REFORMASI: ANTARA ANOMIE DAN PENCIPTAAN METANARASI BARU - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

REFORMASI: ANTARA ANOMIE DAN PENCIPTAAN METANARASI BARU
Oleh Triyono Lukmantoro
Triyono Lukmantoro, lulus dari Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang pada bulan
Oktober 1997. Semenjak bulan Februari 1998, tercatat sebagai staf pengajar pada almamaternya.
Munculnya gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa ditandai oleh bertebarannya ungkapan-ungkapan kasar
yang ditujukan kepada Soeharto secara personal, maupun kepada Orde Baru sebagai rezim politik yang totaliter.
Namun di balik gelombang reformasi yang memuncak itu, sebenarnya, sedang terjadi anomie yang ditunjukkan oleh
aksi- aksi penjarahan serta kekerasan terhadap aparat desa. Selain itu, tanpa disadari reformasi juga merupakan
metanarasi baru yang apabila tidak dikritisi akan melahirkan rezim politik yang juga represif.
“Juga bagiku rasanya kata yang paling kasar, surat yang paling kasar adalah lebih bermuatan kebaikan,
lebih jujur dibandingkan dengan diam. Mereka yang tinggal dalam diam hampir selalu kekurangan subtilitas
dan kesopanan di hati; diam adalah sebuah penolakan, menelan kata-kata pastilah menghasilkan sebuah
karakter buruk – itu malah menghancurkan perut.”
(Friedrich Nietzsche, Ecce Homo: Lihatlah Dia, 1998: 20)
Ungkapan Nietzsche mengenai kata-kata kasar yang justru menjadi selera kesintingannya, benar-benar
terjadi pada pertengahan Mei 1998 yang lalu. Gelombang reformasi yang dimotori oleh mahasiswa tidak saja telah
mampu memproduksi sebuah gerakan massal. Namun yang lebih penting adalah menggelombangnya
ucapan-ucapan vulgar yang menghujat Soeharto sebagai personal tunggal maupun Orde Baru sebagai sebuah rezim
yang berkarakter totaliter. Kekasaran itu tidak saja terungkap dalam teriakan-teriakan mahasiswa yang menghendaki
turunnya Soeharto sebagai presiden yang sangat represif. Tetapi yang lebih mencolok adalah munculnya aksi
kekerasan yang berjalan secara massif berupa pengrusakan serta penjarahan, serta terjadi pula tragedi terhadap

kalangan perempuan keturunan Tionghoa yang mengalami tindak pemerkosaan.
Apabila dikedepankan pertanyaan yang lebih kritis: Inikah reformasi? Apakah reformasi harus dijalankan
dengan cara kekerasan untuk menunjukkan bahwa selama ini memang negara lebih dikuasai oleh
aparatus-represifnya? Apakah reformasi yang bergulir pada pertengahan Mei 1998 itu tidak lebih sebagai
perlawanan puncak terhadap rezim Orde Baru serta Soeharto sebagai tokoh utamanya? Hipotesis ini dapat dijawab
dengan merujuk pada apa yang dikemukakan Foucault bahwa di manapun ada kekuasaan, serentak dengan itu pula
ada perlawanan. Dan, perlawanan tersebut tidak pernah berada di luar posisi kekuasaan. Perlawanan yang muncul
merupakan suatu hal yang niscaya, tidak mungkin, spontan, liar, soliter, hasil persekongkolan laten, keras, tak kenal
kompromi, mudah berkompromi, berpamrih, atau juga rela berkorban (Foucault, 1997: 117-118). Apabila perlawanan
yang mengiringi proses reformasi itu berjalan dengan perilaku yang cenderung radikal serta kasar, jelas akibat
selama ini masyarakat telah secara sistematis dibungkam dalam diam. Sehingga yang muncul secara eksplosif
kemudian adalah teriakan yang telah diisi dengan berbagai dendam serta kemiskinan yang semakin meluas.
Tulisan ini akan membahas dua fenomena pokok yang sampai sekarang ini masih dianggap sebagai gejala
utama dari bergulirnya reformasi. Pertama, munculnya perlawanan masyarakat di tingkat pedesaan terhadap aparat
birokrasi yang selama ini menjadi ujung tombak bagi rezim Orde Baru untuk melegitimasikan kekuasaannya melalui
proses pemilihan umum. Selain perlawanan terhadap kalangan aparat birokrasi yang juga sangat mencolok adalah
semakin beraninya masyarakat di daerah pedesaan untuk melakukan penjarahan. Serta fenomena yang kedua
adalah upaya kalangan pejabat negara untuk melupakan tragedi berdarah yang pernah dilakukannya, seperti
Peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1994 serta Peristiwa Sabtu Kelabu atau yang lebih dikenal sebagai Tragedi 27
Juli 1996. Proses penglupaan ini sengaja dijadikan mekanisme oleh kalangan pejabat negara seiring dengan tuntutan

