BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) (Studi Pada Rumah Sakit Tingkat Ii Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Salah satu tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat. Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang menjadi misi negara untuk melaksanakannya.

  Pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat merupakan amanat konstitusi dalam rangka memenuhi hak rakyat atas jaminan sosial yang dijamin dalam Pasal 28 H ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945.

  Penyelenggaraan jaminan sosial nasional yang adekuat merupakan salah satu pilar untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN menentukan 5 jenis program jaminan sosial, yaitu program jaminan kesehatan (JK), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiunan (JP), dan jaminan kematian (JKM), yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan transformasi dari BUMN penyelenggara jaminan sosial yang sekarang telah berjalan.

  Pada tanggal 25 November 2011, ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014. BPJS merupakan badan hukum dengan tujuan yaitu mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan untuk terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Dalam penyelenggaraannya BPJS ini terbagi menjadi dua yaitu BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan.

  Pada tanggal 1 januari 2014 mulai diberlakukan BPJS kesehatan di seluruh pelayanan kesehatan di Indonesia. Ujicoba BPJS sudah mulai dilaksanakan sejak tahun 2012 dengan rencana aksi dilakukan pengembangan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan dan perbaikan pada sistem rujukan dan infrastruktur. Evaluasi jalannya Jaminan Kesehatan Nasional ini direncanakan setiap tahun dengan periode per enam bulan dengan kajian berkala tahunan elitibilitas fasilitas kesehatan, kredensialing, kualitas pelayanan dan penyesuaian besaran pembayaran harga keekonomian.

  Diharapkan pada tahun 2019 jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan mencukupi, distribusi merata, system rujukan berfungsi optimal, pembayaran dengan cara prospektif dan harga keekonomian untuk semua penduduk.

  Pelaksanaan UU BPJS melibatkan PT ASKES, PT ASABRI, PT JAMSOSTEK dan PT TASPEN. Dimana PT ASKES dan PT JAMSOSTEK beralih dari Perseroan menjadi Badan Publik mulai 1 januari 2014.

  Sedangkan PT ASABRI dan PT TASPEN pada tahun 2029 beralih menjadi

  Pelayanan kesehatan BPJS mempunyai sasaran di dalam pelaksanaan akan adanya sustainibilitas operasional dengan memberi manfaat kepada semua yang terlibat dalam BPJS, pemenuhan kebutuhan medik peserta, dan kehati-hatian serta transparansi dalam pengelolaan keuangan BPJS.

  Saat ini masalah yang banyak muncul dari implementasi BPJS adalah :

  1. Sistem pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System)

  a. Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas pelayanan kesehatan hal ini dikarenakan PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 tentang Jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI padahal menurut BPS (2011) orang miskin ada 96,7 juta.

  Pelaksanaan BPJS tahun 2014 didukung pendanaan dari pemerintah sebesar Rp. 26 trliun yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran tersebut dipergunakan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp. 16.07 trliun bagi 86,4 juta masyarakat miskin sedangkan sisanya bagi PNS, TNI dan Polri. Pemerintah harus secepatnya menganggarkan biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas (jumlahnya sekitar 1,7 juta orang). Dan tentunya jumlah orang miskin yang discover BPJS kesehatan harus dinaikkan menjadi 96,7 juta dengan konsekuensi menambah anggaran dari APBN.

  b. Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit) sampai

  RS ke RS lainnya karena dikatakan penuh oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru sekali terjadi.

  2. Sistem pembayaran (Health Care Payment System)

  a. Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real cost, terkait dengan pembiayaan dengan skema INA CBGs dan Kapitasi yang dikebiri oleh Permenkes No. 69/2013. Dikeluarkannya SE No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum bisa mengurangi masalah di lapangan.

  b. Kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal maupun eksternal. Pengawasan internal seperti melalui peningkatan jumlah peserta dari 20 juta (dulu dikelola PT Askes) hingga lebih dari 111 juta peserta, perlu diantisipasi dengan perubahan system dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi. Pengawasan eksternal, melalui pengawasan Otoritas jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) masih belum jelas area pengawasannya.

