Keerdesr Emosional Peserte Ilidialk di SI}IPNf Shtuk Tobah Gadarg'

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pada Jurusan Manajemen Pendidikan Islam Konsentrasi Bimbingan

dan Konseling Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Oleh :

TRY AMELIA SARI 1314030938

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG 1438 H / 2017 M

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: “Pengaruh Lingkungan Sekolah Terhadap Kecerdasan Emosional Peserta Didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang”, (Skripsi: 2017) yang disusun oleh Try Amelia Sari NIM. 1314030938, pada Jurusan Manajemen Pendidikan Islam Konsentrasi Bimbingan dan Konseling Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Imam Bonjol Padang.

Berdasarkan fakta di lapangan yang penulis temukan bahwa lingkungan sekolah merupakan faktor penting yang mempengaruhi kecerdasan emosional, dari hubungan peserta didik dengan teman-temannya, hubungan peserta didik dengan guru-gurunya dan hubungan peserta didik dengan staf di sekolah mempengaruhi kecerdasan emosional peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang. Adapun rumusan masalah penelitian ini “Seberapa besar pengaruh lingkungan sekolah terhadap kecerdasan emosional peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a) Kondisi lingkungan sekolah peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang. b) Kecerdasan emosional peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang. c) Pengaruh lingkungan sekolah terhadap kecerdasan emosional peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Kuantitatif regresi. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VII, VIII dan IX SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang yang berjumlah 425 orang dan jumlah sampel sebanyak 81 orang diambil dengan penggunaan teknik proportional random sampling. Instrumen penelitian ini adalah angket. Data diolah dengan menggunakan program statistical product and service solution (SPSS ) versi 20.00, serta dianalisis dengan menggunakan rumus Product Moment Correlation Coefisien Karl Pearson.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa (1) Lingkungan sekolah peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang dikategorikan sangat baik dengan persentase sebesar 84,5%, (2) Kecerdasan emosional peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang dikategorikan sangat baik dengan persentase 84,38%, (3) Tingkat signifikansi yang digunakan 5% ( α = 0,05). Kriteria pengujian H 0 diterima dan H 1 ditolak jika t hitung <t tabel . Akan tetapi, jika t hitung >t tabel maka H 0

ditolak dan H 1 diterima. Dari hasil pengolahan data didapatkan t hitung = 7,724, sedangkan t tabel dengan sampel berada pada posisi 81 (df = n-k = 81-2=79) dan tingkat signifikansi 0,05 adalah 1,664. Maka t hitung = 7,724 > t tabel = 1,664 dengan ρ= 0,00 < α = 0,05. Berdasarkan hasil hitungan ini maka dapat diambil

kesimpulan bahwa rumusan H 0 ditolak dan H a diterima, artinya lingkungan sekolah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kecerdasan emosional peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin , puji beserta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “Pengaruh Lingkungan

Sekolah Terhadap Kecerdasan Emosional Peserta Didik di SMPN 1 Sintuk

Toboh Gadang. Shalawat beserta salam penulis mohonkan kepada Allah SWT agar senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan rahmat seluruh alam.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis menyadari banyak kendala dan hambatan, semua ini terjadi karena keterbatasan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang penulis miliki. Namun, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dekan, Bapak/Ibu wakil Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Imam Bonjol Padang.

2. Ketua jurusan Ibunda Dr. Nursyamsi, M.Pd dan sekretaris jurusan Ibunda Jum Anidar, S.Ag, M.Pd dan staf jurusan Manajemen Pendidikan Islam Konsentrasi Bimbingan dan Konseling Islam.

3. Bapak Safri Mardison, S.Pd.I.,M.Pd sebagai Dosen Penasehat Akademik (PA) yang telah meluangkan waktu dan memberikan arahan, bimbingan, ilmu pengetahuan, gagasan serta semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Hadeli, M.A.,M.Pd selaku pembimbing I dan Ibunda Jum Anidar, S.Ag.,M.Pd selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu 4. Bapak Dr. Hadeli, M.A.,M.Pd selaku pembimbing I dan Ibunda Jum Anidar, S.Ag.,M.Pd selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu

5. Serta Bapak/Ibu dosen yang mengajar di Jurusan Manajemen Pendidikan Islam konsentrasi Bimbingan dan Konseling Islam, yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis sebagai bekal bagi penulis untuk mengembangkan keilmuan penulis.

6. Karyawan/karyawati akademik Fakultas Tarbiyah dan Keguruan serta perpustakaan yang membantu langkah penulis dalam urusan administrasi dan memfasilitasi buku bacaan bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Kepala sekolah dan seluruh guru SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang, yang telah meluangkan waktu kerjanya untuk penulis demi kelancaran penelitian ini. Teristimewa kepada Ayahanda Syamsul Bakri, A.Md, Ibunda Arlini yang

selalu memberikan dorongan dan motivasi sepenuhnya baik moril maupun materil, kemudian kakak-kakak ananda Sofya Ramadani, S.Pd.I dan Aulya Khairani S.Pd.I. Adik-adik Afrilla Ulfa, Annisa Audia, Angga Emir Syam, Nasiva Salwa, Aisa Humaira serta kakak ipar Fauzan Hamidi, S.Hum dan keponakan Aqifa Naila Hamidi yang ikut membantu dan memberikan dorongan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dan semua saudara ku terima kasih atas bantuan dan motivasi sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Rekan-rekan Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dan semua saudara ku terima kasih atas bantuan dan motivasi sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Rekan-rekan

Semoga segala bantuan yang diberikan dibalas oleh Allah SWT, mudah- mudahan skripsi ini bermanfaat. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari seluruh pembaca demi perbaikan dimasa yang akan datang.