1

dari masyarakat yang menghendaki diungkapkannya kasus-kasus yang menelan banyak korban itu serta menjadi
semacam arsip politik yang sengaja disembunyikan oleh rezim Orde Baru.
Perlawanan terhadap Aparat Desa
Adalah sebuah fenomena kekuasaan yang cukup mencengangkan ketika kalangan aparat pedesaan
meminta perlindungan kepada aparat pemerintahan di atasnya, baik camat atau pun bupati, karena merasa terancam
jiwa dan keamanannya. Apakah gejala yang demikian ini dapat dibaca sebagai arus reformasi yang sedang meraih
titik zenithnya dalam kehidupan masyarakat desa? Ataukah masyarakat desa sedang mengalami “demam reformasi”,
sehingga mereka tidak sungkan-sungkan lagi melakukan kritik bahkan aksi kekerasan terhadap aparatnya sendiri?
Dan, ini semua merupakan sebuah peristiwa yang sama sekali tidak terduga ketika kalangan kepala desa beserta
perangkatnya tiba-tiba harus mengalami ketakutan yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada saat
memohon perlindungan mereka pun membawa poster sebagaimana layaknya kalangan aktivis yang mengalami
tindakan represif dari aparat keamanan. Kalangan aparat desa pun seakan-akan sedang merintih mengalami
kesakitan serta ketakutan yang luar biasa.
Barangkali, inilah sebuah titik balik yang sedikit “janggal”. Bagaimana mungkin kalangan aparat yang
mempunyai kekuasaan penuh atas masyarakatnya harus mengalami ketakutan yang sedemikian mencekam?
Apabila dirunut secara sosiologis, masyarakat pedesaan merupakan sebuah komunitas homogen yang cenderung
memberikan rasa hormat (respect) terhadap kalangan pemimpinnya. Sehingga berbagai relasi kekuasaan yang
menghubungkan antara aparat dengan penduduk pedesaan lebih bersifat emosional, karena lebih dikentali dengan

keterkaitan yang bersifat kedekatan personal. Dengan keadaan hubungan-hubungan kekuasaan (relations of power)
seperti ini, jalinan yang kemudian muncul adalah antara patron dan klien (pihak yang memberikan perlindungan serta
pihak yang diberikan pengayoman). Jadi, tidak ada tendensi-tendensi kekuasaan yang mengarah pada eksploitasi
dengan memanfaatkan kekuasaan.
Namun, tampaknya, asumsi-asumsi ini segera saja dapat dibantah ketika wilayah pedesaan dijadikan ajang
untuk meraih keuntungan. Desa tidak lebih dijadikan salah satu dari bagian kekuasaan di lingkup atasnya.
Perkembangan berikutnya adalah desa diaplikasikan sebagai sebuah jaringan kekuasaan yang mengandalkan pada
kekuatan birokratisme. Tugas aparat pedesaan pun mengalami perubahan yang sangat drastis, yaitu dari yang
semula sebagai pengayom kemudian menjadi penguasa yang juga melakukan perengkuhan terhadap warganya
dengan cara-cara yang eksploitatif. Boleh jadi perubahan itu juga diperkeras oleh pergeseran sifat masyarakat desa
itu sendiri akibat karakter kekuasaan negara secara keseluruhan. Negara melalui berbagai program
pembangunannya, entah dengan kesadaran penuh atau tanpa diperhitungkan sebelumnya, mendorong masyarakat
desa yang semula bersifat paguyuban (gemeinschaft) menjadi masyarakat yang berkarakterkan patembayan
(gesellschaft). Hubungan-hubungan kuasa yang pada awalnya tidak pernah dimuati oleh pamrih untuk mendapatkan
keuntungan (dalam hal ini, tentu saja, adalah profit yang bersifat material) secara mendadak diubah arahnya menjadi
relasi-relasi yang selalu mengarah pada pemerolehan pamrih keuntungan. Inilah sebuah realitas tersendiri yang tidak
dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat pedesaan di mana jalinan kekuasaan yang terbentuk adalah antara
pihak yang berkuasa penuh serta pihak yang dikuasai. Gejala ini dapat pula disebut sebagai sebuah “gegar kuasa”
(power shock) sebagai akibat hubungan kekuasaan yang terjadi tidak lagi bersifat personal serta emosional, namun
lebih didominasi oleh watak kekuasaan yang dingin, impersonal, serta ada segregasi yang sepenuhnya tegas

(formal).
Kondisi tersebut juga semakin diperparah oleh intervensi negara untuk terus melanggengkan kekuasaannya
dengan cara-cara yang sama sekali tidak etis. Misalnya saja adalah banyaknya kasus pemilihan kepala desa yang
selalu melibatkan pihak eksternal (terutama kalangan birokrasi di atas desa serta pihak militer). Intervensi yang
terlalu berlebihan ini seringkali membuat masyarakat desa harus menelan kekecawaan yang sangat berat ketika
calon pilihan mereka tidak disetujui atau dengan rekayasa kekuasaan tertentu sengaja dikalahkan. Tidak saja
otonomi atau kemandirian masyarakat desa yang seakan-akan diabaikan begitu saja dalam kasus-kasus semacam
2

ini. Sesungguhnya yang justru paling membuat masyarakat desa menunjukkan perasaan marah adalah karena harga
diri serta martabat mereka seakan-akan diinjak-injak begitu saja, bahkan dieliminasikan bagaikan tidak punya nilai
apapun. Negara beserta aparatnya yang merasa mempunyai kekuasaan penuh (powerfull) secara
sewenang-wenang tidak memberikan apresiasi apapun terhadap kehadiran masyarakat desa dalam pentas
kekuasaan. Malahan lebih dari itu negara dengan arogansinya yang terlampau berlebihan selalu berlagak
menyepelekan (underestimate) terhadap sikap politik masyarakat desa yang selalu dipandang serta ditempatkan
sebagai pihak yang pasti patuh, tunduk serta tidak akan menolak apapun segala kehendak kekuasaan.
Semua puncak atau titik kulminasi dari perilaku kekuasaan itu adalah pada saat berlangsungnya pemilihan
umum. Sulit untuk dipungkiri oleh siapapun bahwa aparat pedesaan dijadikan mesin politik bagi Golongan Karya
(Golkar) untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Rasionalisasi politik yang tertanam dalam benak
kader-kader Golkar adalah birokrasi merupakan sebuah sayap yang dapat direntangkan selebar-lebarnya untuk