  3. Sistem mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System)

  a. Keharusan perusahaan BUMN dan swasta nasional, menengah dan kecil masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan belum terealisasi mengingat manfaat tambahan yang diterima pekerja BUMN atau swasta lainnya melalui regulasi turunan belum selesai dibuat. Hal ini belum sesuai dengan amanat Perpres No. 111/2013 (pasal 24 dan 27) mengenai paling lambat 1 Januari 2015. Dan regulasi tambahan ini harus dikomunikasikan secara transparan dengan asuransi kesehatan swasta, serikat pekerja dan Apindo sehingga soal Manfaat tambahan tidak lagi menjadi masalah.

  b. Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas kesehatan sehingga peserta BPJS tidak tertangani dengan cepat.

  Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan merupakan salah satu rumah sakit milik Kesdam I/Bukit Barisan Medan. Kehadiran rumah sakit ini sangat berarti dalam pelayanan kesehatan bagi anggota tentara dan keluarganya khususnya di wilayah Kesdam I/Bukit Barisan Medan, Sumatera Utara, serta bagi masyarakat umum. Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau ini adalah rumah sakit negeri kelas B. Rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas. Rumah sakit ini juga menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten.

  Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau ini. Penelitian ini diberi judul “Implementasi

  

Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam

Meningkatkan Pelayanan Kesehatan (Studi pada Rumah Sakit Tingkat

  II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan)”.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di

  

“Bagaimana Implementasi Program Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial (BPJS) dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan di Rumah

Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan?”

1.3 Tujuan Penelitian

  Setiap penelitian yang diajukan mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian jelas diketahui sebelumnya. Suatu riset khusus dalam ilmu pengetahuan empiris pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran ilmu pengetahuan itu sendiri.

  Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Program Badan

  Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan.

2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang dihadapi dalam Implementasi

  Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai

  1. Secara Subjektif, sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir secara ilmiah dan sistematis dalam memecahkan suatu permasalahan, melalui sebuah kajian literatur sehingga diperoleh kesimpulan yang teruji dan bermanfaat.

  2. Secara Praktis, sebagai masukan/sumbangan pemikiran bagi Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan.

  3. Secara Akademis, sebagai bahan untuk mengembangkan ilmu Administrasi Publik bagi mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang ingin mengadakan penelitian lanjutan dalam bidang yang sama.

1.5 Kerangka Teori

  Dengan adanya teori, peneliti dapat memahami secara jelas masalah yang akan diteliti. Menurut Kerlinger teori adalah sekumpulan konstruk (konsep), definisi, dan dalil yang saling terkait yang menghadirkan suatu pandangan yang sistematis tentang fenomena dengan menetapkan hubungan di antara beberapa variabel, dengan maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena (Black, 1999:11).

1.5.1 Kebijakan Publik

1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

  Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah bahasa Inggris dan ada juga yang menerjemahkan menjadi "kebijaksanaan". Mustopadidjaja menyebutkan “Kebijakan Publik” adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

  Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik "Public Policy is whatever the government choose to do or not to do". (Kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan "tindakan" pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, inipun merupakan kebijakan publik, yang tentunya ada tujuannya.

  David Easton memberikan pengertian kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.

  Harrold Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat (Subarsono, 2005:3).

  Anderson (Tangkilisan, 2003:2) memberikan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat- pejabat pemerintah dimana implikasi dari kebijakan itu adalah : 1)

  Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan 2)

  Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah 3)

  Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan

  4) Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu

  5) Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

1.5.1.2 Proses Kebijakan Publik

  James Anderson (Subarsono, 2005:12-13) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut : a.

  Formulasi Masalah (problem formulation) Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda b.

  Formulasi Kebijakan (formulation) Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan? c. Penentuan Kebijakan (adoption)

  Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan? d.

  Implementasi (implementation) Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan? e.

  Evaluasi (evaluation) Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan?

  Sedangkan Michael Howlet dan M. Ramesh (Subarsono, 2005:13-14) menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut : a.