Padang, 14 Agustus 2017

Try Amelia Sari

1314030938

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kisi-Kisi Angket Uji Coba

2. Angket Uji Coba

3. Uji Validitas dan Uji Releabilitas

4. Kisi-Kisi Angket Penelitian

5. Angket Penelitian

6. Tabulasi Data

7. Hasil Penghitungan Manual

8. Deskripsi Data

9. Histogram

10. Analisis korelasi

11. Surat Izin Penelitian dari Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

12. Surat Izin dari Dinas Pendidikan

13. Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian dari SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang sangat tinggi. Pada usia remaja awal, perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental. Gessel di dalam buku Syamsu Yusuf mengemukakan bahwa remaja empat belas tahun seringkali mudah marah, mudah terangsang, dan emosinya mudah meledak, tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya remaja enam belas tahun mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai keprihatinan. Jadi, adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya

awal masa remaja. 1 Orang-orang yang mengalami problem emosi dan menampakkan

perilaku bermusuhan, sebenarnya menderita “Buta emosi”. Mereka tidak mengetahui emosi dan perasaan mereka dengan baik. Mereka tidak mampu mengungkapkan emosi dan perasaan melalui lisan maupun tulisan. Akibatnya mereka tampak sering marah, sensitif dan bersikap cuek serta

tidak memperdulikan orang lain. 2

1 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal 168

2 Makmum Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal 49

Sebagaimana tedapat dalam Q.S Al-Hajj ayat 46                 

Artinya: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang

dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” .

Mencapai kematangan emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan sekolah, keluarga dan kelompok teman sebaya. Apabila lingkungan tersebut cukup kondusif, dalam arti kondisinya diwarnai oleh hubungan yang harmonis, saling mempercayai, saling menghargai, dan penuh tanggung jawab, maka remaja cenderung dapat mencapai kematangan emosionalnya. Sebaliknya, apabila kurang dipersiapkan untuk memahami peran-perannya dan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua, guru atau pengakuan teman sebaya, mereka cenderung akan mengalami kecemasan, perasaan tertekan atau ketidaknyamanan emosional.

Dalam menghadapi ketidaknyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang mereaksinya secara depensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya. Reaksinya itu tampil dalam tingkah laku malasuai seperti: agresif, melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi dan senang mengganggu dan melarikan diri dari kenyataan: melamun, pendiam, senang menyendiri, meminum minuman keras atau obat-obatan

terlarang. 3 Agar peserta didik mampu mengenali emosi dirinya, mengelola

emosinya salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah kecerdasan emosional.

Goleman menempatkan defenisi tentang kecerdasan emosional menjadi lima wilayah utama yaitu:

1. Mengenali emosi diri, yakni kesadaran diri (mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi) merupakan dasar kecerdasan emosional.

2. Mengelola emosi, yakni menangani perasaan agar perasaan terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri.

3. Memotivasi diri sendiri, yakni bahwa menata emosi merupakan alat dalam mencapai tujuan, dan sangat penting untuk memberi perhatian, memotivasi dan menguasai diri sendiri serta berkreasi.

4. Mengenali emosi orang lain, yakni empati (kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional yang merupakan keterampilan dasar bergaul).

5. Membina hubungan yakni seni membina hubungan yang sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi

orang lan. 4 Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk

mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,

4 Ibid , hal 170

Endin Nasruddin, Psikologi Manajeman, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 144 Endin Nasruddin, Psikologi Manajeman, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 144

Kecerdasan emosional juga merupakan himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan

tindakan. 6

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat memengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Selain

itu EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. 7

Lingkungan merupakan berbagai peristiwa, situasi dan kondisi di luar organisme diduga mempengaruhi perkembangan individu. Pendapat Chaplin di dalam buku Syamsu Yusuf bahwa lingkungan merupakan keseluruhan aspek atau fenomena fisik dan sosial yang mempengaruhi organisme individu. Sementara Joe Kathena di dalam buku Syamsu Yusuf mengemukakan bahwa lingkungan itu merupakan segala sesuatu yang berada di luar individu yang meliputi fisik dan sosial budaya. Lingkungan ini merupakan sumber seluruh informasi yang diterima individu melalui

alat inderanya, penglihatan, penciuman, pendengaran dan rasa. 8

6 Ibid , hal 150

Saphiro Lawrence E, Mengajarkan Emotional Intelleence pada Anak, (Jakarta: Gramedia, 1998), hal 8

7 Endin Nasruddin, Op.Cit, hal 142 8 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2011), hal 35

Macam-macam lingkungan sosial yaitu:

1. Lingkungan keluarga.

2. Lingkungan sekolah.

3. Lingkungan teman sebaya.

4. Lingkungan masyarakat. 9

Lingkungan yang aman dan nyaman adalah lingkungan yang menciptakan suasana dimana peserta didik tidak takut akan hukuman fisik atau pelecehan jiwa atau emosi, bebas dari ancaman, paksaan, sanksi,

tekanan, interogasi atau hinaan dan tindakan yang membuat malu. 10

Kecerdasan emosional dapat dipelajari dalam keluarga, sebagai lingkungan pertama dan utama, melalui interaksi orang tua dengan anak dalam bentuk pengasuhan.

