Analisis Akar Penyebab Masalah Variabili
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
Analisis Akar Penyebab Masalah Variabilitas Free Fatty Acid (FFA) pada
Crude Palm Oil (CPO) di Pabrik Kelapa Sawit
M. Hudori
Program Studi Manajemen Logistik
Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi – Bekasi
Alumni Program Magister Teknik Industri
Universitas Mercu Buana – Jakarta
Email: m.hudori@cwe.ac.id
ABSTRAK
TBS yang tidak segar (restan), yaitu TBS yang tidak terolah lebih dari 24 jam dari saat pemanenan,
merupakan salah satu faktor penyebab kenaikan FFA. Waktu persiapan proses (pre-time) yang berlebihan
juga akan menyebabkan penurunan kualitas produk. Akar penyebab dari masalah TBS over-ripe grade dan
waktu persiapan proses (pre-time) ini perlu dianalisis, mengingat potensi kerugian yang ditimbulkan cukup
besar, di mana terjadi peningkatan hampir duabelas kali lipat hanya dalam waktu satu tahun. Kondisi
perubahan yang ini tentu akan mempengaruhi produktivitas perusahaan, karena peningkatan pemakaian
sumber daya dan utilitas pabrik tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan yang signifikan.
Kata kunci: Cause-effect diagram, CPO, FFA, Pabrik kelapa sawit, Pengendalian kualitas.
ABSTRACT
The unfresh FFB, ie the FFB is untreated for more than 24 hours from the time of harvest, is one of the
factors causing the increase in FFA. preparation time of process (pre-time) excessive will also cause a
decrease in the quality of the product. The root cause of the FFB over-ripe grade and preparation time of
process (pre-time) this needs to be analyzed, considering the potential losses big enough, where there is
almost twelve-fold increase in just one year. This changes the conditions will certainly affect the productivity
of the company, because of the increased use of resources and utilities plant is not accompanied by a
significant increase in revenue.
Keywords: Cause-effect diagram, CPO, FFA, Palm oil mill, Quality control.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri primadona saat ini dan produknya menjadi salah satu
komoditas ekspor andalan Indonesia, terutama minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik, nilai ekspornya mengalami kenaikan rata-rata sebesar 20,22% per tahun,
yaitu dari USD 7,87 milyar pada tahun 2007 menjadi USD 17,60 milyar pada tahun 2012. Kenaikan yang
cukup signifikan tersebut terjadi karena adanya peningkatan ekspor, akan tetapi juga ditunjang oleh
kenaikan harga ekspor minyak tersebut dari USD 662,60 per ton pada tahun 2007 menjadi USD 934,05 per
ton pada tahun 2012, atau terjadi kenaikan sebesar 10,40% per tahun. Naibaho (1998) juga telah
memprediksi bahwa produksi CPO pada tahun 2000 akan mencapai 6,7 juta ton dengan luas areal tanaman
185
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
mencapai 2,3 juta hektar. Sedangkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, produksi CPO Indonesia
telah mencapai 26,90 juta ton pada tahun 2012 atau meningkat rata-rata sebesar 9,81% per tahun.
Menurut Naibaho (1998), dalam standar perdagangan CPO, salah satu parameter utama kualitas yang
diperhitungkan adalah kadar free fatty acid (FFA). Parameter FFA ini merupakan parameter yang akan terus
mengalami kenaikan secara alamiah, mengingat CPO adalah zat organik yang secara alamiah akan
mengalami reaksi pengasaman (pembusukan) karena sudah terpisah dari induknya (pohon kelapa sawit).
Tagoe, Dickinson dan Apetorgbor (2012) mengatakan bahwa cara perlakuan terhadap TBS di kebun sangat
mempengaruhi kualitas CPO yang dihasilkan di PKS. Demikian pula halnya dengan hasil temuan Ohimain,
Izah dan Fawari (2013), yang menyatakan bahwa perlakuan TBS di kebun ataupun di PKS dengan cara
pemeraman akan mengakibatkan kenaikan FFA yang memicu tumbuhnya jamur dan bakteri pada TBS yang
melebihi ambang batas keamanan bahan pangan.
Kualitas TBS hasil panen ini digolongkan dalam beberapa fraksi atau grade, yang awalnya dalam beberapa
pustaka (Naibaho, 1998; Pahan, 2006; Mangoensoekardjo & Semangun, 2008) menggolongkan TBS menjadi
8 fraksi, yaitu fraksi 00, fraksi 0, fraksi 1, fraksi 2, fraksi 3, fraksi 4, fraksi 5 dan tandan kosong. Namun
sekarang ini, hanya digolongkan menjadi 5 grade. Mangoensoekardjo dan Semangun (2008)
menggabungkan fraksi 00 dan fraksi 0 menjadi grade mentah (unripe), fraksi 1 menjadi grade kurang
matang (under-ripe), fraksi 2, fraksi 3 dan fraksi 4 menjadi grade matang (ripe), fraksi 5 menjadi grade lewat
matang atau (over-ripe) dan tandan kosong (empty-bunch) tidak berubah namanya. Kriteria matang panen
yang dipersyaratkan oleh perusahaan umumnya adalah grade matang (ripe).
Salah satu faktor penyebab kenaikan FFA secara cepat adalah akibat peranan dari enzim lipase yang
terdapat pada daging buah, yang menurut Tambun (2006), enzim ini akan bekerja secara aktif pada
temperatur di bawah 50oC, terutama jika daging buah dalam kondisi memar. TBS dengan FFA awal 1,00%
yang dalam kondisi memar 10%, dalam waktu 3 jam akan mengalami kenaikan menjadi 1,67%, selanjutnya
akan menjadi 2,86 setelah 48 jam. Sedangkan jika memar 30%, maka TBS yang FFA awalnya 1,00% tersebut
dalam 3 jam akan menjadi 2,38% dan selanjutnya akan menjadi 3,29% setelah 48 jam. Dengan demikian
semakin tinggi tingkat memar pada buah maka akan semakin cepat kenaikan FFA-nya. Tagoe et al. (2012)
juga menambahkan bahwa lamanya waktu pemrosesan TBS juga mempengaruhi kenaikan FFA tersebut.
Babu dan Abraham (2014) mengungkapkan bahwa salah satu faktor penyebab kenaikan FFA adalah TBS
yang tidak segar (restan), yaitu TBS yang tidak terolah lebih dari 24 jam dari saat pemanenan. Mona (2000)
juga menilai bahwa penyebab kenaikan FFA di antaranya adalah waktu menunggu yang terlalu lama bagi
TBS akibat persiapan proses (pre-time) dan tingginya tingkat kerusakan mesin yang mengakibatkan
terhentinya proses (breakdown). Hal tersebut diperkuat oleh Pavletic dan Sokovic (2009) yang menyatakan
bahwa waktu persiapan yang berlebihan akan menyebabkan penurunan kualitas produk. Sedangkan
pengaruh downtime terhadap kualitas juga dikemukakan oleh Sultana, Razive dan Azeem (2009), di samping
downtime juga akan menyebabkan timbulnya biaya kehilangan kesempatan (Fox, Brammal & Yarlagadda,
2008). Namun berdasarkan hasil penelitian Hudori (2015), dari empat faktor yang diduga menjadi penyebab
variabilitas FFA, ternyata hanya dua faktor saja yang berpengaruh secara signifikan, yaitu TBS over-ripe
grade dan waktu persiapan proses (pre-time).