  Penyusunan Agenda (agenda setting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah. b.

  Perumusan Kebijakan (policy formulation), yakni proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.

  c.

  Pembuatan Kebijakan (decision making), yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan sesuatu tindakan.

  d.

  Implementasi Kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.

  e.

  Evaluasi Kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.

1.5.2 Implementasi Kebijakan

1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

  Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan mempunyai kedudukan yang penting di dalam kebijakan publik.

  Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood, hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan- keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky, implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

  Jones (Tangkilisan, 2003:17-18) mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian menentukan implementasi, juga membahas aktor-aktor yang terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan. Tiga kegiatan yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah : 1)

  Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dijalankan.

  2) Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.

  3) Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.

1.5.2.2 Model Implementasi Kebijakan

  Dalam rangka untuk mengimplementasikan kebijakan publik, dikenal beberapa model sebagai berikut :

  a. Model Goggin

  Goggin (Tangkilisan, 2003:20) mengimplementasikan kebijakan dengan mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan formal pada keseluruhan implementasi, yakni : 1)

  Bentuk dan isi kebijakan, termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi 2)

  Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif 3)

  Pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.

  b. Model Grindle

  Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (Subarsono, 2005:93) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu : 1)

  Variabel Isi Kebijakan (content of policy) mencakup : a.

  Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan b.

  Jenis manfaat yang diterima oleh target group c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan d.

  Apakah letak sebuah program sudah tepat e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan

  2) Variabel Lingkungan Kebijakan mencakup : a.

  Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan b.

  Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran c.

   Model Meter dan Horn

  Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi 6 (enam) faktor, yaitu : 1)

  Standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh 2)

  Sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi 3)

  Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai 4)

  Karakteristik pelaksanaan, arrtinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program 5)

  Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan

6) Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

1.5.2.3 Pendekatan Model George C. Edwards III

  Pendekatan yang digunakan oleh George C. Edwards III terhadap implementasi kebijakan ada empat faktor atau variabel kritis dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi atau sikap, dan struktur birokrasi.

1) Komunikasi

  Secara alami, komunikasi ini membutuhkan keakuratan, dan komunikasi mesti secara akurat pula diterima oleh para implementor. Jika kebijakan harus diimplementasikan secara tepat, ukuran implementasi mesti tidak hanya diterima, namun mereka mesti juga jelas. Aspek lain dari ukuran implementasi adalah konsistensinya. Keputusan kontradiksi mengacaukan dan membuat frustasi staf administratif dan memaksa kemampuannya untuk mengimplementasikan kebijakan secara efektif.

  Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi reistensi dari kelompok sasaran.

  Secara umum, semakin terdesentralisasi implementasi kebijakan publik, semakin mungkin terjadi distorsi ketika proses transmisi terjadi, sehingga informasi yang berkembang menjadi kurang akurat di tangan implementator. Desentralisasi biasanya berarti bahwa sebuah keputusan mesti yang akan melakukannya. Lebih banyak langkah sebuah komunikasi mesti bertentangan dari sumber aslinya, semakin lemah sinyal yang utama yang akan diterima.

2) Sumber Daya

  Sumberdaya bisa menjadi suatu faktor kritis di dalam mengimplementasikan kebijakan publik. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya finansial.

  Kemungkinan sumberdaya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf. Dalam sebuah era dimana “pemerintah besar” berada dalam serangan dari semua arahan, hal ini mungkin nampak mengejutkan untuk belajar bahwa sebuah sumber pokok kegagalan implementasi adalah staf yang tidak cukup.

  Informasi merupakan sumber esensial kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi ini datang dalam dua bentuk. Pertama adalah informasi berkenaan dengan bagaimana melakukan sebuah kebijakan. Implementasi perlu tahu apa yang harus dikerjakan ketika mereka diberikan petunjuk untuk bertindak. Bentuk informasi esensial kedua adalah data dalam bentuk peraturan pemerintah.

