PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIK PESERTA DIDIK (Studi Eksperimen di Kelas V SDN Gununglipung Kota Tasikmalaya Tahun Pelajaran 2015/2016)

  

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM

TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIK PESERTA DIDIK

(Studi Eksperimen di Kelas V SDN Gununglipung

Kota Tasikmalaya Tahun Pelajaran 2015/2016)

  Oleh

  

Erik Santoso

   Selama ini dalam pelaksanaan pembelajaran matematika, guru-guru cenderung melaksanakan metode ceramah dan tanya jawab. Aktivitas belajar peserta didik hanya terbatas pada menerima materi, menghafal materi yang sudah diberikan.Hal ini mengakibatkan kurang melatih atau mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematik secara optimal. Pengembangan kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat berkembang bila peserta didik aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dengan cara konvensional kurang membuat peserta didik aktif dalam pembelajaran, peserta didik lebih banyak pasif dan hanya duduk di bangku. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Quantum.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran pada materi pcahan terhadap kemampuan berpikir kritis matematik peserta didik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen, dengan populasi seluruh peserta didik kelas V SDN Gununglipung Tasikmalaya tahun pelajaran 2015/2016. Sampel diambil dua kelas secara acak, yaitu kelas V-A sebagai kelas eksperimen dengan jumlah peserta didik28 orang dan V-B sebagai kelas kontrol dengan jumlah peserta didik sebanyak 27 orang. Instrumrn yang diguakan adalah tes kemampuan beerpikir kritis matematik.Untuk pengujian analisis statistik datanya digunakan uji perbedaan dua rata-rata, setelah perhitungan analisis data dengan taraf signifikasi 1 % diperoleh maka H ditolak dan diterima. Hal

  ( )( )

  ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan kemampuan beerpikir kritis matematik peserta didik pada materi pecahan Kata kunci: Model Pembelajaran Quantum, Kemampuan Berpikir Kritis, Materi Pecahan 1 _____________________

  Penulis adalah dosen tetap Prodi Matematika Fakultas Pendidikan Dasar dan Menengah Universitas Majalengka

  Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pembangunan itu sendiri, karena pendidikan merupakan salah satu tolak ukur kemajuan bangsa. Pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia haruslah diimbangi dengan pendidikan yang berkualitas. Kegiatan pembelajaran merupakan proses utama untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Pada hakekatnya, kegiatan tersebut dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pengalaman agar peserta didik belajar. Begitupun dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang membuat peserta didik belajar, memahami keterkaitan antar topik dalam matematika serta keterkaitan dan manfaat matematika bagi ilmu lain.

  Salah satu pelaksana tercapainya pendidikan yang berkualitas adalah guru. Guru perlu merubah sikap dan pola pembelajaran yang dilakukan, karena sampai saat ini lemahnya proses pembelajaran masih menjadi masalah dalam dunia pendidikan. Seperti menurut Sanjaya, Wina (2007:1) “Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran”. Menyajikan matematika sebagai kumpulan fakta tidak akan menumbuhkan makna. Matematika harus diperkenalkan dan disajikan dalam kehidupan sehari-hari siswa.”Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi.

  “Pembelajaran matematika disekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran menggunakan konteks siswa” (Masykur, Moch., dan Abdul Halim Fathani 2007:58). Peran guru dalam proses ini sangatlah penting, terutama dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Masih menurut (Masykur, Moch., “Salah satu faktor yang berperan dalam pembelajaran matematika adalah budaya kelas. Budaya kelas tumbuh atau dibangun dari interaksi sosial didalam kelas dan guru memiliki peran yang paling dominan dalam membangun budaya ke las tersebut”. Jika guru cenderung mendominasi proses pembelajaran, secara tidak langsung guru sedang menunjukan bahwa ia memiliki kepercayaan yang rendah terhadap peserta didiknya. Tentu hal ini akan menciptakan budaya kelas negatif. Peserta didik sungkan mengemukakan ide, guru kurang percaya peserta didik mampu menemukan sendiri konsep matematika maka yang terjadi adalah guru mentransfer pengetahuan kepada peserta didik sehingga pembelajaran menjadi tidak bermakna.

A. Pendahuluan

  Demi menghindari hal ini, guru hendaknya mulai untuk tidak memposisikan diri sebagai seseorang yang serba tahu yang akan mentransfer pengetahuannnya kepada peserta didik yang dianggap sebagai gelas kosong yang harus diisi. Peserta didik harus diberi kesempatan untuk membangun dan menemukan sendiri pengetahuan, dengan bekal pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.

