Bahasa Hukum: Don't Touch Me!

Bahasa Hukum: “Don’t Touch Me!”

Sekarang ini, mestinya para pendukung “sui generis” tidak terlampau kaget apabila
hukum sudah banyak yang tidak perawan. Hans Kelsen –pencetus teori hukum murnimenyatakan bahwa norma yang

menjadi tujuan kognisi hukum. Para pendukungnya pun

berusaha keras agar hukum tidak dimasuki oleh elemen-elemen asing yang senantiasa mengincar
keperawanan hukum. Entah itu oleh pegawai pajak, birokrat, wakil rakyat, tukang becak,
pedagang kaki lima, atau mungkin malah mahasiswa yang coba-coba belajar hukum.
Kuncinya tetap norma. Bahkan Kelsen sendiri menganggap norma sebagai tindakan dan
makna. Namun, menengok manusia yang menjalankan norma, mengerti sendirilah bagaimana
mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada saja alasan untuk melanggarnya. Bisa
karena dianggap melanggar kemanusiaan. Misal saja anda tidak dapat menahan berak dan pada
waktu itu sedang mengendarai sepeda motor di jalan satu arah. Padahal toilet tepat berada di
belakang anda, sedangkan terdapat rambu larangan berhenti atau sekadar parkir. Dan apabila
hendak mencapai toilet tersebut perlu jalan memutar yang panjang dan rumit khas jalan negeri
ini. Apa yang akan anda lakukan? Apakah terus melaju dan mencari toilet di depan yang kita
sendiri tidak tahu persis berada di mana? Ataukah membiarkan kita rela berak di atas sepeda
motor demi menjaga hukum?
Hukum tertulis merupakan sarana bagi kaum positivis menegakkan hukum. Di situlah

adanya kepastian hukum -“Rechtssicherheit”- yang mati-matian harus dibela. Tak peduli hukum
tertulis itu merupakan hasil dari perzinahan dengan birokrat atau pengusaha. Padahal dalam
tataran pembentukan pun harus steril dari elemen asing yang tidak dikehendaki, sehingga tercipta
yang namanya hukum murni. Murni dari sentuhan politik. Murni pula dari tafsir-tafsir yang
menyesatkan, yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Pengaruh bahasa hukum tidak bisa dipandang sepele dalam penegakan hukum.
Interpretasi yang sesat tergantung bahasa yang dipergunakan. Saat ini, tayangan televisi semakin
memperkuat posisi orang-orang hukum dengan perdebatan permasalahan hukum yang penuh
argumentasi. Acap kali masyarakat awam menilai orang hukum adalah orang yang pandai
bersilat lidah. Oleh sebab, mereka mempergunakan permainan, pengendalian, rasionalitas, tanda

baca dan argumentasi bahasa hukum yang ada pada peraturan perundang-undangan. Bila
dijadikan kambing hitam seperti itu, bahasa hukum tentu marah.
“Hukum itu harus murni. Mengapa kalian terus memperkosa saya?” Bahasa
Hukum marah kepada para elemen asing.
“Siapa yang memperkosamu? Tidak ada yang memperkosamu,” jawab salah satu
perwakilan elemen asing.
“Dengan mempergunakan bahasa yang bermakna ganda dan multi interpretasi
kalian memperkosa. Sehingga, hukum yang semestinya berkepastian hukum menjadi
ambigu serta dengan mudahnya dibelokkan.”

“Begini,” politikus coba menenangkan, “Karena Undang-undang, peraturan
daerah, dan peraturan perundang-undangan lain berlaku untuk umum, maka dipergunakan
kata-kata yang bersifat umum. Dalam penggunaannya bisa diterapkan pada peristiwa
konkret.”
“Pada dasarnya, kami memiliki ilustrasi yang memerlukan penambahan
keterangan dan batasan yang begitu komprehensif. Sebab, fungsi kami adalah
memberikan batasan-batasan,” tegas Bahasa Hukum.
“Akan tetapi, kelengkapan ‘tanda pembatas’ tak selamanya berujung pada
kejelasan makna. Peletakkan subjek, predikat, objek, dan keterangan dalam setiap
kalimatnya tidak sesuai dengan strutur gramatikal Bahasa Indonesia. Dan pada akhirnya,
perlu mempergunakan kalimat yang panjang-panjang, bertele-tele, dan menjemukan. Itu
sama saja kamu pun memperkosa kami,” terang EYD yang masuk dalam perdebatan.
“Sebenarnya saya tersinggung apabila ada yang bilang kaum politik yang suka
membelokkan hukum. Aturan yang mengharuskan peraturan perundang-undangan
mempergunakan bahasa yang umum patut dipersalahkan. Dan itu dilakukan oleh orangorang hukum sendiri. Bukan kami. Kamu sendiri yang bilang jika hukum harus murni.
Akibatnya apa? Sarjananya tidak pintar mengolah bahasa yang mudah dimengerti,”
bantah politikus.
Berlakunya fiksi hukum sudah menambah ketidaktahuan masyarakat akan hukum.
Ditambah pula kerumitan bahasa hukum yang menambah malasnya masyarakat untuk membaca
peraturan perundang-undangan. Mereka tahu jikalau melanggar hukum setelah memperoleh

hukuman. Bukan sebelum pelanggaran terjadi.
Salah satu ‘kecangghihan’ bahasa hukum dapat dilihat dalam Pasal 362 ayat (1) KUHP,
berbunyi
“Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsukan sesuatu yang dapat menimbulkan
suatu hak, perikatan atau suatu pembebasan utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti
suatu bagi suatu tindakan, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain
menggunakannnya seolah-olah asli dan tidak palsu, jika karena penggunaan itu dapat

menimbulkan suatu kerugian, diancam karena pemalsuan surat dengan pidana penjara
maksimum enam tahun”
Bila membaca pasal tersebut yang panjang dan begitu membingungkan. Batasan-batasan terlihat
dipaksakan dalam sebuah rangkaian kalimat.
“EYD tidak mengenal barangsiapa. ‘Siapa’ menunjukkan benda yang hidup dan bergerak,
sedang barang menunjuk pada benda mati dan tidak bergerak. Ada pilihan kata ‘Siapa saja’ atau
‘Tiap orang’,” bantah ahli bahasa kalau disuruh berkomentar.
Mungkin saja politikus akan mengatakan berbeda. Mereka akan berdalih, “Alien dan
jerapah dapat pula menyamar. Seolah-olah asli dan tidak palsu.”
Untuk menutup perdebatan yang tidak ada ujungnya, Bahasa Hukum berkata, “Don’t
touch me!”
“Saya pun memiliki hak untuk mengatakan ‘Don’t touch me’ karena seringnya kamu

memperkosa tata bahasa Indonesia,” ujar EYD tidak mau kalah.