Modifikasi pori Hidroksiapatit dari Tulang Ikan Alu-alu (Sphyraena barracuda)

MODIFIKASI PORI HIDROKSIAPATIT DARI TULANG
IKAN ALU-ALU (Sphyraena barracuda)

MUHAMMAD WAHYU HIDAYAT

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

ABSTRAK
MUHAMMAD WAHYU HIDAYAT. Modifikasi Pori Hidroksiapatit dari Tulang
Ikan Alu-alu (Sphyraena barracuda). Dibimbing oleh IRMA HERAWATI
SUPARTO dan SARYATI.
Hidroksiapatit (HAp) ialah biomaterial penting yang digunakan dalam
implantasi biomedis. Penelitian HAp berpori saat ini banyak dikembangkan
terutama membuat luas permukaan pori yang besar agar sifat osteokonduktivitas
dan kekuatan adsorbsinya menjadi sangat baik. Sumber HAp dapat berasal dari
tulang ikan karena mempunyai kadar kalsium dan fosforus yang cukup tinggi
dalam bentuk mineral apatit. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini ialah
memodifikasi HAp berpori dari tulang ikan alu-alu (Sphyraena barracuda)

dengan menambahkan porogen pati. HAp dibentuk dengan pemanasan pada suhu
500, 750, 1000, 1250, 1300, dan 1350 ºC. Konsentrasi pati yang digunakan
sebagai porogen ialah 5, 10, 20, 40, dan 60% b/b. Hasil pola difraksi sinar-X
menunjukkan sudah terdapat fase HAp pada tepung tulang ikan, namun
kristalinitasnya masih rendah dan masih terdapat fase-fase lain selain HAp. Fase
HAp dengan kristalinitas yang baik terbentuk pada suhu 750–1250 ºC.
Berdasarkan analisis fotoelektron mikroskop, pori dengan keseragaman yang baik
(2.38–3.28 µm) dihasilkan dari modifikasi menggunakan material tulang ikan
dengan konsentrasi pati 10%.
Kata kunci : hidroksiapatit (HAp), tulang ikan, modifikasi pori, pati

ABSTRACT
MUHAMMAD WAHYU HIDAYAT. Modification of Hidroxyapatite Pores by
Using Alu-alu (Sphyraena barracuda) Fish Bone. Supervised by IRMA
HERAWATI SUPARTO and SARYATI.
Hydroxyapatite (HAp) is an important material used in biomedical
implants. Currently, porous HAp is widely explored. Large pores surface improve
osteoconductivity and adsorption strength. Fish bone can be used as source of
HAp since it has high level of calcium and phosphorus in the form of mineral
apatite. Therefore, the objective of this study was to modify porous Hap from alualu (Sphyraena barracuda) fish bone with starch as the porogen. HAp was formed

at temperature of 500, 750, 1000, 1250, 1300, and 1350 ºC. cConcentrations of
starch used for porogen were 5, 10, 20, 40, and 60% w/w. X-ray diffraction
pattern indicated that HAp was formed in the initial powder fish bone but it had
low crystalinity and some impurities. HAp phases with good crystallinity were
formed at temperatures of 750–1250 ºC. Electron microscope photographs
showed pores with good uniformity was exhibited in the modification using fish
bone material with starch concentration of 10%; the sizes were 2.38-3.28 μm.
Keyword: hydroxyapatite (HAp), fishbone, pore modification, starch

MODIFIKASI PORI HIDROKSIAPATIT DARI TULANG
IKAN ALU-ALU (Sphyraena barracuda)

MUHAMMAD WAHYU HIDAYAT

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

Judul : Modifikasi pori Hidroksiapatit dari Tulang Ikan Alu-alu (Sphyraena
barracuda)
Nama : Muhammad Wahyu Hidayat
NIM : G44080047

Menyetujui

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr dr Irma Herawati Suparto, M S
NIP 19581123 198603 2 002

Dra Saryati
NIP 19480715 197511 2 001


Mengetahui
Ketua Departemen Kimia

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, M S
NIP 19501227 197603 2 002

Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang
berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Februari sampai Juni 2012 yang bertempat di
Laboratorium Kimia Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB) serta
Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN-BATAN) Serpong.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Ibu Dr dr Irma
Herawati Suparto, MS selaku pembimbing satu, Ibu Dra Saryati selaku
pembimbing kedua dan Bapak Sulistioso Giat Sukaryo, MT atas petunjuk dan
bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan

karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Bapak Syawal, Bapak Caca, Bapak Mul,
dan Mba Nurul yang telah membantu penulis dalam pemakaian alat dan bahan di
Laboratorium Kimia Anorganik Departemen Kimia FMIPA IPB.
Ungkapan terima kasih kepada Ibu, Bapak, dan adikku dan seluruh keluarga
atas dukungan dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih kepada Vanny, Siti
Hapsah, dan teman-teman seperjuangan kimia angkatan 45 serta teman-teman
kontrakan yang telah memberikan semangat, motivasi dan dorongan dalam
menyusun karya ilmiah ini.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.

