SPP 2013_4 Recent site activity teeffendi
Sinkronisasi dalam
Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana adalah teori yang berkenaan
dengan upaya pengendalian kejahatan melalui
kerjasama dan koordinasi di antara lembaga-lembaga
yang oleh undang-undang diberi tugas untuk itu.
Kejahatan sendiri sulit dihilangkan sama sekali di
muka bumi, tetapi melalui sistem peradilan pidana
kejahatan tersebut dapat dikendalikan sehingga tidak
bertambah banyak. Bahkan, jika mungkin, berkurang.
Pengendalian kejahatan sama maknanya dengan
ketertiban dimana setiap orang mematuhi hukum
yang berlaku dalam masyarakat.
Sinkronisasi dalam Sistem
Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana mempunyai perangkat
struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja
secara koheren, koordinatif dan integratif agar
efisien dan efektif.
Dalam rangkaian sistem, sub-subsistem ini berupa
polisi, jaksa, pengadilan, penasihat hukum dan
lembaga koreksi, baik yang sifatnya institusional
maupun yang non institusional.
(Lihat Muladi, 2002: 21)
Pendekatan dalam Sistem
Peradilan Pidana
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga
bentuk pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan normatif;
2. Pendekatan administratif; dan
3. Pendekatan sosial.
(Lihat Romli Atmasasmita, 1996: 17)
Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif memandang unsur
aparatur penegak hukum sebagai institusi
pelaksana peraturan perundang-undangan
yang berlaku sehingga para aparatur
tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem penegakan hukum
semata-mata.
Pendekatan Administratif
Pendekatan administratif memandang para
aparatur penegak hukum sebagai suatu
organisasi manajemen yang memiliki
mekanisme kerja, baik hubungan yang
bersifat horisontal maupun yang bersifat
vertikal sesuai dengan struktur organisasi
yang berlaku dalam organisasi tersebut.
Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial memandang para aparatur
penegak hukum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu sistem sosial, sehingga
masyarakat secara keseluruhan ikut
bertanggungjawab atas keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari para aparatur penegak
hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya.
2. Faktor Penegak Hukum
Ruang lingkup dari penegak hukum sangat luas,
mencakup siapapun yang secara langsung maupun
tidak secara langsung berkecimpung di dunia
penegakan hukum.
Secara sederhana penegak hukum antara lain
pihak yang berhubungan dengan bidang,
kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan
pemasyarakatan.
Ciri-ciri Pendekatan Sistem
dalam Sistem Peradilan Pidana
Pendekatan sistem dalam sistem peradilan pidana
memiliki ciri sebagai berikut:
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen
peradilan pidana;
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan
oleh komponen peradilan pidana;
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih
utama dari efisiensi penyelesaian perkara;
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untk
memantapkan the administration of justice.
(Lihat Romli Atmasasmita, 2010: 30)
Sistem Peradilan Pidana sebagai
Satu Kesatuan
Sistem peradilan pidana secara teoritis dan praktis
haruslah terintegrasi menjadi satu kesatuan,
Integrated Criminal Justice System. Masing-masing
komponen/ subsistem dalam sistem peradilan pidana
haruslah sinkron/ selaras dalam mewujudkan tujuan
yang sama, yaitu penegakan hukum.
Istilah sinkron mengandung makna selaras, baik
berupa fisik dalam arti sinkronisasi struktural
(structural synchronization), dapat pula bersifat
substansial (substancial synchronization) maupun
sinkronisasi kultural (cultural synchronization).
Sistem Peradilan Pidana sebagai
Satu Kesatuan (lanjutan)
1. Sinkronisasi struktural mengharuskan adanya keserempakan
dan keselarasan dalam mekanisme administrasi peradilan
pidana (the administration of justice) dalam kerangka
hubungan antar lembaga penegak hukum;
2. Sinkronisasi substansial mengandung makna adanya
keselarasan baik vertikal maupun horisontal dalam
kaitannya dengan hukum positif yang berlaku;
3. Sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu
serempak dalam menghayati pandangan-pandangan sikapsikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari
jalannya sistem peradilan pidana.
