Pedoman Pendampingan Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN

DIREKTORAT BINA UPAYA KESEHATAN DASAR
TAHUN 2014

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI

362.11
Ind
p

Indonesia. Kementerian Keseh atan RI. Direktorat Jenderal
Bina Upaya Kesehata n
Pedoman pendampingan akreditasi fasilitas kesehatan
tingkat pertama.--- Jakarta Kementerian Kesehatan RI. 20 14
ISBN 978-602-235-724-7
I. COMMUNITY HEALTH SERVICES
1. Judul
II. HEALTH FACILITY PLANNING
III. ACCREDITATION


Pedoman Pendampingan Akreditasi

FASILITAS KESEHATAN
TINGKAT PERTAMA

DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN

DIREKTORAT BINA UPAYA KESEHATAN DASAR
TAHUN 2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena
atas rahmat dan hidayahNya, kami dapat menyelesaikan Pedoman
Pendampingan Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Keberhasilan FKTP dalam meraih status akreditasi sangat
tergantung pada kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh tim
pendamping dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Oleh karena
itu perlu adanya acuan yang jelas mengenai hal-hal yang harus
dipersiapkan dalam rangka akreditasi yang mudah dipahami oleh tim
pendamping. Pedoman Pendampingan Akreditasi FKTP ini diharapkan

dapat menjadi panduan bagi dinas kesehatan kabupaten/kota dalam
membina dan mendampingi FKTP dalam persiapan maupun paska
akreditasi.
Pada kesempatan ini perkenanan saya menyampaikan ucapan
terima kasih dan apresiasi kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses penyusunan Pedoman Pendampingan Akreditasi FKTP.
Semoga adanya pedoman in dapat bermanfaat dalam pelaksanaan
pendampingan akreditasi FKTP yang berkuatitas .
Jakarta,

Desember 2014

jセ@

Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar

 
drg. Kartini Rustandi, M. Kes

i


DAFTAR 151
KATA PENGANTAR
DAFTAR lSI.. ........ .. ........ ..... ..... ........... .. .... .............. .. .. ...... .. ..... .
BAB I.

iii

Pendahuluan ..................... .. .... .. ................... .... ........ .
A. Latar Belakang .. .. .... ........... .......... ...... ...... ..........
B. Dasar Hukum .... ...... .. .......... .................... .... .. ......
C. Tujuan .............. .. .......... .......... ....... ........ .... .... ... ...
D. Sasaran .......... .... .. .. .. .... .... ........ .... .. .. .. .. .. ........ .. ...

1
2
3
3

BAB II.


PendampinganAkreditasi .............. .... .........................
A. Pengertian .... ........ ................ .. ..... .......... .. .. ..........
B. Pengorganisasian ............ ....... ........ .......... ..........
C. Pembiayaan.. .. .. .... .. .... .. ...... ........ .. .. .. ................. .
D. Kriteria dan Prosedur Pendampingan Akreditasi

4
4
5
6
6

Bab III.

Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama ........ ..... .......
A. Program Peningkatan Mutu Berkesinambungan
B. Implementasi
Program Peningkatan

Mutu
Berkesinambungan ....... .. ................ .. ..... .............

10
10
18

BAB IV. Langkah-Langkah Persiapan Akreditasi ..... ...... ........ .
A. Langkah-Langkah Penyiapan Akreditasi .. .. ..........
B. Pendampingan Pasca Akreditasi .. ....... .. .. ..........

26
27
32

BAB V.

33

Penutup .................. ....... .. .. .. .... ................... .. .. ...........


LAMPIRAN
1.

2.

Kurikulum Pelatihan Pelatih (TOT) Pendamping Akreditasi
Puskesmas ................ .... ................. ............ ........ ..... ...... ..

37

Kurikulum Pelatihan PendampingAkreditasi (di Provinsi) .. ..

58

iii

3.

Pedoman Lokakarya Persiapan Akreditasi di Dinas

Kesehatan Kabupaten / Kota ...........................................

78

4.

Pedoman Lokakarya Persiapan Akreditasi di Puskemas ..

82

5.

Pedoman Pertemuan Tinjauan Manajemen ............... .....

92

6.

Audit Mutu Internal, Prosedur dan formulir Audit Mutu
Internal ............................... ... ............................................