Lingkungan kedua setelah keluarga adalah lingkungan sekolah. Melalui lingkungan sekolah guru dan kelompok teman sebaya dapat

mengembangkan serta meningkatkan kecerdasan emosional remaja. 11

Sekolah merupakan salah satu lahan yang pas untuk mengembangkan kecerdasan emosional para peserta didik, sekaligus untuk memperbaiki kecacatan anak di bidang keterampilan emosional dan pergaulan. Karena praktis ketika anak masuk sekolah (setidaknya pada

10 Ibid , hal 36-37 Makmum Mubayidh, Op.Cit, hal 136 11 Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 87 10 Ibid , hal 36-37 Makmum Mubayidh, Op.Cit, hal 136 11 Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 87

Hal ini menyebabkan tugas sekolah akan semakin luas dan kompleks. Oleh karena itu sekolah harus membuat suatu rancangan yang lebih luas untuk keterampilan emosional. Rancangan tersebut terletak pada setiap rancangan kurikulum, penggunaan peluang di dalam dan di luar kelas untuk membantu murid mengubah saat krisis pribadi menjadi pelajaran keterampilan emosional. Peneguhan pelajaran emosi bukan cuma di ruang kelas, melainkan di tempat bermain, bukan cuma di sekolah melainkan judga di rumah. Cara lain membentuk kembali peran sekolah adalah dengan membangun budaya kampus yang membuat sekolah menjadi suatu “komunitas yang peduli”, tempat murid merasa dihargai, diperhatikan, dan memiliki ikatan dengan teman sekelasnya, guru

dan sekolah itu sendiri. 12 Lamont menempuh Hillhouse Hight pada tahun-tahun sebelum

kursus pengembangan sosial diberikan di sekolah menengah itu. Apakah hidupnya akan berbeda seandainya ia memperoleh manfaat dari pendidikan semacam itu sepanjang masa sekolahnya, seperti halnya murid di sekolah-sekolah negeri New Haven sekarang ini? tanda-tandanya menunjuk pada kemungkinan jawaban ya, meskipun tak ada orang yang dapat mengatakannya dengan pasti.

Seperti di rumuskan oleh Tim Shriver, “Satu hal yang jelas: tempat pembuktian penyelesaian masalah sosial bukan saja ruang kelas,

melainkan juga kedai kopi, jalanan dan rumah.” 13

12 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal 397-400

13 Ibid , hal 401

Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, lingkungan sekolah meliputi:

1. Lingkungan fisik sekolah seperti lingkungan kampus, sarana dan prasarana belajar yang ada, sumber-sumber belajar dan media belajar.

2. Lingkungan sosial yang menyangkut hubungan peserta didik dengan teman-temannya, guru-gurunya serta staf sekolah yang lain.

3. Lingkungan akademis yaitu suasana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan berbagai kegiatan ekstra kulikuler. 14

Lingkungan sosial merupakan lingkungan pergaulan antar manusia, pergaulan antar pendidik dan peserta didik serta orang-orang lainnya yang terlibat dalam interaksi pendidikan. Interaksi pendidikan dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dan corak pergaulan antar orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, baik pihak peserta didik maupun para pendidik dan pihak lainnya. Tiap orang memiliki karakteristik pribadi masing-masing, sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok. Karakteristik ini meliputi karakteristik fisik seperti tinggi dan besar badan, nada suara, roman muka dan karakteristik

psikis seperti sifat sabar, pemarah, jurjur, setia. 15 Anak di tuntut untuk mampu melakukan hubungan sosial

karena anak selalu berhubungan dengan orang lain, baik dalam keluarganya maupun di lingkungan sekolah seperti peserta didik dengan guru dan staf di sekolah maka anak di tuntut untuk dapat membina hubungan baik dengan orang-orang tersebut. Anak dituntut

untuk menggunakan bahasa yang tepat dan baik, bersopan santun. 16

14 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal 164 15

16 Ibid , hal 5-6 Ibid , hal 122

Hubungan peserta didik dengan teman-temannya pada saat ini di tuntut untuk mampu bergaul, bekerjasama dan membina hubungan baik dengan teman sebaya, saling menolong dan

membentuk kepribadian sosial. 17 Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan

oleh Bar-On pada tahun 1992, seorang ahli Psikologi Israel. Ia mendefenisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang memengaruhi kemampuan seorang untuk

berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. 18

Untuk mengetahui betapa pentingnya seseorang mempunyai kecerdasan emosional pada dirinya, kita bisa mengacu kepada ilustrasi Goleman di bawah ini:

Moore dan Sinkler adalah peserta didik SMA Thomas Jefferson, di Brooklyn, Amerika Serikat. Moore yang kelas 3 dan Sinkler kelas

2 memiliki sahabat yang berumur 15 tahun, namanya Khalil Sumter. Moore dan Sinkler sering menjahili Khalil. Karena jengkel dan sering mendapatkan ancaman dari mereka, akhirnya Khalil bertengkar dengan mereka. Suatu pagi, karena takut dipukuli oleh Moore dan Sinkler maka Khalil membawa sepucuk pistol caliber

0.38 ke sekolah. Lalu lima meter dari seorang penjaga sekolah, ia menembak Moore dan Sinkler di lorong sekolah dari jarak dekat. Moore dan Sinkler tewas.