meraup suara kalangan pemilih (voters). Birokrasi di tingkat pedesaan, tampaknya, merupakan perangkat yang
paling efektif untuk menjalankan rasionalisasi politik tersebut. Hal ini dengan asumsi bahwa masyarakat pedesaan
adalah komunitas yang sangat submisif (tunduk serta patuh) terhadap komando kekuasaan dari kalangan birokrat
desa. Kebungkaman masyarakat pedesaan diandaikan sebagai kepatuhan yang serba memberikan persetujuan.
Padahal, kebungkaman itu, sebenarnya, adalah sebuah dinamit yang siap meledak ketika mendapatkan
momentumnya yang tepat. Eksplosi kemarahan yang selama ini dipendam juga tidak dapat dipisahkan dari
bagaimana kalangan birokrat pedesaan melakukan cara-cara yang sebegitu represif untuk mencambuk masyarakat
sehingga tergiring dalam kandang Golkar. Sehingga dapat diberikan suatu metafora bahwa selama ini aparat desa
berlagak layaknya penggembala yang bengis pada saat momentum pemilu berlangsung, serta sama sekali
memperlakukan masyarakatnya sebagaimana layaknya binatang ternak yang sangat dungu.
Dalam banyak kasus yang lain, terutama dalam kasus-kasus pertanahan, aparat desa juga dianggap
sebagai perangkat kalangan pengusaha untuk menjinakkan gelombang ketidakpuasan masyarakat desa. Sangatlah
tidak mungkin pihak pengusaha sebagai orang yang sama sekali asing bagi masyarakat desa akan melakukan
pembelian tanah secara langsung. Pengusaha harus memanfaatkan aparat desa untuk dapat mengeruk tanah yang
sedemikian luas dengan harga yang sangat murah. Inilah intervensi permodalan yang bersifat koersif yang selalu
mewarnai pembebasan (atau lebih tepat disebut sebagai penjualan secara paksa) lahan pertanian untuk dapat
dimanfaatkan sebagai lapangan golf, tempat berlibur, atau juga pabrik-pabrik dalam sebuah proses industrialisasi
yang tidak manusiawi. Aparat desa sendiri dengan otomatis juga memperoleh keuntungan material dalam
kasus-kasus pembebasan tanah tersebut. Dan, apabila mereka tidak mempunyai kesanggupan untuk melakukan
tindakan persuasi terhadap masyarakatnya sendiri, maka dikerahkan pula aparat militer yang selalu siap melakukan

tindakan kekerasan untuk menundukkan ketidakpuasan masyarakat desa tersebut.
Berbagai aksi kekerasan atau setidaknya ancaman yang menimpa kalangan aparat desa, secara
keseluruhan dapat disimpulkan akibat dishamornisasi dalam jalinan-jalinan kekuasaan antara pihak birokrat di tingkat
pedesaan dengan masyarakat yang menjadi wilayah rengkuhannya. Disharmonisasi tersebut bersumber dari
dimanfaatkannya aparat desa untuk kepentingan kekuasaan negara sehingga pihak negara tetap mengalami
kelanggengan (establishment atau status quo). Pelanggengan kekuasaan negara tersebut secara operasional
dilakukan oleh Golkar dalam setiap kali momentum pemilu berlangsung dengan menciptakan aparat desa sebagai
mesin politik yang dianggap paling efektif. Selain itu, aparat desa juga dijadikan sekadar sebagai perangkat dan
komponen yang menguntungkan bagi kepentingan bisnis kalangan pengusaha tertentu untuk mendapatkan profit
material sebanyak-banyaknya. Sekarang ini jika aparat desa tersebut memperoleh teror serta bahkan perlakuan fisik
yang sangat menyakitkan adalah sebagai imbas yang paling konkret dari “dosa dan noda politik” yang selama ini
secara periodik serta sistematis mereka lakukan.
Sebenarnya apabila dilihat secara historis terjadinya aksi kekerasan terhadap kalangan aparat desa di Jawa
Tengah tidaklah dapat dikatakan sebagai gejala yang sama sekali baru. Aksi-aksi kekerasan yang sangat
revolusioner yang disertai pembunuhan terhadap kalangan aparat desa pernah berlangsung di tiga wilayah kota di
3

karesidenan Pekalongan, yaitu Brebes, Tegal, serta Pemalang. Aksi-aksi revolusioner rakyat terhadap aparat desa
pada tahun 1945 tersebut dikenal sebagai “Peristiwa Tiga Daerah”. Anton E. Lucas menggambarkan rangkaian
peristiwa tersebut sebagai “the bamboo spear pierces the payung” (dalam Surjomihardjo, 1981: 52-61). Pengandaian