Bogor, Juni 2012

Muhammad Wahyu Hidayat

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 1990 dari ayah Slamet
Effendi dan ibu Wahyuni Latifah. Penulis merupakan putra pertama dari tiga
bersaudara.
Tahun 1996, penulis menimba ilmu di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 05 Pagi
Jakarta Timur yang selanjutnya pada tahun 1998 berpindah tempat ke SDN

Peneket Kebumen Jawa Tengah. Pendidikan SD selesai pada tahun 2002 dan pada
tahun 2005 menyelesaikan sekolahnya di MTsN 20 Jakarta Timur. Tahun 2008,
penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 89 Jakarta Timur dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB. Penulis memilih Program Studi Kimia, Departemen Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB.
Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di PT Rajawali
Hyoto Bandung yang bergerak dalam bidang industri cat pada bulan Juli sampai
Agustus 2011.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ viii
PENDAHULUAN....................................................................................................................... 1
METODE ....................................................................................................................................... 3
Bahan dan Alat .....................................................................................................3
Lingkup Kerja.......................................................................................................3
Preparasi dan Pemanasan Tulang Ikan .................................................................3

Uji Kadar Kalsium dan Fosfor .............................................................................3
Modifikasi Pori HAp Menggunakan Pati sebagai Porogen ..................................3
Analisis Perubahan Fase dengan Differential Thermal Analysis ........................3
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
Tulang Ikan...........................................................................................................3
Pembentukan Hidroksiapatit ................................................................................5
Modifikasi Pori .....................................................................................................7
SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................................... 5
Simpulan ...............................................................................................................5
Saran .....................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 9
LAMPIRAN ................................................................................................................................ 11

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Rendemen tulang ikan setelah pemanasan pada berbagai suhu. ......................... 5
2 Ukuran pori yang dihasilkan setelah modifikasi menggunakan pati................... 7

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Ikan alu-alu (Sphyraena barracuda) (www.fda.gov). ........................................ 3
2 Kurva differential thermal analysis tulang ikan alu-alu. .................................... 4
3 Pola difraksi sinar-X tulang ikan alu-alu awal. ................................................... 4
4 Pola difraksi sinar-X tulang ikan pada berbagai suhu. ........................................ 5
5 Pola difraksi sinar-X HAp tulang ikan alu-alu dengan HAp komersil. .............. 6
6 Pola difraksi sinar-X tulang ikan suhu 750ºC 3 jam dan 6 jam. ......................... 6
7 Foto SEM HAp tulang ikan alu-alu.. .................................................................. 6
8 Perbandingan foto SEM HAp komersil dan HAp hasil modifikasi pori .. ........ 8
9 Pola difraksi sinar-X HAp hasil modifikasi pori menggunakan tulang ikan
dengan pati 10%. ................................................................................................ 8

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bagan alir penelitian ......................................................................................... 13
2 Data JCPDS....................................................................................................... 14
3 Data analisis hasil XRD .....................................................................................16
4 Perhitungan kadar kalsium dan fosfor............................................................... 25
5 Foto SEM HAp hasil modifikasi pori ............................................................... 26
6 Contoh perhitungan ukuran pori ....................................................................... 27
7 Gambar tulang ikan alu-alu ............................................................................... 28


PENDAHULUAN
Hidroksiapatit (HAp) dengan rumus kimia
Ca10(PO4)6(OH)2 adalah salah satu komponen
anorganik yang merupakan jaringan keras
pada jaringan hidup seperti tulang dan gigi
(Afshar et al. 2003). HAp ialah material
penting yang banyak digunakan dalam
implantasi biomedis untuk jaringan tulang
karena memiliki sifat biokompatibilitas yang
tinggi. HAp ini dapat berikatan kuat dengan
tulang, membentuk lapisan pada permukaan
jaringan
tulang,
dan
mempercepat
pembentukan tulang pada permukaan yang
diimplantasi (Pang & Zhitomirsky 2005,
Maachou et al. 2008).
Saat ini telah banyak dilakukan penelitian

sintesis HAp berpori yang digunakan dalam
aplikasi biomedis, yaitu untuk regenerasi
jaringan tulang, proliferasi sel, dan penyalut
obat. HAp berpori digunakan dalam rekayasa
jaringan tulang sebagai bahan pengisi untuk
cacat tulang dan augmentasi, materi graft
tulang buatan, dan operasi revisi prostesis.
Luas permukaan yang besar pada HAp berpori
menyebabkan sifat osteokonduktivitas dan
kekuatan adsorbsinya menjadi sangat baik
sehingga pertumbuhan jaringan tulang baru
menjadi semakin cepat (Sopyan et al. 2007).
Banyak sekali manfaat dari HAp berpori,
yaitu diantaranya dapat digunakan untuk
melapisi logam pen. Material ini memiliki
sifat biokompatibilitas yang tinggi pada
jaringan manusia karena komposisinya mirip
dengan material tulang (Sopyan et al. 2007).
Jaringan tulang akan tumbuh dalam pori HAp
secara perlahan setelah proses implantasi