  Sebagaimana pendapat (Nasar 2006:32) bahwa aktivitas siswa menjadi penting karena belajar itu pada hakikatnya adalah proses yang aktif dimana siswa menggunakan pikirannya untuk membangun pemahaman (contructivism approach) dan dengan diaktifkan dalam belajar, siswa akan terlatih menggunakan kemampuan berpikirnya, semakin lama semakin tinggi, semakin mampu memikirkan hal-hal yang abstrak dan kompleks, sehingga dapat menemukan gagasan- 2006:32) mengemukakan“Oleh sebab itu, esensi pembelajaran aktif tidak terletak pada heboh dan gaduhnya kegiatan fisik siswa, melainkan pada penggunaan tingkatan berpikir yang lebih tinggi.”

  Aktivitas berpikir tingkat tinggi tidak akan terjadi jika belajar diartikan sebagai konsekuensi otomatis dari transfer informasi kepada benak siswa. (Silberman, Melvin L, 2006:9) mengatakan ”Mereka (peserta didik) harus menggunakan otak, mengkaji gagasan, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari”. Dalam mengkaji gagasan maupun memecahkan masalah, mutlak diperlukan proses berpikir kritis menjadi suatu kemampuan yang harus terus dikembangkan melalui proses pembelajaran.

  Berpikir kritis adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran. Menurut Ennis serta Fogarty dan McTighe, (Muhfahroyin, 2010:1), “Berpikir kritis merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar untuk menentukan apa yang akan dikerjakan dan diyakini”. Disampaikan oleh Diestler (Muhfahroyin, 2010:1) bahwa dengan berpikir kritis, orang menjadi memahami argumentasi berdasarkan perbedaan nilai, memahami adanya inferensi dan mampu menginterpretasi, mampu mengenali kesalahan, mampu menggunakan bahasa dalam berargumen, menyadari dan mengendalikan egosentris dan emosi, dan responsif terhadap pandangan yang berbeda. Lebih lanjut Mc Murarry et al (Muhfahroyin, 2010 : 2) menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa.

  Kemampuan berpikir kritis sebagai bagian dari kemampuan berpikir matematis amat penting mengingat dalam kemampuan ini terkandung kemampuan memberikan argumentasi, menggunakan silogisme, melakukan inferensi, melakukan evaluasi, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam bentuk produk atau pengetahuan baru yang memiliki ciri orisinalitas. Kemampuan berpikir kritis sebagai cara berpikir reflektif berdasarkan nalar perlu ditumbuhkankembangkan melalui kegiatan pembelajaran matematika, yang dititikberatkan pada sistem, struktur, konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan unsur lainnya. Upaya ini membutuhkan pola pikir deduktif logika matematika yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu situasi melalui abstraksi atau generalisasi

  Sumarno, Utari (2010:4) mengemukakan ”istilah berpikir matematik (mathematical thinking ) diartikan sebagai cara berpikir berkenaan dengan proses matematika (doing math), atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas matematika (mathematical task ) baik yang sederhana maupun yang kompleks. Lebih lanjut menurut Sumarno, Utari ”ditinjau dari kedalaman dan kekomplekan kegiatan matematik yang terlibat, berpikir matematik dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu yang tingkat rendah (low order mathematical

  thinking ) dan yang tingkat tinggi (high order mathematical thinking

  )” Johnson, Elaine B. (2006:187) meyatakan ”Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik, dan merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian dari berpikir dengan baik”. Pengertian ini, mensyaratkan tinjauan ulang terhadap setiap proses berpikir yang kita lakukan. Sejalan dengan pendapat Johnson, Elaine B., menurut Rakhmat, Jalaludin (2005;69) ’’Berpikir evaluatif adalah berpikir kritits, menilai baik buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan’’.

  Menurut pendapat Ennis (Sulianto, Joko, 2010:6) yang secara singkatnya menyatakan bahwa terdapat enam unsur dasar dalam berpikir kritis, yaitu fokus (focus), alasan (reason), kesimpulan (inference), situasi (situation), kejelasan (clarity), dan tinjauan ulang (overview). Dari pendapat ini dapat dijelaskan bahwa tahap-tahap dalam berpikir kritis adalah sebagai berikut: a.