Berdasarkan hasil penelitian Hudori tersebut, perlu dilakukan analisis penelusuran akar penyebab masalah
kedua faktor yang menjadi penyebab kenaikan FFA tersebut, mengingat potensi kerugian yang ditimbulkan
cukup besar, di mana terjadi peningkatan hampir 12 kali lipat hanya dalam waktu satu tahun. Kondisi
perubahan yang ini tentu akan mempengaruhi produktivitas perusahaan, karena peningkatan pemakaian
sumber daya dan utilitas pabrik tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan yang signifikan.
1.2. Perumusan Masalah
Dari kondisi di atas dapat dirumuskan permasalahan, yaitu apa akar penyebab masalah timbulnya TBS overripe grade dan pre-time tersebut?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisis akar penyebab masalah timbulnya TBS over-ripe
grade dan pre-time tersebut.
186
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
1.4. Batasan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas pada tulisan ini adalah cara penelusuran akar penyebab masalah
timbulnya TBS over-ripe grade dan pre-time terjadi di PKS.
2. Metodologi
Analisis penelusuran akar penyebab masalah akan dilakukan dengan menggunakan cause-effect diagram
(fishbone diagram) yang akan dibangkitkan melalui proses brainstorming dengan pihak-pihak terkait di
perusahaan serta berdasarkan literatur. Penggunaan metode ini sangat efektif untuk membantu
menemukan akar penyebab masalah, seperti yang telah dibuktikan oleh Babu dan Abraham (2014) untuk
menelusuri penyebab masalah FFA. Beberapa referensi (Akbar, Khalil, Ihsanullah & Nawaz, 2013; Kiran,
Mathew & Kuriakose, 2013; Kumar & Rudramurthy, 2013) telah menggunakannya untuk menyelesaikan
berbagai masalah yang terkait kualitas. Dari hasil analisis ini nantinya akan dibahas secara detil mengenai
akar penyebab masalah tersebut sehingga dapat menjadi acuan untuk dilakukannya penelitian lanjutan jika
memang diperlukan.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Analisis Akar Penyebab Masalah TBS Over-ripe Grade
Menurut Mangoensoekardjo dan Semangun (2008), semakin tinggi grade kematangan TBS maka akan
semakin tinggi pula nilai FFA-nya. Hal ini terjadi karena pada saat proses pematangan berlangsung maka
akan terjadi penguraian senyawa lemak atau minyak menjadi senyawa asam lemak. Dan ini akan terus
berlangsung karena adanya peranan enzim lipase pada daging buah. Kerja enzim tersebut akan semakin
aktif jika lapisan lilin yang membungkus daging buah terkelupas dan terjadi kontaminasi dengan udara. Oleh
karena itu menjaga kondisi TBS agar jangan sampai terluka atau memar merupakan suatu hal yang penting.
Salah satunya adalah dengan menjaga tingkat kematangan TBS tersebut, karena TBS yang sudah lewat
matang (over-ripe), kondisi dagingnya semakin lembek dan akan dengan mudah mengalami memar jika
terkena benturan. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, penyebab faktor ini dapat dilihat pada causeeffect diagram seperti terlihat pada Gambar 1.
Material
Peralatan
Pekerja
Tidak
diperhitungkan
Ketersediaan terbatas
TBS kecil
Lokasi jauh dari kota
Rotasi panen
Tidak diprogramkan
Pekerja terbatas
Usia tanaman
muda
Dianggap belum perlu
Ketersediaan terbatas
Tidak diprogramkan
Reaksi biologis
diabaikan
Unskill
Tidak update
teknologi
Akses kendaraan
sulit
Waktu tempuh lama
Lokasi kerja
jauh dari kota
Tidak ada training
Lokasi jauh
TBS restan
Lokasi jauh
Recruitment
tidak tepat
Tidak tahu
Alat transportasi
terbatas
Dianggap belum perlu
Tidak ada training
Dianggap belum perlu
Terlalu lambat
Manual
Over-ripe
Tidak diprogramkan
Kotoran
Tenaga terbatas
Tidak tahu
Dianggap belum perlu
Curah hujan tinggi
Perawatan manual
Tidak ada training
Sanitasi kurang
Lazim digunakan
Tidak ada penjadwalan
Regulasi
pemerintah
Persaingan
Pemasok
banyak
Areal terbatas
Kelembaban tinggi
Perawatan manual
Disain pabrik
Lazim digunakan
Kotor
Radiasi sinar matahari
Sanitasi kurang
Kurang koordinasi
Lazim digunakan
Tempat terbuka
Mikroba
Tenaga terbatas
Manajemen
Lingkungan
Gambar 1. Cause-effect Diagram Faktor Yang Mempengaruhi TBS Over-ripe
Dari Gambar 1 terlihat bahwa akar penyebab masalah TBS over-ripe secara umum terdiri dari tiga faktor,
yaitu sebagai berikut:
187
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
a. Faktor alamiah, terdiri dari:
Curah hujan tinggi, sehingga menyebabkan tingginya kadar air pada TBS yang memicu kenaikan FFA
pada TBS tersebut.
Kelembaban tinggi, sehingga menyuburkan tumbuhnya gulma pada areal tanaman sehingga
menyebabkan tingginya kebutuhan perawatan areal tanaman.
Umur tanaman masih muda, sehingga menyebabkan proses perubahan grade TBS dari ripe menjadi
over-ripe menjadi lebih cepat karena dimensi dan berat janjang rata-rata (BJR) TBS masih kecil.
Apalagi jika sarana jalan tidak begitu baik, maka guncangan-guncangan selama proses selanjutnya
akan semakin mempercepat proses tersebut.
Lokasi perusahaan jauh dari kota, sehingga perusahaan kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja
yang memenuhi spesifikasi minimal yang dibutuhkan.
Lokasi sumber TBS jauh dari pabrik, sehingga membutuhkan waktu tempuh yang cukup lama.
Dengan demikian TBS menjadi restan atau tidak segar lagi.
b. Faktor ekternal perusahaan, terdiri dari:
Regulasi pemerintah yang membatasi izin pemberian HGU kepada perusahaan-perusahaan
perkebunan, sehingga areal perkebunan yang dikelola menjadi tidak seimbang dengan kapasitas
pabrik.
Persaingan dengan perusahaan lain di dalam memperoleh izin HGU, sehingga perusahaan
memperoleh areal HGU yang terpencar-pencar di beberapa lokasi. Di samping itu, persaingan untuk
mendapatkan pemasok dari luar perusahaan juga menyebabkan pemasok yang dekat dengan lokasi
pabrik belum tentu mau mengirimkan TBS-nya ke pabrik terdekat.
c. Faktor internal perusahaan, terdiri dari:
Program pelatihan dianggap belum perlu, sehingga para pekerja tidak mempunyai wawasan yang
cukup untuk melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien. Umumnya pelatihan hanya dianggap
sebagai pemborosan. Hal ini karena paradigma yang terjadi di perusahaan-perusahaan perkebunan
kelapa sawit masih menggunakan pola manajemen perkebunan klasik.
