Intelektual and Ulama vis a vis Penguasa

Telaah

UTAMA

INTELEKTUAL DAN ULAMA
VIS-À-VIS PENGUASA
Syamsuddin Arif
Dosen Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor

ereka bangun tatkala orang lain
tertidur. Berdiri tegar ketika orang
lain tertunduk. Bersuara padahal
orang lain terdiam, dan awas di saat orang lain
terlena. Begitulah intelektual. Melawan walau
orang lain menyerah. Menyanggah meski
orang lain mengalah. Berani menggebrak dan
mendobrak tirani. Mampu mengubah dan
menggugah nurani. Namun, siapakah intelektual
itu? Apakah mereka sama dengan ulama? Jika
jawabannya negatif, dimanakah letak perbedaan
antara intelektual dan ulama? Mengapa

masyarakat memerlukan mereka? Bagaimana
sikap mereka terhadap penguasa? Pertanyaanpertanyaan ini penting dikemukakan mengingat
pengaruh golongan ini sebagai kekuatan moral
yang mesti diperhitungkan. Bagian pertama dari
tulisan ini akan mengulas asal-usul intelektual
dan perannya di masyarakat Barat, sedangkan
bagian kedua tulisan ini akan membahas definisi
dan misi ulama sebagai penerus para nabi serta
posisi dan relasi mereka dengan penguasa secara

M

7

normatif maupun historis.

Asal-usul Intelektual
Alkisah, pada 1898, seorang perwira
keturunan Yahudi bernama Albert Dreyfus
dipecat dari dinas ketentaraan Perancis. Ia

dicurigai menjadi agen mata-mata asing.
Masyarakat gempar, dan kaum menengah negeri
itu pun terbelah dua. Kelompok pembelanya
mengutuk para penuduh Dreyfus itu anti-semit
dan rasis, manakala lawan-lawannya menjuluki
para pembela si tertuduh sebagai les intellectuels.1
Konon dari sinilah asal-muasal konotasi negatif
1

Kelompok anti-Dreyfus dimotori Maurice Barrès dan
Ferdinand Brunetière, manakala pembelanya diwakili oleh
Emile Zola, Emile Durkheim dan Anatole France. Ulasan
mengenai kasus Dreyfus dan dampaknya di kalangan
cendekiawan Perancis dapat dilihat di J.-D. Bredin, The
Affair: the Case of Albert Dreyfus (New York: Braziller, 1986)
dan Pascal Ory dan Jean-François Sirinelli, Les Intellectuels
en France de l’affaire Dreyfus à nos jours (Paris: Armand Colin,
1986); cf. Pascal Ory, “Qu’est-ce qu’un intellectuel?” dalam
Dernières questions aux intellectuels, ed. Pascal Ory (Paris: Olivier
Orban, 1990), hlm. 9-50 dan Jeremy Jennings, Intellectuals in

Twentieth Century France (Basingstoke: Macmillan, 1993).

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

pada istilah ‘intelektual’ di Barat. Sejak itu,
istilah intelektual lebih bermaksud penghinaan
daripada sanjungan. Hal ini berlaku tidak hanya
di Perancis,2 tapi juga di Inggris3 dan Amerika.4
Sejak itu, intelektual menjadi sebutan buruk
bagi mereka yang tidak setia dan tidak tunduk
kecuali pada pemikirannya sendiri (bahkan tidak
kepada bangsa, negara, dan agamanya sekalipun
–sehingga berarti juga tidak nasionalis, tidak
patriotis, dan tidak religius). Intelektual ialah
mereka yang selalu berseberangan dengan
penguasa, senantiasa kritis dan memberontak
terhadap segala bentuk kemapanan atau status
quo. Mereka adalah orang-orang yang ‘berumah
di atas angin’, tidak membumi (déracinés), tak
berkuasa, dan hanya pandai bicara.5


Intelektual dan Intelligentsia
Adalah Julien Benda (1867-1956) yang
memantik perdebatan seputar intelektual dan
perannya di Barat. Dalam karya monumentalnya,
La trahison des clercs, yang diterbitkan pada tahun
1927, Benda memperhadapkan kaum intelektual
dengan kaum awam. Intelektual adalah pejuang
kebenaran dan keadilan. Intelektual sejati
ialah mereka yang tekun menikmati bidang
keahliannya –sebagai saintis, pemikir, atau
budayawan- bukan karena imbalan materi atau
kepentingan sesaat. Seorang intelektual sejati
2

3

4

5


“Sekarang semakin jelas bahwa intelektual ialah mereka yang
sok tahu ikut campur urusan orang lain,” tulis Jean-Paul Sartre
dalam Plaidoyer pour les intellectuels (Paris: Gallimard, 1972); cf.
Alain Besançon, “Les intellectuels,” dalam L’Express, no. 1834
(5 Sept. 1986), hlm. 37.
Max Beloff, “Intellectuals,” dalam The Social Science
Encyclopedia, ed. A. Kuper (London: Routledge, 1996), hlm.
418 menyatakan: “Few British people would have wished
or would now wish to be called intellectuals”; cf. Raymond
Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society (New
York: Oxford University Press, 1985), hlm. 170: “Until the
middle twentieth century unfavourable uses of intellectuals, intellectualism
and intelligentsia were dominant in English and it is clear that such uses
persist.”
John Caroll, “In Spite of Intellectuals,” dalam Theory and
Society 6 (1978), hlm. 33 menulis bahwa pada kenyataannya
intelektual itu macam-macam, terdiri dari para badut, orang
sinting dan sebagainya (“a bizarre array of types, in fact
quite a pantomime of clowns, mountebanks, lunatics and

obsessives”), sementara Edward Said mendapati aktivis di
Amerika lebih suka disebut sebagai professional, ‘scholar’
atau akademisi daripada intelektual: “I’ve noticed that among the
left the use of the word “intellectual” has fallen into disrepute and disuse”.
Lihat “American Intellectuals and Middle East Politics,”
dalam Intellectuals: Aesthetics, Politics, Academics, ed. Bruce
Robbins (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1990), hlm. 141.
Lihat D. Bering, Die Intellektuellen. Geschichte eines Schimpfwortes
(Stuttgart: Klett-Cotta, 1978), hlm. 45.

8

akan berkata, “Kerajaan saya bukan di dunia
ini”,6 meski tidak berarti intelektual harus
mengucilkan diri dan asyik dengan dunianya
sendiri.
Intelektual bukanlah intelektual, tulis
Benda, kecuali jika mereka berani keluar dari
‘sarang’nya untuk memprotes ketidakadilan

dan menyuarakan kebenaran, betapa pun
mahal resikonya. Sebagaimana dicontohkan
oleh orang-orang semacam Socrates dan Yesus,
kata Benda. Intelektual menjadi pengkhianat
tatkala idealismenya luntur. Tatkala nilai-nilai
kemanusiaan diabaikannya. Tatkala mereka
tunduk atau bersekutu dengan penguasa, takut
dipenjara, dan tidak mau susah.
Berkali-kali diingatkannya agar intelektual
menjaga jarak dari tiga kepentingan: negara
(politik), kasta (golongan), dan bangsa (rasial).
Intelektual harus bisa melampaui ‘kotakkotak’ sempit ini. Jelas bahwa pandangan
Benda sebenarnya adalah reaksi terhadap
skandal Dreyfus. Secara implisit ia mengimbau
kelompok terdidik Eropa waktu itu agar
membela kaum terpinggir dan tertindas di
sekeliling mereka, yaitu komunitas Yahudi yang
tersebar dari Spanyol hingga Russia. Sebagai
keturunan Yahudi, tak heran jika dalam edisi
kedua bukunya, Benda amat mengecam para

saintis dan intelektual pendukung Nazi Jerman.
Namun, setidaknya ada tiga hal yang
melemahkan gagasan Benda. Pertama, jika ditilik
lebih dalam, konsepnya tentang intelektual
cenderung muluk dan mengawang-awang. Kalau
menurut Ernest Gellner, intelektual yang peduli
dan engagé mau tidak mau bakal mengkhianati
idealisme Benda.7 Kedua, seperti diungkapkan
Edward Said, pengertian intelektual yang
disodorkan Benda terlalu ketat: intelektual
digambarkan layaknya sosok-sosok manusia
super, raja-filsuf penjelma nurani manusia (“a
tiny band of super-gifted and morally endowed philosopherkings who constitute the conscience of mankind”). Maka
sebagai makhluk-makhluk unggul, intelektual
ideal semacam itu –kalaupun ada– tentu amat
6

7

Julien Benda, The Treason of the Intellectuals, terj. Inggris oleh

Richard Aldington (New York: William Morrow, 1928),
hlm. 43 = The Betrayal of the Intellectuals (Boston: The Beacon
Press, 1955), hlm. 30.
Ernest Gellner, “La trahison de ‘la trahison des clercs’,”
dalam The Political Responsibility of Intellectuals, ed. Ian Maclean
et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), hlm.
17-27.