Peristiwa yang betul-betul mengerikan itu kata Goleman, dapat dibaca sebagai pertanda amat dibutuhkannya pelajaran dalam menangani emosi, menyelesaikan pelajaran secara damai, dan bergaul biasa. Para pendidik yang biasanya mencemaskan nilai buruk anak-anak dalam bidang

17 Ibid, hal 123 18 Op.Cit, hal 39 17 Ibid, hal 123 18 Op.Cit, hal 39

masih akan hidup minggu depan”. 19

Kecerdasan emosional adalah jenis kecerdasan yang mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Keterampilan-keterampilan ini bisa diajarkan. Perlunya kecerdasan emosional bertumpu pada hubungan antara perasaan, watak dan naluri moral. Semakin banyak bukti, bahwa sikap etik dasar dalam kehidupan berasal dari kemampuan emosional yang melandasinya. Karena, dorongan hati itu merupakan dorongan dari emosi. Benih semua dorongan adalah perasaan. Dan perasaanlah yang memunculkan diri dalam bentuk tindakan.

Mendalamnya makna kecerdasan emosional akan dapat dipahami ketika kita sudah sampai pada kesimpulan dibutuhkannya kecakapan dalam menangani emosi, menyelesaikan pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa. Sedangkan inti dari kecerdasan emosional menurut Goleman adalah pengenalan atau kesadaran diri, yakni kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Menurutnya kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi, bereaksi secara

19 Ibid , hal 190 19 Ibid , hal 190

kurikulum sekolah. 20

Menurut Muthali’ah untuk terampil secara emosional kita memerlukan latihan dan pelatihan, melatih dan dilatih bagaimana membuka hati, dilatih untuk meneliti lanskap emosi, dan cara mengambil tanggung jawab, dengan strategi pelatihan yang memberikan fokus kepada:

1. Bagaimana kita mengetahui apa yang kita inginkan dan kita rasakan, bagaimana kita merasakan emosi-emosi kita dengan benar, bagaimana kita memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional.

2. Bagaimana mengelola emosi dengan kreatif, kapan menahan dan mengekspresikan perasaan-perasaan kita.

3. Bagaimana menangani kebutaan emosi ketika berhubungan dengan orang lain.

4. Bagaimana mengaplikasikan pengetahuan kita tentang emosi- emosi kita ketika bekerja, ketika di rumah, di sekolah, di dalam kelompok sosial, dan di jalan untuk meningkatkan dan memperkuat hubungan kita dengan orang lain dan membangun hubungan-hubungan yang tulus dengan mereka.

5. Bagaimana kita mempraktikkan pendekatan berpusat cinta terhadap kekuatan pribadi di dalam masyarakat yang semakin

keras dan tidak manusiawi. 21 Pada akhirnya kecerdasan emosional disebut sebagai keterampilan

lunak yang besar andilnya dalam menentukan kesuksesan kita mulai mendapat perhatian dan mulai diperhitungkan oleh pendidik, pelaku bisnis

21 Ibid , hal 191 Muthali’ah, Konsep Diri Penunjang Prestasi, (Semarang: Gunung Jati, 2002), hal 42 21 Ibid , hal 191 Muthali’ah, Konsep Diri Penunjang Prestasi, (Semarang: Gunung Jati, 2002), hal 42

emosional peserta didik. 22

Dari hal tersebut menggambarkan adanya hal yang patut di duga, yaitu pengaruh lingkungan sekolah terhadap kecerdasan emosional peserta didik. Tentu hal ini tidak lepas dari adanya faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional baik dari dalam maupun dari luar. Faktor dari dalam antara lain kematangan uusia, kekuatan iman, taqwa dan kecerdasan sedangkan faktor dari luar berupa lingkungan sekolah dan lingkungan

sekitar serta aktivitas peserta didik yang cukup padat setiap hari. 23

Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Lingkungan yang setiap hari dimasuki remaja selain lingkungan rumah adalah lingkungan sekolahnya. Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan kalau pengaruh lingkungan sekolah terhadap

perkembangan jiwa remaja cukup besar. 24

Pengaruh lingkungan sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa karena sekolah adalah lembaga pendidikan.

22 Ibid , hal 44 23 Muthali’ah, Konsep Diri Penunjang Prestasi, (Semarang: Gunung Jati, 2002), hal 45

24 Sarlito Wrsono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal 150

Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat disamping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para peserta didiknya. Guru menempati posisi yang sangat penting dalam meningkatkan kecerdasan emosional murid- muridnya. Kecerdasan emosional peserta didik mempengaruhi keinginannya untuk belajar dan mendapatkan keterampilan serta pengalaman baru. Ini menjadi lebih penting saat guru mengetahui bahwa setiap murid mempunyai karakter emosi yang berbeda. Ketidakpedulian guru pada emosi anak akan menghambat proses pembelajaran yang dilakukannya. Akibatnya bisa lebih buruk jika guru berusaha

menghancurkan perasaan dan emosi murid-muridnya. 25

Proses Belajar Mengajar (PBM) dimulai pukul 07.15 sampai dengan 14.20, dan sebagian besar peserta didik setelah sekolah mengikuti bimbingan belajar di tempat bimbel, yang menyebabkan peserta didik kehilangan kepercayaan dirinya yang merupakan bagian dari kemampuan mengelola emosi, disebabkan terporsirnya waktu senggangnya untuk mematangkan emosi dan memaksimalkan tugas perkembangannya. Dengan demikian perlu adanya bantuan dari para pendidik di sekolah berupa bagaimana membangun kecerdasan emosional bagi peserta didik.