96

iv

BABI
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Untuk meningkatkan pelayanan Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama khususnya puskesmas , klinik, dan praktik dokter kepada
masyarakat, dilakukan berbagai upaya peningkatan mutu dan
kinerja antara lain dengan pembakuan dan pengembangan
sistem manajemen mutu dan upaya perbaikan kinerja yang
berkesinambungan.
Akreditasi merupakan salah satu mekanisme regulasi yang
bertujuan untuk mendorong upaya peningkatan mutu dan kinerja
pelayanan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang dilakukan
oleh lembaga independen yang diberikan kewenangan oleh

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan akreditasi puskesmas dilakukan penilaian
terhadap manajemen puskesmas, penyelenggaraan upaya
kesehatan masyarakat, dan pelayanan klinis yang merupakan
upaya kesehatan perseorangan dengan menggunakan standar
akreditasi puskesmas yang ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia , sedangkan untuk pelaksanaan
akreditasi klinik dan untuk akreditasi praktik dokter/dokter gigi
dilakukan penilaian terhadap kepemimpinan dan manajemen
klinik, dan pelayanan klinis.
Agar Fasilitas Pelayanan Tingkat Pertama dapat memenuhi
standar akreditasi dibutuhkan pendampingan oleh fasilitator yang
kompeten agar fasilitas kesehatan tersebut dapat membangun
sistem pelayanan yang didukung oleh tata kelola yang baik dan
kepemimpinan yang mempunyai komitemen yang tinggi untuk
menyediakan pelayanan yang bermutu, aman, dan terjangkau
bagi masyarakat secara berkesinambungan .
Pedoman pendampingan ini disusun sebagai panduan untuk
pendampingan dan persia pan akreditasi yang dapat digunakan
sebagai acuan bagi fasilitator pendamping akreditasi dan karyawan

fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam mempersiapkan
akreditasi.
1

B.

Dasar Hukum
1.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42;

2.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2009 tetang Pelayanan Publik , Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 112;

3.


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomer 144;

4.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116;

5.

Undang-Undang Republik Indonesia l'Jomor 40 Tahun 2004
tentang Sistyem jaminan Sosial Nasional, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150;

6.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116;

7.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012
tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 24; (cek
terlebih dahulu)

8.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional , Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 193;

9.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/II/2004
tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat;

10.

Peraturan Menteri Kesehatan No 2052/Menkes/Per/X/2011
tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran;

11.

Peraturan Menteri Kesehatan No 9 tahun 2014 tentang
Klinik ;

12. Peraturan Menteri Kesehatan No 75 tahun 2014 tentang
Puskesmas .
2

c.

Tujuan
1.

Tujuan Umum :
Tersedianya panduan bagi fasilitator pendamping akreditasi
dalam mempersiapkan Puskesmas, klinik dan praktik dokterl
dokter gigi untuk mememenuhi standar akreditasi.

2.

Tujuan Khusus :
Menyediakan panduan bagi fasilitator pendamping akreditasi
agardapat:

D.

a.

Memfasilitasi pengembangan komitmen pimpinan
dan karyawan terhadap upaya peningkatan mutu dan
kinerja pelayanan .

b.

Memfasilitasi pembakuan dan pengembangan sistem
manajemen mutu di Puskesmas, klinik, dan praktik
dokter/dokter gigi.

c.

Memfasilitasi pengembangan sistem pelayanan klinis di
Puskesmas, klinik dan praktik dokter/dokter gigi sesuai
dengan standar akreditasi.

d.

Memfasilitasi penyelenggaraan Upaya Kesehatan di
Puskesmas sesuai dengan pedoman dan peraturan
perundangan yang berlaku dan standar akreditasi
Puskesmas.

e.

Memfasilitasi pengelolaan Puskesmas, klinik, dan
praktik dokter/dokter gigi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku dan standar akreditasi .

Sasaran
Pedoman ini disusun bagi anggota Tim Pendamping Akreditasi
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama sebagai acuan dalam
pelaksanaan pendampingan akreditasi di Puskesmas, klinik , dan
praktik dokter/dokter gigi.

3

BAB II
PENDAMPINGAN AKREDITASI
A.

Pengertian.