  Fokus (focus). Dalam memahami masalah adalah menentukan hal yang menjadi fokus (Focus) dalam masalah tersebut. Hal ini dilakukan agar pekerjaan menjadi lebih efektif, karena tanpa mengetahui fokus permasalahan, kita akan membuang banyak waktu. Menurut Monalisa (2010:2) keterampilan memfokuskan masalah berhubungan dengan kegiatan melakukan pemilihan bagian informasi tertentu dan mengabaikan yang lainnya. Antara lain seperti menjelaskan ketidakcocokan atau situasi membingungkan b. Alasan (reason). Apakah alasan- alasan yang diberikan logis atau tidak untuk disimpulkan seperti yang tercantum dalam fokus.

  c.

  Kesimpulan (inference). Jika alasannya tepat, apakah alasan itu cukup untuk sampai pada d.

  Situasi (situation). Mencocokkan dengan situasi yang sebenarnya.

  e.

  Kejelasan (clarity) yaitu mengungkapkan sesuatu secara jelas. Clarity (kejelasan) dapat diimplemantasikan melalui pertanyaan-pertanyaan seperti: apa yang anda maksud, akankah sebuah kata atau kata-kata akan membingungkan jika digunakan dalam cara berbeda, dapatkah anda memberikan contoh, dan dapatkah anda memberikan kasus yang serupa, tetapi bukan contoh.

  f.

  Tinjauan ulang (overview). Artinya kita perlu mencek apa yang sudah ditemukan, diputuskan, diperhatikan, dipelajari dan disimpulkan.

  Indikator yang digunakan atau diukur dalam penelitian ini adalah:

  reason (alasan) yang indikatornya

  memberikan alasan terhadap jawaban atau simpulan; Inference (simpulan) yang indikatornya memperkirakan simpulan yang akan didapat; Situation (situasi) indikatornya menerapkan konsep pengetahuan yang dimiliki sebelumnya untuk menyelesaikan masalah pada situasi lain; Clarity (kejelasan) yang indikatornya memberikan contoh masalah atau soal yang serupa dengan yang sudah ada;

  Overview (pemeriksaan atau tinjauan)

  dengan indikator memeriksa kebenaran jawaban. Sampai saat ini, kemampuan berpikir kritis peserta didik belum mampu dikembangkan secara optimal. Hal tersebut terlihat dari kurang aktifnya peserta didik dalam proses pembelajaran. Selama ini dalam pelaksanaan pembelajaran matematika, guru-guru cenderung melaksanakan metode ceramah dan tanya jawab. jawab diasumsikan oleh peneliti sebagai model pembelajaran langsung. Aktivitas belajar peserta didik hanya terbatas pada menerima materi, menghafal materi yang sudah diberikan, kemudian mengerjakan tugas sama seperti yang dilakukan guru. Taylor (Muhfahroyin, 2010:5) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran yang berbasis hafalan menjadikan siswa jarang dituntut untuk bertanya dan berpikir, sehingga kemampuan berpikir kritis kurang terpacu.

  Kebermaknaan pembelajaran pada mata pelajaran matematika dipengaruhi banyak hal, diantaranya guru. Guru sebagai pengajar mempunyai peran untuk memilih dan menentukan model dan metode pembelajaran yang tepat dengan materi yang akan dibahas. Tentunya model tersebut harus menciptakan pembelajaran yang meningkatkan aktivitas peserta didik dan dapat membiasakan mereka menggunakan kemampuan bernalarnya. Berkaitan dengan hal tersebut, DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki (2009:213) mengatakan kita mengingat informasi sangat baik bila informasi tersebut dicirikan oleh kualitas-kualitas: asosiasi indrawi, konteks emosional seperti perasaan senang,nyaman, bahagia, dan sedih, kualitas yang menonojol atau berbeda, asosiasi yang intens, kebutuhan untuk bertahan hidup, hal-hal yang memiliki keutamaan pribadi, hal- hal yang diulang-ulang, hal-hal yang pertama dan terakhir dalam suatu sesi.