Beberapa kebiasaan peserta didik melalui pengamatan penulis yang mengindikasikan rendahnya kecerdasan emosional peserta didik secara

25 Ibid , hal 151

umum terlihat bahwa, peserta didik tidak mampu mengenal emosi diri (marah, sedih, takut, bahagia, cinta, kesal), tidak mampu mengelola emosi dalam diri (mengendalikan emosi), tidak mampu memotivasi diri (memberikan semangat, harapan dan optimis yang tinggi), sulit mengenali perasaan orang lain/empati (mengerti perasaan orang lain), tidak mampu membina hubungan sosial (keterampilan sosial), kurang menghargai terhadap guru, komunikasi yang kurang bagus, kemandirian yang belum muncul, tidak termotivasi dalam belajar. Guru menempati posisi yang sangat penting dalam meningkatkan kecerdasan emosional peserta didiknya. Langkah yang harus dilakukannya adalah dengan meningkatkan kecerdasan emosionalnya sendiri, dan dalam waktu yang sama berusaha meningkatkan kecerdasan emosional peserta didiknya.

Secara umum emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada anak-anak, perbedaannya adalah terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajatnya. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan cara ledakan emosi yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara, mengurung diri sendiri, termenung, cemas, atau dengan suara yang keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah. Oleh sebab itu kecerdasan emosional pada

remaja tidak stabil. 26

Berdasarkan observasi yang penulis lakukan di lapangan bahwasanya terdapat peserta didik yang belum memiliki kecerdasan

26 Elizabeth B.Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1996), hal 212 26 Elizabeth B.Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1996), hal 212

Para peserta didik juga terbiasa menggunakan bahasa yang kurang baik ketika berbicara dengan sesama temannya, seperti menyebut nama binatang dan sering menggunakan bahan candaan dengan kata-kata kotor.

Juga Yuda (nama samaran) yang suka melawan kepada guru, contohnya pada saat guru memintai tolong untuk memungut sampah yang ada di depan kelas, Yuda mengatakan “Itu ndak karajo awak do buk, suruah se urang lain maambiaknyo ”.

Namun ada juga peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, contohnya Mira yang sering menolong temannya yang sedang kesusahan seperti meminjamkan uang kepada teman dan selalu memotivasi temannya supaya rajin belajar dan mampu membanggakan orang tua seperti pesan yang pernah dikatakan oleh guru kepada Mira.

Dari beberapa fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa memang lingkungan sekolah mempengaruhi kecerdasan emosional peserta didik. Berdasarkan fakta tersebut penulis tertarik untuk meneliti “Pengaruh Lingkungan Sekolah Terhadap Kecerdasan Emosional Peserta Didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis mengemukakan rumusan masalahnya yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan sekolah terhadap kecerdasan emosional peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui kondisi lingkungan sekolah peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang

b. Untuk mengetahui kecerdasan emosional peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang

c. Untuk mengetahui pengaruh lingkungan sekolah terhadap kecerdasan emosional peserta didik di SMPN 1 Sintuk Toboh Gadang

2. Manfaat penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yaitu sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Secara teoritis, lingkungan sekolah ada pengaruhnya terhadap peningkatan kecerdasan emosional peserta didik, sehingga dengan kondisi lingkungan sekolah yang nyaman, mendukung peserta didik dan dapat berpengaruh positif terhadap terciptanya kecerdasan emosional peserta didik yang baik.

b. Manfaat praktis

1. Bagi peserta didik: Sebagai pedoman dalam melaksanakan pembinaan perilaku, serta dapat membantu masalah yang dihadapi dalam hal meningkatkan kecerdasan emosional.

2. Bagi guru BK: Sebagai bahan masukan agar lebih dapat memahami anak didiknya dan memberikan pemahaman bahwa lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang berpengaruh terhadap peningkatan kecerdasan emosional peserta didik.

3. Bagi penulis: Untuk melengkapi tugas dan syarat dalam rangka mencapai gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Manajemen Pendidikan Islam Prodi Bimbingan dan Konseling Islam di Lingkungan UIN Imam Bonjol Padang.

D. Penjelasan Judul

Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami penelitian ini, di bawah ini akan dijelaskan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian tersebut:

Pengaruh: Daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Lingkungan Sekolah: Kesatuan ruang dalam lembaga pendidikan formal yang memberikan pengaruh pembentukan sikap dan pengembangan potensi peserta didik.

Kecerdasan Emosional: Kemampuan individu dalam mengelola, mengontrol, memahami dan menganalisis segala bentuk emosi agar tindakan yang diperbuat tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri.

Peserta Didik: Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Jadi yang penulis maksud dengan judul penelitian ini adalah pengaruh lingkungan sekolah (hubungan peserta didik dengan teman- temannya, hubungan peserta didik dengan guru-gurunya serta hubungan peserta didik dengan staf sekolah lainnya) yang memungkinkan meningkatnya kecerdasan emosional (mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan kemampuan untuk membina hubungan) bagi peserta didik.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Teori

1. Kecerdasan Emosional

a. Pengertian Kecerdasan Emosional Menurut Djaali kecerdasan emosi adalah “Daya penyesuaian diri dengan keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berfikir menurut tujuannya, dengan demikian orang yang cerdas akan lebih cepat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi emosi yang sedang

dialaminya”. 1 Senada dengan itu menurut W. Stern kecerdasan emosi adalah

“Kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat dalam suatu situasi emosi yang baru”. 2