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

langka. Mereka tidak akan pernah banyak
kita temukan dan tidak mungkin perempuan.8
Ketiga, masih menurut Edward Said, tidak
diterangkan oleh Benda kebenaran seperti
apakah yang mesti diperjuangkan oleh para
intelektual dan jalan manakah yang mesti
mereka tempuh untuk meraihnya.9
Soal mengapa Julien Benda memakai istilah
‘clerc’ dan bukan ‘intellectuel’ maka hal itu
dikarenakan masyarakat

Barat sejak dahulu hingga
abad ke-19, menurutnya,
terbagi dalam dua
kelompok besar, yakni
kelas atas (terdiri dari
kaum bangsawan,
agamawan dan ilmuwan)
dan kelas bawah (petani,
buruh atau budak yang
tak mengerti dan tak
memiliki apa-apa). Maka
istilah ‘clerc’ menunjuk
kelompok pertama itu
(dalam bahasa Inggris
diterjemahkan menjadi
‘cleric’ dan ‘clerk’).
Dalam konteks
Perancis, penting kita
simak pengamatan Régis
Debray, seorang sosiolog

dan mantan penasehat
politik Presiden François
Mitterand. Dibaginya
generasi intelektual abad
kedua-puluh dalam tiga
periode. Generasi pertama, yang hidup antara
tahun 1898 dan 1930, terdiri dari kaum
terpelajar yang kompak membela Albert
Dreyfus. Di antara mereka ada Èmile Zola,
Èmile Durkheim dan Anatole France. Generasi
berikutnya, yang aktif antara tahun 1930
hingga 1960 dan diwakili oleh orang-orang
semacam André Gide, adalah para penulis
(sastrawan dan budayawan). Adapun sejak
8

9

Lihat Edward W. Said, Representations of the Intellectual: The 1993
Reith Lectures (New York: Vintage Books, 1996), hlm. 4 dan
7.
Bandingkan dengan esei reflektif Martin Hollis, “What
truth? For whom and where?” dalam Intellectuals in Politics:
From Dreyfus Affair to Salman Rushdie, ed. Jeremy Jennings dan
Anthony Kemp-Welch (London: Routledge, 1997), hlm.
289-299.

9

tahun 1960 hingga sekarang yang muncul
adalah generasi “intelektual selebriti”, yakni
intelektual yang lebih suka tampil di media
massa, mempunyai pesona, gemar sensasi, dan
gila popularitas sehingga acapkali mengabaikan
standar keilmuan dan kejujuran.10
Hal inilah yang memantik kesimpulan
tajam dari Jean-François Sirinelli. Mengamati
kian sukarnya dijumpai intelektual yang peduli
(engagé) pada persoalanpersoalan nyata di
lapangan dan semakin
banyak mereka yang tak
lagi dihiraukan (moins
écoutés) oleh masyarakat,
Sirinelli pun bertanya
apakah lonceng
kematian intelektual
telah berdentang:
“Faut-il sonner le glas des
intellectuels?”11
Pengertian
intelektual yang
agak berbeda kita
peroleh dari Antonio
Gramsci dan Karl
Mannheim. Gramsci,
seorang wartawan
dan pemikir Marxist
asal Italia, mengkritik
Benda yang terkesan
melupakan peran
dan tugas intelektual
dalam negara. Ia
mempertanyakan
konsepsi intelektual ‘Dreyfusard’ yang
diusung Benda: “Apakah intelektual merupakan
kelompok tersendiri dalam masyarakat
ataukah bagian yang tak terpisahkan dari
suatu masyarakat, sehingga setiap kelompok
ada intelektualnya masing-masing?” Dengan
tegas Gramsci memilih pandangan kedua.
10

11

Lihat Régis Debray, Teachers, Writers, Celebrities: The Intellectuals
of Modern France (London: Verso, 1981); aslinya berjudul Le
pouvoir intellectual en France (Paris: Ramsay, 1979).
Jean-François Sirinelli, Intellectuels et passions françaises: manifestes
et petitions au XXe siècle (Paris: Fayard, 1990), 245, sebagaimana
dikutip oleh David L. Schalk, “Are Intellectuals a Dying
Species? War and the Ivory Tower in the Postmodern Age,”
dalam Intellectuals in Politics: From Dreyfus Affair to Salman Rushdie,
ed. Jeremy Jennings dan Anthony Kemp-Welch (London:
Routledge, 1997), hlm. 279. Cf. Jean-François Lyotard,
Tombeau de l’intellectuel (Paris: Galilée, 1984).

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

Menurut aktifis yang sempat dibui oleh
rejim Mussolini itu, jika kaum borjuis punya
sejumlah intelektual, maka kaum proletar
pun ada para intelektualnya. Ia menyebut
mereka ‘intelektual organik’ (karena sama-sama
mempunyai hubungan dengan dunia produksi),
dan membedakannya dengan ‘intelektual
tradisional’ yang terdiri dari para tokoh agama,
guru/dosen dan birokrat dan menganggap diri
mereka sebagai kelas tersendiri. Intelektual
tipe kedua inilah, bagi Gramsci, yang tidak
membumi; mereka hidup dalam delusi dan
utopia (angan-angan). Sebaliknya, intelektual
organik aktif terlibat –dalam arti memanfaatkan
maupun dimanfaatkan- dalam perjuangan
kelompok yang melahirkannya.12 Intelektual
jenis ini tidak pernah diam dan senantiasa
berbuat sesuatu untuk masyarakatnya (“always
on the move, on the make”―meminjam ungkapan
Edward Said.13
Lain lagi pendapat Karl Mannheim.
Menurutnya, kekeliruan Benda terletak pada
pengerucutan makna intelektual sebagai suatu
kelompok eksklusif yang sibuk sendiri (selforiented), merasa diri mereka hebat dan serba
cukup (self-sufficient), merasa tak bergantung
pada apapun dan siapapun. Dalam karyanya
yang masyhur, Ideologie und Utopie (1929),
pelarian politik asal Hungaria ini memandang
kaum intelektual sebagai orang-orang tanpa
kelas, bukan bagian dari kasta atau kelompok
sosial manapun. Dengan kata lain, ia menolak
pendapat Benda dan Gramsci sekaligus.
Intelektual tak dapat dikotak-kotakkan,
kata Mannheim. Mereka berdiri di atas dan
untuk semua golongan. Hal ini dimungkinkan
oleh tingkat pendidikan mereka yang sebagian
besar lulusan perguruan tinggi. Maka sejarah
menyaksikan intelektual muncul di setiap
kelas masyarakat. Mereka lahir dari kalangan
konservatif, golongan borjuis, maupun kaum
proletar. Afiliasi tidak berarti submisi. Intelektual
bisa diterima dan dihormati karena semua
lapisan masyarakat memerlukan dukungan
dan kontribusi mereka. Intelektual berperan
menumbuhkembangkan kesalingmengertian
dan sekaligus meredakan potensi benturan antar
12

13

Lihat Antonio Gramsci, The Prison Notebooks: Selections, terj.
Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell-Smith (New York:
International Publishers, 1971).
Edward Said, Representations of the Intellectual, hlm. 4.