ini menunjukkan adanya suatu momentum yang dianggap paling radikal ketika “bambu runcing menembus payung”
yang secara konkret merupakan sebuah deskripsi dari keberanian masyarakat biasa untuk menyingkirkan kalangan
pangreh praja. Jika dilihat menurut rentetan waktunya, peristiwa yang terjadi di tiga kota tersebut merupakan suatu
rangkaian kejadian penting setelah Proklamasi Kemerdekaan di mana rakyat tidak sekedar ingin melenyapkan
kolonialisme asing. Namun juga yang lebih substansial adalah bagaimana melampiaskan perasaan dendam mereka
terhadap kalangan pangreh praja yang selama masa penjajahan juga menjadi antek yang turut membantu
menciptakan penindasan terhadap masyarakat.
Pelacakan secara lebih mendalam dalam Peristiwa Tiga Daerah juga akan menyajikan suatu realitas historis
bahwa kepentingan ekonomi merupakan salah satu akar esensial bagi kemarahan masyarakat. Munculnya
kapitalisme Barat di wilayah pesisir utara membawa dampak yang sedemikian luas bagi kehidupan kalangan petani.
Di wilayah pesisir tempat bermunculannya pabrik-pabrik gula, kalangan elite birokratis atau pangreh praja tersebut
seringkali berlaku layaknya pejabat kaum kapital Eropa. Kalangan birokrat ini kemudian berperan sebagai penarik
pajak dan pelaksana hukum yang pada akhirnya mengucilkan mereka sendiri. Hal inilah yang menjadikan elite
birokrat tersebut tidak dapat membela kepentingan para petani pada satu sisi serta tidak mampu sebagai pegawai
kolonial yang baik pada sisi yang lain. Secara sangat mencolok, kepala-kepala desa berperan sebagai tuan-tuan
tanah pemungut padi dari para petani. Keadaan ini semakin diperburuk oleh terjadinya korupsi yang mendorong
karesidenan Pekalongan menaikkan kuota penyerahan padi. Konklusi yang dapat dibaca dari Peristiwa Tiga Daerah
yang melahirkan revolusi sosial pada bulan Oktober 1945 itu adalah akibat peranan agresif para elite birokrat,
terutama dalam hubungan pemungutan hasil panen padi.
Apabila rangkaian peristiwa historis tersebut direfleksikan kembali ke masa sekarang ini, terutama selama

rezim Orde Baru, maka peranan elite birokrasi di tingkat desa tetap saja dianggap strategis untuk melangsungkan
serta melanggengkan sistem kapitalisme. Memang, apabila kapitalisme yang dijalankan adalah murni maka yang
terjadi adalah penghindaran peranan elite birokrasi dari eksploitasi terhadap masyarakatnya sendiri, sehingga
mereka tidak mengalami keterasingan atau pun pemencilan. Namun, karena yang dijalankan adalah sebuah sistem
kapitalisme semu (ersatz capitalism), maka satu-satunya cara untuk memuluskan sistem yang eksploitatif tersebut
adalah dengan memanfaatkan elite birokrat sebagai mesin uang sekaligus juga sebagai mesin kekuasaan yang
otoriter.
Bahkan secara kritis, Ruth McVey mengandaikan negara Orde Baru sebagaimana layaknya sebuah
beamtenstaat, sebuah sistem pemerintahan kolonial pada tahun 1930-an. Dalam negara dengan sistem semacam ini
yang diutamakan adalah ketrampilan berorganisasi, kemampuan teknis serta keahlian di bidang ekonomi.
Sedangkan ciri-ciri lain di luar segi teknis administratif birokrasi, menurut McVey adalah: Pertama, baik pemerintah
kolonial maupun pemerintah Orde Baru, meskipun yang pertama bersifat sipil sedangkan yang kedua adalah militer,
selalu saja mengandalkan secara terbuka kepada kekuatan serta kekuasaan yang memaksa; kedua, adanya
kecenderungan birokrasi yang mengalami alienasi (keterasingan); dan ketiga adalah sikap elite politik yang
menganggap rendah terhadap keberadaan rakyat (dalam Rahardjo, 1985: 12) . Dengan demikian dapat diungkapkan
bahwa kalangan elite birokrat ini selain mengidap sindroma bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar, juga
dihinggapi sejenis megalomania (gila kehormatan) dengan melakukan penumpukan kekayaan serta menerapkan
cara-cara yang opresif untuk menguasai dan menundukkan masyarakatnya.
Sehingga kalau selama ini ada asumsi serta doktrin yang sedemikian kokoh bahwa birokrasi diterapkan
sebagai pemberi layanan masyarakat yang bersifat netral serta sama sekali tidak memihak adalah tidak benar.

Birokrasi memang merupakan aparat negara yang pada awalnya dimaksudkan sebagai pekerja yang mengurusi
persoalan-persoalan teknis operasional yang bersifat administratif. Namun dalam perkembangan berikutnya,
birokrasi itu sendiri dengan kewenangan administratifnya dapat menjadi sejenis penguasa yang berdiri sendiri. Hal ini
4