(Khosino et al. 2001). Pori minimum yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan pada jaringan
tulang sekitar 100 – 150 µm pada makropori
(Sopyan et al. 2007). Osteokonduksi masih
bisa terjadi pada pori kecil, yaitu 50 µm
(Chang et al. 2000). Faktor suhu juga sangat
berpengaruh terhadap kemurnian HAp dan
pori yang dihasilkan (Juraida et al. 2001).
Porogen yang akan digunakan untuk
memodifikasi pori Hap adalah pati. AlSokanee et al (2009) telah berhasil
menggunakan pati sebagai porogen. HAp
berpori dengan pati berhasil dilakukan pada
HAp yang berasal dari tulang sapi untuk
pembuatan pori scaffold pada aplikasi
biomedis. Penggunaan pati sebagai porogen
diharapkan dapat memodifikasi pori HAp
menjadi
ukuran
yang
diharapkan.
Pembentukan struktur pori dengan porogen
partikel volatil yang akan hilang dengan
pemanasan pada proses sintering. Proses

penghilangan porogen volatil ini terjadi secara
fisik seperti vaporasi dan sublimasi. Pori yang
terbentuk biasanya mendekati makropori
dengan variasi ukuran pori 0,1 – 5000 µm
(Aoki et al. 2004). Lyckfeldt & Ferreira
(1998) menyebutkan bahwa pori yang
terbentuk dari pati kentang sebagai porogen
HAp sekitar 10 – 80 µm. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa pada pori 200 – 250 µm,
osteoblas
berkolonisasi
pada
pori,
fibrovaskular mulai tumbuh dan akhirnya
membentuk tulang yang baru (Schuth et al.
2002).
Penelitian sebelumnya mengenai HAp
berpori telah dilakukan oleh Romawarni
(2011) menggunakan bahan dasar cangkang
telur. Akan tetapi, pori yang dihasilkan masih
terlalu kecil, yaitu sekitar 1 µm. Sintesis HAp
juga bisa dilakukan menggunakan bahan dasar
lain, yaitu tulang sapi (Bahrololoom et al.
2009), cangkang kerang (Zhang &Vecchio
2005), dan tulang ikan (Prabakaran &
Rajeswari 2006). Sumber HAp yang akan
dilakukan dalam penelitian ini berasal dari
tulang ikan. Tulang ikan merupakan bahan
dasar keramik murah yang potensial di masa
depan karena bersumber dari sampah
pengolahan ikan (Suzuki & Ozawa 2002),
mengingat makin maraknya restoran-restoran
Jepang di Indonesia. Menurut Kartono dan
Soekatri (2004), ikan dan makanan sumber
laut mengandung kalsium lebih banyak
dibanding daging sapi maupun ayam.
Beberapa literatur menyebutkan tulang ikan
sejenis lele mengandung 36.17% kalsium dan
18.30% fosfor, sedangkan tulang ayam
mengandung 35.6% kalsium dan tulang sapi
mengandung 35.38% (Orban & Roland 1992).
Tulang ikan juga sudah merupakan mineral
apatit dan kandungan fosfor di dalamnya
diharapkan menghasilkan HAp lebih murni.
Hal ini menguntungkan karena tidak
diperlukan penambahan fosfor dari luar
sehingga menjadi lebih ekonomis. Tulang
ikan yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu tulang ikan alu-alu (Sphyraena
barracuda) yang merupakan jenis ikan laut.
Proses pembuatan HAp dari tulang ikan
sejenis lele pada pemanasan suhu tinggi, yaitu
1100 ºC menghasilkan HAp dengan sifat yang
baik dan sedikit pengotor (Juraida et al. 2001).
Pemanasan yang dilakukan pada penelitian ini
dilakukan pada berbagai suhu berkisar antara
500 – 1350 ºC. Pemanasan ini dilakukan
untuk mencari suhu optimum untuk
memperoleh HAp dengan kristalinitas yang
baik. Pemanasan juga dilanjutkan hingga suhu
1350 ºC untuk membuktikan munculnya

trikalsium fosfat (TCP) yang merupakan fase
lain dari HAp pada pemanasan tulang ikan
pada suhu 1300 ºC (Ozawa & Suzuki 2002).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
memodifikasi pori HAp dari ikan alu-alu
(Sphyraena barracuda) dengan menggunakan
variasi suhu dan variasi konsentrasi porogen
pati. Hasil penggunaan tulang ikan sebagai
bahan dasar biomaterial HAp diharapkan
memberi manfaat tambahan untuk bidang
biomedis dan dapat meningkatkan nilai
ekonominya.

