Masih Relevan kah PBB dalam Menjaga Perd

  Januari 2015 Masih Relevan-kah PBB dalam Menjaga Perdamaian Dunia? Oleh : Q uincy Aousty de Neve

  IR 16-3C --- 2012160738

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Dunia ini tidak pernah luput dari konflik. Sebuah konflik diyakini tidak akan selesai kecuali identitas masyarakatnya telah hilang secara fisik maupun non fisik (Kriesberg: 2008). Kekejaman dan pertumpahan darah yang terjadi pada jaman Perang Dunia II memunculkan ide bagi kaum liberalis untuk menghidupkan kembali LBB (karena LBB sebelumnya dianggap gagal) dan mengubah namanya menjadi PBB pada tahun 1945. Tujuannya masih sama, yakni untuk memberantas kejahatan dan peperangan dengan kekuatan konferensi atau diplomasi sehingga masyarakat di dunia bisa hidup dengan aman tanpa adanya peperangan. Tentunya kekuatan konferensi belum cukup untuk menyelesaikan suatu konflik. Dewan Keamanan PBB, dalam mencapai tujuannya, juga didukung oleh panitia staf militer, panitia pelucutan senjata, dan pasukan PBB.

  Ketika Piagam PBB ditandatangani oleh 5 anggota tetap Dewan Keamanan PBB, negara-negara tersebut telah sepakat untuk bersama-sama berusaha mencegah terjadinya Perang Dunia yang ketiga. Jika dilihat secara umum, hingga saat ini tidak pernah terjadi Perang Dunia ketiga. Jadi, jika ingin disimpulkan secara langsung melihat situasi tersebut, PBB ‘kasarnya’ telah berhasil menjaga dunia dari terjadinya Perang Dunia yang ketiga. Bagaimana tidak? Seluruh negara anggota diwajibkan untuk menyelesaikan pertikaian mereka dengan cara damai demi mempertahankan perdamaian, keadilan dan menjaga keamanan internasional. Tidak boleh ada kekerasan apalagi ancaman yang dilakukan oleh negara anggota. Namun, apakah terbebas dari Perang Dunia ketiga menjadi satu-satunya tolak ukur bahwa dunia ini sudah didalam keadaan yang damai?

  Hak veto yang diperuntukkan khusus untuk 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB sering dilanda kritik oleh masyarakat negara lain (selain negara anggota tetap), terutama kaum realis. Karena adanya hak veto ini lah, para kaum realis menilai bahwa PBB hanya semata-mata dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara anggota tetap tersebut. Dari awalnya saja sudah bisa dilihat terdapat diskriminasi, dengan hak veto maka kelima negara anggota akan selamanya mendominasi negara-negara anggota bukan tetap di Dewan Keamanan PBB. Apakah hal ini adil? Yang memenangi Perang Dunia II dapat terus menerus ‘menguasai’ dunia dengan menggunakan PBB yang sejatinya harus menjunjung tinggi perdamaian dunia? Pembentukan PBB (yang awalnya LBB) bisa dilihat merupakan muncul untuk membentuk suatu organisasi yang kekuatannya dianggap berada diatas sebuah negara demi menjaga perdamaian antar negara. Namun, melihat perkembangannya hingga saat ini, apakah PBB berhasil menjaga dunia dari konflik-konflik regional maupun internasional? Bisakah Anda menyatakan bahwa dunia ini sudah dalam keadaan damai? Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis menyusun makalah yang berjudul “Masih Relevan-kah PBB dalam Menjaga Perdamaian Dunia?”.

1.2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang penulisan makalah ini, berikut terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas di bab berikutnya :

  1.2.1. Konflik apa saja yang pernah berhasil diselesaikan oleh PBB?

  1.2.2. Konflik apa saja yang pernah gagal ditangani oleh PBB?

  1.2.3. Seperti apa pandangan tokoh realis terhadap relevansi Dewan Keamanan PBB?

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Konflik yang Berhasil Ditangani oleh PBB

  Seburuk-buruknya atau sejelek-jeleknya sebuah organisasi, tidak boleh dilupakan bahwa organisasi tersebut pasti memiliki sejumlah pencapaian. Seperti berikut ini yakni beberapa konflik yang berhasil ditangani oleh PBB.