  Para implementor mesti tahu apakah orang lain yang terlibat di dalam mengimplementasikan kebijakan melengkapi undang-undang yang dipelukan adalah kewenangan (otoritas). Kewenangan ini beragam dari program ke program dan masuk dalam berbagai bentuk berbeda, hak untuk mengeluarkan jaminan, membawa kasus ke pengadilan, mengeluarkan perintah untuk para pejabat lain, menarik dana dari sebuah program, memberikan dana, staf, dan bantuan teknik untuk yuridiksi pemerintah tingkat lebih rendah, mengeluarkan cek untuk para warga, membeli barang dan jasa, atau memungut pajak. Kebijakan yang memerlukan pengawasan atau peraturan pemerintah dari yang lainnya di dalam sektor publik atau private adalah pengawasan atau peraturan, karenanya kewenangan merupakan faktor yang krusial juga.

  Berbagai fasilitas fisik mungkin juga menjadi sumber kritis dalam implementasi. Seorang implementor mungkin memiliki staf cukup, mungkin memahami apa yang ia duga harus dikerjakan, memiliki otoritas untuk mengamalkan tugasnya, namun tanpa bangunan perlu, peralatan, persediaan, dan bahkan implementasi ruang hijau tidak akan berhasil.

3) Disposisi

  Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

  Banyak kebijakan jatuh dalam “sone apathi”. Kebijakan ini kemungkinan memiliki perasaan kuat mengenainya. Kebijakan lain, bagaimanapun juga, akan mengalami konflik langsung dengan tinjauan kebijakan atau kepentingan implementor secara pribadi atau organisasional.

  Disposisi implementor menimbulkan rintangan serius terhadap implementasi kebijakan. Namun jika personalia yang ada tidak mengimplementasikan kebijakan dengan cara dimana para pejabat puncak kehendaki, mengapa mereka tidak digantikan dengan orang-orang yang lebih responsif terhadap para pemimpin. Salah satu cara untuk meningkatkan berbagai kesempatan bahwa kebijakan akan diimplementasikan secara tepat adalah memilih implementor yang bernilai yang memungkinkan terhadap kebijakan itu. Dangan kata lain, mengesampingkan personalia yang tengah ada yang mungkin menolak terhadap sebuah kebijakan dan memakai yang lain.

  Teknik potensial lainnya untuk berhubungan dengan masalah disposisi implementor adalah untuk merubah disposisi implementor yang tengah ada melalui manipulasi insentif. Karena orang pada umumnya bertindak dalam kepentingannya, manipulasi insentif oleh pembuat kebijakan tingkat tinggi mungkin mempengaruhi berbagai tindakannya. Dengan meningkatkan keuntungan atau biaya perilaku khusus mungkin membuat para implementor lebih atau kurang memungkinkan untuk memilihnya sebagai suatu cara memajukan kepentingan kebijakan pribadi, organisasional, dan substantif.

4) Struktur Birokrasi

  Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Dua karakteristik utama dari birokrasi ini adalah prosedur pengoperasian standar

  

(sandard operating procedure/SOP) dan fragmentasi. SOP menjadi pedoman

  bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-

  

type, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya

menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

  Aspek kedua dari struktur birokrasi yang dipertimbangkan adalah fragmentasi. Fragmentasi merupakan pembagian tanggungjawab untuk sebuah bidang kebijakan diantara unit-unit organisasional. Kelanjutan fragmentasi pemerintah tersebar luas. Dalam bidang kesejahteraan, lebih dari 100 program pelayanan manusia federal diselenggarakan oleh 10 departemen dan dinas berbeda. Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat memiliki tanggungjawab untuk program Bantuan atas Anak-Anak Tanggungan, Departemen Perumahan dan Pembangunan Perkotaan memberikan bantuan perumahan untuk orang miskin, Departemen Pertanian menjalankan program merk pangan, dan Departemen Tenaga Kerja mengelola program pelatihan tenaga kerja dan memberikan bantuan dalam mendapatkan pekerjaan. Semakin banyak aktor dan dinas yang terlibat dengan kebijakan khusus dan semakin seling bergantung keputusannya,

  Sifat dari kebijakan publik juga merupakan sebuah faktor dalam memproduksi fragmentasi. Kebijakan luas, semacam yang berhubungan dengan proteksi lingkungan, adalah multidimensional dan rancu dengan dimensi kebijakan lain, semacam pertanian, transportasi, rekreasi, dan energi.