Teknologi baru dianggap belum perlu, sehingga pemborosan waktu dan tenaga masih sering terjadi.
Hal ini karena paradigma klasik yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah industri
padat karya. Padahal jika melihat realita yang ada saat ini, yaitu sulitnya mencukupi jumlah
kebutuhan minimal tenaga kerja, apalagi yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan, maka sudah
seharusnya perusahaan harus mulai mengadopsi teknologi-teknologi modern.
Kebutuhan alat transportasi tidak diperhitungkan, sehingga restan TBS di lapangan (kebun) sering
terjadi. Adanya rencana kerja (budget) tahunan yang sudah terinci setiap bulan seharusnya dijadikan
acuan di dalam menghitung kebutuhan alat transportasi.
Menggunakan disain pabrik yang lazim digunakan. Disain PKS yang ada saat ini menempatkan
penumpukan TBS di lapangan terbuka. Padahal jika mengacu pada konsep awalnya, seperti yang
dikemukakan oleh Naibaho (1998), lapangan terbuka tersebut sebenarnya hanya sebagai tempat
bagi truk pengangkut TBS untuk melakukan aktivitas pembongkaran di hopper loading ramp, bukan
sebagai tempat pembongkaran TBS, apalagi sebagai tempat penumpukan TBS tersebut.
Menerapkan sistem perawatan areal tanaman yang lazim digunakan. Sama halnya seperti
penggunaan teknologi, sistem perawatan areal tanaman ini juga pada umumnya menggunakan caracara tradisional. Padahal areal perkebunan kelapa sawit umumnya sangat luas, mencapai ribuan
hektar. Dengan demikian pola perawatan tradisional cenderung kurang efektif dan membutuhkan
jumlah tenaga kerja yang sangat besar.
Untuk faktor internal perusahaan, saat ini umumnya perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit,
khususnya divisi opersional, cenderung menggunakan pola manajemen perkebunan klasik. Hal ini terjadi
karena terbatasnya ketersediaan sumber tenaga kerja operasional. Dengan demikian tenaga kerja yang ada
cenderung berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, sehingga pengalaman kerja yang
188
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
dimilikinya akan diaplikasikan ke tempat-tempat lainnya. Kurangnya pelatihan-pelatihan manajemen
modern yang diberikan kepada divisi opersional menyebabkan kurangnya wawasan mereka, sehingga
inovasi-inovasi kerja juga kurang berkembang.
3.2. Analisis Akar Penyebab Masalah Pre-time
Waktu persiapan proses atau preparation time (pre-time) merupakan waktu menunggu dimulainya proses
pengolahan TBS. Idealnya waktu ini digunakan untuk melakukan preventive maintenance dan cleaning pada
semua peralatan proses untuk mencegah terjadinya breakdown di tengah berlangsungnya proses produksi
sehingga mengakibatkan timbulnya downtime. Namun pada kenyataanya tidak terlihat adanya hubungan
antara pre-time dan downtime tersebut. Hal ini terlihat pada saat dilakukan uji multikolinieritas, antara
kedua variabel tersebut tidak terlihat adanya hubungan.
Hudori (2015) mengemukakan bahwa pre-time ini mempunyai hubungan terbalik (–) dengan FFA, dimana
kenaikan pre-time akan menyebabkan penurunan FFA. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan pendapat
Mona (2000) yang mengatakan bahwa pre-time merupakan penyebab kenaikan FFA. Oleh karena itu perlu
dilihat lebih jauh apa saja sebenarnya akar penyebab pre-time tersebut. Berdasarkan kondisi yang ada di
lapangan, terlihat bahwa dalam waktu-waktu tertentu TBS yang masuk pada hari tersebut sengaja tidak
langsung diolah. Tentunya hal ini akan sangat merugikan perusahaan karena akan memperbesar potensi
kenaikan FFA. Akan tetapi, di waktu-waktu tertentu, penyebab pre-time ini antara lain karena minimnya
pasokan TBS yang masuk pada pagi hari sehingga tidak mencukupi untuk dimulainya proses pengolahan. Di
samping itu juga ada beberapa faktor lain yang berpotensi menjadi penyebabnya. Faktor penyebab pre-time
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Dari Gambar 2 terlihat bahwa akar penyebab masalah pre-time secara umum terdiri dari dua faktor, yaitu
sebagai berikut:
a. Faktor alamiah, terdiri dari:
Cuaca yang tidak menentu, sehingga menimbulkan kendala persiapan proses, di antaranya
pembersihan lantai produksi karena air hujan yang masuk ke pabrik, karena pada umumnya sebagian
besar lantai produksi tidak menggunakan dinding penutup.
Lokasi sumber air yang jauh dari pabrik, sehingga deposit air di waduk penampungan sering
mengalami defisit. PKS merupakan salah satu industri yang membuntuhkan air yang cukup banyak.
Menurut Naibaho (1998), rasio pemakaian air di PKS mencapai 0,9 – 1,2 m3 per Ton TBS. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 50% – 60% di antaranya digunakan sebagai air umpan boiler.
Lokasi perusahaan jauh dari kota, sehingga perusahaan kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja
yang memenuhi spesifikasi minimal yang dibutuhkan. Dengan demikian perusahaan hanya
memperoleh pekerja secara apa adanya. Demikian pula dengan keterbatasan akses informasi
sehingga menyebabkan para pekerja menjadi kurang wawasan sehingga kurang melakukan inovasi.
189
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
Lazim
digunakan
ISSN: 2460-4615
Material
Peralatan
Pekerja
Tidak update
teknologi
Kecepatan
penerimaan
Sistem penerimaan (grading)
Recruitment
tidak tepat
Lokasi kerja jauh dari kota
Pekerja masuk
serentak
Dianggap belum perlu
SOP boiler
Tidak ada
pengaturan
jam masuk
Manual
TBS tidak cukup
Ketersediaan terbatas
Belum hadir lengkap
Kurang disiplin
Slow-firing boiler
Sudah terbiasa
Terlambat
Lokasi jauh
Kecepatan kedatangan
Deposit air terbatas
Sumber air jauh
Kurang pembinaan
Perbaikan
belum selesai
Manajemen
perawatan
Kurang pembinaan
Tidak diprogramkan
Unskill
Dianggap belum perlu
Breakdown hari
sebelumnya
Menggunakan alat berat
Tidak ada training
Terlalu lambat
Pasokan air kurang
Kerusakan peralatan
Pre-time
Tidak diprogramkan
Tidak tahu
Dianggap belum perlu
Cuaca
Lazim digunakan
Tidak ada training
Tidak ada penjadwalan
Sistem penerimaan TBS
Kurang
pengarahan
Sanitasi
kurang
Lazim digunakan
Kurang
wawasan
Tidak tahu
cara lain
Sinyal
terbatas
Kotor
Beban kerja
tinggi
Akses
informasi
terbatas
Tidak ada target
Pembersihan manual
Tidak sempat
Lazim digunakan
Peralatan tradisonal
Lokasi jauh dari kota
Manajemen
Lingkungan
Gambar 2. Cause-effect Diagram Faktor Penyebab Pre-time
b. Faktor internal perusahaan, terdiri dari:
Kurangnya pembinaan kepada para pekerja, sehingga kedisiplinan kerjanya kurang. Pekerja yang
tidak disiplin sehingga datang terlambat akan menyebabkan jumlah yang hadir menjadi tidak
lengkap.