METODE
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan
kaca, mortar, kikir, sonikator, tanur, alat
kompaksi,
plat
penangas,
vorteks,
spektroftometer UV-Vis, x-ray diffraction
(XRD), scanning electron microscope (SEM),
mikroskop optik, differential thermal analyzer
(DTA), dan spektroskopi serapan atom (SSA).
Bahan-bahan yang digunakan adalah
tulang ikan alu-alu (Sphyraena barracuda),
HAp komersial dari MERCK dan Taihe, pati
singkong, aseton, HCl 25%, LaCl3, amonium
molibdat 0.1%, dan amonium vanadat 0.5%,
dan air bebas ion.
Lingkup Kerja
Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan.
Tahap pertama preparasi dan pemanasan
tulang ikan, serta uji kadar kalsium dan fosfor.
Tahap kedua adalah modifikasi pori HAp
menggunakan pati sebagai porogen. Tahap
ketiga adalah analisis perubahan fase dengan
differential thermal analysis (DTA). Diagram
alir penelitian pada Lampiran 1.
Preparasi dan Pemanasan Tulang Ikan
Tulang ikan alu alu diperoleh dari Jalan
Pasar Ikan 14440 Jakarta Utara. Tulang ikan
dibersihkan dan direbus sampai bersih dari
daging yang masih tersisa, kemudian tulang
ikan dipotong per ruas. Tulang ikan yang telah
bersih direndam menggunakan aseton dengan
disonikasi selama 1 jam dan dikeringkan pada
suhu ruang. Tulang ikan yang telah kering
diberi perlakuan terhadap suhu yang berbeda,
yaitu suhu ruang (tanpa pemanasan) dan
dipanaskan pada suhu 500 °C, 750 °C, 1000
°C, 1250 °C, 1300 °C, dan 1350 °C selama 3
jam sehingga diperoleh serbuk tulang ikan
yang berwarna putih. Serbuk tulang ikan
selanjutnya dilakukan analisis pencirian

menggunakan XRD dan SEM untuk analisis
HAp yang terbentuk dan kristalinitas. Hasil
yang diperoleh dibandingkan dengan HAp
komersil dan data standar HAp pada Joint
Committee on Powder Diffraction Standards
(JCPDS).
Uji Kadar Kalsium dan Fosfor (BPT 2005)
Sebanyak 0.2500 g contoh yang telah
dihaluskan ke dalam labu takar volume 100
mL, kemudian ditambahkan 10 mL HCl 25 %
dengan pipet volume 10 mL. Sampel
dipanaskan pada plat penangas sampai larut
sempurna dan dididihkan selama 15 menit.
Larutan tersebut diencerkan dengan air bebas
ion dan setelah dingin volume ditepatkan
sampai tanda tera 100 mL, kemudian dikocok
bolak balik dengan tangan sampai homogen
dan disaring untuk mendapatkan ekstrak
jernih.
Kadar Ca diukur menggunakan metode
SSA, yaitu sebanyak 1 mL ekstrak total
dipipet ke dalam tabung dan ditambahkan 9
ml air bebas ion. Sebanyak 1 mL larutan
LaCl3 25000 ppm ditambahkan masingmasing ke dalam 10 mL ekstrak encer dan
deret standar Ca (0, 2.5, 5, 10, 15, 20, dan 25
ppm), dikocok sampai homogen dengan
vorteks. Selanjutnya diukur dengan SSA.
Kadar fosfor ditentukan sebagai fosfat
diukur secara spektrometri dari senyawa
kompleks (berwarna kuning) yang terbentuk
hasil reaksi dari ortofosfat dengan amonium
molibdat dan vanadat. Sebanyak 1 mL ekstrak
jernih atau filtrat diambil dan dibuat deret
standar P ( 0, 50, 100, 200, 300, 400, dan 500
ppm) masing-masing ke dalam tabung reaksi.
Selanjutnya ditambahkan masing-masing 9
ml pereaksi campuran (amonium molibdat
0.1% dan amonium vanadat 0.5%), kocok
hingga homogen dengan vorteks. Pengukuran
spektrofotometer pada panjang gelombang
466 nm dengan deret standar P sebagai
pembanding.
Modifikasi Pori HAp dengan Porogen Pati
(modifikasi Al-Sokanee et al. 2009)
Serbuk pati digunakan sebagai porogen
dengan mencampurkan HAp yang telah
dibentuk
pada
suhu
terendah.
Pati
ditambahkan dengan perbandingan jumlah
pati 5%, 10%, 20%, 40%, dan 60% b/b
terhadap 1.5 g HAp. Campuran serbuk
tersebut
selanjutnya
dibuat
pelet
menggunakan mesin kompaksi dengan
tekanan 4000 psi, dan dipanaskan pada suhu
600 ºC selama 2 jam untuk menghilangkan