  Dengan begitu, agen-agen pemerintah tidak bisa dengan mudah diorganisir seputar suatu bidang kebijakan.

  Komunikasi Sumberdaya

  Implementasi

  Disposisi Struktur Birokrasi

Gambar : 1.1 Bagan Faktor Penentu Implementasi menurut G.Edwards III

1.5.3 Pelayanan Publik

1.5.3.1 Pengertian Pelayanan Publik

  Pengertian pelayanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hal, cara, atau hal kerja melayani, sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang) dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, diteruskan oleh organisasi atau perseorangan kepada konsumen yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki, konsumen yaitu masyarakat yang mendapat manfaat dan aktivitas yang dilakukan oleh organisasi yang memberikan pelayanan.

  Pelayanan publik menurut Kurniawan adalah pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Berdasarkan KEMENPAN No.63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggaraan pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.

  Secara garis besar jenis-jenis layanan publik menurut Kepmenpan No. 63 tahun 2003 dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

  1. Kelompok pelayanan administratif, yaitu jenis pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya.

  Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Peduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Izin Membangun

  Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah, dan lain-lain.

  2. Kelompok pelayanan barang, yaitu jenis pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan lain-lain.

  3. Kelompok pelayanan jasa, yaitu jenis pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan lain-lain.

  Berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggaraan pelayanan publlik. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah seluruh kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan dalam suatu organisasi atau instansi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang pelaksanaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

1.5.3.2 Pengertian Pelayanan Kesehatan Kesehatan adalah faktor paling utama dalam kehidupan manusia.

  memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Definisi pelayanan kesehatan menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Sedangkan menurut Levey dan Loomba, Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan mencembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan peroorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.

  Menurut Departemen Kesehatan RI (2009), pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya. Karena kesemuanya ini ditentukan oleh:

  • Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi.
  • Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya.

  Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan kesehatan secara

  1. Pelayanan kedokteran : Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga.

  2. Pelayanan kesehatan masyarakat : Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok kesehatan masyarakat (public health service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasarannya untuk kelompok dan masyarakat.

1.5.4 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

1.5.4.1 Visi dan Misi BPJS Kesehatan

  Adapun yang menjadi visi BPJS Kesehatan adalah : CAKUPAN SEMESTA 2019. Paling lambat 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang handal, unggul dan terpercaya.

  Sedangkan misi BPJS Kesehatan adalah :

  1. Membangun kemitraan strategis dengan berbagai lembaga dan mendorong partisipasi masyarakat dalam perluasan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

  2. Menjalankan dan memantapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien dan bermutu kepada peserta melalui kemitraan yang optimal dengan fasilitas kesehatan.

  3. Mengoptimalkan pengelolaan dana program jaminan sosial dan dana BPJS Kesehatan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel untuk mendukung kesinambungan program.

  4. Membangun BPJS Kesehatan yang efektif berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola organisasi yang baik dan meningkatkan kompetensi pegawai untuk mencapai kinerja unggul.

  5. Mengimplementasikan dan mengembangkan sistem perencanaan dan evaluasi, kajian, manajemen mutu dan manajemen risiko atas seluruh operasionalisasi BPJS Kesehatan.

  6. Mengembangkan dan memantapkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung operasionalisasi BPJS Kesehatan.

1.5.4.2 Hak dan Kewajiban BPJS

  Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ada 2 (dua) hak menentukan dalam melaksanakan kewenangannya, BPJS berhak: a.

  Memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial dari DJSN.