10

kelompok.14
Istilah intelektual di Barat juga kerap
bersanding dengan istilah ‘intelligentsia’, yang
muncul pada paruh abad ke-19 di Polandia dan
Russia. Persisnya, ketika Polandia dibagi-bagi
menjadi tiga oleh kerajaan Prussia (nama negara
Jerman sebelum 1871), Russia dan Austria. Para
lulusan sekolah menengah (disebut matura)
dan mereka yang mengerti bahasa dan sejarah
Polandia menganggap diri mereka pengawal
warisan budaya bangsa, dan karenanya merasa
lebih layak memimpin dan mengelola negara
ketimbang kaum borjuis yang korup dan
tidak punya idealisme. Meski pada awalnya
membentuk gerakan oposisi, kelompok yang
disebut ‘intelligentsia’ ini kemudian berhasil
masuk ke dalam pemerintahan menyusul
pengembalian kedaulatan Polandia pada 1918.
Pasca Perang Dunia II (1945-1989) Polandia
dikuasai Partai Komunis yang menindas dan
menghabisi semua lawan, sehingga kaum
intelligentsia boleh dibilang punah sama
sekali. Mengikut rumusan Marxisme, dalam
satu negara hanya boleh ada dua kelas sosial
yang tidak bertentangan, yaitu buruh dan tani.
Adapun intelligentsia tidak dianggap sebagai
social class, tetapi merupakan stratum. Ini karena
meskipun dari segi produksi sama dengan kaum
buruh, dari segi pendidikan dan kesadaran
kaum intelligentsia berbeda. Kelompok khusus
ini terdiri dari tamatan perguruan tinggi yang
kebanyakan adalah saintis ataupun insinyur.
Kenyataan tersebut melahirkan klasifikasi
sebagai berikut: budayawan (cultural intelligentsia)
yang masih setia pada cita-cita lama, dan
teknokrat (technical intelligentsia). Perubahan iklim
politik turut mempengaruhi sikap intelligentsia
dari masa ke masa, dari oposisi ke oportunisme,
atau dari reformis kembali menjadi oposisi.15
Di Russia, intelligentsia ialah kalangan
bangsawan yang menjaga jarak dari kaum borjuis
kapitalis dan merasa diri mereka terpanggil
14

15

Lihat Karl Mannheim, Ideology and Utopia, terj. L. Wirth dan E.
Shils (San Diego: Harcourt B. Jovanovich, 1985), khususnya
hlm. 153-164 yang berjudul “The Sociological Problem of
the “Intelligentsia”; cf. Karl Mannheim, “The Sociology of
Intellectuals,” terj. D. Pels, dalam Theory, Culture, Society 10
(1993): 369-380; dan Karl Mannheim, “The Problem of the
Intelligentsia,” dalam Essays on the Sociology of Culture (London:
Routledge & Kegan Paul, 1956), 91-170.
Lihat David Jary and Julia Jary, Dictionary of Sociology (New
York: Harper-Collins, 1991), hlm. 243-244; cf. M. Nomad,
Rebels and Renegades (New York: Macmillan, 1932).

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

untuk memimpin bangsa. Kelompok inilah
yang menuntut penghapusan sistem feodal dan
kerajaan (Tsarisme), menghendaki perombakan
menyeluruh tatanan politik, ekonomi dan sosial
di negeri itu, dengan tetap berpegang pada
nilai-nilai lokal (sehingga dijuluki ‘Slavophile’).
Pasca Revolusi Oktober 1917, dimana Tsar
berhasil digulingkan, kaum intelligentsia sempat
tumbuh tetapi kemudian ditumpas habis oleh
Stalin. Namun begitu, kelompok yang lebih
dianggap sebagai ‘lapisan’ (prosloika alias social
layer) ketimbang kasta ini tidak pernah lenyap
sama sekali.
Konsep intelligentsia sebagai kaum terpelajar
yang memihak rakyat (populis atau dalam
bahasa Russianya narodniks―sahabat rakyat)
dan progressif, seperti kata N.K. Mikhailovsky,
ataupun sebagai kelompok yang berpikiran
kritis (menurut Peter Lavrov), terus tertancap di
benak orang Russia. Dari yang radikal (dalam arti
militan dan revolusioner dalam melawan rezim
totalitarian, sanggup berkorban nyawa demi
idealismenya) semisal Alexander Radishchev,
Pavel Pestel, atau Nikolai Chernyshevsky,
hingga yang moderat seperti Dostoevsky, Leo
Tolstoy dan Ivan Turganev. Yang radikal disebut

11

“intelligentsia,” manakala yang moderat dan
lebih menekankan moralitas dan nilai-nilai
kemanusiaan disebut ‘intelligentnost’. Namun
demikian tidak berarti semua kalangan di Russia
menerima dan memuji mereka. Tidak sedikit
orang di sana yang menilai kaum intelligentsia
itu angkuh dan ‘belum matang’ (half-baked), suka
bikin sensasi dan hobinya mengumbar jargon.16
Begitu pula halnya di Inggris dan di Amerika.
Istilah intelektual berkonotasi negatif. Edmund
Burke, misalnya, mencibir kaum Revolusioner
Perancis pengikut telunjuk intelektual yang
disebutnya les philosophes. Bagi masyarakat
Inggris, intelektual merupakan sebutan bagi
orang-orang yang irrasional, egois, dan ‘sok
pintar’. Sikap anti-intelektual ini jadi lumrah
dan bahkan cenderung menguat seperti
tercermin dalam pernyataan Sir Geoffrey
Howe (sekretaris luar negeri Inggris di zaman
PM Margaret Thatcher) yang menyifatkan
Salman Rushdie sebagai ‘arrogant’, ‘a dangerous
opportunist’, dan ‘a multiple renegade’.17
Demikian pula majlis professor universitas
Cambridge yang menentang pemberian
gelar doktor kepada Jacques Derrida melalui
pernyataan negatif mereka: “non placet”. 18
Derrida dinilai lebih tepat digolongkan sebagai
intelektual daripada akademisi. Jika kasus
ini memperlihatkan ketidaksukaan terhadap
intelektual yang eksentris dan anarkis, hal ini
karena, menurut Jennings dan Kemp-Welch,
para intelektual di Inggris telah terserap masuk
dan menjadi bagian dari kekuasaan (‘political
16

17

18

Timo Vihavainen, “The Petty Bourgeoisie and its
Enemies “Philistinism” and the “Intelligentsia” in the
Nineteenth Century,” di http://www.newacademia.com/
VihavainenCoverPop/VihavainenExcerpt.pdf ; aslinya
berjudul Sovetskaâ vlast’ - narodnaâ vlast’? : ocerki istorii narodnogo
vospriâtiâ sovetskoj vlasti v SSSR (Sankt-Peterburg: Evropejskij
Dom, 2003), hlm. 114-140; cf. M. Raeff, The Origins of the
Russian Intelligentsia (New York: Harcourt, 1966); B. Shragin
dan A. Todds, Landmarks: A Collection of Essays on the Russian
Intelligentsia (New York: Karz Howard, 1977); Isaiah Berlin,
“The Birth of the Russian Intelligentsia,” dalam bukunya,
Russian Thinkers (London: Hogarth Press, 1978), hlm. 114135; dan C. Read, Religion, Revolution and the Russian Intelligentsia,
1900-1912: The ‘Vekhi’ Debate and Its Intellectual Background
(London: Macmillan, 1979).
Jeremy Jennings dan Anthony Kemp-Welch, “The Century
of the Intellectual: From Dreyfus Affair to Salman Rushdie,”
dalam Intellectuals in Politics: From Dreyfus Affair to Salman Rushdie
(London: Routledge, 1997), hlm. 2-4.
Pemungutan suara (voting) untuk memutuskan apakah
‘intelektual’ Perancis (asalnya Yahudi Aljazair) itu layak
atau tidak layak diadakan pada 16 May 1992. Lihat Howard
Erskine-Hill, “Reflections on the Derrida Affair,” dalam
jurnal Classical Review vol. 114, no. 2320, hlm. 25-36.

