengumpulkan masukan dari pemangku kepentingan untuk membantu merumuskan
rekomendasi AICHR untuk pertimbangan dari Menteri luar negeri ASEAN. Yang
mana rumusan ini diharapkan dapat menjadi rujukan negara ASEAN dalam
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Yang kedua mengadakan pertemuan ke 16 nya pada tanggal 3-4 Oktober 2014
yang dipimpin langsung oleh H.E. U Kyaw Tint Swe, perwakilan dari Myanmar
untuk AICHR dan Ketua AICHR. Yang mana peretemuan ini membahas laporan
mereka untuk menteri luarnegeri ASEAN dan mengadopsi sejumlah inisiatif pada
promosi HAM diwilayah ASEAN, terutama Myanmar dan juga dalam isu
perlindungan anak.
AICHR juga telah mengadakan beberapa workshop di Myanmar. Workshop ini
dihadiri oleh sekitar 80 peserta terdiri dari praktisi CSR dan hak asasi manusia, dan
stakeholder lainnya regional dari pemerintah, bisnis dan masyarakat sipil dan wakilwakil AICHR. Workshop ini memberikan kesempatan berharga untuk para peserta
mendiskusikan temuan kunci dan belajar dari pengalaman satu sama lain. Lokakarya
termasuk diskusi tentang tantangan saat ini – seperti kendala-kendala yang dihadapi
oleh usaha kecil dan menengah (UKM) di terlibat dalam kegiatan CSR- dan juga

12

menyentuh pada peluang untuk masa depan pengembangan kegiatan CSR dan hak
asasi manusia dalam wilayah ASEAN, terutama Myanmar.
Adapaun bentuk lain dari upaya penerapan HAM secara holistic yang dilakukan
oleh AICHR di Myanmar ialah dengan memberikan edukasi kepada masyarakat
ASEAN tentang hak asasi manusia. Hal ini di wujudkan dalam sebuah seminar yang
diadakan oleh AICHR yang bertajuk ―AICHR Youth Debate of Human Rights‖
dimana di dalam seminar tersebut AICHR berkunjung ke beberapa universitas di
Myanmar dan negara-negara ASEAN lainnya untuk memberikan pemahaman pada
HAM guna meningkatkan kesadaran anak muda ASEAN, terutama di Myanmar
terhadap isu HAM.
Kendala-kendala Yang Dihadapi Oleh AICHR
Suatu organisasi yang berhasil dapat diukur dengan melihat pada sejauh mana
organisasi tersebut dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan (Nog 2005).
Ditengah beberapa kemajuan yang dihasil oleh AICHR belakangan ini, terdapat
beberapa kelemahan, kendala dan sekaligus juga tantangan bagi AICHR. AICHR
sendiri telah menjadi sorotan dan mendapatkan kritikan yang cukup tajam dari
kalangan kelompok masyarakat sipil, terutama dalam mengatasi pelanggaran HAM
yang terdapat di Rohingya, Myanmar. Diantara ke kendala dan kelemahan-kelemahan
tersebut, antara lain;
Pertama, tertutupnya Myanmar terhadap negara-negara lain termasuk AICHR,
terkait masalah pelanggaran HAM yang terjadi di Rohingya membuat AICHR
mengalami kendala dan kesulitan dalam menanganinya. Hal ini juga dipengaruhi oleh
terdapatnya perbedaan perkembangan demokrasi dan HAM yang tajam diantara
negara anggota ASEAN. Political diversity di dalam ASEAN sendiri tetap menjadi
persoalan ketika hendak mencapai kesepakatan dalam persoalan HAM.