  UU BPJS tidak memberikan pengaturan mengenai berapa besaran “dana operasional” yang dapat diambil dari akumulasi iuran jaminan sosial dan hasil pengembangannnya. UU BPJS tidak juga mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang. “Dana Operasional” yang digunakan oleh BPJS untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial tentunya harus cukup pantas jumlahnya agar BPJS dapat bekerja secara optimal, tetapi tidak boleh berlebihan apalagi menjadi seperti kata pepatah “lebih besar pasak daripada tiang”. Besaran “dana operasional” harus dihitung dengan cermat, mengunakan ratio yang wajar sesuai dengan best

  practice penyelenggaraan program jaminan sosial.

  Mengenai hak memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial dari DJSN setiap 6 bulan, dimaksudkan agar BPJS memperoleh umpan balik sebagai bahan untuk melakukan tindakan korektif memperbaiki penyelenggaraan program jaminan sosial. Perbaikan penyelenggaraan program akan memberikan dampak pada pelayanan yang semakin baik kepada peserta. Tentunya DJSN sendiri dituntut untuk menjamin terselenggaranya program jaminan sosial yang optimal dan berkelanjutan, termasuk tingkat kesehatan keuangan BPJS.

  UU No. 24 tahun 2011 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menentukan bahwa untuk melaksanakan tugasnya ada 11 (kewajiban), BPJS berkewajiban untuk: a.

  Memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta; Yang dimaksud dengan ”nomor identitas tunggal” adalah nomor yang diberikan secara khusus oleh BPJS kepada setiap peserta untuk menjamin tertib administrasi atas hak dan kewajiban setiap peserta. Nomor identitas tunggal berlaku untuk semua program jaminan sosial.

  b.

  Mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar- besarnya kepentingan peserta; c.

  Memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya; Informasi mengenai kinerja dan kondisi keuangan BPJS mencakup informasi mengenai jumlah asset dan liabilitas, penerimaan, dan pengeluaran untuk setiap Dana Jaminan Sosial, dan/atau jumlah aset dan liabilitas, penerimaan dan pengeluaran BPJS.

  d.

  Memberikan manfaat kepada seluruh peserta sesuai dengan UU SJSN; e. Memberikan informasi kepada peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku; f.

  Memberikan informasi kepada peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajiban; g.

  Memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo JHT dan pengembangannya 1 kali dalam 1 tahun; h.

  Memberikan informasi kepada peserta mengenai besar hak pensiun 1 kali dalam 1 tahun; i.

  Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum; j.

  Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntasi yang berlaku dalam penyelenggaraan jaminan sosial; dan k.

  Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6 bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.

  Jika dicermati ke 11 kewajiban BPJS tersebut berkaitan dengan

  

governance BPJS sebagai badan hukum publik. BPJS harus dikelola sesuai

  dengan prinsip-prinsip transparency, accountability and responsibility, responsiveness, independency, dan fairness.

  Dari 11 kewajiban yang diatur dalam UU BPJS, 5 diantaranya menyangkut kewajiban BPJS memberikan informasi. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memang mewajibkan badan publik untuk mengumumkan informasi publik yang meliputi informasi yang berkaitan dengan badan publik, informasi mengenai kegiatan dan kinerja diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan keterbukaan informasi tersebut diharapkan ke depan BPJS dikelola lebih transparan dan fair, sehingga publik dapat turut mengawasi kinerja BPJS sebagai badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan.

1.6 Definisi Konsep

  Konsep (Singarimbun, 1995:33) merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti.

  Oleh karena itu, untuk mendapatkan batasan-batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, maka definisi konsep dalam penelitian ini adalah : 1.

  Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan publik berfungsi untuk mengatur, mengarahkan, dan mengembangkan interaksi dalam sebuah komunitas.

2. Implementasi Program BPJS Kesehatan

  Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah

rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi

  BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan Penerima Pensiun PNS dan Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.