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

establishment’) itu sendiri, entah karena
kesamaan latarbelakang pendidikan, pergaulan
sosial ataupun keanggotaan dalam klub-klub
elit. Jadi, nyaris tidak ada lagi intelektual yang
berada di luar kampus.
Maka tak mengherankan kalau di mata
politisi Inggris, intelektual bukanlah outsider,
akan tetapi insider yang ikut mempengaruhi
kebijakan publik melalui institusi-institusi
politik maupun sosial. Oleh karena itu, tokohtokoh seperti Matthew Arnold, Oscar Wilde,
atau Bertrand Russell yang berada di luar sistem
dianggap pengecualian.
Juga terbukti lewat buku yang ditulis Paul
Johnson, Intellectuals dan karya John Carey,
The Intellectuals and the Masses (1992). Dengan
menyingkap kehidupan pribadi maupun aibaib Rousseau, Marx, Hemingway dan banyak
lagi, Johnson tampak ingin mengatakan bahwa
para intelektual itu hipokrit, elok di luar tetapi
busuk di dalam, “no wiser as mentors, or worthier
as exemplars, than the witch doctors or priest of old.”
Adapun Carey menyoroti berbagai prejudice,
pretensi dan elitisme kaum intelligentsia Inggris
termasuk Virginia Woolf, George Bernard
Shaw, D.H. Lawrence dan T.S. Eliot, yang
secara tidak langsung ditengarai punya andil
mengkondisikan terjadinya Holocaust.19
Situasi di Amerika tak jauh berbeda.
Intelektual di sana juga sejak lama menjadi
bagian integral dari berbagai institusi publik.
Demokrasi, akses informasi, dan birokratisasi
disebut-sebut sebagai faktor penyebab susutnya
peran intelektual di Amerika. Seperti disinyalir
Richard Hofstadter dalam Anti-Intellectualism in
American Life, makin hari intelektual makin tak
diindahkan. Masyarakat Amerika yang nota
bene pragmatis dan materialistis kini tak lagi
peduli dengan para intelektual. Intelektual
menjadi terpinggir, dianggap tidak realistis dan
tak lebih dari sekadar pemimpi yang berbahaya
(dangerous dreamers), tulis Steve Kimball dalam
Tenured Radicals.
Sekarang ini sukar sekali menemukan

intelektual independen di Amerika, karena
hampir semua cerdik-cendekia di negeri itu telah
diserap ke dalam dunia akademis dan birokrasi,
menjadi ‘orang gaji’ di lembaga-lembaga swasta
maupun pemerintah seperti halnya di Inggris.
Walhasil, mereka lebih mementingkan karir
dan jabatan daripada menjadi intelektual.20
Alih-alih mengkritisi kebijakan pemerintah
dan mendidik masyarakat, para intelektual
Amerika justru ‘mengabdi’ pada pemerintah
dan mengikuti selera publik. Maklumlah, kata
Theodor Roszak, imbalan yang mereka terima
amat menggiurkan apabila terlibat –sebagai
kontributor, kollaborator, konspirator alias
‘think-tank’- dalam proyek-proyek garapan
dinas intelijen Amerika (CIA), lembaga
semacam RAND Corporation, ataupun
sebagai penasehat Gedung Putih untuk urusan
kebijakan luar negeri.21
* * *

Ulama sebagai Intelektual
Istilah ‘intelektual’ memang tidak dikenal
di Dunia Islam kecuali di zaman modern.
Masyarakat di Timur Tengah sekarang meyebut
intelektual itu “mutsaqqaf” (budayawan)
dan “mufakkir” (pemikir) atau “rawsyan-fikr”
(dalam bahasa Farsi), sementara di Indonesia
diistilahkan “cendekiawan”. Namun, hal ini
tidak berarti sebelum zaman modern tidak ada
intelektual atau cendekiawan.
Jika kita renungkan secara mendalam,
konsep yang kurang-lebih sama dengan mudah
dapat kita temukan dalam sejarah dan tradisi
maupun kitab suci umat Islam, yaitu pada istilah
‘nabi’ dan ‘ulama’. Memang sesungguhnya nabinabi utusan Allah dan pewaris mereka boleh
kita sebut intelektual atau cendekiawan dalam
arti orang-orang yang memiliki akal sehat, jiwa
besar, ilmu dan hikmah. Mereka adalah orangorang yang hidup dengan panduan wahyu,
mempunyai misi dan visi sebagai pelopor
20

19

Lebih jelasnya lihat Paul Johnson, Intellectuals (London:
Weidenfeld and Nicolson, 1988) dan John Carey, The
Intellectuals and the Masses: Pride and Prejudice among the Literary
Intelligentsia 1880-1939 (London: Faber & Faber, 1992);
diterjemahkan kedalam bahasa Jerman dengan judul Hass
auf die Massen (1996) dan bahasa Spanyol dengan judul Los
Intelectuales y Las Masas (2009).

12

21

Demikian menurut Russel Jacoby dalam bukunya, The Last
Intellectuals: American Culture in the Age of Academe (New York:
Basic Books, 1987).
Theodor Roszak, “On Academic Delinquency,” dalam The
Dissenting Academy, ed. Th. Roszak (New York: Pantheon
Books, 1967), hlm. 12: “In the name of service (and of course in return
for handsome fees and cushy appointments), university and university
men have been prepared to collaborate in genocide, espionage, deceit, and
all the corruptions our government’s sense of omnipotence has led us to.”

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

perubahan masyarakat (agents of social change)
untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan
kepada cahaya (yukhrijËnahum min az-ÐulumÉt
ila ’n-nËr). Sudah barang tentu juga ini tidak
berarti sebaliknya. Yakni, belum tentu semua
intelektual adalah ulama, dan pula tidak berarti
para intelektual itu adalah nabi.
Bila demikian halnya, mengingat tidak ada
lagi nabi sesudah Nabi Muhammad SAW, maka
peran intelektual para nabi kini dimainkan oleh
para ulama, karena merekalah pewaris nabi-nabi.
Sabda Rasulullah, “wa inna ’l-‘ulamÉ’ waratsat
al-anbiyÉ’(Hadis riwayat Abu DardÉ’ r.a.).
Lantas, pertanyaan yang mengemuka tentunya,
siapakah yang disebut ulama?
Di dalam kitab suci al-Qur’an kita temukan
lafaz ‘ulama’ dua kali disebut. Pertama, berkaitan
dengan masyarakat Yahudi di dalam surah asSyu‘arÉ’ ayat 197: awa-lam yakun lahum Éyatan
an ya‘lamahu ‘ulamÉ’u banÊ isrâ’Êl. Menurut ahli
tafsir al-QurÏubÊ, ulama yang dimaksud adalah
orang-orang berilmu dari kalangan mereka
yang paling tahu dan paham isi kitab-kitab
suci (kullu man kÉna lahu ‘ilm bi-kutubihim).
Beberapa nama pun disebut, yaitu Asad,
AsÊd, Ibn YÉmÊn, Tsa‘labah, dan ‘AbdullÉh
ibn SalÉm.22 Kedua, terkait pengetahuan yang
dalam mengenai aneka ragam ciptaan Allah di
alam raya dan muka bumi. Ayatnya terdapat di
surah FÉÏir 28: innamÉ yakhsyÉ AllÉha min ‘ibÉdihi
al-‘ulamÉ’. Di sini ditegaskan bahwa yang takut
kepada Allah itu hanyalah para ulama, karena
merekalah yang kenal Allah dan benar-benar
mengesakanNya. Kata seorang ulama TÉbi‘in,
“Cukuplah mawas diri, takut kepada Allah itu
sebagai ilmu. Dan cukuplah terpedaya setan itu
sebagai kebodohan. Siapa yang paling mengenal
Allah niscaya paling besar takutnya kepadaNya
(kafÉ bi-khasyatillÉhi ‘ilman wa kafÉ bi ’l-ightirÉr
jahlan. Fa-man kÉna a‘lama billÉhi kÉna akhsyÉhum
lahu).” 23 Sa‘Êd ibn Jubayr menerangkan bahwa
takut dalam ayat tersebut berarti sesuatu yang
menghalangi kita dari perbuatan dosa, maksiat
atau durhaka kepada Allah (al-khasyyah hiya
al-llatÊ taÍËlu baynaka wa bayna ma‘ÎiyatillÉh ‘azza
22