  Sejalan dengan pendapat tersebut, Rasyid, Fathur (2010:75) mengatakan “musik dapat mencegah kehilangan daya ingat. (…). Ini karena bagian otak yang memproses musik terletak disebelah memori”. DePorter, “musik membantu pelajar lebih baik dan mengingat lebih banyak”.Salah satu model pembelajaran yang memperhatikan hal tersebut adalah model pembelajaran quantum yang dikembangkan oleh Bobbi DePorter dan Mike Hernacki.Model pembelajaran quantum ini mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP) yaitu suatu penelitian tentang bagaimana mengatur informasi.Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara peserta didik dan guru.Model pembelajaran quantum menciptakan suasana tersebut dengan menggunakan unsur yang ada pada peserta didik dan lingkungan belajarnya melalui interaksi pembelajaran dan diiringi dengan musik.

  De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki (2009:16) mendefinisikan

  Quantum Learning

  sebagai “interaksi- interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya”.Kemudian, menurut DePorter, Bobbi, et.al. (2010:34), “Quantum

  Teaching adalah

  penggubahan bermacam-macam interaksi yang ada didalam dan sekitar momen be lajar”. Dengan demikian, agar pencapaian tujuan penelitian maksimal, maka pada penelitian ini akan digunakan penggabungan quantum

  learning dan quantum teaching. Prinsip utama pembelajaran

  Quantum menurut Sugiyanto (2010:79)

  “Bawalah dunia mereka (pembelajar) kedalam dunia kita (pengajar) dan antarkan dunia kita (pengajar) ke dalam dunia mereka (pembelajar)”.Setiap interaksi pembelajaran, rancangan kurikulum dan metode pembelajaran harus dibangun di atas prinsip utama konsisten dan dinamis yang lebih dikenal dengan istilah TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan) akan menjadi skenario model pembelajaran

  Quantum . Dengan melihat tahapan

  tersebut diharapkan seluruh peserta didik dapat merasa senang, nyaman, bahagia dan berperan aktif dalam proses pembelajaran. Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut peneliti tertarik unutk mengkaji mengenai model pembelajaran quantum yang dihubungkan dengan kemampuan berpikir kritis B.

   Metode Penelitian

  Sugiyono (2006:6) mengemukakan ”Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dan kegunaan tertentu”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen karena penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik. Hal ini senada dengan pendapat Sugiyono (2006:107), ”Metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan”. Ruseffendi, E. T. (2005:35) menyatakan

  “Penelitian eksperimen atau percobaan (eksperimental research ) adalah penelitian yang benar-benar untuk melihat hubungan sebab akibat. Perlakuan yang kita lakukan terhadap variabel bebas kita lihat hasilnya pada variabel terikat”.Penelitian eksperimen bertujuan untuk melihat efek dari penggunaan model pembelajaran kritis matematik peserta didik.

  Teknik pengumpulan data sangat diperlukan dalam melaksanakan penelitian dan pengumpulan data agar data yang diperoleh relevan dengan tujuan dan pokok masalah.Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif tentang kemampuan berpikir kritis matematik setelah peserta didik belajar dengan menggunakan model pembelajaran quantum dan belajar dengan menggunakan pembelajaran langsung.Untuk mendapatkan data yang bersifat kuantitatif, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah teknik pengukuran (tes) yang Tes kemampuan berpikir kritis matematik yang dilaksanakan berupa ulangan harian yang dilaksanakan setelah kompetensi dasar selesai. Soal- soalnya berupa soal berpikir kritis

  Arikunto, Suharsimi (2006:160) menyebutkan bahwa instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti cermat, lengkap, dan sistematis sehingga mudah diolah.Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah Bentuk soal tes kemampuan berpikir kritis berupa tes tertulis berbentuk uraian/essai. Soal tes terdiri dari lima soal. Setiap butir soal diberi skor sesuai dengan pedoman penskoran tes kemampuan berpikir kritis dengan maksimal adalah 20 Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.Sudjana (2005:6)

  “Totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan dinamakan populasi”.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas V SDN Gununglipung Tasikmalaya Tahun Pelajaran 2015/2016.“Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi” (Sudjana, 2005:6). Sampel dalam penelitian ini diambil sebanyak dua kelas dari populasi secara random, karena setiap kelas memiliki karakteristik yang sama, yaitu terdiri dari peserta didik kelompok kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Kelas yang terambil yaitu kelas V A dijadikan sebagai kelas eksperimen yaitu kelas yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran quantum dan kelas V B sebagai kelas control/pembanding, yaitu kelas yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung

  Menurut Ruseffendi, E.T. (2005:51) “Pada desain kelompok kontrol hanya postes terjadi pengelompokan subjek secara acak (A) dan adanya postes (O). Kelompok yang satu tidak memperoleh perlakuan- perlakuan X”. Diagram dari desain dapat dijabarkan sebagai berikut.