Menurut Spearman dan Jones kecerdasan emosi adalah “Suatu konsepsi lama tentang kekuatan (power) yang dapat mengendalikan manusia dari gangguan-gangguan emosi, yang timbul akibat banyaknya

masalah”. 3 Menurut Iskandar kecerdasan adalah kemampuan untuk

membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana emosi, temperamen,

1 Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), hal 64

3 Agus sujanto, Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal 66 Hamzah, Orientasi dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal 58 3 Agus sujanto, Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal 66 Hamzah, Orientasi dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal 58

Dari beberapa pendapat tentang kecerdasan dan emosi diatas Goleman mendefenisikan kecerdasan emosi sebagai : “Kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi,

mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, dan mampu mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdoa atau merupakan jembatan antara apa yang kita ketahui dan apa yang kita lakukan. Maka semakin tinggi kecerdasan emosi kita akan semakin

terampil melakukan apapun yang kita ketahui benar”. 5

Senada Salovey dan Mayer bahwa “Kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri dan orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi untuk

membimbing pikiran dan tindakan”. 6 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan emosi merupakan kemampuan individu dalam mengelola, mengontrol, memahami dan menganalisis segala bentuk emosi agar tindakan yang diperbuat tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri.

Emosi menurut English and English adalah “ A complex feeling state accompanied by characteristic motor and glandular activities , (Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik

kegiatan kelenjar dan motoris). 7

4 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Mengapa EI Lebih Penting dari IQ. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal 59 5

6 Ibid, hal 417

7 Aunurahman, Belajar dan Pembelajaran. (Bandung: Alfabeta, 2011), hal 87

Yudrik jahja, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : Kencana Prendamedia, 2011), hal 188

Adapun Sarlito Sarwono dalam buku Yudrik Jahja berpendapat bahwa emosi merupakan “ Setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna efektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun dalam

tingkat yang luas (mendalam)”. 8 Lebih lanjut, Goleman menganggap “Emosi merujuk pada suatu

perasaan dan pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak”. Seperti uraian tersebut, bahwa emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, jadi berbagai macam emosi mendorong individu untuk melakukan sesuatu atau merespon tingkah laku terhadap stimulus yang

ada. 9 Sementara itu, Goleman mengidentifikasi berbagai macam emosi

antara lain:

1. Marah: beringas, mengamuk, benci marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, tersinggung, bermusuhan dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis.

2. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat.

3. Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut sebagai patologi, fobia dan panic.

4. Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali, dan batas ujungnya, mania.

5. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dendam, bakti, hormat, kasmaran, kasih.

6. Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana.

7. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka atau muntah.

8 Ibid, hal 189 9 Daniel Goleman, Op.Cit, hal 412

8. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.

Chaplin mendefinisikan “Emosi sebagai suatu keadaan yang terancang dari organisme mencakup perubahan yang didasari, yang

mendalam sifatnya dan perubahan perilaku”. 10 Sementara itu, menurut Crow & Crow bahwa emosi adalah

“Pengalaman yang afektif yang disertai penyesuaian batin secara menyeluruh, dimana keadaan mental dan fisiologi sedang dalam kondisi yang meluap-luap dan memperlihatkan tingkah laku yang jelas dan nyata”. Emosi yang baik atau yang buruk sudah ada sejak lahir, yang membedakan hasilnya adalah apa yang kita perbuat dengan memahami dan mengontrol

emosi itu sendiri. 11 Menurut Hathersall mengemukakan bahwa emosi adalah “Situasi

psikologis yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh”. 12

Menurut Saphiro Pater Salovey dan Jhon Mayer menjelaskan kualitas kecerdasan emosi yang dianggap penting untuk mencapai keberhasilan, antara lain:

1. Empati

2. Mengungkapkan dan memahami emosi

3. Mengendalikan amarah

4. Kemampuan kemandirian

5. Kemampuan menyesuaikan diri

6. Diskusi

7. Kemampuan memecahkan masalah pribadi

10 Mohammad Ali & Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hal 6 11 12 Djaali, Op.Cit, hal 37

Mudjiran dkk, Perkembangan Peserta Didik, (Padang: UNP Press, 2007), hal 83

8. Ketekunan

9. Kesetiakawanan

10. Keramahan dan

11. Sikap hormat. 13

Berdasarkan jenis-jenis kualitas kecerdasan emosi di atas dapat disimpulkan bahwa individu tidak bisa terlepas dari kecerdasan emosi dikarenakan apabila individu itu tidak mampu mengelola, mengontrol, memahami dan menganalisa secara baik mengenai emosinya maka individu tersebut belum bisa dikatakan berhasil dalam pencapaian kesuksesan di dalam dirinya begitu pula sebaliknya apabila individu tersebut sudah bisa mengontrol, memahami, mengelola dan menganalisis emosinya maka individu tersebut sudah bisa dikatakan sukses dalam pencapaian dirinya.

b. Indikasi Kecerdasan Emosi Indikasi-indikasi kecerdasan emosi terdiri dari lima unsur yaitu sebagai berikut:

1. Kemampuan mengenali emosi diri Kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul. Seseorang yang mampu mengenali emosinya sendiri adalah bila ia memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan- keputusan secara mantap. Misalnya sikap yang diambil dalam

13 Ibid, hal 89 13 Ibid, hal 89

Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Adz-Zariyat ayat 21:

Artinya: “Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak

memperhatikannya ” Dengan bentuk pertanyaan, Alla SWT memotivasi manusia agar selalu berusaha mengetahui, mengenali dirinya sendiri.