memuncak pada perilaku yang tidak lagi menjadi pengayom serta pelayan masyarakat, melainkan menjadi sejenis
mesin produksi kekuasaan yang berlaku dingin, impersonal, serta melakukan keberpihakan terhadap kalangan yang
dinilai mampu memberikan keuntungan materi untuk memupuk kekayaan serta mengawetkan kekuasaan negara
yang represif. Dalam penilaian yang diberikan Hamza Alavi, karakter negara semacam ini disebut sebagai Negara
Pasca Kolonial. Sebab, dengan masih efektifnya peranan birokrasi yang tersebar luas di seluruh jajaran kelas-kelas
dalam masyarakat pada masa kolonial, ternyata, setelah negara tersebut memperoleh kemerdekaan, peranan
birokrasi masih juga dimanfaatkan untuk menguasai masyarakat. Perbedaannya adalah negara kolonial melakukan
pengindukan terhadap negara asing, sedangkan negara pasca kolonial sudah berdiri sendiri (dalam Budiman, 1996:
107-109). Kesemua ini memberikan pembuktian bahwa birokrasi sebagai perangkat kekuasaan yang terbukti efeketif
pada masa kolonial kemudian secara kontinyu difungsikan secara total oleh negara yang sudah merdeka.
Refleksi atas seluruh kejadian yang menunjukkan perilaku masyarakat yang bermusuhan terhadap aparat
desa, sehingga memunculkan ketakutan yang sedemikian mendalam pada diri kalangan aparat tersebut,
sebenarnya, lebih didorong oleh motif pelampiasan kemarahan masyarakat yang sudah sedemikian tinggi
terakumulasi. Atmosfer reformasi yang masih berlangsung sampai sekarang ini memberikan kelonggaran bagi
masyarakat untuk melakukan balas dendam (revenge) terhadap kalangan aparat desa yang selama ini tidak

menempatkan diri sebagai pelayan serta pengayom masyarakat. Jika pada masa Orde Baru kemarahan tersebut
tidak mampu untuk dimuntahkan karena kontrol negara yang sedemikian ketat, maka momentum reformasi menjadi
sebuah mekanisme katalisator yang memungkinkan masyarakat seolah-olah boleh berbuat apa saja meskipun
dengan cara-cara kekerasan. Apalagi, sesungguhnya, kewibawaan elite birokrasi itu sendiri sejak masa Orde Baru
sudah mengalami kemerosotan yang tajam akibat birokrasi disulap sebagai abdi negara (yang sangat kental dengan
warna kolonialisme) dan bukannya abdi masyarakat.
Gejala melakukan tindakan kekerasan terhadap aparat desanya sendiri serta merebaknya penjarahan
merupakan bukti bahwa di pedesaan telah terjadi apa yang dinamakan Emile Durkheim sebagai anomie. Yaitu
sebuah kondisi manusiawi yang ditandai oleh tidak adanya peraturan sosial yang merupakan bentuk konkret dari
keadaan manusia yang tidak sosial, non-rasional dan tak berbentuk. Sehingga, anomie merupakan sebuah kondisi
masyarakat di mana agama, pemerintah dan moralitas telah kehilangan keefektifannya dan keadaan psikologis yang
diakibatkannya pada para individu kecewa tanpa tujuan hidup apa pun dan karenanya tak memiliki kebahagiaan
tetap (Campbell, 1997: 176). Konklusi yang dapat dikemukakan adalah reformasi yang berupaya merombak sistem
politik rezim Orde Baru yang sangat represif, ternyata, belum menunjukkan keberhasilannya sama sekali. Reformasi
yang dimaksudkan sebagai pembaharuan serta penyegaran bagi kehidupan politik justru melahirkan anomie yang
kemungkinan masih berkepanjangan proses bergulirnya. Anomie tersebut tidak saja terjadi di lingkup pedesaan,
namun juga semakin merebak di perkotaan yang ditandai oleh mudahnya kekerasan yang ditimbulkan oleh aksi-aksi
massal serta meningkatnya angka kriminalitas.
Penglupaan terhadap Tragedi Politik
Kekerasan politik yang pernah terjadi selama rezim Orde Baru berkuasa, tampaknya, akan sengaja

dilupakan oleh kalangan pejabat yang pernah terlibat di dalamnya. Tentu saja, pertanyaan yang harus diungkapkan
adalah: mengapa perilaku represif negara pada masa silam itu ingin dilupakan? Apakah lupa dalam kondisi
perpolitikan yang masih bergejolak seperti sekarang ini, memang, layak untuk dilakukan? Dan, benarkah lupa dalam
pokok persoalan ini hanya sekadar suatu proses psikis yang tidak disengaja sama sekali? Dengan demikian, “lupa”
hanya menjadi sekadar lawan dari “ingat”, sehingga peristiwa-peristiwa perilaku represif negara hanya menjadi
sejenis timbunan historis yang sedikit pun tidak berguna dan tidak mempunyai nilai politis yang aktual.
Gejala-gejala untuk secara sengaja melupakan peristiwa-peristiwa politik berdarah di masa lampau tampak
dari pernyataan sejumlah tokoh yang dianggap mempunyai peran dominan dalam peristiwa tersebut. Try Sutrisno,
misalnya, ketika dimintai tanggapan atas terjadinya Peristiwa Tanjung Priok dan berbuntut kematian penduduk yang
tidak sedikit, hanya memberikan komentar: “Lupakanlah peristiwa itu. Kita sekarang sedang menghadapi beban yang
5