  A X O A O Keterangan : A = Pengambilan sampel secara acak X = Penggunaan model pembelajaran quantum O = Tes kemampuan berpikir kritis matematik

  Data yang akan diolah dalam penelitian ini adalah tes kemampuan berpikir kritis matematik. Penskoran hasil tes kemampuan berpikir kritis matematik menggunakan pedoman penskoran berdasarkan indikator- indikator yang diukur seperti tertera pada Tabel berikut

  Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik

  Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Respon Siswa Terhadap Soal atau Masalah Skor

  Reason (alasan)  Tidak Menjawab

   Memberikan jawaban yang benar dan tidak memberikan alasan 1  Memberikan jawaban yang benar dan memberikan alasan yang kurang tepat

  2  Memberikan jawaban dan alasan yang benar tetapi kurang lengkap

  3  Memberikan jawaban dan alasan yang benar, jelas, dan lengkap

  4 Inference (simpulan)  Tidak Menjawab  Melakukan perhitungan yang salah dan tidak membuat kesimpulan

  1  Melakukan perhitungan dengan benar tetapi salah membuat kesimpulan

  2 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Respon Siswa Terhadap Soal atau Masalah Skor

   Melakukan perhitungan dengan benar tetapi kurang lengkap membuat kesimpulan 3  Melakukan perhitungan dengan benar dan membuat kesimpulan yang lengkap

  3  Melakukan pemeriksaan dengan benar dan memberi penjelasan lengkap

  b. Uji Persyaratan Analisis c. Uji Hipotesis

  (Mo), dan Standar deviasi (sd).

  x ), Median (Me), Modus

  2) Menentukan ukuran statistik, yaitu Banyak data (n), Data terbesar (db), Data terkecil (dk), Rentang (r), Rata-rata (

  1) Membuat daftar distribusi frekuensi, distribusi frekuensi relatif, kumulatif dan histogram (Sudjana, 2002:45- 53).

  Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menganalisis data yang terkumpul pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

  4 Sumber : Ennis.R.H.(Sumarmo, Utari 2006:14)

  2  Melakukan pemeriksaan dengan benar tetapi memberi penjelasan yang kurang lengkap

  4 Situation (situasi)  Tidak Menjawab  Menerapkan konsep pengetahuan sebelumnya yang salah dan tidak memberikan penyelesaian

   Terdapat kekeliruan dalam melakukan pemeriksaan dan tidak disertai penjelasan 1  Terdapat kekeliruan dalam melakukan pemeriksaan tetapi menyertakan penjelasan

  4 Overview (pemeriksaan atau tinjauan)  Tidak Menjawab

  3

 Memberikan contoh masalah yang relevan dan

memberikan penyelesaian

  2  Memberikan contoh masalah yang relevan dan tidak memberikan penyelesaian

  1  Memberikan contoh masalah yang tidak relevan tetapi memberikan penyelesaian

  4 Clarity (kejelasan)  Tidak Menjawab  Memberikan contoh masalah yang tidak relevan dan tidak memberikan penyelesaian

  3  Melakukan perhitungan dengan benar dan membuat kesimpulan yang lengkap

  1  Melakukan perhitungan dengan benar tetapi salah membuat kesimpulan  Melakukan perhitungan dengan benar tetapi kurang lengkap membuat kesimpulan

a. Statistik Deskriptif

C. Hasil Penelitian

  5 7,14 %

  Untuk perhitungan lengkapnya terdapat pada lampiran F.Untuk memperjelas frekuensi skor akhir kemampuan berpikir kritis matematik pada kelas yang menggunakan model pembelajaran quantum, dari masing-masing kelas data, disajikan pada Gambar 4.1.

  Berdasarkan daftar distribusi frekuensi tersebut, terlihat bahwa data yang paling banyak muncul pada kelas eksperimen terdapat pada kelas ke-3, sehingga diperoleh modus untuk kelas eksperimen 12,65. Untuk median data paling tengahnya terdapat pada kelas ke-3 dan diperoleh skornya adalah 12,56.

