Chapter I Laju Pertumbuhan Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang Dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Ikan Botia
Ikan botia (Gambar 2.) merupakan ikan hias asli dari perairan Sumatera dan
Kalimantan dan sudah menjadi komoditas ekspor primadona ikan hias air tawar
selama puluhan tahun. Spesies ini dikenal juga dalam dunia perdagangan sebagai
sebutan clown loach atau tiger botia. Nama lokal ikan ini adalah ikan macan

Universitas Sumatera Utara

(Sumatera), gecubang (Lampung), biju bana (Jambi), languli (Mahakam) (Suseno dan
Subandiah, 2000).

Gambar 2. Ikan Botia (Chromobotia macracanthus)

Klasifikasi ikan botia adalah sebagai berikut (Kottelat, 2004) :
Kingdom

: Animalia

Filum


: Chordata

Sub Filum

: Vertebrata

Kelas

: Pisces

Ordo

: Cypriniformes

Famili

: Cobitidae

Genus


: Chromobotia

Spesies

: Chromobotia macracanthus

Menurut Sterba (1969) diacu oleh Sari (2003); Weber dan Beaufort (1916)
diacu oleh Kamal (1992); Kottelat dkk. (1993); dan Satyani dkk. (2006), bahwa ciri
morfologis ikan botia yaitu memiliki bentuk tubuh memanjang agak pipih ke samping
dan ditutupi sisik halus (sikloid), kepala agak meruncing pipih ke arah mulut (seperti
torpedo), mulut terdapat di ujung anterior dan mengarah agak ke bawah dengan empat
pasang sungut diatasnya, bukaan mulut berbentuk sepatu kuda, bibir tebal dan
berlamela, yaitu semacam pelat tipis. Mempunyai patil atau duri dibawah mata yang

Universitas Sumatera Utara

akan keluar apabila merasa ada bahaya. Sirip dada dan sirip perut berpasangan, sirip
punggung tunggal dan sirip ekor bercagak dalam.
Warna ikan kuning cerah dengan tiga garis lebar atau pita hitam lebar. Pita

pertama melingkari kepala melewati mata, yang kedua dibagian depan sirip punggung
dan yang ketiga memotong sirip punggung bagian belakang sampai ke pangkal ekor.
Sirip berwarna merah oranye kecuali sirip punggung yang terpotong garis hitam
(Satyani dkk., 2006).
Ukuran ikan botia di alam dapat mencapai 30 cm, tetapi jika dipelihara di
akuarium ukurannya hanya mencapai 15-20 cm, bahkan pernah ditemukan mencapai
ukuran 40 cm (Suseno dan Subandiah, 2000). Menurut Kamal (1992) ikan botia yang
tertangkap di Sungai Batang Hari ukuran panjang totalnya mencapai 30,5 cm.

Ekologi dan Makanan Ikan Botia
Distribusi ikan botia hanya terdapat di Sumatera (DAS Batanghari-Jambi dan
DAS Musi-Sumatera Selatan) dan di Kalimantan (DAS Kapuas-Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan Daerah Aliran Sungai Barito-Kalimantan Selatan)
(Dinas Kelautan dan Perikanan, 2006). Di Sumatera ikan botia menyebar di Sungai
Tulang Bawang (Lampung), Teluk Betung, Sungai Pangabuang, Sungai Musi dan
sekitarnya, Sungai Kwanten, Sungai Batang Hari dan Danau Maninjau. Penyebaran
ikan botia di Kalimantan yaitu di Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas,
Sungai Bongan dan Sungai Mahakam (Weber dan Beaufort, 1916 diacu oleh Kamal,
1992; Suseno dan Subandiah, 2000).
Habitat ikan botia terdapat di daerah sungai dengan kondisi air dengan pH agak

asam antara 5-7, kisaran suhu 24-30oC dan perairan jernih dengan batu-batuan dasar