pati. Selanjutnya, pemanasan dilanjutkan pada
suhu 750 ºC untuk meningkatkan matriks pori
yang telah termodifikasi. Struktur pori
selanjutnya diamati menggunakan SEM.
Perlakuan di atas dilakukan juga pada
sampel yang masih berbentuk tulang ikan
(belum dipanaskan). Setelah dipanaskan
selama 2 jam pada suhu 600 ºC, maka
pemanasan dilanjutkan pada suhu 750 ºC
untuk meningkatkan matriks pori yang telah
termodifikasi. Struktur pori selanjutnya
diamati menggunakan SEM. Komposisi
dengan hasil pori terbaik diuji fasenya
menggunakan XRD.
Analisis Perubahan Fase dengan
Differential Thermal Analysis
Serbuk tulang ikan sebelum perlakuan
pemanasan ditimbang sebanyak 2 g dan
dimasukkan ke dalam sample holder.
Kemudian alat dijalankan dengan laju
kenaikan suhu pemanas DTA pada 10 ºC per
menit. Suhu pada saat awal mulai dari 0 ºC
dan suhu akhir pada 800 ºC. Perbedaan suhu
yang terjadi direkam selama proses
pemanasan dan pendinginan. Lalu ditampilkan
dalam bentuk kurva entalpi. Kurva DTA dapat
menangkap transformasi saat penyerapan
ataupun pelepasan panas. DTA membantu
memahami hasil XRD, analisis kimia, dan
mikroskopis.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tulang Ikan
Tulang ikan merupakan bahan mineral
alami yang bisa digunakan sebagai material
pembentuk HAp. Hidroksiapatit dibentuk dari
proses pemanasan pada material tulang ikan
(Prabakan et al. 2006), hal ini merupakan
suatu metode sederhana dan murah yang bisa
dilakukan sehingga diharapkan meningkatkan
nilai ekonomi dari tulang ikan. Selain unsur
Ca dan P, tulang ikan juga mengandung unsur
Na, Mg, K, Sr (Boutinguiza et al 2012, Ozawa
& Suzuki 2002). Berdasarkan kandungan
yang dimiliki tulang ikan maka HAp bisa
terbentuk oleh proses pemanasan pada suhu

tinggi agar menghasilkan kristal yang semakin
baik.
Penelitian ini menggunakan tulang ikan
laut alu-alu untuk menghasilkan HAp.
Klasifikasi ikan alu-alu adalah filum Pisces,
kelas Actinopterygii, ordo Perciformes,
subordo Scombroidei, family Sphyraenidae,
genus
Sphyraena,
spesies
Sphyraena
barracuda (Luna & Susan 2010). Gambar 1
menunjukkan bentuk ikan alu alu.

Gambar

1

Ikan alu-alu (Sphyraena
barracuda) (www.fda.gov).

Ikan ini memiliki nama umum great
barracuda, sedangkan nama lokalnya di
Indonesia adalah alu-alu (Jawa). Ikan alu-alu
termasuk dalam ikan pelagis besar yang
memiliki dimensi panjang total 90 – 120 cm
dan panjang maksimum hingga 180 – 200 cm
(Mojeta 1992) dengan berat maksimum 48 kg
(106 lbs) (Bailey et al. 2001). Kadar Ca pada
tulang ikan ini ditentukan menggunakan SSA
dan diperoleh dalam bentuk CaO, yaitu
59.11%. Kadar P ditentukan menggunakan
spektometri dari senyawa komplek dan
terukur sebagai P2O5 sebesar 44.20%,
sehingga kadar yang terukur pada tulang ikan
alu-alu setelah konversi, yaitu Ca sebesar
42.22% dan kadar P sebesar 9.63% (Lampiran
4). Kadar Ca dan P yang didapatkan dari
tulang ikan alu-alu ini lebih tinggi dari yang
diperoleh Boutinguiza et al. (2012)
menggunakan ikan tuna dengan kandungan
Ca, yaitu 41.75 % dan kadar P sebesar 17.45
%, sedangkan tulang ikan sejenis lele
mengandung 36.17% Ca dan 18.30% P
(Orband & Roland 1992), dan 37.60% Ca,
18.70% P pada beberapa spesies ikan yang
dikoleksi dari limbah seafood di Jepang
(Ozawa & Suzuki 2002).
Gambar 2 menunjukkan hasil dari DTA
serbuk tulang ikan. DTA merupakan analisis
termal yang mengukur perbedaan temperatur
antara sampel yang akan diukur dan material
inert sebagai referensi. Sampel dan material