  28 100 %

  < 16,105 28 > 16,105 Jumlah

  1 3,57 %

  15,20 - 16,10 1 < 15,195 27 > 15,195

  3 7,14 %

  14,29 - 15,19 2 < 14,285 25 > 14,285

  Penelitian dilaksanakan terhadap peserta didik kelas

  V SDB N Gununglipung Tasikmalaya pada materi pecahan, menggunakan pembelajaran dengan model pembelajaran quantum pada kelas eksperimen dan menggunakan model pembelajaran langsung pada kelas kontrol. Seperti penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh positif penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik.

  15 35,71 %

  12,47 - 13,37 10 < 12,465 13 > 12,465

  23 28,57 %

  11,56 - 12,46 8 < 11,555 5 > 11,555

  28 17,86 %

  10,65 - 11,55 5 < 10,645 > 10,645

  Rerata Skor Akhir f Kurang dari Lebih dari Frekuensi Relatif Distribusi f f kum Distribisi f f kum

  Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kumulatif Data Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematik yang Belajar Melalui Model Pembelajaran Quantum

  Tabel ini menyajikan skor tes kemampuan berpikir kritis matematik, yang pembelajarnnya menggunakan model pembelajaran quantum.Skor akhir diperoleh dengan menggunakan

  13,38 - 14,28 2 < 13,375 23 > 13,375

  Gambar 1 Histogram dan Poligon Frekuensi Data Kemampuan Berpikir Kritis

  4 7,41 %

  Untuk memperjelas frekuensi skor akhir kemampuan berpikir kritis matematik pada kelas yang menggunakan model pembelajaran langsung dari masing-masing kelas data, disajikan pada Gambar 2

  Untuk perhitungan lengkapnya terdapat pada lampiran F.

  Berdasarkan daftar distribusi frekuensi tersebut, terlihat bahwa data yang paling banyak muncul pada kelas kontrol terdapat pada kelas ke- 3, sehingga diperoleh modus untuk kelas kontrol 11,64 Untuk median data paling tengahnya terdapat pada kelas ke- 3 dan diperoleh skornya adalah 11,56.

  27 100 %

  < 14,795 27 > 14,795 Jumlah

  2 7,41 %

  14,95 - 14,79 2 < 13,945 25 > 13,945

  13,10 - 13,94 2 < 13,095 23 > 13,095

  Matematik yang Belajar Melalui Model Pembelajaran Quantum Tabel ini menyajikan skor tes kemampuan berpikir kritis matematik yang pembelajarnnya menggunakan model pembelajaran langsung.

  7 11,11 %

  12,25 - 13,09 3 < 12,245 20 > 12,245

  15 29,62 %

  10,55 - 11,39 6 < 10,545 6 >10,545 21 22,22 % 11,40 - 12,24 8 < 11,395 12 > 11,395

  27 22,22 %

  9,70 - 10,54 6 < 9,695 > 9,695

  Rerata Skor Akhir f Kurang dari Lebih dari Frekuensi Relatif Distribusi f f kum Distribisi f f kum

  Tabel 2 Distribusi Frekuensi Kumulatif Data Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematik yang Belajar Melalui Model Pembelajaran Langsung

  .

  Gambar 2 Histogram dan Poligon Frekuensi Data Kemampuan Berpikir Kritis

  Matematik yang Bealajar Melalui Model Pembelajaran Langsung Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi berada pada rentang 11,395

  • – 12,245 yaitu sebanyak 8 orang.Frekuensi terendah barada pada rentang 13,095
  • – 13,945 dan 13
  • – 14,795 sebanyak 2 orang.Ukuran data statistika diperoleh dari hasil analisis data untuk selengkapnya terdapat pada lampiran, sedangkan untuk ukuran banyaknya data, diperoleh dari banyaknya peserta didik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.Penentuan kelas kontrol dilaksanakan dengan cara random seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, diperoleh kelas eksperimen yaitu kelas VA dengan jumlah peserta didik 28 dan kelas kontrol yaitu kelas V B dengan jumlah peserta didik 27. Berdasarkan analisis data dan penentuan kelas sampel tersebut maka ukuran banyaknya data pada kelas kontrol dan eksperimen dicantumkan pada Tabel berikut

  Tabel 3 Daftar Ukuran Data Statistika

  Kemampuan Berpikir Kritis Matematik

  Ukuran Data Statistika Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Banyak data (n)

  28

  27 Data terbesar (db) 16,08 14,79 Data terkecil (dk) 10,65 9,70 Rentang (r) 5,43 5,10 Rata-rata ( x ) 12,62 11,65 Median (Me) 12,56 11,56 Modus (Mo) 12,65 11,64 Standar Deviasi (ds) 1,17 1,30 Untuk melihat kejelasan perbedaan ukuran data statistika pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, peneliti menyajikannya dalam

  Gambar 3. di bawah ini : Gambar3 Data perbedaan ukuran data statistika pada kelas eksperimen dengankelas kontrol

    53 99 , t = 2,40. Ternyata hitung t

  25

  20

  15

  10

  5

  Selama penelitian, peneliti menggunakan dua kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan

  eksperimen lebih baih darupada kelas kontrol, artinya terdapat pengaruh positif penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik.