Universitas Sumatera Utara

merupakan habitat ikan botia (Satyani, dkk., 2006). Di alam, ikan botia banyak
ditemukan mulai dari hulu sampai ke muara, serta berkumpul di dasar perairan tenang
(tidak berarus deras) karena ikan ini cenderung bergerombol atau bersifat schooling.
Menurut Satyani dkk., (2006), anak-anak ikan botia hidup di daerah yang
berarus lemah, substrat berupa lumpur dan kekeruhan tinggi dengan kedalaman 5-10
m. Sementara induknya berada di daerah berarus kuat (hulu) yang jernih, substrat
berpasir dan berbatu dengan kedalaman maksimum adalah sekitar 2 m. Ikan botia
merupakan ikan peruaya yaitu beruaya dari habitat asuhan (hilir) ke habitat induk
(hulu). Ruaya mulai dilakukan seiring dengan adanya perubahan kualitas air, pada saat
benih ikan berukuran panjang >2 cm. Ruaya mulai dilakukan pada pertengahan musim
penghujan yaitu sekitar bulan Januari jika musim penghujan dimulai pada bulan
Oktober (Nurdawati dkk., 2006). Di akuarium, ikan ini sangat menyukai tempat
berlindung (shelter) dan intensitas cahaya yang rendah di dasar perairan (Sterba 1969
diacu oleh Sari, 2003).
Ikan botia tergolong ikan omnivor yang cenderung karnivor (Samuel dkk.,
1994) dan pemakan dasar (Kamal, 1992), menyukai hewan-hewan kecil seperti

Tubifex sp., larva serangga, Daphnia sp., jentik nyamuk dan sisa-sisa makanan. Ikan
botia makan pada siang atau malam hari dan dalam mencari makanannya dibantu oleh
alat peraba berupa sungut sebanyak empat pasang (Saanin, 1968).

Pakan Alami dan Pakan Buatan
Pakan Alami
Pakan alami merupakan pakan yang sudah tersedia di alam, baik dengan atau
tanpa bantuan aktifitas manusia dalam hal pengadaannya. Pakan alami ikan merupakan

Universitas Sumatera Utara

organisme hidup yang menghuni suatu perairan, baik berupa tumbuhan maupun hewan
dan dapat dikonsumsi oleh ikan. Jenis-jenis pakan alami yang dimakan oleh ikan
sangat bermacam-macam tergantung pada jenis ikan dan tingkat umurnya. Pada saat
benih ikan mulai belajar mencari makan dari luar, makanan yang pertama-tama
mereka makan adalah plankton yang ukurannya sesuai dengan bukaan mulut benih
(Djariah, 1995).
Pakan alami merupakan pakan awal dan utama bagi benih ikan karena
memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Kandungan gizi yang terdapat dalam
pakan alami antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Nilai

kandungan gizi yang cukup tinggi dan baik dalam pakan alami sangat diperlukan oleh
benih ikan pada masa kritis untuk hidup dan tumbuh dari fase benih ke fase
selanjutnya. Pakan alami yang diberikan kepada benih ikan harus memenuhi syarat
antara lain berukuran lebih kecil dari diameter bukaan mulut benih ikan, mengandung
kandungan nutrisi tinggi, mudah dicerna dengan baik, dan memiliki warna yang
mencolok, dapat bergerak dan terapung atau tersuspensi dalam air sehingga dapat
merangsang benih ikan untuk memakannya

(Djariah, 1995).

Pakan Buatan (Pakan Komersil)
Pakan buatan adalah makanan yang kita ramu atau kita buat sendiri yang terdiri
dari bahan-bahan alami yang berupa bahan nabati dan hewani atau dari beberapa
macam bahan yang kemudian kita olah menjadi bentuk khusus sebagaimana yang kita
kehendaki. Fungsi dari pakan utama sendiri yaitu untuk pemeliharaan tubuh dan
mengganti jaringan tubuh yang rusak, menunjang aktifitas metabolisme dan untuk
pertumbuhan serta reproduksi (Herawati, 2005). Sedangkan kelebihan pakan buatan

Universitas Sumatera Utara


itu sendiri, yaitu dapat meningkatkan padat produksi melalui padat penebaran tinggi
dengan waktu pemeliharaan yang pendek, dapat memanfaatkan limbah industri
pertanian yang berupa sisa-sisa buangan dan rasa pakan buatan dapat kita atur sesuai
dengan selera serta kebutuhan yaitu dengan mengatur susunan formulasinya.
Pakan buatan yang diberikan harus mengandung zat gizi yang dibutuhkan ikan
untuk menghasilkan energi dan menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh. Untuk
menghasilkan energi, ikan membutuhkan asupan protein, lemak dan karbohidrat.
Untuk menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh, ikan membutuhkan vitamin dan
mineral (Hoar dkk., 1979).