4

Gambar 2 Kurva differential thermal analysis tulang ikan alu-alu.
referensi dipanaskan dalam satu dapur yang
berisi
lingkungan
gas
yang
telah
distandarisasi. Perbedaan temperatur yang
terjadi direkam selama proses pemanasan dan
pendinginan. Lalu ditampilkan dalam bentuk
kurva entalpi. Kurva DTA dapat menangkap
transformasi saat penyerapan ataupun
pelepasan panas. Kurva DTA merupakan
kurva perbedaan temperatur antara sampel
dengan referensi terhadap waktu (Klančnik
2010).
Hasil tersebut menggambarkan bahwa
pada proses pemanasan tulang ikan alu-alu
dari suhu 0 – 800 ºC, tulang ikan kehilangan
bobot secara perlahan dari suhu 0 – 200 ºC
yang menggambarkan hilangnya air. Pada
suhu 200 – 300 ºC, kehilangan sedikit berat
yang mungkin disebabkan karena hilangnya
komponen gabungan antara air dan organik.
Kehilangan bobot secara drastis pada suhu
300 – 500 ºC, selanjutnya terus turun secara
periodik sampai suhu 800 ºC. Hal ini
mengambarkan bahwa banyaknya komponen
organik pada tulang ikan seperti kolagen,
jaringan lemak dan protein yang berasosiasi
dengan tulang yang menghilang pada suhu
pemanasan 300 – 500 ºC. Hilangnya sedikit
berat pada suhu 600 – 800 ºC menggambarkan
proses dekomposisi fase karbonat pada tulang
yang berubah menjadi karbonat apatit (AlSokanee et al. 2009). Kurva DTA yang
dihasilkan ini tidak bisa menggambarkan suhu
titik leleh, suhu titik uap, dan suhu transisi

gelas karena kurva yang terbentuk hanya
merupakan garis yang bergerak linear
terhadap suhu pemanasan.
Hasil difraksi sinar-x terhadap tulang ikan
sebelum pemanasan ditunjukan pada Gambar
3.

Gambar 3 Pola difraksi sinar-X tulang ikan
alu-alu awal.
Terdapat empat fase yang terkandung pada
tulang ikan awal, yaitu apatit karbonat tipe A
(AKA)
dengan
rumus
molekul
(Ca10(PO4)6(CO3)2), apatit karbonat tipe B
(AKB)
dengan
rumus
molekul
(Ca10(PO4)3(CO3)3 (OH)2), dan okta kalsium
fosfat (OKF) dengan rumus moleul
(Ca8H2(PO4)6.5H2O). Fase tersebut muncul
karena kandungan tulang ikan awal sudah
merupakan mineral apatit dengan kristalinitas
yang rendah (Ozawa & Suzuki 2002).

5

Pembentukan Hidroksiapatit
Hidroksiapatit (HAp) dalam penelitian ini
dibentuk dengan memanaskan tulang ikan
pada variasi suhu 500, 750, 1000, 1250, 1300,
dan 1350 ºC selama 3 jam. Variasi suhu ini
dilakukan untuk mengkarakterisasi suhu
pembentukan HAp murni dan sedikit
pengotor. Hasil rendemen tulang ikan setelah
proses pemanasan pada berbagai suhu dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Rendemen tulang ikan setelah
pemanasan pada berbagai suhu.
Suhu (ºC)

Rendemen (%)