2.1.1. Konflik Sierra Leone

  Sierra Leone adalah negara yang sangat kaya dengan berlian. Namun, akibat pemerintahan yang buruk di bawah Siaka Stevens, muncullah sekelompok pemberontak yang menamakan dirinya sebagai Revolutionary United Front (RUF). Hal inilah yang menjadi awal mula terjadinya konflik antara RUF dan pemerintah Sierra Leone selama 11 tahun lamanya, dimulai tahun 1991 dan berakhir pada tahun 2002. Hal utama yang mencemari konflik internal di Sierra Leone ini tidak lain yaitu eksploitasi berlian. Konflik bersenjata ini telah merampas 75.000 nyawa warga sipil Sierra Leone dan sebanyak 500.000 masyarakat mengungsi dari negara yang berada di Afrika Barat dan berbatasan dengan Liberia tersebut.

  Menyetujui permintaan dari Presiden Sierra Leone, PBB mulai turun tangan untuk menangani konflik ini pada bulan November 1994. Pada saat itu, Presiden Sierra Leone mengirimkan surat kepada Sekjen PBB supaya organisasi internasional ini memberikan bantuan supaya dapat terjadi negosiasi antara pamerintah Sierra Leone dengan RUF. Dengan demikian, PBB mengambil langkah awal yakni menjalakan misi eksploratif yang dimana pada misi ini konflik yang terjadi dianalisa secara mendalam. Selama 3 tahun konflik tersebut berlangsung, Sierra Leone sudah struktural. Semua karena berlian. Berlian telah membutakan hati nurani anggota RUF maupun pemerintah pada saat itu. Bagaimana tidak? Para anggota RUF menggunakan berlian demi membeli persenjataan dari tentara pemerintah.

  Setelah misi eksploratif selesai, PBB mengirim utusan khusus dari Berhanu Dinka dan Ethiopia untuk membuat negosiasi terhadap perjanjian yang mengutamakan pengembalian asas pemerintahan di tangan rakyat. Selama itu, masyarakat diperlakukan secara tidak adil dan nasib mereka ditentukan oleh pemerintah. Dalam melakukan misinya, PBB bekerjasama dengan organisasi regional yaitu Organization of African Unity (OAU) dan Economic Community of West African States (ECOWAS) sehingga mediasi dan perundingan perumusan solusi bisa terealisasikan. PBB selain itu juga menempatkan sejumlah pengawas perdamaian dan juga dilakukannya pelucutan senjata preventif. Pengawas perdamaian yang dikerahkan disebut sebagai “Blue Helmet”. Sedangkan pelucutan senjata preventif bertujuan untuk mengurangi jumlah senjata ringan di sejumlah wilayah konflik seperti El Salvador dan Mozambique. Pengurangan jumlah senjata dilakukan dengan cara menghancurkan senjata-senjata kemarin sehingga tidak terjadi peperangan di masa yang akan datang.

2.1.2. Sengketa Amerika Serikat dan Irak

  Sengketa yang terjadi pada tahun 1998 ini disebabkan oleh pemerintah Irak yang bersikeras melarang peninjau PBB, UNSCOM (United Nations Special Commission), untuk memeriksa keberadaan senjata pemusnah missal yang diduga disembunyikan di Irak. AS sangat mendesak untuk diadakan peninjauan dan hal ini sempat membuat sejumlah negara di dunia khawatir akan terjadinya perang terbuka di Timur Tengah. Namun, ketakutan dunia tersebut berhasil dibuang jauh oleh Kofi Annan (Sekjen PBB), ia berhasil membuat kesepakatan baru yakni ketersediaan untuk membuka dan mengijinkan wilayah-wilayahnya untuk dikunjungi dan diperiksa oleh tim pengawas PBB.

  Dalam upayanya tersebut, Kofi Annan menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai negara misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Perancis, Qatar dan Kanada. Disini, PBB ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa konflik antar dua atau lebih negara bisa diselesaikan asal seluruh dunia mau bekerjasama

2.2. Konflik yang Gagal Ditangani oleh PBB

  Keberhasilan PBB dalam menangani konflik Sierra Leone dan sengketa Amerika-Irak merupakan dua contoh dari sekian banyak kasus lainnya. Jika melihat keadaan dunia saat ini, sungguh jelas terlihat bahwa PBB sepertinya sudah tidak cocok lagi dengan tujuan yang mereka tetapkan (menjaga perdamaian dunia). Berikut merupakan beberapa contoh kasus yang gagal ditangani oleh Dewan Keamanan PBB.