berat di masa reformasi sekarang ini.” Bagi Try Sutrisno yang saat itu sebagai Pangdam Jaya, peristiwa Tanjung
Priok dapat dilupakannya begitu saja. Ini disebabkan bahwa dirinya sedang duduk dalam kursi kekuasaan serta
sama sekali tidak merasakan penderitaan. Sementara, sebaliknya, bagi kalangan penduduk yang dicekam peristiwa
pahit itu, barangkali, tidak dapat melupakannya begitu saja. Bagaimana aparat militer dengan aksi-aksi koersifnya
menimbulkan kematian, hilangnya orang-orang tercinta, teror fisik dan mental yang terus menyelimuti kehidupan,
hak-hak sipil yang dirampas, serta kebebasan berpendapat hanya hilang dalam waktu sekejap dengan sapu bersih
melalui metode kekerasan negara; sedemikian tergambar jelas dalam ingatan mereka.
Indikasi yang sama terjadi pula pada saat kontroversi merebak menjelang peringatan Tragedi 27 Juli 1996
yang sudah berlalu yang dikenal sebagai Peristiwa Sabtu Kelabu. Kubu PDI Megawati yang hendak merayakan
peristiwa yang dianggap mempunyai nilai historis itu dihambat oleh perizinan yang dikeluarkan pihak kepolisian.
Sudah pasti, instansi kepolisian bukanlah satu-satunya pihak yang harus dipersalahkan karena tidak memberikan
izin. Kepolisian adalah sebuah bagian dari aparatus negara yang secara sistematis dipersiapkan untuk menghadang
berbagai perayaan yang dinilai akan membahayakan kekuasaan negara. Sementara itu, Syarwan Hamid yang
diduga mempunyai peran yang cukup determinan sehingga melahirkan Tragedi 27 Juli, ketika dimintai komentarnya
memberikan jawaban yang serupa dengan Try Sutrisno. Tragedi 27 Juli bagi Syarwan Hamid tidak lebih sebagai
kejadian pada masa silam yang sedikit pun tidak layak untuk dikenang. Serta lagi-lagi, isu besar mengenai reformasi
dijadikan dalih untuk melupakan peristiwa berdarah itu.
Fenomena apa yang sebenarnya meliputi kalangan pejabat yang di masa lalunya harus bertanggung jawab
pada setiap tragedi berdarah, tiba-tiba saja secara mendadak hendak melupakan kepahitan-kepahitan yang diderita
masyarakat kebanyakan?Apakah lupa dalam perkaitan permasalahan politik semacam ini menjadi sebuah
mekanisme psikis yang tidak sadar? Ataukah lupa merupakan prosesi dari semacam pembenaran untuk melakukan
politik cuci tangan, sehingga lepas dari tanggung jawab serta tuntutan hukum yang kemungkinan dikedepankan
masyarakat? Jawabannya adalah jelas: bahwa “lupa” dalam arena kontestasi kekuasaan politik seperti ini tidaklah
sekadar berkedudukan oposisional dari “ingat”. Sebagaimana diungkapkan oleh Milan Kundera bahwa perjuangan
untuk melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa (dalam Pabottingi, 1991: 17). Sebab, lupa dalam
kontinum persoalan ini adalah sebuah proyek kekuasaan untuk meredam serta membungkam mereka yang pernah
ditindas pada masa silam dalam sebuah sejarah perjuangan politik.
Apabila secara kritis dilontarkan sebuah pertanyaan mengapa orang-orang seperti Try Sutrisno, Syarwan
Hamid, atau pihak-pihak lain yang pernah menghirup manisnya kekuasaan dengan mekanisme tindakan represif
yang berlebihan, selalu ingin melupakan peristiwa-peristiwa politik berdarah itu? Melalui psikoanalisis yang pernah
diteorikan oleh Sigmund Freud maka dapat diungkapkan bahwa lupa adalah bagian dari “id”, sebuah bagian paling
fundamental dari psikis manusia yang bersifat impersonal atau anonim, tidak disengaja atau tidak disadari, dalam
kekuatan-kekuatan substansial yang menguasai psikis manusia. Dalam Id ini berlaku: bukan aku (subyek) yang
melakukan, melainkan ada yang melakukan dalam diriku. Sebenarnya, Id itu sendiri terdiri atas naluri-naluri bawaan,
khususnya naluri-naluri seksual serta agresif, serta berbagai keinginan yang selalu ditimpali dengan represi. Yang
harus juga diperhatikan, Id menurut Freud, hanya melakukan apa yang disukai. Sehingga, Id dibimbing oleh sebuah
prinsip kesenangan atau the pleasure principle (K. Bertens: 1997, 68-71).
Kontekstualisasi atas paradigma psikoanalisis gaya Freudian terhadap kalangan pejabat yang hendak
melakukan penglupaan terhadap perbuatannya di masa silam adalah, bahwa mereka sesungguhnya juga diselimuti
oleh perasaan tercekam, takut, tertekan, serta sangat direpresi oleh berbagai tuntutan hukum yang digulirkan oleh
kalangan masyarakat. Struktur sosial-politik masa lampau yang menempatkan mereka sekadar sebagai prajurit
militer yang harus patuh terhadap perintah atasan, menjadikan mereka tidak mempunyai pilihan lain untuk mengelak.
Barangkali saja secara hati nurani (conscience) yang bersifat subyektif-individual memberikan kesadaran bagi
kalangan pejabat militer tersebut untuk tidak melakukan tindakan-tindakan koersif terhadap perbedaan pendapat
yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Namun, sebuah struktur sosial-politik yang lebih besar dengan segala
aturan mainnya untuk menegakkan sebuah kekuasaan otoriter dari rezim Orde Baru, menjerumuskan mereka untuk
6