23

JalÉluddin as-SuyËtÊ, ad-Durr al-MantsËr fi at-TafsÊr bi
’l-Ma’tsËr, ed. ‘Abdullah ibn ‘Abd al-MuÍsin at-TurkÊ (Kairo:
Markaz Hajar li ’l-BuÍËts wa ’d-DirÉsÉt al-‘Arabiyyah wa
’l-IslÉmiyyah, 1424/2003), jilid 11, hlm. 300.
as-SyawkÉnÊ (w. 1250/1797), FatÍ al-QadÊr (Beirut: Dar alKhayr, 1412/1991), jilid 4, hlm. 398.

13

wa jalla).24
Selain lafaz ‘ulama’, kita juga menemukan
beberapa istilah terkait dengan lafaz berbeda.
Pertama, istilah ulË al-‘ilm (‫ ) أ�ولو العمل‬yang berarti
orang-orang yang memiliki ilmu. Mereka ini
disebutkan bersama dengan para malaikat yang
bersaksi tiada tuhan melainkan Allah (Ali ‘Imran
18). Di sejumlah ayat lain (an-NaÍl 27, al-QaÎaÎ
80, al-‘AnkabËt 49, Saba’ 6, dan al-MujÉdalah
11) mereka ini disebut juga orang-orang yang
dianugerahi ilmu (alladzÊna ËtË al-‘ilm: ‫)اذلين أ�وتوا العمل‬
dan orang-orang yang mengetahui (alladzÊna
ya‘lamûn - az-Zumar 9). Kedua, istilah ahludz-dzikr
yang bermakna orang yang berpengetahuan
mengenai kitab-kitab yang diturunkan Allah
kepada para nabi terdahulu (an-NaÍl 43) dan
secara khusus orang yang memahami al-Qur’an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
karena ia sendiri adalah adz-dzikr (an-NaÍl 44
dan al-×ijr 9). Dan ketiga, istilah ulË al-albâb
(‫ ) أ�ولوا أللباب‬yang disebutkan di banyak tempat
dalam al-Qur’an (al-Baqarah 179 dan 197, Ali
‘ImrÉn 190, IbrÉhÊm 51). Menurut Imam arRÉzÊ, istilah ini berarti orang-orang berakal yang
mengetahui konsekuensi perbuatan mereka dan
mengerti berbagai dimensi rasa takut (al-‘uqalÉ’
alladzÊna ya‘rifËn al-‘awÉqib wa ya‘lamËn jihat alkhawf), karena akal itulah yang merupakan inti
atau lubb dari manusia, bukan tubuhnya.25
24

25

Ibn KatsÊr (w. 774/1373), TafsÊr al-Qur’an al-AÐÊm (Riyadh:
DÉr as-SalÉm, 1424/2004), hlm. 2339.
Fakhr ad-DÊn ar-RÉzÊ (w. 606/1209), MafÉtÊÍ al-Ghayb (Beirut:
DÉr al-Fikr, 1425/2005), jilid 2.

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

Definisi Ulama
Agak sukar mencari definisi ulama, karena
para ulama sendiri tidak memerlukannya.Hanya
bila kita membaca karya-karya mereka niscaya
dapat kita rumuskan beberapa kriteria yang
membedakan ulama dan bukan ulama. Pertamatama cukup jelas bahwa yang dimaksud dengan
ulama adalah mereka yang menguasai ilmuilmu agama Islam, memahami hukum-hukum
Allah dan mengikuti Sunnah Nabi SAW. Ini
merupakan kriteria yang tidak diperdebatkan
lagi.
Para ulama adalah sekelompok orang
yang tekun mendalami ajaran agama Allah
(ÏÉ’ifah yatafaqqahËna fÊ ’d-dÊn), yang bepergian,
mengembara atau merantau untuk mencari
ilmu, supaya nantinya pulang ke kampung
halamannya untuk mengajar dan menuntun
masyarakat ke jalan Allah agar menjadi hambahamba Allah yang beriman dan beramal soleh
(li-yundzirË qawmahum idzÉ raja‘Ë ilayhim la‘allahum
yaÍdzarËn).
Ulama adalah mereka yang pengetahuan
dan pemahamannya telah mencapai tahap
cukup tinggi untuk membolehkan mereka
menarik kesimpulan hukum langsung dari
sumbernya, mengadili atau memutuskan
perkara dan memberikan fatwa (al-mujtahidËn
al-bÉlighËna darajÉt al-futyÉ fÊ ’d-dÊn). Kriteria ini
sejalan dengan firman Allah: la‘alimahu al-ladzÊna
yastanbiÏËnahu minhum. Dengan kata lain, mereka
adalah orang-orang yang berkemampuan tidak
hanya mengetahui dan menguasai, akan tetapi
juga menalar dan berargumentasi.
Ulama adalah mereka yang mendalam
ilmunya (ar-rÉsikhËn fÊ ’l-‘ilm) seperti disinyalir oleh
Allah di dalam kitab suci al-Qur’an. Menurut
Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350),
mereka itu orang-orang yang begitu kokoh
pengetahuannya sehingga kalaupun datang
kepadanya aneka ragam persoalan dan keraguan
laksana gulungan ombak di lautan niscaya tidak
akan goyah atau runtuh keyakinannya. Kata
beliau: li-annahu qad rasakha fi ’l-‘ilm fa-lÉ tastafizzuhu
s-syubuhÉt. 26 Adapun mufassir Ibn as-Sa‘dÊ
mengatakan bahwa seseorang itu tidak kukuh
keilmuannya sehingga ia menjadi ‘Élim muÍaqqiq
26

Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350), MiftÉÍ DÉr asSa‘Édah wa MansyËr WilÉyat al-‘Ilm wa ’l-IrÉdah, 2 jilid (Beirut:
DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), jilid 1, hlm. 140.

14

dan ‘Érif mudaqqiq, yakni mampu menetapkan
yang benar dan menerangkan secara terperinci,
saking pakarnya dan saking kenalnya ia dengan
apa yang ditanganinya. Dan ini dikarenakan
Allah telah memberinya ilmu eksternal maupun
internal, eksoteris maupun esoteris, sedemikian
kuat dasarnya mengenai rahasia-rahasia Syari’ah
baik secara keilmuan dan perbuatan (fa-rasakha
qadamuhu fÊ asrÉr as-SyarÊ ‘ah ‘ilman wa ÍÉlan wa
‘amalan).