2.2.1. Genosida di Rwanda

  “Banyak personil PBB dan lain-lainnya menunjukkan keberanian yang luar biasa. Tapi, kita bisa melakukan lebih banyak lagi. Di Rwanda, pasukan ditarik ketika sangat dibutuhkan. Rasa malu masih menempel pada generasi setalah peristiwa itu.”

  Diatas merupakan pernyataan dari Sekjen PBB, Ban Ki-moon, yang mengungkapkan bahwa PBB masih dihantui rasa malu bahwasannya mereka dianggap gagal oleh dunia dalam menindak lanjuti genosida di Rwanda 20 tahun lalu.

  Konflik antar etnis Hutu dan Tutsi yang memakan hampir 1 juta lebih korban jiwa ini, membuat dunia melihat bahwa Rwanda gagal menjamin keamanan masyarakatnya sendiri. Maka dari itu, konflik ini meskipun merupakan konflik regional, mampu menjadikan ancaman bagi dunia karena para pemimpin maupun masyarakat di masing-masing negara menjadi takut dan tidak mau genosida seperti di Rwanda terjadi di negara mereka.

  Lantas, dimana kah PBB pada saat itu? PBB menolak para anggota Dewan Keamanan untuk melakukan tindakan militer disana. Pada saat konflik semakin membara, PBB menurunkan pasukan penjaga perdamaiannya hanya untuk menolong dan mengevakuasi warga asing yang ada di Rwanda. Hal yang janggal? Tentu ya. Bukan berarti para warga asing tidak boleh ditolong, tentu boleh. Namun, bukankah seharusnya para penduduk Tutsi yang dijadikan prioritas? Mereka lah yang secara habis-habisan dibantai pada saat itu. Namun, kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Pasukan penjaga perdamaian asal Belgia justru meninggalkan sebuah sekolah dimana mereka menjaga 2000 pengungsi Tutsi yang berlindung didalamnya. Sesaat setelah pasukan Belgia pergi, para milisi Hutu langsung memasuki sekolah itu dan membunuh semua orang yang ada di dalamnya. Empat hari kemudian, Dewan

  Maka dari itu, PBB dinyatakan gagal dalam menangani konflik yang terjadi di antara suku Hutu dan Tutsi. Suku Hutu yang menguasai pemerintahan Rwanda menyebabkan kedudukan PBB menjadi lebih rendah dari suatu negara (yang seharusnya justru lebih tinggi). Tidak banyak hal yang bisa diperbuat oleh PBB dalam meredakan konflik ini. PBB seharusnya bisa mengintervensi dan mendorong pengupayaan perdamaian pada saat itu.

  Perang Kongo ke-2 yang disebabkan oleh pembersihan etnis yang dilakukan oleh pemimpin baru Zaire pada waktu itu, Laurent Kabila, dan berlangsung dari tahun 1998 kemudian berakhir pada tahun 2003. Kabila membuat kebijakan dan memulainya dengan aksi pembersihan di pemerintahan Republik Demokrasi Kongo yang terdiri dari staf penduduk Rwanda untuk kembali ke negara mereka. Selain itu, Kabila juga mengusir pasukan Uganda dan Rwanda yang tersisa di Kongo. Karena cara Kabila memerintah dianggap tidak relevan, muncullah kelompok pemberontak anti-Kabila yang berhasil mengambil alih kota Uvira dan Bukavu di Kongo. Melihat adanya pemberontak, Kabila pun tak mau kalah dan membentuk kelompok milisi bernama Mai-Mai untuk melawan para pemberontak. Dalam perang ini, para warga sipil bersama-sama menahan pergerakan para pemberontak.

  Konflik ini pun semakin lama kian marak dan memakan semakin banyak korban jiwa. Dan akhirnya, Kabila pun berhasil dienyahkan pada tanggal 16 Januari 2001. Pada saat itu, pengawal pribadi Kabila melakukan upaya pembunuhan dengan menembak Kabila di Zimbabwe. Tetapi, Kabila selamat dalam peristiwa penembakan tersebut. Kabila meninggal dunia dua hari kemudian akibat luka tembakan yang didapatinya tersebut bertambah parah.