Biologi Cacing Sutra
Cacing sutera (Gambar 3.) merupakan hewan tingkat rendah karena tidak
memiliki tulang belakang (vertebrae) yang disebut juga dengan invertebrata, ordo
Haplotaxida, famili tubificidae dan genus Tubifex. Oligochaeta merupakan salah jenis
pendatang penghuni dasar (bentos) yang suka membenamkan diri dalam lumpur
(Johan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Cacing Sutera


Menurut Muller (1774), Tubifex sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum

: Annelida

Kelas

: Clitellata

Ordo

: Oligochaeta

Famili

: Tubificidae

Genus


: Tubifex

Species

: Tubifex sp.

Tubifex sp. merupakan jenis cacing air tawar yang sangat disukai oleh benihbenih ikan. Cacing berwarna merah, karena mengandung erythrocruorin yang larut
dalam darah. Pada umumnya cacing ini mengandung asam-asam amino yang cukup
lengkap dan biasanya diberikan sebagai makanan ikan hias, pakan alami ini diberikan
umumnya untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan laju pertumbuhannya
(Scheurman, 1990 diacu oleh Febrianti, 2004).
Secara fungsional dan ekologi Tubifex terbagi menjadi 2 tipe, yaitu microdrile
dan megadrile. Microdrile merupakan spesies akuatik, berukuran 1-30 mm, dinding

Universitas Sumatera Utara

tubuh tipis, agak transparan. Sedangkan megadrile merupakan spesies darat, dinding
tubuh tebal, umumnya panjang antara 5-30 cm (Suwingnyo dkk., 2005).
Menurut Muliasari (1993), famili Tubificidae memiliki siklus hidup yang
relatif pendek, yaitu 42-50 hari dan memiliki fekunditas sebesar 92-340 butir,

bertoleransi pada kadar oksigen yang rendah dan mudah berkembang dalam substrat
dari sampah-sampah organik yang terbuang, serta dapat bertahan pada keadaan
anaerob hingga 48 hari pada suhu 0oC – 20C dan semakin besar temperaturnya
semakin kecil kelangsungan hidupnya.

Ekologi dan Makanan Cacing Sutera
Tubifex sp. hidup diperairan tawar jernih sedikit mengalir dengan dasar
mengandung banyak bahan organik sehingga sering ditemukan pada sungai atau danau
bersedimen halus. Kondisi dasar perairannya berpasir (41,4%), tanah halus (46%) dan
lumpur (11,3%). Cacing dewasa ditemukan pada permukaan sedimen sampai
kedalaman 4 cm, sedangkan juvenil ditemukan pada kedalaman hingga

2 cm.

Cacing ini akan membenamkan bagian kepala pada dasar perairan sementara bagian
ekor disembulkan dari dasar untuk melakukan pernapasan (Djarijah,1995).
Cacing sutera yang juga disebut “sludge worms” atau tubifex worm dengan
panjang lebih dari 2 cm ada yang hidup di air tawar dan air laut. Beberapa cacing sutra
sangat umum hidup di daerah dengan polusi limbah organik tingkat tinggi (Brusca dan
Brusca, 1990). Cacing sutera mempunyai habitat lingkungan dengan konduktivitas

tinggi, kedalaman rendah, sedimen liat berpasir atau liat berlumpur, kecepatan arus
rendah, dan jumlah yang berubah-ubah dari bahan-bahan organik (Marchese, 1987).