Program pelatihan dianggap belum perlu, sehingga para pekerja tidak mempunyai wawasan yang
cukup untuk melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien.
Program perawatan terhadap peralatan kurang efektif, sehingga menimbulkan kerusakan yang berat
pada peralatan. Kerusakan pada alat yang cukup serius dapat menyebabkan breakdown yang
berkepanjangan. Kadangkala breakdown yang terjadi pada malam hari membutuhkan proses
perbaikan yang cukup lama, bahkan sampai keesokan harinya.
Standard operational procedure (SOP) boiler mengharuskan dilakukannya pemanasan bertahap
(slow-firing). Boiler yang sudah terlanjur dingin tersebut akan dipanaskan secara bertahap terlebih
dahulu (slow-firing).
Tidak adanya pengaturan jam masuk pada pagi hari juga menyebabkan slow-firing menjadi penyebab
terlambatnya proses pengolahan dimulai.
Kurangnya pembinaan cara melakukan pekerjaanya, sehingga menyebabkan ketergantungan mereka
kepada alat berat (wheel loader).
Sistem penerimaan saat ini yang mengharuskan grading TBS secara total akan berpotensi untuk
memperlambat permulaan proses pengolahan. Padahal sistem penerimaan seperti ini telah
menyalahi prinsip penerimaan TBS yang seharusnya, seperti yang telah dikemukakan dalam
beberapa literatur (Naibaho, 1998; Pahan, 2006; Mangoensoekardjo & Semangun, 2008) bahwa
idealnya TBS harus dimasukkan langsung ke hopper loading ramp agar bisa langsung dimasukkan ke
dalam lori untuk segera diproses.
Beberapa pekerjaan persiapan yang dilakukan dengan peralatan tradisional, seperti kegiatan
pembersihan (cleaning).
Tidak adanya target penyelesaian pekerjaan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Key
performance index (KPI) umumnya hanya diterapkan pada unsur pimpinan (staf) saja. Sedangkan
pada unsur pelaksana (karyawan) tidak dibebani dengan target ini.
190
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
Beban kerja yang tinggi juga menjadi akar penyebab masalah pre-time. Hal ini terjadi karena
banyaknya pekerjaan yang dilakukan secara manual sehingga menyita banyak tenaga.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kondisi pre-time terjadi akibat faktor-faktor yang sebenarnya dapat
dieliminir. Karena berdasarkan hasil observasi di lapangan, umumnya pre-time tersebut bukanlah persiapan
proses yang sesungguhnya, tetapi lebih kepada penggunaan waktu yang kurang bermanfaat sehingga hanya
menimbulkan pemborosan (waste). Oleh karena itu sudah seharusnya dilakukan evaluasi agar kondisi
tersebut dapat diperbaiki karena hanya akan menurunkan produktivitas perusahaan, terutama terkait
dengan masalah kualitas produk, yaitu FFA pada CPO.
3.3. Keterbatasan Penelitian
Dari hasil pembahasan di atas, ternyata masih banyak aspek yang dapat dikaji. Namun karena keterbatasan
dalam penelitian ini, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu, dapat dilakukan penelitianpenelitian lebih lanjut yang mencakup beberapa aspek, seperti aspek kebutuhan sumber daya, kebutuhan
dan pengukuran kinerja perawatan. Strategi perbaikan proses pengolahan TBS, optimisasi dan rekayasa
kualitas proses dan produk, dan aspek-aspek lainnya.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa akar penyebab masalah kualitas
grading TBS, khususnya over-ripe dan lamanya waktu tunggu persiapan proses pengolahan (pre-time)
adalah:
1. Faktor over-ripe meliputi faktor alamiah, faktor ekternal dan faktor internal perusahaan.
2. Faktor pre-time meliputi faktor alamiah dan faktor internal perusahaan.
Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa perbaikan terhadap faktor-faktor tersebut yang akan memberikan
keuntungan secara bisnis, yaitu penurunan biaya kualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S., Khalil, M.S., Ihsanullah, H., & Nawaz, T. (2013). Implementation of Quality Improvement Tools In
Brass Industry To Improve Quaility and Enhance Productivity, Information & Knowledge Management,
3(4), 97-125.
Babu, D., & Abraham, M.M. (2014). To Study Quality Noncompliance Due on Bottleneck Activities With
Respect to Palm Oil Industry. International Journal of Research in Management and Technology
(IJRMT), 4(1), 45-48.
Fox, J.P., Brammall, J.R., & Yarlagadda, P.K.D.V. (2008). Determination of the Financial Impact of Machine
Downtime on the Post Large Letters Sorting Process. Journal of Achievements in Materials And
Manufacturing Engineering, 31(2), 732-738.
Hudori, M. (2015). Quality Engineering of Crude Palm Oil (CPO): Using Multiple Linear Regression to
Estimate Free Fatty Acid. Proceeding 8th International Seminar of Industrial Engineering and
Management (ISIEM), QM 26-33.
Kiran, M., Mathew, C., & Kuriakose, J. (2013). Root Cause Analysis for Reducing Breakdowns in a
Manufacturing Industry. International Journal of Emerging Technology and Advanced Engineering,
3(1), 211-216.
Kumar, P.R., & Rudramurthy. (2013). Analysis of Breakdowns and Improvement of Preventive Maintenance
on 1000 Ton Hydraulic Press. International Journal of Emerging Technology and Advanced Engineering,
3(8), 636-645.
191
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
Mangoensoekardjo, A., & Semangun, H. (2008). Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Mona. (2000). Perencanaan Strategik PT. Hadi Prima Agro. Geladikarya Program Magister Manajemen,
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor: IPB.
Naibaho, P. (1998). Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Ohimain, E.I., Izah, S.C., & Fawari, A.D. (2013). Quality Assessment of Crude Palm Oil Produced by SemiMechanized Processor in Bayelsa State, Nigeria. Discourse Journal of Agriculture and Food Sciences
(JAFS), 1(11), 171-181.
Pahan, I. (2006). Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir. Jakata:
Penebar Swadaya.
Sultana, F., Razive, N.I., & Azeem, A. (2009). Implementation of Statistical Process Control (SPC) for
Manufacturing Performance Improvement. Journal of Mechanical Engineering, 40(1), 15-21.
Tagoe, S.M.A., Dickinson, M. J., & Apetorgbor, M.M. (2012). Factors Influencing Quality of Palm Oil
Produced at the Cottage Industry Level in Ghana. International Food Research Journal, 19(1), 271-278.
Tambun, R. (2006). Teknologi Oleokimia. Medan: USU Press.