(Lihat Muladi, 2002: 2-3)
Sistem Peradilan Pidana sebagai
Satu Kesatuan (lanjutan)
Sistem peradilan pidana harus dilihat sebagai The
network of courts and tribunals which deal with
criminal law and its enforcement. Sebagai suatu
jaringan (network), sistem peradilan pidana
mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana
utamanya. Dalam hal ini dapat berupa hukum pidana
materiil, hukum pidana formil dan hukum
pelaksanaan pidana.
(Lihat Muladi, 2002: 15)
Sistem Peradilan Pidana sebagai
Satu Kesatuan (lanjutan)
Di dalam mengoperasionalkan hukum pidana
tersebut, terdapat beberapa prinsip utama, yaitu
prinsip kegunaan atau prinsip kelayakan dan prinsip
prioritas.
Dua prinsip tersebut di atas dipergunakan sebagai
salah satu hal yang harus diperhatikan dalam
mengoperasionalkan hukum pidana, dalam hal ini
adalah sistem peradilan pidana sebagai suatu
jaringan yang saling berkesinambungan.
(Lihat Muladi, 2002: 22)
Ketidaksinkronan dalam Sistem
Peradilan Pidana
Apabila antar subsistem tersebut tidak dapat bekerja secara
simultan, maka terdapat beberapa kerugian yang dapat
diperkirakan, antara lain:
1. Sulit dalam menilai keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
2. Sulit dalam memecahkan masalah pokok masing-masing
instansi sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana;
3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang
jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu
memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem
peradilan pidana
(Lihat Mardjono Reksodiputro, 1994: 85)
Daftar Bacaan
1. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam
Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku
Ketiga, 1994
2. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, 2002
3. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana:
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, 1996
4. _______, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, 2010
5. Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
2004
Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana adalah teori yang berkenaan
dengan upaya pengendalian kejahatan melalui
kerjasama dan koordinasi di antara lembaga-lembaga
yang oleh undang-undang diberi tugas untuk itu.
Kejahatan sendiri sulit dihilangkan sama sekali di
muka bumi, tetapi melalui sistem peradilan pidana
kejahatan tersebut dapat dikendalikan sehingga tidak
bertambah banyak. Bahkan, jika mungkin, berkurang.
Pengendalian kejahatan sama maknanya dengan
ketertiban dimana setiap orang mematuhi hukum
yang berlaku dalam masyarakat.
Sinkronisasi dalam Sistem
Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana mempunyai perangkat
struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja
secara koheren, koordinatif dan integratif agar
efisien dan efektif.
Dalam rangkaian sistem, sub-subsistem ini berupa
polisi, jaksa, pengadilan, penasihat hukum dan
lembaga koreksi, baik yang sifatnya institusional
maupun yang non institusional.
(Lihat Muladi, 2002: 21)
Pendekatan dalam Sistem
Peradilan Pidana
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga
bentuk pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan normatif;
2. Pendekatan administratif; dan
3. Pendekatan sosial.
(Lihat Romli Atmasasmita, 1996: 17)
Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif memandang unsur
aparatur penegak hukum sebagai institusi
pelaksana peraturan perundang-undangan
yang berlaku sehingga para aparatur
tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem penegakan hukum
semata-mata.
Pendekatan Administratif
Pendekatan administratif memandang para
aparatur penegak hukum sebagai suatu
organisasi manajemen yang memiliki
mekanisme kerja, baik hubungan yang
bersifat horisontal maupun yang bersifat
vertikal sesuai dengan struktur organisasi
yang berlaku dalam organisasi tersebut.
Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial memandang para aparatur
penegak hukum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu sistem sosial, sehingga
masyarakat secara keseluruhan ikut
bertanggungjawab atas keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari para aparatur penegak
hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya.