  1 diterima. Kelas

  ditolak dan H

    53 99 , t yaitu 2,91 > 2,40, maka H

  >

  Untuk α = 1%, diperoleh

  Berdasarkan tabel dan ganbar tersebut, diperoleh bahwa skor tertinggi kemampuan berpikir kritis matematik pada kelas eksperimen adalah 16,08 dan skor terendah adalah 10,65 dengan skor akhir rata-rata peserta didik ( x ) adalah 12,62. Sedangkan skor tertinggi kemampuan berpikir kritis matematik pada kelas kontrol adalah 14,79 dan skor terendah adalah 9,70 dengan skor akhir rata-rata ( x ) peserta didik adalah 11,65. Hal ini memperlihatkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematik yang menggunakan model pembelajaran quantum lebih baik daripada yang menggunakan model pembelajaran langsung tetapi itu belum memberikan kesimpulan yang benar-benar tepat, untuk itu penulis mengolah data tersebut dengan analisis perbedaan dua rata-rata.

  Artinya kedua varians tersebut homogen Uji hipotesis

  F F  , yaitu 1,23 < 2,52, maka diterima dan ditolak.

  , yaitu 4,77 < 11,3, maka tolak dan diterima. Artinya distribusi sampel kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Kemudian tabel hitung

  2    hitung

  2

  3 99 ,

   

   hitung , yaitu 3,53 < 11,3, maka tolak dan diterima. Artinya distribusi sampel eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Kemudian

  2  

  2

  3 99 ,

  Hasil perhitungan yang berkaitan dengan syarat-syarat dalam pengujian hipotesis adalah sebagai berikut.Ternyata  

  30 n db dk r Me Mo Eksperimen Kontrol perlakuan yang berbeda pada proses pembelajaran yang dilaksanakan. Kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran quantum sedangkan kelas kontrol menggunakan model pembelajaran langsung

  Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan perencanaan mulai dari pembuatan perangkat penelitian yang Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan instrumen-instrumen penelitian yang terdiri dari bahan ajar, LKPD, soal-soal tes dan tes penalaran matematik untuk mengungkap kemampuan penalaran matematik peserta didik.

  Dapat diperoleh beberapa gambaran bahwa penggunaan model pembelajaran Quantum pada materi pecahan dengan persiapan yang matang dan pelaksanaan yang optimal, dapat memberikan hasil yang maksimal pada kemampuan penalaran matematik peserta didik. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata yang diperoleh peserta didik dari kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Quantum. Berdasarkan hasil analisis skor keseluruhan peserta kelompok, rerata tugas individu, dan tes kemampuan berpikir kritis. Diperoleh rata-rata skor akhir untuk kelas eksperimen yaitu12,62. Berbeda dengan kelas kontrol yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung rata-ratayang diperoleh adalah 11,65. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat padagambar berikut

  .

  Gambar 4 Diagram Batang Rerata Skor Akhir Kemampuan Berpikir Kritis Matematik

  Model pembelajaran Quantum dikatakan lebih baik karena dalam pelaksanaan pembelajarannya peserta didik terlibat dalam pembelajaran dan aktif bekerja sama dalam memahami materi pecahan melalui bahan ajar serta dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Hal tersebut terjadi karena mereka merasa nyaman dan senang untuk belajar matematika. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran

  Quantum menurut Porter, Bobbi De,

  dan Mike Hernacki (2010) yang berupaya menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan, juga sesuai dengan teori kecerdasan ganda

  Rata-rata Skor Model Pembelajaran Kontekstual 12,62

  Model Pembelajaran Langsung 11,65

  11 11,2 11,4 11,6 11,8

  12 12,2 12,4 12,6 12,8

  DIAGRAM BATANG RERATA SKOR AKHIR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIK

  Model Quantum yang menyatakan bahwa siswa belajar dengan didukung oleh dua kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, berbeda dengan saat pembelajaran menggunakan model pembelajaran langsung peserta didik cenderung pasif karena kegiatan pembelajaran didominasi oleh guru dan peserta didik hanya memperhatikan. disajikan dalam bahan ajar, peserta didik terlatih untuk memecahkan masalah dan membangun sendiri pengetahunnya. Hal ini sejalan dengan teori Piaget (Ruseffendi, E.T, 2006 :133) bahwa pembelajaran sebagai proses yang aktif artinya pengetahuan baru tidak diberikan kepada siswa dalam bentuk jadi tetapi siswa membentuk sendiri pengetahunnya. Kemampuan penalaran matematik siswa tumbuh dan berkembang karena melewati dua tataran yaitu tataran sosial dalam kelompok dan tataran psikologis dalam diri siswa. Sedangkan pada pembelajaran langsung peserta didik tidak dapat menumbuhkan konsepnya sendiri karena didalamnya tidak terdapat kesempatan untuk mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya.

  Dalam pelaksanaan dilapangan terdapat beberapa kendala salah satunya adalah alokasi waktu yang dirasa kurang, akibatnya peneliti kesulitan ada peserta didik yang sulit aktif dalam pembelajaran sehingga guruharus terus memotivasi dan berupaya membuat suasana belajar yang lebih menyenangkan agar semua peserta didik dapat belajar aktif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Dari hasil penelitian tersebut disarankan kepada calon guru maupun guru di sekolah dasar untuk dapat menjadikan model pembelajaran quantum sebagai alternatif dalam proses pembelajaran di kelas.

  Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan.

  Terjemahan Alwiyah Abdurrahman. Bandung: Kaifa.

  DePorter, Bobbi, et, al. (2010). Quantum

  Teaching: Mempraktikan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas.

  Penerjemah Ari Nilandri. Bandung: Kaifa. Rasyid, Fathur. (2010). Cerdaskan Anakmu

  dengan Musik. Jogjakarta: DIVA Press.

  Sanjaya, Wina. (2007). Strategi

  Pembelajaran. Jakarta: Kencana

D. Bahan Rujukan DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. (2009).

  Preda Media Group Sugiyanto.(2010). Model-model

  Pembelajaran Inovatif. Surakarta:

  Yuma Pustaka Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur

  Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

  Rineka Cipta Johnson, Elaine.B. (2006). Contextual

  Teaching and Learning.(Menjadikan Kegiatan Belajar Mengasyikan dan Bermakna). Terjemahan Ibnu Setiawan. Bandung: Mizan Learning Center.

   Masykur, Moch. dan Abdul Halim 25

  Fathani.(2007).Mathemathical Maret 2015)

  Intelegence Cara Cerdas Melatih Otak dan Menanggulangi Kesulitan

  Sumarmo, Utari. (2006). Berfikir Matematik

  Belajar . Yogyakarta: Ar-Ruz Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa, dan

  Media

  Bagaimana dikembangkan pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa

  Monalisa.(2010). Melatih Keterampilan

  Calon Guru. Makalah pada Seminar

  Pendidikan Matematika.FMIPA Universitas Padjajaran. Bandung. keterampilan berpikir.htm.(17 Maret 2015)

  Sumarmo, Utari. (2010). Berfikir dan

  disposisi matematik: Apa, Mengapa

  Muhfahroyin.(2010). Memberdayakan

  dan Bagaimana Dikembangkan Pada Kemampuan Berpikir Peserta Didik. [Online]. Tersedia:

  

  Kritis. [Online].Tersedia

   :http://muhfahroyin.blogspot.com/201

   0/01/berpikir-kritis.html (16 Maret 11 Maret 2015].

  2015).

  Sugiyono.(2009). Statistika untuk Nasar.(2006). Merancang Pembelajaran Penelitian. Bandung: Alfabeta.

  Aktif dan Kontekstual Berdasarkan “SISIKO”. Jakarta: Grasindo.

  Russeffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar

  Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung :

  Tarsito. Silberman, Melvin l. (2006). Active

  Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Terjemahan Raisul Muttaqien. Bandung: Nusamedia. Sudjana. (2005)

  Metoda Statistika . Bandung: Tarsito.

  Sulianto, Joko. (2010). Pendekatan

  Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan berpikir Kritis pada siswa Sekolah . Dasar [Online].Tersedia