13

Kedua, AICHR sebagai lembaga antar pemerintah, dalam bekerjanya lebih
sebagai lembaga negosiasi politik ketimbang Lembaga HAM. Hal ini lah yang
menyebabkan AICHR lebih terfokus pada negoisasi dibandingkan terjun langsung
dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Ketiga, yaitu adanya independensi yang lemah yang dimiliki AICHR, baik dari
segi keanggotaan, tanggung jawab/akuntabilitas anggota pada pemerintah yang
menunjuk, dari segi pendanaan. Serta mekanisme proteksi yang lemah: tidak ada
wewenang menerima pengaduan individual, wewenang untuk investigasi, wewenang
untuk country visit , dan tidak ada pembahasan country situation. Komisi, juga tidak
dapat menjatuhkan sanksi atas pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara dan
pembahasan masalah HAM hanya dapat dilakukan dalam tingkat dialog.
Keempat, dikarenakan mandat dan wewenang AICHR masih sangat terbatas pada
promosi dan perlindungan HAM. Sehingga AICHR tidak memiliki mandat
investigatif dan koersif yang membuat Pelanggaran HAM di kawasan Asean tidak
dapat dimasuki AICHR. Sehingga AICHR tidak dapat melakukan tindakan yang
lebih dan terjun langsung dalam menangani permasalahan HAM di Rohingya,
Myanmar.
Kurangnya tindak lanjut serta implementasai nyata dari kesepakatan yang telah
dicapai menyebabkan kurang maksimalnya hasil yang dicapai dalam kerjasama antar
negara-anggota ASEAN selama ini. Khusus untuk pelaksanaan kerjasama Komisi
HAM ASEAN, semua bentuk pesetujuan yang dicapai semestinya dapat
dimaksimalkan pelaksanaannya. Dalam kaitan itu, perlu diberikan prioritas dan
momentum yang tepat dari masing-masing pemerintah negara ASEAN untuk
mensosialisasikan dan mempromosikan nilai penting isu penegakan HAM di kawasan
Asia Tenggara sesuai dengan kerangka kerjasama ASEAN di bidang HAM.
Merujuk pada ToR AICHR poin ke 10 dimana AICHR harus mendapatkan
informasi tentang pemajuan dan perlindungan HAM dari negara anggota ASEAN
14

menjadi terhambat dikarenakan oleh ketidak sempurnaan tersebut. Hal ini yang
kemudian menjadi tantangan bagi AICHR untuk mengembangkan cakupan kerja
AICHR sehingga aspek pemantauan nantinya bisa menjadi bagian integral dalam
cakupan kerja AICHR (Saputri, PERAN ASEAN Intergovernental Commission Of
Human Rights (AICHR) DALAM MENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA DI
KAWASAN NEGARA ANGGOTA ASEAN 1 Februari 2014).
Kesimpulan
Jalan panjang konflik dan pelanggaran HAM yang terjadi di Rohingya, Myanmar
masih terus berlanjut hingga saat ini. Konflik yang dipicu oleh insiden pemerkosaan
dan pembunuhan terhadap Ma Thida Htwe (27 tahun) ini, telah menelan banyak
korban. Kelompok Buddhis Arakan, didukung oleh pendeta Buddha lokal dan aparat
keamanan Myanmar, melakukan berbagai tindakan kekerasan secara sistematis
terhadap muslim Rohingya meliputi pemukulan, pemenggalan, pembunuhan,
pemerkosaan, pembakaran tempat tinggal, pengusiran dan isolasi bantuan ekonomi.
Berbagai tindakan kekerasan ini digunakan sebagai cara untuk mengusir etnis
Rohingya keluar dari Myanmar.
Kebijakan junta militer yang bersikap represif dan anarkis terhadap etnis
Rohingya mulai terlihat secara nyata sejak operasi Naga Min tahun 1978. Ne Win
melancarkan Operasi Raja Naga yaitu operasi militer dalam skala besar di Arakan,
operasi ini ditujukan untuk membasmi kelompok Mujahidin yang dituduh melakukan
upaya separatis di wilayah utara Arakan. Warga Rohingya banyak yang mengalami
penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan pembunuhan massal. Bahkan
dalam sebulan terakhir, tercatat 650 orang etnis Rohingya tewas, 1.200 warga hilang,
dan sekitar 80 ribu lainnya kehilangan tempat tinggal.
ASEAN sebagai organisasi regional memiliki tanggung jawab untuk menangani
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar. Melalui The ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), ASEAN melakukan
15