Universitas Sumatera Utara

Selain pada kedalaman rendah cacing sutera juga ditemukan pada bagian terdalam
danau (Pennak, 1953).
Umumnya jenis oligochaeta yaitu cacing tanah dan tubifex, mendapatkan
makanan dengan cara menelan substrat, dimana bahan organik yang melalui saluran
pencernaan akan dicerna, kemudian tanh beserta sisa pencernaan dibuang melalui
anus. Adakalanya makanan itu terdiri atas ganggang filamen, diatom dan detritus.
Oligochaeta banyak tinggal pada lubang-lubang tanah atau didasar lumpur dan sampah
tanaman pada aliran air tawar, empang dan danau. Kebanyakan oligochaeta ditemukan
pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya
oligochaeta dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah (Wilmoth,
1967).
Tubificid seringkali dihubungkan dengan lingkungan yang tercemar. Jenis
cacing tubificid yang dapat berkembang dengan subur pada kondisi tercemar dari
cacing Tubifex tubifex dan Limnodrillus hoffmeisteri dengan jumlah kurang lebih sama
(Yuherman, 1987). Keberhasilan cacing tubificidae hidup pada lingkungan yang
tercemar organik berat adalah karena kemampuannya untuk melakukan respirasi pada
tekanan oksigen yang sangat rendah. Laju respirasi Tubifex tubifex hampir tidak
terpengaruh pada kadar oksigen terlarut serendah 20% dari kejenuhan udara (Palmer,
1968).

Kultur Cacing Sutera
Cacing sutera sudah dibudidayakan sejak lama, para pembudidaya awalnya
mendapati cacing sutera pada lubang-lubang tanah atau didasar lumpur dan sampah
tanaman pada aliran air tawar, empang dan danau. Kebanyakan Tubifex sp. ditemukan

Universitas Sumatera Utara

pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya
cacing Tubifex sp. dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah
(Wilmoth, 1967). Kultur cacing sutera pada dewasa ini sudah mulai mendapat
perhatian yang perkembangan budidaya cacing ini mulai dari menggunakan ember
dengan bantuan tambahan penyuplai oksigen dengan menggunakan aerasi hingga
mengggunakan lahan yang terdapat di alam sebagai wadah kultur (sistem terbuka) dan
beberapa peneliti pernah menggunakan sistem resirkulasi dan membuat design wadah
sendiri.
Penelitian Febrianti (2004), yang mengkaji tentang pengaruh pemupukan
harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing
sutera dengan padat tebar awal 150 individu/wadah dimana ukuran wadah yang
dipakai 80 x 20 x 15 cm dan diperoleh hasil tertinggi pada dosis pupuk 1 kg/m2/hari
dengan jumlah populasi 213.415 individu/m2 dan biomassa sebesar 292 g/m2 pada
masa pemeliharaan 40 hari.
Sedangkan Febriyani (2012), meneliti juga mengenai Tubifex sp. dimana
mengkaji tentang padat penebaran yang berbeda dengan sistem terbuka dengan wadah
kultur 100 x 25 x 20 cm. Memperoleh hasil tertinggi dengan padat penebaran 4.600
individu/m2 dengan populasi 447.904 individu/m2 dan biomassa sebesar 2.239,52 g/m2
pada masa pemeliharaan 40 hari. Dengan laju pertumbuhan biomassa didapati sebesar
55,41 g/m2/hari dengan kondisi dosis pemberian pupuk sebesar 1 kg/m2/hari.

Pengaruh Pemupukan
Pemupukan dalam budidaya cacing sutra bertujuan untuk menambah sumber
makanan baru pada media pemeliharaan cacing sutra. Pemberian pupuk tambahan