500
750
1000
1250
1300
1350

46.83
46.24
48.54
36.71
48.68
49.27

Tabel 1 menunjukkan rendemen tulang
ikan pada berbagai suhu. Rendemen tulang ini
menunjukkan bobot relatif tulang ikan setelah
dipanaskan terhadap bobot tulang ikan
sebelum pemanasan. Nilai rendemen ini
cukup tinggi sehingga tulang ikan bisa
digunakan untuk memproduksi HAp dalam
jumlah banyak dengan jumlah tulang ikan
yang tersedia.
Pemanasan suhu 500 ºC menghasilkan
serbuk tulang ikan yang masih berwarna abuabu, warna tersebut menunjukkan bahwa
masih terdapat komponen-komponen organik
yang belum hilang selama proses pemanasan
pada suhu 500 ºC. Pola difraksi sinar-X pada
suhu 500 ºC menunjukkan puncak tertinggi
HAp dengan masih terdapat fase lainya, yaitu
OKF dan AKA (Lampiran 3b). HAp murni
mulai terbentuk pada suhu 750 ºC terlihat dari
serbuk yang sudah berwarna putih dan dari
pola difraksi sinar-X yang dihasilkan hanya
terdapat satu puncak yang menandakan AKA
pada sudut 2θ 25.983º (Lampiran 3c).
Pemanasan pada suhu 1000 ºC menghasilkan
pola difraksi sinar-X yang menunjukkan fase
HAp pada tiga puncak tertinggi dan fase OKF
(Ca8H2(PO4)6.5H2O) pada sudut 2θ 31.293º
(Lampiran 3d). Hasil HAp dengan sifat
kristalinitas yang tinggi dibentuk pada suhu
1250 ºC dilihat dari intensitas puncak yang
tertinggi, yaitu 154. Namun, HAp yang
terbentuk ini juga masih terdapat fase AKB
pada sudut 2θ 49.610 (Lampiran 3e).
Pemanasan suhu tinggi hingga 1300 ºC

menimbulkan fase trikalsium fosfat (TCP)
yang muncul pada sudut 2θ 27.825º; 31.022º,
dan 34.381º, serta muncul fase AKB pada
sudut 49.552º (Lampiran 3f). Suhu 1350 ºC
juga muncul fase TCP pada sudut 2θ 21.865º
dan 31.184º, fase AKB juga masih terlihat
pada sudut 2θ 49.606º (Lampiran 3g). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Ozawa & Suzuki
(2002) yang mengungkapkan bahwa fase TCP
akan muncul pada pemanasan suhu 1300 ºC.
Hasil analisis XRD dari tulang ikan
dengan berbagai suhu dapat dilihat pada
Gambar 4.

Gambar 4 Pola difraksi sinar-X tulang ikan
pada berbagai suhu.
HAp yang terbentuk melalui variasi suhu
dikarakterisasi
dan
didapatkan
suhu
pembentukan optimum yang menghasilkan
HAp dengan kristalinitas yang tinggi, yaitu
pada 1250 ºC. Suhu 750 ºC dan 1000 ºC juga
sudah merupakan fase HAp namun
kristalinitasnya lebih rendah dari HAp yang
terbentuk pada suhu 1250 ºC. Industri
menginginkan suhu yang serendah mungkin
dalam membentuk HAp, sehingga diharapkan
suhu 750 ºC bisa diterapkan dalam industri
untuk menghasilkan HAp yang baik. HAp
yang terbentuk pada suhu 1300 ºC dan 1350
ºC tidak semurni HAp yang dihasilkan pada
suhu 750 – 1250 ºC karena muncul fase TCP
yang tidak diharapkan.
HAp yang terbentuk pada suhu 1250 ºC
dibandingkan dengan dua jenis HAp komersil
yang ada di pasaran yaitu HAp Taihe Jepang
(HAp komersil 1) dan HAp MERCK (HAp
komersil 2). Perbandingan pola difraksi sinarX HAp tulang ikan dan HAp komersil
disampaikan pada Gambar 5.

6

HAp dari tulang ikan ini ditentukan oleh suhu
pemanasan, bukan terhadap lamanya waktu
pemanasan.
Hasil analisis SEM HAp yang terbentuk
dari tulang ikan alu-alu pada pemanasan 750,
1000, 1250, 1300, dan 1350 ºC ditunjukkan
pada Gambar 7.
(a)

3.1 µm
Gambar 5 Pola difraksi sinar-X HAp tulang
ikan alu-alu dengan HAp komersil.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pola
difraksi sinar-X HAp hasil pemanasan tulang
ikan mendekati HAp komersil 1 (TAIHE) dan
memiliki kristalinitas yang lebih baik daripada
HAp komersil 2 (MERCK). Hal ini juga
membuktikan
bahwa
HAp
dengan
kristaliniatas yang baik bisa dihasilkan dari
bahan dasar tulang ikan dengan sifat HAp
yang tidak kalah jika dibandingkan dengan
HAP komersil yang sudah beredar di pasaran
Pemanasan terhadap tulang ikan pada suhu
750 ºC juga dilakukan selama 6 jam untuk
membuktikan pengaruh lamanya waktu
pemanasan terhadap pembentukan fase HAp.
Pola difraksi yang dihasilkan dibandingkan
dengan pola difraksi sinar-X pada suhu 750 ºC
selama 3 jam. Perbandingan pola difraksi
sinar-X pada pemanasan suhu 750 ºC selama
3 jam dan 6 jam disampaikan pada Gambar 6.