2. Kemampuan mengelola emosi Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang dalam untuk mengendalikan perasaannya sendiri, sehingga tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilaku yang salah. Misalnya seseorang yang sedang marah, maka kemarahan itu tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan akibat yang akhirnya disesalinya dikemudian hari.

3. Kemampuan memotivasi diri Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat yang didalamnya terkandung unsur harapan dan optimis yang tinggi, sehingga seseorang memiliki kekuatan

14 Daniel Goleman, Op.Cit, hal 57 14 Daniel Goleman, Op.Cit, hal 57

4. Kemampuan mengenali emosi orang lain (Empati) Kemampuan mengenali emosi orang lain (empati) merupakan kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang lain akan merasa senang dan dimengerti perasaannya. Anak-anak yang memiliki kemampuan ini, yaitu sering pula disebut sebagai kemampuan berempati, mampu menangkap pesan non verbal dan orang lain seperti : nada bicara, gerak-gerik, maupun ekspresi wajah dari orang lain tersebut. Dengan demikian anak-anak ini akan

cenderung disukai orang. 15

5. Kemampuan membina hubungan sosial Kemampuan membina hubungan sosial merupakan kemampuan untuk mengelola emosi orang lain, sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul dan menjadi lebih

populer. 16 Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan emosi sangat penting dikelola dengan baik, dikarenakan berbagai macam manfaat yang didapatkan peserta didik agar mampu

16 Ibid, hal 58 Ibid , hal 59 16 Ibid, hal 58 Ibid , hal 59

Al-qur’an menjelaskan berbagai macam emosi yang berhubungan dengan kecerdasan emosional diantaranya adalah Surat Ar-Ruum ayat 21:

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dan jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ”.

Pada ayat tersebut, Allah SWT meningatkan pada orang yang berfikir, bahwa mereka telah nikmat cinta dan kasih sayang, yang mesti dikelola dengan sebaik-baiknya. Apabila mereka menggunakan kecerdasan emosionalnya dengan mengendalikan emosinya, mengelola cintanya dengan sebaik-baiknya maka akan melahirkan kedamaian dan ketenteraman.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan emosi Menurut Goleman terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, yaitu:

1. Faktor internal, merupakan faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosi seseorang. Otak emosi dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosi.

2. Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak

maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit. 17 Sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi

remaja adalah:

a) Perubahan Jasmani Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan tubuh tidak seimbang, ketidakseimbangan tubuh ini dapat mengakibatkan kondisi perkembangan emosi remaja. Tidak setiap individu dapat menerima perubahan kondisi tubuh seperti itu hormon-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga

17 Ibid , hal 62 17 Ibid , hal 62

b) Perkembangan Pola Interaksi dengan Orang Tua Perbedaan pola asuh orang tua dapat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja. Cara memberikan hukuman misalnya, kalau dulu anak dipukuli karena nakal, pada masa remaja cara semacam ini justru dapat mernimbulkan ketegangan yang lebih berat

antara remaja dan orang tuanya. 18

c) Perubahan Interaksi dengan Teman Sebaya Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan teman lawan jenis. Pada masa remaja tengah biasanya remaja benar-benar mulai jatuh cinta dengan teman lawan jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja tetapi tidak jarang juga menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada remaja jika tidak diikuti dengan bimbingan dari orang tua atau orang yang lebih dewasa. Perubahan Pandangan Luar

Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosi dalam diri remaja, sebagai berikut:

1. Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten. Kadang- kadang mereka dianggap sudah dewasa tetapi mereka tidak mendapatkan kebebasan penuh atau peran yang wajar sebagaimana

18 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Op.Cit, hal 69 18 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Op.Cit, hal 69

emosi. 19

2. Masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk remaja laki-laki dan perempuan. Kalau remaja laki-laki mempunyai banyak teman perempuan mereka mendapat predikat populer, sebaliknya apabila remaja putri mempunyai banyak teman laki-laki sering dianggap tidak baik atau bahkan mendapat predikat kurang baik. Hal ini juga mempengaruhi perilaku emosi seseorang.

3. Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab yaitu dengan cara melibatkan remaja tersebut kedalam kegiatan-kegiatan yang merusak dirinya dan melanggar nilai-nilai moral. Misalnya, penyalahgunaan obat terlarang, minuman keras, serta tindak kriminal dan kekerasan. Perlakuan dunia luar semacam ini akan sangat merugikan perkembangan emosi remaja.

d) Perubahan Interaksi dengan Sekolah Pada masa kanak-kanak sebelum menginjak remaja sekolah merupakan tempat pendidikan yang diidealkan oleh mereka. Para guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan mereka karena selain tokoh intelektual guru juga merupakan tokoh otoritas

19 Ibid , hal 70-71 19 Ibid , hal 70-71

materi-materi yang positif dan konstruktif. 20 Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi

di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi diantaranya faktor dari dalam diri individu sendiri serta pengaruh dari luar individu seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.

d. Metode Memasukkan Pembelajaran Kecerdasan Emosional pada Kurikulum Sekolah Sebagian orang menyatakan bahwa guru dibebani dengan tugas yang sangat berat. Mereka menyatakan bahwa guru tidak memiliki waktu untuk memberikan materi tambahan guna mengembangkan EQ murid.