Universitas Sumatera Utara

yang berbeda baik frekuensi maupun jumlah setiap pemberian pupuk secara langsung
akan mempengaruhi bahan organik dalam media. Tingginya bahan organik dalam
media akan menyebabkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh
bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makan pada media yang dapat
mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988).
Teknologi fermentasi juga dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan
produktivitas cacing sutera. Penggunaan pupuk yang difermentasi memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang yangtidak difermentasi. Hal ini
dapat dilihat dengan membandingkan hasil penelitian Fadillah (2004) yang
menggunakan pupuk kotoran ayam yang difermentasi dengan Febriyanti (2004) yang
menggunakan pupuk kotoran ayam kering tanpa difermentasi. Pada penelitian Fadillah
(2004) diperoleh hasil hasil terbaik sebesar 1.720 g/m2, sedangkan Febriyanti (2004)
memperoleh hasil terbaik 292 g/m2. Pupuk yang dapat digunakan untuk budidaya
cacing sutra bermacam- macam, Findy menggunakan kotoran sapi, sedangkan Fadillah
(2004) dan Febriyanti (2004) menggunakan kotoran ayam. Selain kedua pupuk
tersebut, dapat juga digunakan kotoran domba.

Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Tolak ukur kegiatan pembenihan ikan adalah pertumbuhan. Dikarenakan
pertumbuhan dari larva hingga menjadi benih terlihat dalam kurva pertumbuhan ikan
sangat besar. Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam
suatu waktu. Pertumbuhan ikan dipengaruhi faktor internal dan eksternal (Effendie,
1997). Faktor internal meliputi keturunan, kematangan gonad, parasit dan penyakit.
Faktor eksternal meliputi suhu, oksigen, makanan, padat penebaran dan bahan

Universitas Sumatera Utara

buangan metabolit. Apabila jumlah ikan melebihi batas kemampuan suatu wadah
maka ikan akan kehilangan berat. Selain itu persaingan dalam hal makanan sangat
penting karena kompetisi untuk memperoleh makanan lebih tinggi pada padat
penebaran yang lebih tinggi dibandingkan padat penebaran yang lebih rendah. Oleh
karena itu, pada padat penebaran lebih tinggi ukuran ikan lebih bervariasi sedangkan
padat penebaran yang lebih rendah relatif seragam dan

ukurannya lebih besar

(Serdiati, 1988).
Sebagai data penunjang pertumbuhan diperlukan data kelangsungan hidup.
Kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah organisme yang hidup pada akhir
periode dengan jumlah organisme yang hidup pada awal periode (Effendie, 2004).
Tingkat kelangsungan hidup dapat digunakan untuk mengetahui toleransi dan
kemampuan ikan untuk hidup. Dalam usaha budidaya, faktor kematian yang
mempengaruhi kelangsungan hidup larva atau benih. Mortalitas ikan disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam tubuh ikan yang
mempengaruhi

mortalitas

adalah

perbedaan

umur

dan

kemampuan

untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan. Faktor luar meliputi kondisi abiotik, kompetisi
antar spesies, meningkatnya predator, parasit, kurang makanan, penanganan,
penangkapan dan penambahan jumlah populasi ikan dalam ruang gerak yang sama.
Kematian ikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah oleh kondisi
abiotik, ketuaan, predator, parasit, penangkapan dan kekurangan

makanan

(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).
Dalam hal ini perlu upaya peningkatan kelangsungan hidup yang dapat
dilakukan dengan pengaturan padat tebar, kualitas air dan ketersediaan pakan sesuai
dengan kebutuhan ikan. Padat penebaran yang tepat akan menghasilkan pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara

yang optimal dan kelangsungan hidup yang maksimal. Tingkat kelangsungan hidup
akan menentukan produksi yang diperoleh dan erat kaitannya dengan ukuran ikan
yang dipelihara. Ikan yang lebih kecil akan rentan terhadap penyakit dan parasit.
Kelangsungan hidup ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
diantaranya kepadatan dan kualitas air. Umumnya laju kelangsungan hidup benih lebih
tinggi dibandingkan larva, karena benih lebih kuat (Effendi, 2004).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April tahun 2014, dan
dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Sumatera Utara.

Bahan dan Alat
Kultur Cacing Sutera
Bahan-bahan yang digunakan pada kultur cacing sutera antara lain pasir halus,
cacing sutera, kotoran ayam, kotoran sapi dan kotoran domba. Sedangkan alat-alat

Universitas Sumatera Utara