(b)

Tulang ikan 1250ºC
1.3 µm

2.9 µm
(c)
1.5 µm

(d)

Gambar 6 Pola difraksi sinar-X tulang ikan
suhu 750 ºC 3 jam dan 6 jam.
Hasil perbandingan pola difraksi sinar-X
pemanasan tulang ikan pada suhu 750ºC
selama 3 dan 6 jam menunjukkan hasil yang
tidak terlampau berbeda. Hasil pola difraksi
sinar-X pemanasan tulang ikan pada suhu
750ºC selama 6 jam (Lampiran 3)
menunjukkan fase HAp dengan intensitas
yang tidak terlalu tinggi seperti pola difraksi
pada waktu pemanasan 3 jam. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa pembentukan fase

2.9 µm
1.7 µm

(e)
2.1 µm

2.6 µm

Gambar 7 Foto SEM HAp tulang ikan alu-alu
pada (a) pemanasan suhu 750 ºC,
(b) 1000 ºC, (c) 1250 ºC, (d) 1300
ºC, dan (e) 1350 ºC.

7

Terdapat pori pada semua foto SEM HAp.
Pori dengan ukuran besar 3.1 µm terdapat
pada hasil SEM suhu 750 ºC, namun pori
yang dihasilkan belum homogen. Suhu 1000
ºC menghasilkan pori yang homogen, namun
ukurannya relatif kecil kurang lebih 1.3 µm.
Pori dengan ukuran 1.5 – 2.9 µm dihasilkan
dari pemanasan suhu 1250 ºC. Pori seragam
dihasilkan dari pemanasan suhu 1300 ºC
dengan ukuran 1.7 – 2.9 µm. Terdapat pori
dengan ukuran 2.1 – 2.6 µm pada pemanasan
suhu 1350 ºC. Hasil ini menunjukkan bahwa
pemanasan tulang ikan dalam membentuk
HAp menghasilkan material berpori seperti
yang dilakukan Ozawa & Suzuki (2002)
menghasilkan HAp berpori dari limbah tulang
ikan dengan ukuran diameter pori lebih besar
yaitu 30 – 100 µm. Tahap selanjutnya HAp
yang didapat pada suhu 750 ºC dimodifikasi
porinya menggunakan porogen pati. HAp
dengan suhu 750 ºC dipilih untuk dimodifikasi
porinya karena pori yang dihasilkan belum
homogen serta suhu pembentukan HAp yang
rendah sehingga diharapkan bisa diterapkan
pada dunia industri.
Modifikasi Pori
HAp dimodifikasi menggunakan porogen
pati. Menurut Kumar (2009) campuran antara
HAp dengan pati merupakan suatu metode
yang digunakan untuk membentuk material
keramik berpori. Pati telah berhasil digunakan
sebagai porogen pembentuk pori pada scaffold
HAp dengan metode kering (Al-Sokanee et al
2009), dan metode basah (Lei 2005). Pati
yang digunakan pada penelitian ini adalah pati
singkong. Pati singkong memiliki ukuran
granul sekitar 5 µm – 35 µm dengan rata-rata
ukuran di atas 17 µm. Pati singkong memiliki
suhu gelatinasi yang lebih rendah dari pati
jenis lain, yaitu berkisar antara 68 – 92 ºC
(Samsuri 2008). Granul pati singkong akan
pecah
bila
dipanaskan
pada
suhu
gelatinasinya. Granul yang kecil ini
diharapkan mampu masuk ke dalam pori HAp
dan memodifikasi pori yang terbentuk setelah
pati dihilangkan dengan pemanasan di atas
suhu gelatinasinya.
Modifikasi pori dilakukan terhadap tulang
ikan yang telah berubah fase menjadi HAp
pada pemanasan 750 ºC dan tulang ikan awal
(sebelum pemanasan). Menurut Ozawa &
Suzuki (2002), tulang ikan awal sudah
memiliki beberapa pori makro pada
strukturnya sehingga beberapa organ bisa
tumbuh melalui koneksi antara pori mikro dan
pori makronya. Hal ini menjadi pertimbangan

dalam memodifikasi pori dari bahan tulang
ikan awal dengan harapan pori yang terdapat
pada tulang ikan awal masih bersifat elastis
sehingga pemberian pati akan lebih baik
dalam memodifikasi pori HAp dan hasilnya
dibandingkan dengan
modifikasi
pori
menggunakan material yang sudah menjadi
HAp. Tabel 2 menunjukkan hasil modifikasi
pori menggunakan pati pada serbuk HAp yang
diperoleh dari suhu 750 ºC dan modifikasi
pori dari tulang ikan menggunakan pati.
Tabel 2 Ukuran pori yang dihasilkan setelah
modifikasi menggunakan pati.
Pati
(%)
5
10
20
40
60

Ukuran pori (µm)
HAp 750
Tulang ikan
+ pati
+ pati
< 0.5
2.38 – 3.20
< 0.5
2.38 – 3.28
< 0.5