Tiga Ciri Ulama
Sampai di sini dapat kita simpulkan bahwa
ulama adalah orang-orang yang mempunyai
kepahaman akan agama Allah kemudian ia
menguasai dan mengajarkannya (man faquha fi
dÊnillah fa-‘alima wa ‘allama). Bukan hanya itu,
para ulama adalah orang-orang yang terdapat
padanya sifat-sifat [i] keilmuan, [ii] kebaikan,
dan [iii] keunggulan (man ijtama‘at fÊhim khiÎÉl
al-‘ilm wa al-khayr wa al-faÌl).
Karakteristik pertama bisa diketahui dari
kesaksian para ulama lain, pandangan, penilaian,
pengakuan dan pujian dari mereka kepadanya.
Kata Imam as-SyÉÏibÊ (w. 790/1388) dalam
kitab al-I‘tiÎÉm, “Seorang alim yang tidak atau
belum diakui keilmuannya oleh para ulama
maka statusnya masih seperti sebelumnya,
yaitu dianggap tidak berilmu sampai ada yang
memberikan kesaksian berdasarkan apa yang ia
ketahui sesungguhnya (wa l-‘Élim idzÉ lam yasyhad
lahu l-‘ulamÉ’ fa-huwa ‘ala l-aÎl min ‘adami l-‘ilm ÍattÉ
yasyhada fihi ghayruhu wa ya‘lama huwa min nafsihi
ma syahida lahu).27
Karakteristik kedua mestilah seorang ulama
itu dikenal luas sebagai orang sholeh, berkata
benar dan bisa dipercaya serta dapat menjadi
panutan umat dan penyuluh bagi masyarakat.
Meminjam ungkapan Ibn Taymiyyah (w.
728/1328), “Wa man lahu fi l-ummah lisÉnu Îidqin
‘Émm bi-Íaytsu yutsnÉ ‘alayhi wa yuÍmadu fi jamÉhÊri
ajnÉsi l-ummah, fa-hÉ’ulÉ’i a’immatu l-hudÉ wa maÎÉbÊÍu
d-dujÉ”.28
Begitu pula karakteristik ketiga, yaitu
kelebihan atau keunggulan dibanding orangorang sekelasnya baik secara mental, moral,
27

28

AbË IsÍÉq as-SyÉÏibÊ (w. 790/1388), al-I‘tiÎÉm, ed. AbË
‘Ubaydah Ól-SalmÉn 4 jilid (Bahrain: Maktabat at-TawÍÊd,
1421/2000), jilid 3, hlm 242.
Ibn Taymiyyah (w. 728/1328), MajmË ‘ FatÉwÉ Syaykh al-IslÉm
(Riyadh: DÉr ‘Ólam al-Kutub, 1991), jilid 11, hlm 43.

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

spiritual maupun kecerdasan sosial dan lain-lain.
Ini pun dapat diketahui atau mudah terlihat oleh
orang-orang yang mempunyai kualitas tersebut,
seperti kata ahli hikmah, “la ya‘rifu l-faÌla illÉ dzË
faÌlin”.
Di samping dan di atas itu semua, ulama
adalah orang-orang yang berjuang di jalan
Allah (yujÉhidËna fi sabÊlillah), membela dan
menyiarkan agama Allah, berusaha menegakkan
dan meninggikan kalimat Allah di muka bumi
ini, dengan segala apa yang dimilikinya –harta
maupun jiwa raganya (bi-amwÉlihim wa anfusihim)tanpa keragu-raguan (tsumma lam yartÉbË)
walau sedikitpun dan tanpa pamrih karena
mengharapkan keridhoan Allah semata-mata.
Mereka itulah ulama
sejati, ulama rabbani,
dan ulama akhirat
(dalam istilah Imam alGhazÉlÊ).

‘ÔsÉ a.s. yang diburu oleh ‘polisi’ Romawi. 29
Hubungan ulama dengan para penguasa
memang cukup variatif. Pada kurun pertama
Hijriah, dimana para ulama’ yang merupakan
Sahabat Nabi berperan aktif dalam politik dan
pemerintahan, tidak terjadi kesenjangan antara
ulama dan khulafÉ’. Sayyidina ‘AlÊ yang berperan
sebagai penasehat kepala negara pada masa
pemerintahan Khalifah AbË Bakr, ‘Umar dan
‘UtsmÉn r.a. kita ketahui kemudian menjabat
sebagai khalifah yang keempat. Baru di masa
sesudahnya kita mendapat laporan mengenai
ketegangan hubungan antara sebagian ulama
dengan penguasa. Misalnya kasus al-×ajjÉj
ibn YËsuf (w. 95/714). Gubernur Iraq yang
sangat otoriter dan opresif
kepada rakyat ini suka main
tangkap, memenjarakan
dan bahkan menghukum
mati lawan-lawan politik
“Sebagian ulama bahkan maupun orang-orang yang
Ulama dan
dicurigainya. Termasuk
Pemerintah
tidak takut berhadapan para ulama yang menjadi
korban kezalimannya adalah
Sebagai orang-orang
dengan pemerintah yang JÉbir bin ‘AbdillÉh, Sa‘Êd
cerdas dan bijak, para
bin Jubayr dan Kumayl ibn
ulama sebagaimana
zalim dengan segala
ZiyÉd r.a.
nabi-nabi terdahulu
Mungkin karena
sangat peduli kepada
resikonya.”
kecenderungan penguasa
nasib bangsa dan tanah
di manapun untuk berlaku
tumpah darahnya. Para
korup dan zalim, tidak
ulama sadar betul akan
sedikit ulama generasi
tugas mereka sebagai
berikutnya yang mulai
penuntun dan pembela
mengambil jarak dari para penguasa. Bukan
umat seperti dicontohkan Nabi NËh dan Nabi
karena takut, akan tetapi untuk menjaga
IbrÉhÊm a.s. yang menyeru para penyembah
independensi mereka sebagai pemegang
berhala supaya tobat sebelum turun azab.
otoritas agama. Sebutlah sebagai contoh Imam
Pun Nabi LËÏ a.s. yang menyuruh bangsanya
Ja‘far aÎ-ØÉdiq (w. 148/765) yang menolak
berhenti melakukan hubungan sesama jenis
bay‘at politik kaum Syi‘ah, dan Imam Abu
(homoseksual), Nabi Syu‘ayb a.s. yang berjuang
×anÊfah (w. 150/767) yang, meski dipaksa
menghentikan kecurangan (korupsi) para
dengan kekerasan, tetap menolak jabatan qÉÌÊ
pedagang, dan Nabi MËsÉ a.s. yang melawan
(semacam hakim agung) dari khalifah waktu itu.
tirani Fir‘aun beserta hulu-balangnya. Dengan
petunjuk wahyu, ilmu, hikmah dan mukjizat
29
Lihat: Ibn KatsÊr, QiÎaÎ al-AnbiyÉ’ (Kairo: DÉr al-Kutub,
dari Allah, para nabi itu secara konsisten
1968/1388); al-KisÉ’Ê, QiÎaÎ al-AnbiyÉ’, ed. Isaac Eisenberg
(Leiden: Brill, 1923) = The Tales of the Prophets of al-KisÉ’Ê, terj.
menggempur kebatilan dan kemungkaran,
W. M. Thackston Jr. (Boston: Twayne Publishers, 1987);
menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka
Tilman Nagel, Die QiÎaÎ al-AnbiyÉ’: Ein Beitrag zur arabischen
Literaturgeschichte (PhD diss. Univ. of Bonn, 1967); ‘ArÉ’is
bahkan berani mempertaruhkan nyawa
al-majÉlis
fÊ qiÎaÎ al-anbiya’ Or Lives of the Prophets as Recounted by
berhadapan dengan aparat negara, seperti
AbË IsÍÉq AÍmad Ibn MuÍammad Ibn IbrÉhÊm Al-Tha‘labÊ, terj.
halnya Nabi MËsÉ, Nabi ZakariyyÉ dan Nabi
William Brinner (Leiden: Brill, 2002); dan Robert Tottoli,
Biblical Prophets in the Qur’an and Muslim Literature (Richmond,
Surrey: Curzon Press, 2002).