menyembunyikan penolakan serta sedikit pun tidak mampu untuk menghindar. Sebuah mekanisme ketidaksadaran
kolektif yang sedang dimainkan dalam sebuah lingkup orde kekuasaan, ternyata, menimbulkan konsekuensi
tersendiri. Secara lebih jelas adalah para pejabat militer tersebut harus menghapuskan kemampuan subyektif mereka
untuk melakukan sebuah pilihan eksistensial yang betul-betul otonom dan merdeka.
Pernyataan untuk melupakan peristiwa-peristiwa berdarah tersebut pada masa sekarang ini, tampaknya,
menjadi pilihan yang lebih realistis bagi kalangan pejabat militer tersebut. Perilaku serta tindakan koersif yang
ditunjukkan dengan agresivitas untuk menggunakan persenjataan pada masa lampau, dianggap sebagai sebuah
beban yang sangat memberati benak batin dan kesadaran mereka. Sehingga harus pula dikatakan bahwa
kedudukan mereka dalam struktur kekuasaan politik rezim Orde Baru meniadakan kemampuan mereka untuk
berhadapan dengan realitas yang sesungguhnya sedang berlangsung dalam masyarakat.
Realitas konkret yang sedang bergejolak telah dihimpit oleh berbagai mekanisme ketidaksadaran
(unconsciousness) yang diinternalisasikan ke dalam kesadaran kalangan pejabat militer tersebut dengan kata-kata
suci, seperti stabilitas, keamanan negara, pembangunan bangsa, dan yang sudah pasti adalah bahaya ekstrem
kanan-dan-kiri. Padahal, kata-kata suci yang sangat ideologis itu, barangkali saja, tidak lebih sebagai sebuah ilusi
besar yang bersifat obsesif. Pada saat mereka menghadapi realitas secara konkret, karena sudah mengalami
keberjarakan (distance) dengan kedudukan dalam jabatan militer serta masa silam yang sudah terlampaui, barulah
mereka menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan tindakan-tindakan koersif yang telah mereka lakukan.
Aksi-aksi represif yang mengatasnamakan kepentingan negara pada masa silam, dalam rentang waktu
sekarang ini dianggap sebagai beban yang sangat pahit serta sedemikian menyiksa. Mereka ingin melepaskan
beban berat dan kepahitan itu dengan cara menyatakan secara berulang-ulang untuk melupakan peristiwa-peristiwa
politik berdarah tersebut. Proses untuk melakukan penglupaan ini tidak lain adalah satu-satunya pilihan agar mereka
mendapatkan ketenangan, atau yang paling mungkin adalah sebuah kesenangan politik (political pleasure).
Sehingga lupa dalam persoalan ini adalah sebuah prinsip untuk mencari-cari serta mengais-ngais kesenangan dalam
timbunan dosa yang sulit dimaafkan oleh kalangan masyarakat yang sudah sekian lama mengalami penindasan.
Tidaklah aneh jika masyarakat dengan geram menyebutkan bahwa mereka hendak lari dari tanggung jawab.
Selain dengan menggunakan perspektif psikoanalisis gaya Freudian, pernyataan-pernyataan untuk
melupakan dapat juga ditinjau dengan pendekatan postmodernisme. Hal ini dapat dilacak dengan menyingkap
bahwa kalangan pejabat tadi juga ingin menyukseskan arus reformasi yang sedang berjalan. Reformasi jelas menjadi
sebuah naskah serta kitab suci lain pada saat rezim Orde Baru sedang digeser. Keagungan narasi yang selama ini
menjadi produk unggulan rezim Orde Baru, seperti pembangunan, stabilitas, keamanan, atau mungkin juga
persatuan-dan-kesatuan, sudah dianggap usang serta sama sekali tidak relevan dengan tuntutan masyarakat. Narasi
Agung (Grand Narratives) yang menjadi titik sentral segala kebijakan dan perilaku opresif Orde Baru yang secara
nyata dilakukan melalui mekanisme pemaksaan terhadap masyarakat, sekarang justru sedang dirobek serta
digantikan oleh narasi besar lain yang bernama reformasi.
Mengapa reformasi dapat dikategorikan sebagai sebuah metanarasi atau pun narasi agung? Ini dapat dilihat
dari cara berpikir serta berucap kalangan awam, intelektual, serta pejabat birokrat yang dengan kegenitan luar biasa
menyebut-nyebut reformasi untuk menyerang pihak yang dianggap lawan. Reformasi sendiri -- meskipun dalam
wujud yang masih berantakan serta chaos karena belum menemukan formulasinya yang jelas --, pada puncaknya
tidak lebih sebagai alat untuk memaksakan kehendak. Sehingga sangatlah mungkin apabila reformasi ketika
menemukan formatnya yang baku serta diinterprestasikan secara monolitik bernasib sama sebagai senjata represif
dari pihak negara untuk menindas masyarakat.
Ironisnya, kesemua prosesi ke arah itu sudah menunjukkan gejala-gejalanya yang sangat faktual. Simak saja
kembali pernyataan Try Sutrisno serta Syarwan Hamid yang secara bertubi-tubi mengajak masyarakat untuk selalu
mengingat reformasi serta melupakan dosa-dosa politik rezim Orde Baru pada masa lalu. Persoalan substansial yang
hendak dikedepankan dengan mekanisme lupa-ingat ini tidak lagi sebatas pada pengaturan kondisi psikis.
Melakukan pengingatan terhadap reformasi secara terus-menerus berarti melakukan pemaksaan untuk tunduk pada
7