192
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
Analisis Akar Penyebab Masalah Variabilitas Free Fatty Acid (FFA) pada
Crude Palm Oil (CPO) di Pabrik Kelapa Sawit
M. Hudori
Program Studi Manajemen Logistik
Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi – Bekasi
Alumni Program Magister Teknik Industri
Universitas Mercu Buana – Jakarta
Email: m.hudori@cwe.ac.id
ABSTRAK
TBS yang tidak segar (restan), yaitu TBS yang tidak terolah lebih dari 24 jam dari saat pemanenan,
merupakan salah satu faktor penyebab kenaikan FFA. Waktu persiapan proses (pre-time) yang berlebihan
juga akan menyebabkan penurunan kualitas produk. Akar penyebab dari masalah TBS over-ripe grade dan
waktu persiapan proses (pre-time) ini perlu dianalisis, mengingat potensi kerugian yang ditimbulkan cukup
besar, di mana terjadi peningkatan hampir duabelas kali lipat hanya dalam waktu satu tahun. Kondisi
perubahan yang ini tentu akan mempengaruhi produktivitas perusahaan, karena peningkatan pemakaian
sumber daya dan utilitas pabrik tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan yang signifikan.
Kata kunci: Cause-effect diagram, CPO, FFA, Pabrik kelapa sawit, Pengendalian kualitas.
ABSTRACT
The unfresh FFB, ie the FFB is untreated for more than 24 hours from the time of harvest, is one of the
factors causing the increase in FFA. preparation time of process (pre-time) excessive will also cause a
decrease in the quality of the product. The root cause of the FFB over-ripe grade and preparation time of
process (pre-time) this needs to be analyzed, considering the potential losses big enough, where there is
almost twelve-fold increase in just one year. This changes the conditions will certainly affect the productivity
of the company, because of the increased use of resources and utilities plant is not accompanied by a
significant increase in revenue.
Keywords: Cause-effect diagram, CPO, FFA, Palm oil mill, Quality control.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri primadona saat ini dan produknya menjadi salah satu
komoditas ekspor andalan Indonesia, terutama minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik, nilai ekspornya mengalami kenaikan rata-rata sebesar 20,22% per tahun,
yaitu dari USD 7,87 milyar pada tahun 2007 menjadi USD 17,60 milyar pada tahun 2012. Kenaikan yang
cukup signifikan tersebut terjadi karena adanya peningkatan ekspor, akan tetapi juga ditunjang oleh
kenaikan harga ekspor minyak tersebut dari USD 662,60 per ton pada tahun 2007 menjadi USD 934,05 per
ton pada tahun 2012, atau terjadi kenaikan sebesar 10,40% per tahun. Naibaho (1998) juga telah
memprediksi bahwa produksi CPO pada tahun 2000 akan mencapai 6,7 juta ton dengan luas areal tanaman
185
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
mencapai 2,3 juta hektar. Sedangkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, produksi CPO Indonesia
telah mencapai 26,90 juta ton pada tahun 2012 atau meningkat rata-rata sebesar 9,81% per tahun.
Menurut Naibaho (1998), dalam standar perdagangan CPO, salah satu parameter utama kualitas yang
diperhitungkan adalah kadar free fatty acid (FFA). Parameter FFA ini merupakan parameter yang akan terus
mengalami kenaikan secara alamiah, mengingat CPO adalah zat organik yang secara alamiah akan
mengalami reaksi pengasaman (pembusukan) karena sudah terpisah dari induknya (pohon kelapa sawit).
Tagoe, Dickinson dan Apetorgbor (2012) mengatakan bahwa cara perlakuan terhadap TBS di kebun sangat
mempengaruhi kualitas CPO yang dihasilkan di PKS. Demikian pula halnya dengan hasil temuan Ohimain,
Izah dan Fawari (2013), yang menyatakan bahwa perlakuan TBS di kebun ataupun di PKS dengan cara
pemeraman akan mengakibatkan kenaikan FFA yang memicu tumbuhnya jamur dan bakteri pada TBS yang
melebihi ambang batas keamanan bahan pangan.
Kualitas TBS hasil panen ini digolongkan dalam beberapa fraksi atau grade, yang awalnya dalam beberapa
pustaka (Naibaho, 1998; Pahan, 2006; Mangoensoekardjo & Semangun, 2008) menggolongkan TBS menjadi
8 fraksi, yaitu fraksi 00, fraksi 0, fraksi 1, fraksi 2, fraksi 3, fraksi 4, fraksi 5 dan tandan kosong. Namun
sekarang ini, hanya digolongkan menjadi 5 grade. Mangoensoekardjo dan Semangun (2008)
menggabungkan fraksi 00 dan fraksi 0 menjadi grade mentah (unripe), fraksi 1 menjadi grade kurang
matang (under-ripe), fraksi 2, fraksi 3 dan fraksi 4 menjadi grade matang (ripe), fraksi 5 menjadi grade lewat
matang atau (over-ripe) dan tandan kosong (empty-bunch) tidak berubah namanya. Kriteria matang panen
yang dipersyaratkan oleh perusahaan umumnya adalah grade matang (ripe).
Salah satu faktor penyebab kenaikan FFA secara cepat adalah akibat peranan dari enzim lipase yang
terdapat pada daging buah, yang menurut Tambun (2006), enzim ini akan bekerja secara aktif pada
temperatur di bawah 50oC, terutama jika daging buah dalam kondisi memar. TBS dengan FFA awal 1,00%
yang dalam kondisi memar 10%, dalam waktu 3 jam akan mengalami kenaikan menjadi 1,67%, selanjutnya
akan menjadi 2,86 setelah 48 jam. Sedangkan jika memar 30%, maka TBS yang FFA awalnya 1,00% tersebut
dalam 3 jam akan menjadi 2,38% dan selanjutnya akan menjadi 3,29% setelah 48 jam. Dengan demikian
semakin tinggi tingkat memar pada buah maka akan semakin cepat kenaikan FFA-nya. Tagoe et al. (2012)
juga menambahkan bahwa lamanya waktu pemrosesan TBS juga mempengaruhi kenaikan FFA tersebut.
Babu dan Abraham (2014) mengungkapkan bahwa salah satu faktor penyebab kenaikan FFA adalah TBS
yang tidak segar (restan), yaitu TBS yang tidak terolah lebih dari 24 jam dari saat pemanenan. Mona (2000)
juga menilai bahwa penyebab kenaikan FFA di antaranya adalah waktu menunggu yang terlalu lama bagi
TBS akibat persiapan proses (pre-time) dan tingginya tingkat kerusakan mesin yang mengakibatkan
terhentinya proses (breakdown). Hal tersebut diperkuat oleh Pavletic dan Sokovic (2009) yang menyatakan
bahwa waktu persiapan yang berlebihan akan menyebabkan penurunan kualitas produk. Sedangkan
pengaruh downtime terhadap kualitas juga dikemukakan oleh Sultana, Razive dan Azeem (2009), di samping
downtime juga akan menyebabkan timbulnya biaya kehilangan kesempatan (Fox, Brammal & Yarlagadda,
2008). Namun berdasarkan hasil penelitian Hudori (2015), dari empat faktor yang diduga menjadi penyebab
variabilitas FFA, ternyata hanya dua faktor saja yang berpengaruh secara signifikan, yaitu TBS over-ripe
grade dan waktu persiapan proses (pre-time).