berbagai macam upaya terutama dalam menanggulangi permasalahan HAM di
Myanmar. Karena pada dasarnya AICHR merupakan institusi penaung (overarching)
HAM di ASEAN dengan tanggung jawab secara umum adalah untuk pemajuan dan
perlindungan HAM di wilayah ASEN. Adanya badan ini dimaksudkan untuk
mempermudah dan mengurangi berbagai macam permasalahan pelanggaran HAM di
Asia Tenggara.
Selain itu juga ASEAN sebagai organisasi regional memiliki tanggung jawab
untuk menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan The ASEAN Intergovernmental Commission on
Human Rights (AICHR), dalam menanggulangi permasalahan HAM di Myanmar,
antara lain :
Akan tetapi dalam melakukan tugasnya dalam menyelesaikan permasalan HAM
di Asia tenggara, terutama Rohingya, Myanmar. AICHR belum berhasil
menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM tersebut. Hal ini dibuktikan dari
semakin banyak dan bertambahnya korban dalam kasus tersebut. Diawali dari
pembunuhan salah satu warga Budha di Rohingya, kemudian pembantaian 10 warga
muslim. Pada tahun 2013 tercatat 650 orang etnis Rohingya tewas, 1.200 warga
hilang. Hingga pada tahun 2015 tercatat sudah 25.000 keluar membawa pengungsi
dari Rohingya, serta Sekitar 140 ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka
dan mengungsi. Hingga saat ini telah banyak pengungsi Rohingya yang terdampar
dibeberapa negara di Asia Tenggara.
Adapun ketidak efektifan AICHR dalam menangani permasalahan pelanggaran
HAM dan konflik yang terjadi di Rohingya Myanmar dikarenakan dalam upayanya
AICHR menghadapi beberapa kendala, antara lain :
Pertama, tertutupnya Myanmar terhadap negara-negara lain termasuk AICHR,
terkait masalah pelanggaran HAM yang terjadi di Rohingya membuat AICHR
mengalami kendala dan kesulitan dalam menanganinya. Hal ini juga dipengaruhi oleh
16

terdapatnya perbedaan perkembangan demokrasi dan HAM yang tajam diantara
negara anggota ASEAN. Political diversity di dalam ASEAN sendiri tetap menjadi
persoalan ketika hendak mencapai kesepakatan dalam persoalan HAM.
Kedua, AICHR sebagai lembaga antar pemerintah, dalam bekerjanya lebih
sebagai lembaga negosiasi politik ketimbang Lembaga HAM. Hal ini lah yang
menyebabkan AICHR lebih terfokus pada negoisasi dibandingkan terjun langsung
dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Ketiga, yaitu adanya independensi yang lemah yang dimiliki AICHR, baik dari
segi keanggotaan, tanggung jawab/akuntabilitas anggota pada pemerintah yang
menunjuk, dari segi pendanaan. Serta mekanisme proteksi yang lemah: tidak ada
wewenang menerima pengaduan individual, wewenang untuk investigasi, wewenang
untuk country visit , dan tidak ada pembahasan country situation. Komisi, juga tidak
dapat menjatuhkan sanksi atas pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara dan
pembahasan masalah HAM hanya dapat dilakukan dalam tingkat dialog.
Keempat, dikarenakan mandat dan wewenang AICHR masih sangat terbatas pada
promosi dan perlindungan HAM. Sehingga AICHR tidak memiliki mandat
investigatif dan koersif yang membuat Pelanggaran HAM di kawasan Asean tidak
dapat dimasuki AICHR. Sehingga AICHR tidak dapat melakukan tindakan yang
lebih dan terjun langsung dalam menangani permasalahan HAM di Rohingya,
Myanmar.

17

DAFTAR PUSTAKA

"Potensi Pasar ASEAN” Majalah ASEAN Edisi 4,. Direktorat Jenderal Kerja Sama
ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, 4 Maret 2014.
Coplin, William D. Introduction of international politics, Terjemahan: Drs Marsedes
Marbun. Bandung: Sinar Baru, 1992.
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI. “ Potensi
Pasar ASEAN” Majalah ASEAN Edisi 4, . 4 Maret 2014.
Hutapea, Parulian. KOMPETENSI PLUS, Teori, Desain, Kasus, dan Penerapan
Untuk HR, dan Organisasi yang Dinamis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Ivancevich, John. Perilaku dan Managemen Organisasi. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2005.
Jackson, Robert. "Pengantar Studi Hubungan Internasional." 2009. Yogyakarta:
Pustaka Belajar, n.d.
Mangku, Dewa Gede Sudika. "― KASUS PELANGGARAN HAM ETNIS
ROHINGYA : DALAM PERSPEKTIF ASEAN―, ." Media Komunikasi FIS,
Volume 12, , 2 Agustus 2013.
Mas‘oed, Mohtar. ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES, 1990.
Mosler, Hermann. The International Society as a Legal Community. The Netherlands
Germantown, Maryland, USA: Alphen aan den Rijn: Sijthoff and Noordhoff,
1980.

18

Secretariat, ASEAN. ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN
RIGHTS (Terms of Reference). Jakarta.: ASEAN Secretariat, 2009.