Sebenarnya kita tidak membutuhkan materi baru yang khusus ditujukan untuk mengembangkan EQ. Namun kita bisa menggabungkan unsur pendidikan EQ dalam materi pelajaran yang sudah ada, sehingga tidak diperlukan lagi waktu ekstra. Metode yang mungkin dilakukan adalah :

1. Memasukkan unsur-unsur pendidikan emosi dalam materi pelajaran yang sudah ada. Misalnya dalam pelajaran IPA atau matematika,

20 Ibid, hal 72 20 Ibid, hal 72

2. Memasukkan unsur-unsur pendidikan emosi melalui perilaku guru dalam membenarkan dan meluruskan perilaku perilaku peserta didik. Dalam situasi ini, guru mengajarkan pada muridnya bagaimana mengendalikan perasaan marah, bagaimana mengarahkan perilaku mereka, dan bagaimana mengatasi masalah yang mereka hadapi.

3. Mengembangkan EQ peserta didik dengan mengarahkan mereka bagaimana cara mengatasi konflik di dalam kelas maupun di luar kelas. Untuk ini guru bisa menggunakan aktivitas yang beragam.

4. Guru mengajak peserta didik menganalisa peristiwa yang terjadi di masyarakat memahaminya dengan benar. Barangkali dengan membuat kesepakatan diantara mereka untuk mengadakan kegiatan bakti sosial dilapangan sekolah sebagai bentuk respon mereka atas

peristiwa tersebut. 21

e. Peran Guru dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosional Peserta Didik

1. Membantu peserta didik mempelajari bahasa emosi dan kalimat yang digunakan untuk mengekspresikannya.

2. Membantu peserta didik untuk “Merasa” dirinya diperhatikan oleh guru, bukan dikuasai oleh guru.

21 Makmum Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar), hal 128

3. Melatih peserta didik untuk mengenali berbagai berbagai situasi emosi dan membedakan satu emosi dengan lainnya.

4. Guru harus memahami emosi dan ketakutannya sendiri.

5. Guru berusaha mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan emosinya muncul dan jangan mencela murid karena emosinya sendiri.

6. Guru berusaha mengenali kebutuhan emosinya yang belum terpenuhi, jangan sampai memenuhi kebutuhan tersebut dengan melampiaskan emosi pada murid, atau jangan mengutamakan

kebutuhan dirinya di atas kebutuhan murid. 22

2. Lingkungan Sekolah

a. Pengertian Lingkungan Sekolah

Lingkungan diartikan sebagai kesatuan ruang suatu benda, daya, keadaan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya baik yang menyangkut aspek moral, spiritual, intelektual, emosional maupun sosial.

22 Ibid , hal 130

Jadi lingkungan sekolah adalah kesatuan ruang dalam lembaga pendidikan formal yang memberikan pengaruh pembentukan sikap dan

pengembangan potensi peserta didik. 23 Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, lingkungan sekolah meliputi:

1. Lingkungan fisik sekolah seperti lingkungan kampus, sarana dan prasarana belajar yang ada, sumber-sumber belajar dan media belajar.

2. Lingkungan sosial yang menyangkut hubungan peserta didik dengan teman-temannya, guru-gurunya serta staf sekolah yang lain.

3. Lingkungan akademis yaitu suasana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan berbagai kegiatan ekstra kulikuler. 24

Lingkungan sosial merupakan lingkungan pergaulan antar manusia, pergaulan antar pendidik dan peserta didik serta orang-orang lainnya yang terlibat dalam interaksi pendidikan. Interaksi pendidikan dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dan corak pergaulan antar orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, baik pihak peserta didik maupun para pendidik dan pihak lainnya. Tiap orang memiliki karakteristik pribadi masing-masing, sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok. Karakteristik ini meliputi karakteristik fisik seperti

23 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2011), hal 66 24

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal 164 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal 164

Anak di tuntut untuk mampu melakukan hubungan sosial karena anak selalu berhubungan dengan orang lain, baik dalam keluarganya maupun di lingkungan sekolah seperti peserta didik dengan guru dan staf di sekolah maka anak di tuntut untuk dapat membina hubungan baik dengan orang-orang tersebut. Anak dituntut

untuk menggunakan bahasa yang tepat dan baik, bersopan santun. 26 Hubungan peserta didik dengan teman-temannya pada saat

ini di tuntut untuk mampu bergaul, bekerjasama dan membina hubungan baik dengan teman sebaya, saling menolong dan

membentuk kepribadian sosial .27

b. Pengaruh Lingkungan Sekolah Terhadap Kecerdasan Emosional

Ketika lingkungan keluarga bagi semakin banyak anak bukan lagi merupakan landasan kokoh dalam kehidupan, sekolah tersisa sebagai salah satu tempat dimana masyarakat dapat menoleh mencari pembetulan terhadap cacat anak di bidang keterampilan emosional dan pergaulan. Keterampilan emosional menyiratkan lebih lebih diperluasnya lgi tugas sekolah, dengan memikul tanggung jawab atas kegagalan keluarga dalam mensosialisasikan anak. Tugas yang maha berat ini membutuhkan dua

26 Ibid , hal 5-6 27 Ibid , hal 122 I

bid, hal 123 bid, hal 123

Sekolah merupakan salah satu lahan yang pas untuk mengembangkan kecerdasan emosional para peserta didik, sekaligus untuk memperbaiki kecacatan anak di bidang keterampilan emosional dan pergaulan. Karena praktis ketika anak masuk sekolah (setidaknya pada awalnya), di sekolahlah anak diberi pelajaran dasar untuk hidup yang barangkali tidak pernah ia dapatkan dengan cara yang lain.