Berdasarkan hasil penelitian Hudori tersebut, perlu dilakukan analisis penelusuran akar penyebab masalah
kedua faktor yang menjadi penyebab kenaikan FFA tersebut, mengingat potensi kerugian yang ditimbulkan
cukup besar, di mana terjadi peningkatan hampir 12 kali lipat hanya dalam waktu satu tahun. Kondisi
perubahan yang ini tentu akan mempengaruhi produktivitas perusahaan, karena peningkatan pemakaian
sumber daya dan utilitas pabrik tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan yang signifikan.
1.2. Perumusan Masalah
Dari kondisi di atas dapat dirumuskan permasalahan, yaitu apa akar penyebab masalah timbulnya TBS overripe grade dan pre-time tersebut?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisis akar penyebab masalah timbulnya TBS over-ripe
grade dan pre-time tersebut.
186
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
1.4. Batasan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas pada tulisan ini adalah cara penelusuran akar penyebab masalah
timbulnya TBS over-ripe grade dan pre-time terjadi di PKS.
2. Metodologi
Analisis penelusuran akar penyebab masalah akan dilakukan dengan menggunakan cause-effect diagram
(fishbone diagram) yang akan dibangkitkan melalui proses brainstorming dengan pihak-pihak terkait di
perusahaan serta berdasarkan literatur. Penggunaan metode ini sangat efektif untuk membantu
menemukan akar penyebab masalah, seperti yang telah dibuktikan oleh Babu dan Abraham (2014) untuk
menelusuri penyebab masalah FFA. Beberapa referensi (Akbar, Khalil, Ihsanullah & Nawaz, 2013; Kiran,
Mathew & Kuriakose, 2013; Kumar & Rudramurthy, 2013) telah menggunakannya untuk menyelesaikan
berbagai masalah yang terkait kualitas. Dari hasil analisis ini nantinya akan dibahas secara detil mengenai
akar penyebab masalah tersebut sehingga dapat menjadi acuan untuk dilakukannya penelitian lanjutan jika
memang diperlukan.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Analisis Akar Penyebab Masalah TBS Over-ripe Grade
Menurut Mangoensoekardjo dan Semangun (2008), semakin tinggi grade kematangan TBS maka akan
semakin tinggi pula nilai FFA-nya. Hal ini terjadi karena pada saat proses pematangan berlangsung maka
akan terjadi penguraian senyawa lemak atau minyak menjadi senyawa asam lemak. Dan ini akan terus
berlangsung karena adanya peranan enzim lipase pada daging buah. Kerja enzim tersebut akan semakin
aktif jika lapisan lilin yang membungkus daging buah terkelupas dan terjadi kontaminasi dengan udara. Oleh
karena itu menjaga kondisi TBS agar jangan sampai terluka atau memar merupakan suatu hal yang penting.
Salah satunya adalah dengan menjaga tingkat kematangan TBS tersebut, karena TBS yang sudah lewat
matang (over-ripe), kondisi dagingnya semakin lembek dan akan dengan mudah mengalami memar jika
terkena benturan. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, penyebab faktor ini dapat dilihat pada causeeffect diagram seperti terlihat pada Gambar 1.
Material
Peralatan
Pekerja
Tidak
diperhitungkan
Ketersediaan terbatas
TBS kecil
Lokasi jauh dari kota
Rotasi panen
Tidak diprogramkan
Pekerja terbatas
Usia tanaman
muda
Dianggap belum perlu
Ketersediaan terbatas
Tidak diprogramkan
Reaksi biologis
diabaikan
Unskill
Tidak update
teknologi
Akses kendaraan
sulit
Waktu tempuh lama
Lokasi kerja
jauh dari kota
Tidak ada training
Lokasi jauh
TBS restan
Lokasi jauh
Recruitment
tidak tepat
Tidak tahu
Alat transportasi
terbatas
Dianggap belum perlu
Tidak ada training
Dianggap belum perlu
Terlalu lambat
Manual
Over-ripe
Tidak diprogramkan
Kotoran
Tenaga terbatas
Tidak tahu
Dianggap belum perlu
Curah hujan tinggi
Perawatan manual
Tidak ada training
Sanitasi kurang
Lazim digunakan
Tidak ada penjadwalan
Regulasi
pemerintah
Persaingan
Pemasok
banyak
Areal terbatas
Kelembaban tinggi
Perawatan manual
Disain pabrik
Lazim digunakan
Kotor
Radiasi sinar matahari
Sanitasi kurang
Kurang koordinasi
Lazim digunakan
Tempat terbuka
Mikroba
Tenaga terbatas
Manajemen
Lingkungan
Gambar 1. Cause-effect Diagram Faktor Yang Mempengaruhi TBS Over-ripe
Dari Gambar 1 terlihat bahwa akar penyebab masalah TBS over-ripe secara umum terdiri dari tiga faktor,
yaitu sebagai berikut:
187
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
a. Faktor alamiah, terdiri dari:
Curah hujan tinggi, sehingga menyebabkan tingginya kadar air pada TBS yang memicu kenaikan FFA
pada TBS tersebut.
Kelembaban tinggi, sehingga menyuburkan tumbuhnya gulma pada areal tanaman sehingga
menyebabkan tingginya kebutuhan perawatan areal tanaman.
Umur tanaman masih muda, sehingga menyebabkan proses perubahan grade TBS dari ripe menjadi
over-ripe menjadi lebih cepat karena dimensi dan berat janjang rata-rata (BJR) TBS masih kecil.
Apalagi jika sarana jalan tidak begitu baik, maka guncangan-guncangan selama proses selanjutnya
akan semakin mempercepat proses tersebut.
Lokasi perusahaan jauh dari kota, sehingga perusahaan kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja
yang memenuhi spesifikasi minimal yang dibutuhkan.
Lokasi sumber TBS jauh dari pabrik, sehingga membutuhkan waktu tempuh yang cukup lama.
Dengan demikian TBS menjadi restan atau tidak segar lagi.
b. Faktor ekternal perusahaan, terdiri dari:
Regulasi pemerintah yang membatasi izin pemberian HGU kepada perusahaan-perusahaan
perkebunan, sehingga areal perkebunan yang dikelola menjadi tidak seimbang dengan kapasitas
pabrik.
Persaingan dengan perusahaan lain di dalam memperoleh izin HGU, sehingga perusahaan
memperoleh areal HGU yang terpencar-pencar di beberapa lokasi. Di samping itu, persaingan untuk
mendapatkan pemasok dari luar perusahaan juga menyebabkan pemasok yang dekat dengan lokasi
pabrik belum tentu mau mengirimkan TBS-nya ke pabrik terdekat.
c. Faktor internal perusahaan, terdiri dari:
Program pelatihan dianggap belum perlu, sehingga para pekerja tidak mempunyai wawasan yang
cukup untuk melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien. Umumnya pelatihan hanya dianggap
sebagai pemborosan. Hal ini karena paradigma yang terjadi di perusahaan-perusahaan perkebunan
kelapa sawit masih menggunakan pola manajemen perkebunan klasik.