  Pada bulan Februari tahun 2000, PBB mengirimkan pasukan penjaga perdamaian guna untuk memantau proses perdamaian. Namun, para pasukan PBB ini gagal dalam menjalankan tugasnya sehingga kegagalan mereka tersebut harus dibayar dengan tewasnya 54 juta orang karena terbunuh, ribuan anak-anak di rekrut sebagai prajurit perang, dan perempuan banyak yang diperkosa pada waktu itu. Meskipun PBB sudah mengeluarkan ultimatum terkait konflik ini, nyatanya ultimatum tersebut tidak berhasil meredakan konflik secara keseluruhan.

  Banyak pihak-pihak yang mendesak supaya Dewan Keamanan PBB segera mengambil langkah dalam menangani krisis di Ukraina. Krisis yang terjadi tersebut telah memakan korban banyak. Seperti yang telah dilansir oleh Reuters, sebuah laporan dari PBB pada September 2014 memperkirakan sekitar 2.600 orang tewas sejak konflik meletus di Ukraina timur pada pertengahan April 2014, sementara sebanyak kurang lebih 400 ribu penduduk mengungsi ke wilayah lain Ukraina.

  Konflik di Ukraina Timur yang terjadi antara pasukan Ukraina dan pasukan pemberontak pro-Rusia ini berlangsung sejak April 2014. Konflik terjadi dikarenakan pemerintah Kiev yang meluncurkan operasi guna untuk menguasai kembali daerah yang sebelumnya berada di dalam genggaman tangan para pendukung Rusia. Para pemberontak pro-Rusia ini dituduh oleh Ukraina bahwa persenjataannya didukung langsung oleh Rusia. Namun, Rusia menampik tudingan tersebut.

  Pertumpahan darah pun terus berlangsung, gencatan sejata terus dilakukan meskipun beberapa kali telah dilanggar. Badan keamanan Eropa (OSCE) juga sudah turun tangan dengan melakukan pengawasan di wilayah timur dan perbatasan dengan Rusia. Tetapi apadaya, para pengawas dari badan keamanan mengaku tidak sanggup karena mereka ditembaki oleh tentara berseragam yang beroperasi di daerah tersebut.

  Sekjen PBB, Ban Ki-moon, pada September 2014 lalu mengatakan, bahwasannya tidak ada solusi militer dalam konflik Ukraina. Yang bisa dilakukan oleh kedua negara yakni melangsungkan dialog politik. Singkat cerita, Pemerintah Ukraina dan kelompok pemberontak pro-Rusia pun berhasil menyepakati sebuah memorandum pada akhir bulan September 2014. Memorandum tersebut merupakan kesepakatan untuk membentuk zona penyangga 30km, larangan terbang bagi pesawat militer di atas Ukraina Timur, serta menarik mundur tentara bayaran dari kedua pihak.

  Nampaknya, memorandum yang baru berjalan selama 4 bulan ini tidak memusnahkan keinginan para pemberontak pro-Rusia untuk menyerang wilayah yang dikuasai pemerintah Ukraina. Pada 24 Januari 2015, sebanyak 15 orang dilaporkan tewas dan 46 lainnya luka-luka akibat serangan roket yang diluncurkan oleh pemberontak pro-Rusia dan menghancurkan sebuah pasar yang terletak di kota pelabuhan Mariupol yang dikuasai oleh militer Ukraina. (BBC News)

  Hal ini menunjukkan bahwa PBB semakin kehilangan arah tujuan utamanya moon yang menganjurkan kedua belah pihak untuk mengadakan dialog politik guna menyelesaikan konflik ini. Lantas, apa gunanya PBB didirikan? Seharusnya ada resolusi yang dibuat dan disepakati bersama sehingga konflik ini tidak terus berlanjut.

2.3. PBB Menurut Pandangan Realis

  Pandangan realis telah mendominasi dunia Hubungan Internasional sejak dulu. Para realis percaya bahwa tiada yang lebih tinggi selain negara sebagai actor utama, serta bahwa sistem perpolitikan dunia dipenuhi dengan keanarkian dimana setiap negara saling menolong karena memiliki kepentingan masing-masing. Mereka percaya bahwa negara akan selalu berkuasa dan dapat dengan mudah mencapai keinginannya. Selain itu, diyakini pula oleh para realis bahwa balance of power dalam politik internasional sangat dibutuhkan demi mencapai perdamaian dunia.