  Implementasi Program BPJS Kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana kegiatan dan pelaksanaan program BPJS Kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan model George Edwards III, yaitu :

  a. Komunikasi

  Komunikasi dalam implementasi kebijakan harus jelas dan tepat sasaran agar tercapai keberhasilan dari implementasi kebijakan tersebut. Keberhasilan Program BPJS Kesehatan dapat dilakukan oleh BPJS Kesehatan dengan mensosialisasikan tujuan dan manfaat Program BPJS Kesehatan kepada masyarakat melalui berbagai media baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, BPJS Kesehatan juga harus berkoordinasi dengan Rumah Sakit yang menerima pelayanan BPJS Kesehatan agar Implementasi Program BPJS Kesehatan tersebut dapat terlaksana dengan baik. b. Sumberdaya

  Sumberdaya adalah faktor penting dalam implementasi kebijakan agar kebijakan tersebut dapat terlaksana dengan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kemampuan pelaksana kebijakan dan sumberdaya finansial, yaitu dana yang dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Dalam penelitian ini sumberdaya yang dimaksud adalah kemampuan para implementor atau pelaksana Program BPJS Kesehatan dan dana yang dibutuhkan serta fasilitas yang mendukung untuk melaksanakan Program BPJS Kesehatan.

  c. Disposisi

  Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor atau pelaksana kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Yang akan dilihat dari penelitian Implementasi Program BPJS Kesehatan ini adalah komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis dari pelaksana kebijakan sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

  d. Struktur Birokrasi

  Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.

  Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan menjadi tempat sasaran pelaksanaan Implementasi Program BPJS

  

Putri Hijau karena Rumah Sakit ini menyediakan pelayanan BPJS

Kesehatan bagi pasien pengguna BPJS Kesehatan dari kalangan

prajurit TNI dan keluarga maupun masyarakat umum dengan melihat

SOP dan Fragmentasi sebagai pedoman implementor dalam

melaksanakan kebijakan.

1.7 Sistematika Penulisan

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri atas latar belakang, perumusan masalah,

  tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, dan sistematika penulisan.

  BAB II METODE PENELITIAN Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian,

  informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

  BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang profil rumah sakit dan

  gambaran umum mengenai rumah sakit yang meliputi letak geografis, visi misi dan motto, sumber daya manusia, struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi rumah sakit.

  BAB IV PENYAJIAN DATA Bab ini menyajikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan. BAB V ANALISIS DATA Bab ini berisi analisis data-data yang diperoleh saat

  penelitian dilakukan dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang diteliti.

  BAB VI PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang dilakukan.

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pre Hipertensi Pada Usia 18-40 Tahun di Desa Jati Kesuma Kecamatan Namo Rambe Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

0 0 8

THE STRUCTURE OF SELECTED PRINT ADVERTISEMENT: A MULTIMODAL ANALYSIS Duma Sari Lubis STIKOM Medan T. Silvana Sinar FIB Universitas Sumatera Utara Abstract - The Structure Of Selected Print Advertisement: A Multimodal Analysis

0 1 17

Pengalaman Remaja Putri Korban Kekerasan Seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan

0 0 23

Hubungan Kadar Ubiqutin C-Terminal Hydrolase – L1 Dengan Tingkat Keparahan Cedera Kepala

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cedera Kepala - Hubungan Kadar Ubiqutin C-Terminal Hydrolase – L1 Dengan Tingkat Keparahan Cedera Kepala

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Auditing 2.1.1 Pengertian Auditing - Peranan Audit Internal Dalam Meningkatkan Sistem Pengawasan Intern Pada PT. Astra International Tbk. – Toyota Sales Operation Auto2000 Cabang Medan Amplas

0 10 32

LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Uji Akar Unit untuk GE (Pengeluaran Pemerintah) dengan Level - Intercept

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeluaran Pemerintah - Analisis Kausalitas Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pemerintah di Sumatera Utara

0 0 27

2. Sumber-sumber Informasi pada Perpustakaan UNIMED - Literasi Informasi Mahasiswa Baru Pengguna Perpustakaan Universitas Negeri Medan Tahun Akademik 2014/2015

0 0 9

BAB II TINJAUAN LITERATUR - Literasi Informasi Mahasiswa Baru Pengguna Perpustakaan Universitas Negeri Medan Tahun Akademik 2014/2015

0 0 20