Teknologi baru dianggap belum perlu, sehingga pemborosan waktu dan tenaga masih sering terjadi.
Hal ini karena paradigma klasik yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah industri
padat karya. Padahal jika melihat realita yang ada saat ini, yaitu sulitnya mencukupi jumlah
kebutuhan minimal tenaga kerja, apalagi yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan, maka sudah
seharusnya perusahaan harus mulai mengadopsi teknologi-teknologi modern.
Kebutuhan alat transportasi tidak diperhitungkan, sehingga restan TBS di lapangan (kebun) sering
terjadi. Adanya rencana kerja (budget) tahunan yang sudah terinci setiap bulan seharusnya dijadikan
acuan di dalam menghitung kebutuhan alat transportasi.
Menggunakan disain pabrik yang lazim digunakan. Disain PKS yang ada saat ini menempatkan
penumpukan TBS di lapangan terbuka. Padahal jika mengacu pada konsep awalnya, seperti yang
dikemukakan oleh Naibaho (1998), lapangan terbuka tersebut sebenarnya hanya sebagai tempat
bagi truk pengangkut TBS untuk melakukan aktivitas pembongkaran di hopper loading ramp, bukan
sebagai tempat pembongkaran TBS, apalagi sebagai tempat penumpukan TBS tersebut.
Menerapkan sistem perawatan areal tanaman yang lazim digunakan. Sama halnya seperti
penggunaan teknologi, sistem perawatan areal tanaman ini juga pada umumnya menggunakan caracara tradisional. Padahal areal perkebunan kelapa sawit umumnya sangat luas, mencapai ribuan
hektar. Dengan demikian pola perawatan tradisional cenderung kurang efektif dan membutuhkan
jumlah tenaga kerja yang sangat besar.
Untuk faktor internal perusahaan, saat ini umumnya perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit,
khususnya divisi opersional, cenderung menggunakan pola manajemen perkebunan klasik. Hal ini terjadi
karena terbatasnya ketersediaan sumber tenaga kerja operasional. Dengan demikian tenaga kerja yang ada
cenderung berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, sehingga pengalaman kerja yang
188
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
dimilikinya akan diaplikasikan ke tempat-tempat lainnya. Kurangnya pelatihan-pelatihan manajemen
modern yang diberikan kepada divisi opersional menyebabkan kurangnya wawasan mereka, sehingga
inovasi-inovasi kerja juga kurang berkembang.
3.2. Analisis Akar Penyebab Masalah Pre-time
Waktu persiapan proses atau preparation time (pre-time) merupakan waktu menunggu dimulainya proses
pengolahan TBS. Idealnya waktu ini digunakan untuk melakukan preventive maintenance dan cleaning pada
semua peralatan proses untuk mencegah terjadinya breakdown di tengah berlangsungnya proses produksi
sehingga mengakibatkan timbulnya downtime. Namun pada kenyataanya tidak terlihat adanya hubungan
antara pre-time dan downtime tersebut. Hal ini terlihat pada saat dilakukan uji multikolinieritas, antara
kedua variabel tersebut tidak terlihat adanya hubungan.
Hudori (2015) mengemukakan bahwa pre-time ini mempunyai hubungan terbalik (–) dengan FFA, dimana
kenaikan pre-time akan menyebabkan penurunan FFA. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan pendapat
Mona (2000) yang mengatakan bahwa pre-time merupakan penyebab kenaikan FFA. Oleh karena itu perlu
dilihat lebih jauh apa saja sebenarnya akar penyebab pre-time tersebut. Berdasarkan kondisi yang ada di
lapangan, terlihat bahwa dalam waktu-waktu tertentu TBS yang masuk pada hari tersebut sengaja tidak
langsung diolah. Tentunya hal ini akan sangat merugikan perusahaan karena akan memperbesar potensi
kenaikan FFA. Akan tetapi, di waktu-waktu tertentu, penyebab pre-time ini antara lain karena minimnya
pasokan TBS yang masuk pada pagi hari sehingga tidak mencukupi untuk dimulainya proses pengolahan. Di
samping itu juga ada beberapa faktor lain yang berpotensi menjadi penyebabnya. Faktor penyebab pre-time
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Dari Gambar 2 terlihat bahwa akar penyebab masalah pre-time secara umum terdiri dari dua faktor, yaitu
sebagai berikut:
a. Faktor alamiah, terdiri dari:
Cuaca yang tidak menentu, sehingga menimbulkan kendala persiapan proses, di antaranya
pembersihan lantai produksi karena air hujan yang masuk ke pabrik, karena pada umumnya sebagian
besar lantai produksi tidak menggunakan dinding penutup.
Lokasi sumber air yang jauh dari pabrik, sehingga deposit air di waduk penampungan sering
mengalami defisit. PKS merupakan salah satu industri yang membuntuhkan air yang cukup banyak.
Menurut Naibaho (1998), rasio pemakaian air di PKS mencapai 0,9 – 1,2 m3 per Ton TBS. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 50% – 60% di antaranya digunakan sebagai air umpan boiler.
Lokasi perusahaan jauh dari kota, sehingga perusahaan kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja
yang memenuhi spesifikasi minimal yang dibutuhkan. Dengan demikian perusahaan hanya
memperoleh pekerja secara apa adanya. Demikian pula dengan keterbatasan akses informasi
sehingga menyebabkan para pekerja menjadi kurang wawasan sehingga kurang melakukan inovasi.
189
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
Lazim
digunakan
ISSN: 2460-4615
Material
Peralatan
Pekerja
Tidak update
teknologi
Kecepatan
penerimaan
Sistem penerimaan (grading)
Recruitment
tidak tepat
Lokasi kerja jauh dari kota
Pekerja masuk
serentak
Dianggap belum perlu
SOP boiler
Tidak ada
pengaturan
jam masuk
Manual
TBS tidak cukup
Ketersediaan terbatas
Belum hadir lengkap
Kurang disiplin
Slow-firing boiler
Sudah terbiasa
Terlambat
Lokasi jauh
Kecepatan kedatangan
Deposit air terbatas
Sumber air jauh
Kurang pembinaan
Perbaikan
belum selesai
Manajemen
perawatan
Kurang pembinaan
Tidak diprogramkan
Unskill
Dianggap belum perlu
Breakdown hari
sebelumnya
Menggunakan alat berat
Tidak ada training
Terlalu lambat
Pasokan air kurang
Kerusakan peralatan
Pre-time
Tidak diprogramkan
Tidak tahu
Dianggap belum perlu
Cuaca
Lazim digunakan
Tidak ada training
Tidak ada penjadwalan
Sistem penerimaan TBS
Kurang
pengarahan
Sanitasi
kurang
Lazim digunakan
Kurang
wawasan
Tidak tahu
cara lain
Sinyal
terbatas
Kotor
Beban kerja
tinggi
Akses
informasi
terbatas
Tidak ada target
Pembersihan manual
Tidak sempat
Lazim digunakan
Peralatan tradisonal
Lokasi jauh dari kota
Manajemen
Lingkungan
Gambar 2. Cause-effect Diagram Faktor Penyebab Pre-time
b. Faktor internal perusahaan, terdiri dari:
Kurangnya pembinaan kepada para pekerja, sehingga kedisiplinan kerjanya kurang. Pekerja yang
tidak disiplin sehingga datang terlambat akan menyebabkan jumlah yang hadir menjadi tidak
lengkap.