2. Faktor Penegak Hukum
Ruang lingkup dari penegak hukum sangat luas,
mencakup siapapun yang secara langsung maupun
tidak secara langsung berkecimpung di dunia
penegakan hukum.
Secara sederhana penegak hukum antara lain
pihak yang berhubungan dengan bidang,
kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan
pemasyarakatan.
Ciri-ciri Pendekatan Sistem
dalam Sistem Peradilan Pidana
Pendekatan sistem dalam sistem peradilan pidana
memiliki ciri sebagai berikut:
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen
peradilan pidana;
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan
oleh komponen peradilan pidana;
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih
utama dari efisiensi penyelesaian perkara;
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untk
memantapkan the administration of justice.
(Lihat Romli Atmasasmita, 2010: 30)
Sistem Peradilan Pidana sebagai
Satu Kesatuan
Sistem peradilan pidana secara teoritis dan praktis
haruslah terintegrasi menjadi satu kesatuan,
Integrated Criminal Justice System. Masing-masing
komponen/ subsistem dalam sistem peradilan pidana
haruslah sinkron/ selaras dalam mewujudkan tujuan
yang sama, yaitu penegakan hukum.
Istilah sinkron mengandung makna selaras, baik
berupa fisik dalam arti sinkronisasi struktural
(structural synchronization), dapat pula bersifat
substansial (substancial synchronization) maupun
sinkronisasi kultural (cultural synchronization).
Sistem Peradilan Pidana sebagai
Satu Kesatuan (lanjutan)
1. Sinkronisasi struktural mengharuskan adanya keserempakan
dan keselarasan dalam mekanisme administrasi peradilan
pidana (the administration of justice) dalam kerangka
hubungan antar lembaga penegak hukum;
2. Sinkronisasi substansial mengandung makna adanya
keselarasan baik vertikal maupun horisontal dalam
kaitannya dengan hukum positif yang berlaku;
3. Sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu
serempak dalam menghayati pandangan-pandangan sikapsikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari
jalannya sistem peradilan pidana.
(Lihat Muladi, 2002: 2-3)
Sistem Peradilan Pidana sebagai
Satu Kesatuan (lanjutan)
Sistem peradilan pidana harus dilihat sebagai The
network of courts and tribunals which deal with
criminal law and its enforcement. Sebagai suatu
jaringan (network), sistem peradilan pidana
mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana
utamanya. Dalam hal ini dapat berupa hukum pidana
materiil, hukum pidana formil dan hukum
pelaksanaan pidana.
(Lihat Muladi, 2002: 15)
Sistem Peradilan Pidana sebagai
Satu Kesatuan (lanjutan)
Di dalam mengoperasionalkan hukum pidana
tersebut, terdapat beberapa prinsip utama, yaitu
prinsip kegunaan atau prinsip kelayakan dan prinsip
prioritas.
Dua prinsip tersebut di atas dipergunakan sebagai
salah satu hal yang harus diperhatikan dalam
mengoperasionalkan hukum pidana, dalam hal ini
adalah sistem peradilan pidana sebagai suatu
jaringan yang saling berkesinambungan.
(Lihat Muladi, 2002: 22)
Ketidaksinkronan dalam Sistem
Peradilan Pidana
Apabila antar subsistem tersebut tidak dapat bekerja secara
simultan, maka terdapat beberapa kerugian yang dapat
diperkirakan, antara lain:
1. Sulit dalam menilai keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
2. Sulit dalam memecahkan masalah pokok masing-masing
instansi sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana;
3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang
jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu
memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem
peradilan pidana
(Lihat Mardjono Reksodiputro, 1994: 85)
Daftar Bacaan
1. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam
Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku
Ketiga, 1994
2. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, 2002
3. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana:
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, 1996
4. _______, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, 2010
5. Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
2004