15

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

Mereka ini lebih memilih untuk menjadi guru
dan mufti daripada menjadi pejabat negara.30
Sebagian ulama bahkan tidak takut
berhadapan dengan pemerintah yang zalim
dengan segala resikonya. Contohnya Imam
AÍmad ibn ×anbal (w. 241/855) yang gigih
mempertahankan kebenaran. Tatkala semua
orang dipaksa oleh pemerintah untuk menelan
doktrin keberwaktuan, kebaharuan, dan
kemakhlukan al-Qur’an, Imam AÍmad dengan
tegas menentangnya. Akibat keteguhan
sikapnya itu beliau ditangkap, dipenjara dan
disiksa oleh aparat negara di Baghdad.31 Bagi
para ulama sejati sekaliber beliau, masalah
akidah tidak bisa ditawar-tawar.
Sikap prihatin terhadap kondisi masyarakat
dan kritis terhadap pemerintah telah banyak
dicatat oleh ahli-ahli sejarah. Suatu hari, MÉlik
bin DÊnÉr, seorang tokoh ulama yang disegani,
mendatangi Gubernur Basrah waktu itu dan
berkata kepadanya, “Wahai pemimpin, aku
telah membaca di salah satu kitab bahwa Allah
berfirman: Tidak ada yang lebih dungu dari
penguasa, dan tidak ada yang lebih bodoh dari
pendosa, dan tidak ada yang lebih mulia dari
orang mengagungkanKu! Wahai ‘penggembala’
yang buruk, Aku titipkan kepadamu kambingkambing yang sehat gemuk, kemudian kamu
makan dagingnya, pakai bulunya, dan tinggalkan
tulang-tulangnya berserakan!”32
Pernah juga dalam perjalanan ke Mekkah,
SulaymÉn bin ‘Abdil Malik, penguasa Bani
Umayyah mengirim utusan kepada Abu
×Ézim al-MakhzËmÊ, yang dijuluki al-A‘raj (w.
30

31

32

Untuk ulasan seputar ini, lihat: Muhammad Khalid Masud,
“A Study of WakÊ‘’s (d. 306/917) AkhbÉr al-QuÌÉt” dalam The
Law Applied: Contextualizing the Islamic Shari‘a, ed. Peri Bearman,
Bernard G. Weiss, Wolfhart Heinrichs (London: I.B. Tauris,
2008), hlm. 120-125; Knut S. Vikør, Between God and the Sultan:
A History of Islamic Law (Oxford: Oxford University Press,
2005), hlm. 188; dan Islam and Power (RLE: Politics of Islam),
ed. Alexander S. Cudsi dan E. Hillal Dessouki (London:
Routledge, 2015).
Tentang kehidupan dan keilmuan beliau, lihat Ibn al-JawzÊ
(w. 597/1201), ManÉqib al-ImÉm AÍmad ibn ×anbal (Kairo:
Maktabat al-KhÉnjÊ, 1349/1930) = The Life of Ibn ×anbal, terj.
Michael Cooperson (Albany: New York University Press,
2016); Walter M. Patton, AÍmed ibn ×anbal and the MiÍna:
A Biography of the Imam including an Account of the Mohammedan
Inquisition called the MiÍna, 218-234 A.H (Leiden: E.J. Brill,
1897); Nimrod Hurvitz, AÍmad Ibn ×anbal and the Formation
of Islamic Orthodoxy (PhD Diss. Princeton University, 1994);
dan Christopher Melchert, AÍmad ibn ×anbal (Oxford:
Oneworld, 2006).
Imam al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ ‘ulËm ad-dÊn, cet. Ke-4 (Damaskus:
DÉr al-Khayr, 1417/1997), jilid 2, hlm. 230.

16

140/757), seorang ahli hadis dan fiqh yang
menjadi hakim di Madinah waktu itu. Setibanya
beliau di hadapannya, sang penguasa bertanya,
“Wahai Abu ×Ézim, apa sebab kami membenci
kematian?” Beliau menjawab, “Karena kalian
telah memporak-porandakan kehidupan akhirat
kalian dan menata megah kehidupan dunia
kalian, sehingga kalian tidak ingin berpindah
dari tempat yang tertata megah ke tempat yang
hancur porak-poranda.” 33 Demikianlah para
ulama sejati menasehati dan mengingatkan para
penguasa yang lupa akhirat
Namun, hubungan relatif dekat antara ulama
dan pemerintah juga cukup banyak dilaporkan.
Kedekatan ini dalam arti persahabatan
ataupun hubungan guru-murid, dimana ulama
memosisikan diri mereka sebagai pendamping
dan pembimbing pemerintah. Inilah yang
kita temukan dalam hubungan yang terjalin,
misalnya, antara Imam FakhruddÊn ar-RÉzÊ
dan ‘AlÉ’uddÊn MuÍammad ibn Tekisy yang
memerintah propinsi Khwarazm/Transoxania
dari tahun 596/1200 hingga 617/1220. Penguasa
yang nota bene panglima militer ini sangat
menghormati dan memuliakan ulama. Imam
ar-RÉzÊ tidak hanya diberikan tanah wakaf untuk
membangun sekolah tinggi tetapi juga sebuah
‘istana’ untuk tempat tinggal beliau sekeluarga.34
33

34

Imam al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ ‘ulËm ad-dÊn, cet. Ke-4 (Damaskus:
DÉr al-Khayr, 1417/1997), jilid 2, hlm. 230.
Frank Griffel, “On Fakhr al-DÊn al-RÉzÊ’s Life and the
Patronage He Received,” dalam Journal of Islamic Studies 18/3
(2007), hlm. 330: “Fakhr al-DÊn became a government official,
entrusted with the religious endowments and schools not only in Herat
but ‘in all the regions of the Sultan and that [comprises] many cities.’

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

Kedudukan ulama sebagai penasehat
khalifah atau sultan, meskipun tidak berbentuk
lembaga semacam ‘dewan pertimbangan
presiden’ (Wantimpres), semakin kukuh di masa
pemerintahan Mameluk35 dan Turki Utsmani.36
Tidak sedikit para ulama yang memangku jabatan
resmi di pemerintahan sebagai penasehat, duta
besar, dan hakim pengadilan (“The Umayyad
and ‘Abbasid caliphs relied on scholars as advisers and
ambassadors and employed ‘ulama’ as judges”), tulis
J.E. Gilbert mengungkap hasil penelitiannya
terhadap sumber-sumber sejarah Islam Abad
Tengah.37 Dengan kata lain, mereka menjadi
bagian dari birokrasi negara.38 Mungkin karena
ini beberapa sarjana Barat memasukkan ulama
ke dalam golongan kaum ‘elit sipil’, yang berada
di tengah antara elit militer yang berkuasa dan
rakyat biasa yang diperintah.39
Penting juga diketahui bahwa di era modern,
yakni sesudah tahun 1500 Masehi hingga
abad keduapuluh, pengaruh ulama yang justru
menguat walaupun gelombang kritik dari
golongan modernis dan nasionalis sekularis
bertubi-tubi menerpa membuktikan bahwa