Program pelatihan dianggap belum perlu, sehingga para pekerja tidak mempunyai wawasan yang
cukup untuk melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien.
Program perawatan terhadap peralatan kurang efektif, sehingga menimbulkan kerusakan yang berat
pada peralatan. Kerusakan pada alat yang cukup serius dapat menyebabkan breakdown yang
berkepanjangan. Kadangkala breakdown yang terjadi pada malam hari membutuhkan proses
perbaikan yang cukup lama, bahkan sampai keesokan harinya.
Standard operational procedure (SOP) boiler mengharuskan dilakukannya pemanasan bertahap
(slow-firing). Boiler yang sudah terlanjur dingin tersebut akan dipanaskan secara bertahap terlebih
dahulu (slow-firing).
Tidak adanya pengaturan jam masuk pada pagi hari juga menyebabkan slow-firing menjadi penyebab
terlambatnya proses pengolahan dimulai.
Kurangnya pembinaan cara melakukan pekerjaanya, sehingga menyebabkan ketergantungan mereka
kepada alat berat (wheel loader).
Sistem penerimaan saat ini yang mengharuskan grading TBS secara total akan berpotensi untuk
memperlambat permulaan proses pengolahan. Padahal sistem penerimaan seperti ini telah
menyalahi prinsip penerimaan TBS yang seharusnya, seperti yang telah dikemukakan dalam
beberapa literatur (Naibaho, 1998; Pahan, 2006; Mangoensoekardjo & Semangun, 2008) bahwa
idealnya TBS harus dimasukkan langsung ke hopper loading ramp agar bisa langsung dimasukkan ke
dalam lori untuk segera diproses.
Beberapa pekerjaan persiapan yang dilakukan dengan peralatan tradisional, seperti kegiatan
pembersihan (cleaning).
Tidak adanya target penyelesaian pekerjaan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Key
performance index (KPI) umumnya hanya diterapkan pada unsur pimpinan (staf) saja. Sedangkan
pada unsur pelaksana (karyawan) tidak dibebani dengan target ini.
190
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
Beban kerja yang tinggi juga menjadi akar penyebab masalah pre-time. Hal ini terjadi karena
banyaknya pekerjaan yang dilakukan secara manual sehingga menyita banyak tenaga.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kondisi pre-time terjadi akibat faktor-faktor yang sebenarnya dapat
dieliminir. Karena berdasarkan hasil observasi di lapangan, umumnya pre-time tersebut bukanlah persiapan
proses yang sesungguhnya, tetapi lebih kepada penggunaan waktu yang kurang bermanfaat sehingga hanya
menimbulkan pemborosan (waste). Oleh karena itu sudah seharusnya dilakukan evaluasi agar kondisi
tersebut dapat diperbaiki karena hanya akan menurunkan produktivitas perusahaan, terutama terkait
dengan masalah kualitas produk, yaitu FFA pada CPO.
3.3. Keterbatasan Penelitian
Dari hasil pembahasan di atas, ternyata masih banyak aspek yang dapat dikaji. Namun karena keterbatasan
dalam penelitian ini, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu, dapat dilakukan penelitianpenelitian lebih lanjut yang mencakup beberapa aspek, seperti aspek kebutuhan sumber daya, kebutuhan
dan pengukuran kinerja perawatan. Strategi perbaikan proses pengolahan TBS, optimisasi dan rekayasa
kualitas proses dan produk, dan aspek-aspek lainnya.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa akar penyebab masalah kualitas
grading TBS, khususnya over-ripe dan lamanya waktu tunggu persiapan proses pengolahan (pre-time)
adalah:
1. Faktor over-ripe meliputi faktor alamiah, faktor ekternal dan faktor internal perusahaan.
2. Faktor pre-time meliputi faktor alamiah dan faktor internal perusahaan.
Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa perbaikan terhadap faktor-faktor tersebut yang akan memberikan
keuntungan secara bisnis, yaitu penurunan biaya kualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S., Khalil, M.S., Ihsanullah, H., & Nawaz, T. (2013). Implementation of Quality Improvement Tools In
Brass Industry To Improve Quaility and Enhance Productivity, Information & Knowledge Management,
3(4), 97-125.
Babu, D., & Abraham, M.M. (2014). To Study Quality Noncompliance Due on Bottleneck Activities With
Respect to Palm Oil Industry. International Journal of Research in Management and Technology
(IJRMT), 4(1), 45-48.
Fox, J.P., Brammall, J.R., & Yarlagadda, P.K.D.V. (2008). Determination of the Financial Impact of Machine
Downtime on the Post Large Letters Sorting Process. Journal of Achievements in Materials And
Manufacturing Engineering, 31(2), 732-738.
Hudori, M. (2015). Quality Engineering of Crude Palm Oil (CPO): Using Multiple Linear Regression to
Estimate Free Fatty Acid. Proceeding 8th International Seminar of Industrial Engineering and
Management (ISIEM), QM 26-33.
Kiran, M., Mathew, C., & Kuriakose, J. (2013). Root Cause Analysis for Reducing Breakdowns in a
Manufacturing Industry. International Journal of Emerging Technology and Advanced Engineering,
3(1), 211-216.
Kumar, P.R., & Rudramurthy. (2013). Analysis of Breakdowns and Improvement of Preventive Maintenance
on 1000 Ton Hydraulic Press. International Journal of Emerging Technology and Advanced Engineering,
3(8), 636-645.
191
Operational Excellence Conference -2nd
Jakarta, 06 Juni 2015
ISSN: 2460-4615
Mangoensoekardjo, A., & Semangun, H. (2008). Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Mona. (2000). Perencanaan Strategik PT. Hadi Prima Agro. Geladikarya Program Magister Manajemen,
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor: IPB.
Naibaho, P. (1998). Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Ohimain, E.I., Izah, S.C., & Fawari, A.D. (2013). Quality Assessment of Crude Palm Oil Produced by SemiMechanized Processor in Bayelsa State, Nigeria. Discourse Journal of Agriculture and Food Sciences
(JAFS), 1(11), 171-181.
Pahan, I. (2006). Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir. Jakata:
Penebar Swadaya.
Sultana, F., Razive, N.I., & Azeem, A. (2009). Implementation of Statistical Process Control (SPC) for
Manufacturing Performance Improvement. Journal of Mechanical Engineering, 40(1), 15-21.
Tagoe, S.M.A., Dickinson, M. J., & Apetorgbor, M.M. (2012). Factors Influencing Quality of Palm Oil
Produced at the Cottage Industry Level in Ghana. International Food Research Journal, 19(1), 271-278.
Tambun, R. (2006). Teknologi Oleokimia. Medan: USU Press.
192