  Dalam bukunya yang berjudulkan “The United States and the Security Council: Collective Security since the Cold War”, Brian Frederking mengemukakan pendapatnya bahwa kita hidup di dalam 2 dunia yang bebeda: dunia dimana terdapat saling ketergantungan akan keamanan dan dunia dimana militer Amerika Serikat selalu paling unggul diantara negara lainnya. Jika merenungkan sedikit tentang pendapat Frederking, ada benarnya juga, selama ini dunia sudah didominasi oleh AS dalam segala aspek dan bidang. Namun, AS belum cukup hebat mempertahankan kekuatan hegemoni-nya karena China disebut-sebut akan mengalahkan AS suatu saat nanti. AS sering kali melakukan tindakan unilateral (sepihak) yang bertentangan dengan esensi dari Dewan Keamanan PBB yakni pengupayaan menjaga kedamaian internasional yang dimana membutuhkan kerjasama multilateral, bukan unilateral.

  Di sisi lain, seorang tokoh realis, E.H. Carr berpendapat bahwa dibentuknya LBB sebagai pemrakarsa PBB tak lain merupakan sebuah tindak lanjut dari negara pemenang perang yang ingin mempertahankan “Status Quo”. Semua itu bisa terlihat jelas pada saat pasca perang dimana tatanan dunia diisi oleh negara-negara pemenang perang yang menunjukkan adanya kepentingan bagi negaranya masing-masing. Di dalam suatu kebutuhan, tersirat suatu kepentingan tertentu. Jika pendapat Carr ini diaplikasikan ke dalam konteks PBB pada jaman sekarang ini, bisa dilihat bahwa 5 negara tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto memiliki kebutuhan bersama, yaitu keamanan kolektif. Keamanan yang kolektif membutuhkan tindakan pengupayaan yang kolektif pula. Namun, kenyataanya, mewujudkan perdamaian sebagai ‘alat’ untuk menuntun masing-masing negara ke tujuan yang mereka sebenarnya inginkan. Tujuan itu jelas bukan keamanan kolektif. Jika kelima negara tetap benar-benar menginginkan keamanan kolektif sehingga tercapai perdamaian dunia, mereka harus sungguh-sungguh mengenyampingkan kepentingan tersembunyi mereka dan menyusun resolusi yang disepakati bersama. Tetapi, hal itu nampaknya mustahil terjadi. Dunia ini akan terus dihantui oleh keanarkisan. Politik yang semakin tidak manusiawi menyebabkan dunia tidak akan pernah damai. Ada dalang di setiap peristiwa yang terjadi yang kita sebagai orang awam tidak ketahui karena kita hanya berpatokan dengan media. Media pun pada masa kini hampir sebagian besar menyajikan berita yang juga memiliki tujuan terselubung yang tergantung dengan pemilik media itu sendiri. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan perang, yakni dengan membuat perang baru. Bukan dengan mengandalkan PBB karena PBB sekalipun diisi oleh negara-negara super power yang berlomba-lomba ingin menguasai dunia.

BAB III

  

PENUTUP

  Jika terus menerus mengandalkan Dewan Keamanan PBB untuk menjaga perdamaian dunia, yang akan muncul hanyalah kekecewaan. Dunia ini tidak butuh organisasi seperti itu, actor utama dalam dunia ini selalu negara. Itu berarti negara lah yang kedudukannya paling tinggi, bukan PBB. Pembentukan PBB dengan pendeklarasian bahwa kedudukannya lebih tinggi dari negara merupakan suatu ide yang terlalu idealis, tidak realistis. Kita lihat yang nyata saja. Di jaman kontemporer ini, yang menjadi isu utama yaitu kekuatan sebuah negara yang tidak seimbang. Karena ketidakseimbangan inilah, terjadi konflik dimana-mana. Negara yang satu berusaha ingin menjatuhkan atau melebihi kekuatan negara lain yang dianggap paling kuat sehingga menjadi ancaman.