35

36

37

38

39

The Khwarazmshah gave Fakhr al-DÊn the Ghurid palace in Herat
as a residence, where his family continued to live even after his death.”
Sumbernya antara lain Ibn al-AtsÊr, al-KÉmil fi ’t-TarÊkh, xii.
149–52, 162, 172–6 dan Ibn AbÊ Usaybi‘ah, ‘UyËn al-anbÉ’
2:24.24 dan 2:26.20.
Mengenai ini lihat Yaacov Lev, “Symbiotic Relations: Ulama
and the Mamluk Sultans” dalam jurnal Mamluk Studies Review
vol. XIII, no.1 (2009), hlm. 1-26; Daniella Talmon-Heller,
“Religion in the Public Sphere: Rulers, Scholars, and
Commoners in Syria under the Zangid and Ayyubid Rule
(1150–1260),” dalam The Public Sphere in Muslim Societies,
ed. Miriam Hoexter et al. (Jerusalem, 2002), hlm. 59ff;
Bernadette Martel-Thoumian, Les civils et lʼadministration dans
lʼetat militaire mamlūk (IXe/XVe siècle) (Damaskus: IFAO,
1992); dan Ira M. Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle
Ages (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1967),
hlm. 107-115.
Richard Repp, “Some Observations on the Development
of the Ottoman Learned Hierarchy,” dalam Scholars, Saints,
and Sufis, ed. by Nikki Keddie (Berkeley: University of
California Press, 1972), hlm. 17-32 dan Amit Bein, Ottoman
Ulema, Turkish Republic: Agents of Change and Guardians of Tradition
(Stanford, CA.: Stanford University Press, 2011).
Joan E. Gilbert, “Institutionalization of Muslim Scholarship
and Professionalization of the ‘Ulamā’ in Medieval
Damascus,” dalam jurnal Stvdia Islamica (Paris) vol. 52 (1980),
hlm. 113.
Tentang ulama yang menjadi menteri, lihat Herbert W.
Mason, Two Statesmen of Medieval Islam. Vizier Ibn Hubayra
(499–560 AH/ 1105–1165 AD) and Caliph an-NÉÎir li-DÊn Allah
(553–622 AH/1158–1225 AD) (Den Haag: Mouton, 1972) dan
Angelika Hartmann, an-NÉÎir li-DÊn AllÉh (1180–1225): Politik,
Religion, Kultur in der späten ‘Abbasidenzeit (Berlin: de Gruyter,
1975).
Carl F. Petry, The Civilian Elite of Cairo in the Later Middle Ages
(Princeton: Princeton University Press, 1981).

17

umat tidak mungkin hidup tanpa ulama.
Umat membutuhkan tuntunan dan teladan
ulama. Di tengah situasi politik yang sering
tidak menentu, ulama menjadi panutan dan
rujukan, tumpuan harapan dan kekuatan moral
tersendiri dalam menentang kezaliman dan
keangkuhan penjajah asing. Pada zaman kolonial
dan pasca kemerdekaan, semangat membela
tanah air amat jelas terlihat dari Aceh hingga
Ternate. Para ulama ketika itu berperan aktif
dalam peperangan melawan Belanda. Sebagian
melalui tulisan, sebagaimana dilakukan oleh
Syekh ‘Abdus-Øamad al-FalimbÉnÊ dengan
risalah jihadnya dan K.H. Hasyim Asy‘ari
dengan resolusi jihadnya, sementara sebagian
yang lain terjun langsung ke medan perang
untuk bertempur seperti halnya Syekh Yusuf
di Banten, Fatahillah di Jakarta, dan K.H. Noer
Ali di Bekasi. Patriotisme ulama memang bukan
fenomena baru. Ibn Taymiyyah yang ikut dalam
pertempuran menghadang invasi tentara Tatar
di Mesir salah satu contohnya.
Bagaimanakah posisi ulama di zaman kita
sekarang? Apakah mereka sudah dipinggirkan
atau ditinggalkan? Kendati banyak yang
mengira demikian, kenyataan di berbagai
belahan dunia Islam justru menunjukkan
sebaliknya. Pengaruh ulama tetap kukuh dan
kiprah mereka semakin terasa, baik melalui
fatwa-fatwa yang dikeluarkan, karya-karya
yang diterbitkan, maupun lembaga-lembaga
pendidikan dan organisasi-organisasi yang
mereka dirikan, seperti yang kita saksikan di
Indonesia dengan ribuan pesantren Nahdlatul
Ulama (NU), sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis,
Hidayatullah, dan lain sebagainya. Maka tidak
berlebihan jika ada yang menyimpulkan bahwa
para ulama telah berhasil merespon tantangan
zaman dan masyarakat yang terus berubah:
“the ‘ulama have not only continued to respond—
admittedly, with varying degrees of enthusiasm
and success—to the challenges of changing
times; they have also been successful in enhancing
their influence in a number of contemporary
Muslim societies, in broadening their audiences,
in making significant contributions to public
discourses, and even in setting the terms for such
discourses. In many cases, they have also come to
play significant religio-political activist roles in
contemporary Islam. The ‘ulama’s institutions

, VOLUME XI, NO. 1, FEBRUARI 2017

of learning have grown dramatically in recent
decades.” 40
Pengamatan ini tentunya perlu diimbangi
dengan pendapat yang menafikan keseragaman
ulama karena adanya sebagian dari mereka yang
konservatif menolak perubahan, modernisasi
dan sekularisasi padahal sebagian lain yang
‘progresif’ beramai-ramai menerimanya: “During
the course of Islamic history the ulama have been both
proponents of social change and preventers of it. In diverse
times and places ‘ulama’ have either shunned or accepted
state appointments”.41

Penutup
Jika ‘intelektual’ di Eropa adalah sebutan
bagi mereka yang tidak mau setia atau terikat
kecuali pada pemikirannya sendiri (bahkan tidak
kepada bangsa, negara, dan agamanya sekalipun
–sehingga berarti juga tidak nasionalis, tidak
patriotis dan tidak religius); dan jika intelektual
ialah mereka yang selalu berseberangan dengan
penguasa, senantiasa kritis dan memberontak
terhadap segala bentuk kemapanan atau status
quo; dan jika mereka adalah orang-orang yang
‘berumah di atas angin’ serta tidak membumi
(déracinés), tak punya kuasa dan hanya pandai
bicara; maka intelektual bukanlah ulama.
Lafaz ulama memang secara bahasa berarti
orang berilmu, tetapi menurut Imam al-GhazÉlÊ
tidak semua orang berilmu layak disebut ulama.
Hal ini karena, menurut beliau, keulamaan
bukan semata-mata soal pengetahuan atau
kepakaran, akan tetapi soal ketakwaan dan
kedekatan pada Tuhan. Ulama sejati adalah
mereka yang tidak hanya dalam dan luas
ilmunya tetapi juga tinggi rasa takutnya kepada
Allah dan bersih batinnya dari bayangan
palsu (ightirÉr alias ghurËr) mengenai dirinya.
Beliau menamakan orang-orang berilmu yang
mengidap penyakit rohani ini sebagai “ulama
busuk” (‘ulamÉ’ as-sË’), yang tidak hanya sia-sia
ilmunya akan tetapi justru membahayakan diri
mereka sendiri maupun orang lain. Di zaman
Nabi Musa, peran ‘ulamÉ’ sË’ ini dimainkan

oleh as-SÉmirÊ. Adapun di zaman kita sekarang,
‘ulama’ semacam ini cenderung nyeleneh, suka
memutarbalikkan yang benar dan yang salah,
menisbikan kebenaran dan kebaikan atas nama
hak asasi manusia (HAM), konsitutusi dan
demokrasi, menganjurkan sekularisme dan
pluralisme, membolehkan perilaku LGBT, dan
sebagainya.
Berbeda dengan para ulama yang telah
digambarkan ciri-cirinya di atas, intelektual
boleh jadi ateis, komunis, hedonis, liberalis,
sekularis, dan pluralis. Para ulama sejati sudah
pasti muslim yang beriman. Mereka tidak
akan durhaka kepada Allah dan tidak mungkin
mengikuti ideologi-ideologi keliru serta
menyesatkan. Maka, andaikata ada orang-orang
yang disebut ulama, dianggap ulama, ataupun
merasa dirinya ulama, tetapi menunjukkan ciriciri yan

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

"REPRESENTASI BUDAYA JEPANG DALAM FILM MEMOIRS OF A GEISHA"(Analisis Semiotika pada Film Memoirs Of a Geisha Karya Rob Marshall)

11 75 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

Enriching students vocabulary by using word cards ( a classroom action research at second grade of marketing program class XI.2 SMK Nusantara, Ciputat South Tangerang

12 142 101

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22