sebuah skenario besar yang sedang disiapkan serta ditanamkan ke dalam kesadaran masyarakat oleh pihak yang
berkuasa. Sedangkan melakukan penglupaan terhadap kesalahan-kesalahan para penguasa rezim Orde Baru
dianggap sebagai sebuah tindakan terhormat. Karena berarti juga membantu membersihkan dosa-dosa politik rezim
lama yang sungguh-sungguh tidak terampunkan.
Pergantian dari metanarasi yang satu ke metanarasi yang lain semacam inilah yang, menurut kalangan
postmodernis seperti Jacques Derrida, Jean-Francois Lyotard, serta Gayatri Chakravorty Spivak, merupakan sebuah
kontinyuitas yang tidak dapat dihentikan. Dalam kaitan ini Spivak menandaskan bahwa ketika sebuah cerita atau
narasi agung dikisahkan, maka narasi agung yang lain dilupakan (dalam Laksana, 1996: 66-68). Maka yang harus
selalu dikritisi adalah berbagai kemungkinan selalu munculnya sebuah sentrum (pusat) yang kebenarannya selalu
hendak dipaksakan, terutama melalui cara-cara yang represif. Apabila tradisi modern semacam ini terus diwariskan
dan menemukan tempatnya untuk berkembang biak, apa yang disebut sebagai toleransi akan selalu dinihilkan. Ini
disebabkan bahwa pihak yang dianggap lawan diposisikan sebagai yang lain (the other), sehingga keberadaannya
harus dicurigai serta kalau mungkin adalah dibunuh dan dimatikan.
Bukankah, dengan demikian, perjalanan waktu politik yang bermuatan nilai kesejarahan seperti itu tidak lebih
sebagai rentetan peristiwa yang selalu diliputi serta digenangi oleh dari penindasan yang satu ke penindasan
berikutnya, yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan yang tanpa henti bagi kalangan awam masyarakat? Benar.
Namun, Walter Benjamin, seorang filsuf beraliran kritis dari Mazhab Frankfurt, memberikan penegasan bahwa
sejarah janganlah selalu ditempatkan secara linear, sehingga melupakan masa lalu. Masa lalu yang terjadi dalam
sebuah sejarah bukanlah sesuatu kejadian yang mesti ditinggalkan. Melakukan pengingatan terhadap masa lalu dari
mereka yang menderita adalah sebuah sumber inspirasi untuk melakukan penyelamatan pada masa sekarang
terhadap kalangan masyarakat yang tertindas (Sindhunata dalam Susanto [ed.], 1994: 199-214). Kesemua ini tidak
akan tercapai dengan baik apabila tidak dilakukan “politik pengingatan” terhadap masa lampau tersebut.
Demikianlah, maka seharusnya sebuah memori dari peristiwa politik berdarah di masa lampau tidak
selayaknya diselubungi dengan mekanisme penglupaan yang dangkal dengan dalih apapun, misalnya reformasi.
Apalagi dalih ini sekadar untuk menghapus sebuah memori karena telah kuatnya peranan sejumlah pihak yang
pernah merasakan nikmatnya sebuah kekuasaan. Dilakukan penglupaan dan penghapusan terhadap memori
peristiwa politik berdarah itu melalui cara apa saja, sesungguhnya, tetap tidak akan mampu membersihkan
bercak-bercak noda mereka yang melakukan penindasan. Sebab, mereka yang telah ditindas, dibunuh, serta
dikuburkan itu masih tetap menyisakan tenaga progresif besar bagi generasi sekarang dan mendatang tentang
pembelaan dan pembebasan bagi mereka yang mengalami tindakan-tindakan represif.
Penderitaan mereka yang tertindas menjadi sebuah memori yang mampu bercerita dengan sendirinya
mengenai kekuasaan yang menunjukkan arogansinya melalui pengerahan kekuatan bersenjata yang koersif.
Begitulah, maka terbunuhnya Marsinah, Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Tragedi 27 Juli, atau kasus-kasus
kekerasan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 yang mengakibatkan pembunuhan dan pemerkosaan, serta
kasus-kasus lain yang sempat tidak diungkapkan secara publik, merupakan memori yang harus selalu diziarahi serta
diperingati. Proyek penglupaan yang hendak dilakukan kalangan aparat negara dengan mengatasnamakan
reformasi, sebenarnya, tidak lebih sekadar sebagai upaya untuk menghancurkan mereka yang benar-benar ditikam
penindasan dan penderitaan.

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K.
1997

Etika, Jakarta: Gramedia.

Budiman, Arief
1996

Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia.

8

Campbell, Tom
1997
Foucault, Michel
1997
Laksana, Bagus
1996
Nietzsche, Friedrich
1998
Pabottingi, Mochtar
1991
Rahardjo, M. Dawam
1985

Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, terj. F. Budi Hardiman, Yogyakarta:
Kanisius.
Seks & Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: Gramedia.
“Resensi Buku: The Post-Colonial Critic” dalam Driyarkara No. 2 Tahun XXII (1996), hal.
66-68.
Ecce Homo: Lihatlah Dia, terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
“Komunikasi Politik dalam Transformasi Ilmu Politik” dalam Prisma No. 6 Tahun XX (1991),
hal. 13-26.
“Gerakan Rakyat dan Negara” dalam Prisma No. 11 Tahun XIV (1985), hal. 3-15.

Sindhunata, G.P.
1994

“Memoria Passionis: Walter Benjamin dan Teologi Politik” dalam Budi Susanto, SJ (ed.),
Teologi & Praksis Komunitas Post Modern, Yogyakarta: Kanisius, hal. 199-231.
Surjomihardjo, Abdurrahman
1981
“Peristiwa Tiga Daerah, Suatu Interpretasi Sejarah: Revolusi Sosial Menyambut Proklamasi
Kemerdekaan” dalam Prisma No. 8 Tahun X (1981), hal. 52-61.

9