  Tidak hanya konten media yang memiliki agenda setting, konflik berskala nasional maupun internasional juga memiliki agenda setting, yang dibelakangnya digerakki oleh para petinggi politik. Mereka sengaja merancang sebuah konflik dengan melibatkan masyarakatnya sehingga negara/pihak lawan bisa dijatuhkan atas nama masyarakat, seolah- olah pemerintah tidak campur tangan dalam menggerakkan aksi pemberontakan. Kita tidak akan pernah tahu apa sesungguhnya yang terjadi dibalik sebuah konflik. Kecuali kita ikut dalam dunia perpolitikan. Di dunia politik, seorang teman bisa sewaktu-waktu menjadi musuh, begitu juga sebaliknya.

  Bayangkan jika kelima negara tetap Dewan Keamanan PBB saling menyeimbangkan kekuasaannya, tidak ada yang lebih berkuasa, tidak ada yang tertindas, dunia akan damai bukan? Tetapi, balik lagi semua ke politik. Apakah negara-negara tersebut rela menjaga perdamaian dunia tanpa menyisipkan kepentingan negara masing-masing di setiap pembuatan resolusi? Keinginan untuk meningkatkan kekuatan negara mampu mengalahkan nilai kemanusiaan yang tertanam di dalam diri setiap manusia. Mereka dibutakan oleh politik. hidup dengan kondisi yang ada. Tidak perlu muluk-muluk mendambakan organisasi yang bisa membuat damai, karena hal itu sia-sia dan mustahil. Lebih baik kita sebagai individu saling menyebarkan nilai positif ke sekitar kita sehingga perdamaian itu perlahan-lahan bisa terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

  Anonim. 2015. Konflik Ukraina: Roket Hantam Mariupol, 15 Orang Tewas. Diakses dari

   pada tanggal 24 Januari 2015.

  Frederking, Brian. 2007. The United States and the Security Council, Collective Security since the Cold War. New York: Routledge.

  Hutagalung, Nimrot. 2013. Peran PBB Dalam Memelihara Perdamaian dan Keamanan

  Internasional. Diakses dari da tanggal 3 Januari 2015.

  Jannah, Raudhatul. 2014. Peran Women’s Forum Dalam Pemyelesaian Konflik Pembangunan Demokrasi di Sierra Leone. Samarinda: Universitas Mulawarman.

  Pruitt, Dean. 2009. Handbook of Conflict Analysis and Resolution. New York: Routledge. School, Malang. 2014. Organisasi Internasional “LBB-PBB” Dalam Perspektif Realisme.

  Diakses dari da tanggal 3 Januari 2015.

  Syafputri, Ella. 2014. Sekjen PBB: Tidak Ada Penyelesaian Militer Dalam Konflik Ukraina.

  Diakses dari da tanggal 3 Januari 2015.

  United Nations. 2011. Basic Facts about the United Nations. New York: United Nations Department of Public Information NewYork.

  11

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Manajemen strategik Kepala Madrasah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Pangkalan Bun - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 230

Pelaksanaan pendidikan kepramukaan gugus depan 193-194 Imam Bonjol dalam penanaman nilai karakter mahasiswa prodi PAI Jurusan Tarbiyah IAIN Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

3 11 132

Peran Kepala Sekolah sebagai leader dalam meningkatkan kompetensi pedagogik Guru PAI di SDIT Arafah Sampit Kab.Kotawaringin Timur - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Peran Kepala Sekolah sebagai leader dalam meningkatkan kompetensi pedagogik Guru PAI di SDIT Arafah Sampit Kab.Kotawaringin Timur - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 130

Pengaruh Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara terhadap Gejala Keracunan Besi dan Pertumbuhan Tanaman Padi The Effect of Iron Concentration in Nutrient Solution to Iron Toxicity Symptoms and Growth of Rice

0 0 8

Dampak Bokashi Kotoran Ternak dalam Pengurangan Pemakaian Pupuk Anorganik pada Budidaya Tanaman Tomat The Impact of Animal Manures Bokashi in Reducing the Use of Inorganic Fertilizers in Tomato Culture

0 0 7

Efektivitas Frekuensi dan Volume Penyemprotan Daun dengan Agens Hayati Filosfer dalam Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Padi Effectiveness of Frequency and Volume of Foliar Spray with Phyllosphere Biological Agents in Improving Plant Growth and Y

0 0 6

Etiket Digital dalam Menavigasi Internet

0 0 10

Karakteristik kualitatif informasi dalam laporan keuangan

0 0 233

Kaidah dasar bioetika dalam pengambilan keputusan klinis yang etis

0 0 11