Karya Ilmiyah

Isa, Rusli. "EFEKTIVITAS ORGANISASI KECAMATAN DALAM PELAYANAN
PUBLIK SETELAH MENJADI PERANGKAT DAERAH." INOVASI,
Volume 6, Nomor 4, Desember, 2009.
Saputri, Ananda Ruriksa. " PERAN ASEAN Intergovernental Commission Of
Human Rights (AICHR) DALAM MENEGAKKAN HAK ASASI
MANUSIA DI KAWASAN NEGARA ANGGOTA ASEAN."
ejournal.hi.fisip-unmul.org, 2 Oktober 2015.
Mangku, Dewa Gede Sudika. "KASUS PELANGGARAN HAM ETNIS
ROHINGYA : DALAM PERSPEKTIF ASEAN." Media Komunikasi FIS,
Volume 12, 2 Agustus 2013.

Media Massa

Bahri, Saiful. Pemerintah Myanmar Dalang Kerusuhan di Rohingya. n.d.
http://www.dakwatuna.com/2013/05/03/32564/pemerintah-myanmar-dalangkerusuhan-di-rohingya/#axzz3YjcZxSbe (accessed Oktober 1, 2015).
Efektifitas Organisasi. n.d. http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/546/jbptunikompp-gdlmsahaltanf-27296-2-babii.pdf (accessed November 17 , 2015).

19

Hak Asasi Manusia (HAM). n.d. https://equitas.org/wpcontent/uploads/2011/12/modul-2-hal-1-38.pdf (accessed November 22 ,
2015).
Silaen, Victor. Kendala ASEAN dalam Masalah Rohingya. n.d.
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/kendala-asean-dalam-masalahrohingya (accessed Oktober 10 , 2015).
Utami, Ranny. Mengenal Etnis Rohingya Lebih Dekat. n.d.
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20140925171827-1134396/mengenal-etnis-rohingya-lebih-dekat (accessed Agustus 20 , 2015 ).
—. Mengenal Etnis Rohingya Lebih Dekat. n.d.
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20140925171827-1134396/mengenal-etnis-rohingya-lebih-dekat (accessed Agustus 20, 2015).
—. Mengenal Etnis Rohingya Lebih Dekat. n.d.
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20140925171827-1134396/mengenal-etnis-rohingya-lebih-dekat (accessed Agustus 20 , 2015 ).
Wibisono, Adhe Nuansa. ASEAN, Rohingnya dan Krisis Kemanusiaan di Myanmar.
n.d. http://www.anwibisono.com/2013/08/asean-rohingnya-dan-krisiskemanusiaan.html (accessed Agustus 30 , 2015 ).
Revolusi, Alfi. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK ETNIS RAKHINE DAN
ROHINGYA DI MYANMAR TAHUN 2012. n.d.
http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/1977 (accessed Oktober 1,
2015).
Ellis, David C. THEORIZING INTERNATIONAL ORGANIZATIONS “ The
Organizational Turn in International Organization Theory”. n.d.

20

http://journal-iostudies.org/sites/journal-iostudies.org/files/JIOS1012.pdf
(accessed Oktober 29 , 2015).

21

Dokumen yang terkait

ALOKASI WAKTU KYAI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DI YAYASAN KYAI SYARIFUDDIN LUMAJANG (Working Hours of Moeslem Foundation Head In Improving The Quality Of Human Resources In Kyai Syarifuddin Foundation Lumajang)

1 46 7

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN TENAGA KERJA PENGRAJIN ALUMUNIUM DI DESA SUCI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER The factors that influence the alumunium artisans labor income in the suci village of panti subdistrict district jember

0 24 6

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

The correlation intelligence quatient (IQ) and studenst achievement in learning english : a correlational study on tenth grade of man 19 jakarta

0 57 61

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Analyzing The Content Validity Of The English Summative Tests In Vocational Schools (A Case Study In Odd Semester Of Second Year Technology Major In Tangerang Vocational Schools)

1 50 155

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

PENGARUH KOSENTRASI SARI KUNYIT PUTIH (Curcuma zediaria) TERHADAP KUALITAS TELUR ASIN DITINJAU DARI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, TOTAL FENOL, KADAR PROTEIN DAN KADAR GARAM The Addition of White Turmeric (Curcuma zedoaria) Concentrated Base on Quality Antioxidan

1 1 8