Pendamping akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
adalah tim yang dibentuk oleh Dinas Kesehatan Kabupatenl
Kota dengan anggota yang berasal dari jajaran fungsional atau
struktural Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau pihak
ketiga atau lembaga lain/pihak ketiga yg ditetapkan dengan SK
Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota, dan telah mengikuti dan
dinyatakan lulus Pelatihan Pendamping Akreditasi Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama, yang selanjutnjya disebut Tim
Pendamping Akreditasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama.
Tim Pendamping Akreditasi tersebut melaksanakan tugas
dan fungsinya dengan persetujuan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten I kota.
Pendampingan akreditasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh
Tim PendampingAkreditasi untuk mempersiapkan Puskesmas,
klinik, dan praktik dokter/dokter gigi agar memenuhi standar
akreditasi.
Pendampingan pasca akreditasi adalah kegiatan yang
dilakukan tim pendamping dari Dinas Kesehatan Kabupatenl
Kota sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing,
setelah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama tersebut
dinyatakan lulus/terakreditasi , dalam rangka memelihara serta
meningkatkan pencapaian Standar Akreditasi dari waktu ke
waktu sampai dilakukan penilaian akreditasi berikutnya.
Pendampingan Pasca Akreditasi oleh Tim Pendamping
Akreditasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dilaksanakan
setiap 6 (enam) bulan, dengan kegiatan utama adalah
mendampingi Puskesmas, Klinik, dan praktik dokter/dokter
gigi dalam melaksanakan perbaikan dan peningkatan kualitas
pelayanan, menindaklajuti rekomendasi yang diberikan

4

oleh Tim Penilai Akreditasi dari Komisi Akreditasi Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama.
Pelatihan Pendamping Akreditasi Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama adalah kegiatan pelatihan yang diberikan
kepada petugas pend am ping agar mampu melaksanakan
tugas pendampingan akreditasi. Pelatihan Pelatih (TOT)
Pendamping Akreditasi di Tingkat Pusat dilakukan oleh Komisi
Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, diikuti oleh
Peserta yang dikirim Oleh Dinas Kesehatan Provinsi. Pelatihan
Pendamping Akreditasi di tingkat Provinsi dilaksanakan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi, diikuti oleh Peserta yang dikirim
Oleh Dinas Kesehatan Kabupaten ..
Penilaian Prasertifikasi adalah penilaian yang dilakukan oleh
Tim Pendamping Akreditasi setelah kegiatan pendampingan
selesai dilakukan untuk mengetahui kesiapan Puskesmas,
klinik, dan praktik dokter/dokter gigi untuk diusulkan dilakukan
penilaian akreditasi.

B.

Pengorganisasian.
Pendamping akreditasi adalah tim pendamping yang berkedudukan di Kabupaten/Kota yang bekerja atas perintah dan bertanggung
jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota , dengan
tugas-tugas :
Melaksanakan fasilitasi dan pembinaan secara intensif ke
Puskesmas, klinik, dan praktik dokter/dokter gigi dalam rangka
persiapan menuju penilaian akreditasi
Melakukan
penilaian
prasertifikasi
untuk mengetahui
kelayakan Puskesmas, klinik, dan praktik dokter/dokter gigi
untuk diusulkan dalam penilaian akreditasi
Melaksanakan surveilans atau pembinaan pasca akreditasi

5

c.

D.

Pembiayaan
1.

Biaya pendampingan Puskesmas oleh Tim Pendamping
Akreditasi dalam rangka persiapan akreditasi maupun
untuk pendampingan pasca akreditasi dibebankan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan jumlah
Puskesmas yang dipersiapkan untuk akreditasi dan tahapan
pelaksanaan pendampingan, sedangkan untuk klinik dan
praktik dokter/dokter gigi ditanggung oleh klinik atau dokterl
dokter gigi yang bersangkutan.

2.

Besaran biaya pendampingan akreditasi ditetapkan sesuai
dengan standar biaya yang d itetapkan oleh Pemerintah
Daerah yang bersangkutan atau sesuai dengan kesepakatan
pihak yang akan melaksanakan pendampingan

3.

Apabila diperlukan Pendampingan lintas Kabupaten,
besaran biaya ditetapkan atas dasar kesepakatan bersama
para pihak, dinyatakan dalam Perjanjian Kerjasama.

4.

Dalam kondisi tertentu, dimana diperlukan pelatihan
pendamping akreditasi lintas Provinsi, biaya pelatihan
pendamping dibebankan kepada Pemerintah Daerah
Provinsi yang membutuhkan, sesuai ketentuan yang berlaku.

Kriteria dan prosedur pendampingan akreditsasi.
1.

Kriteria :
Dinas Kesehatan Kab/Kota membentuk satu atau beberapa
tim pendamping akreditasi yang bertugas untuk mendampingi
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama untuk persiapan
akreditasi mauun surveilans pasca akreditasi.
Tim Pendamping Akreditasi yang dibentuk oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan ditetapkan dengan Surat
Keputusan Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/Kota,
beranggotakan minimal 3 orang dengan kriteria sebagai
berikut:

6

merupakan tenaga kesehatan, terdiri dari satu orang
dokter umum dan dua orang tenaga kesahatan lain
dengan jenjang pendidikan minimal 03
memiliki kompetensi dalam bidang manajemen
kesehatan, pelayanan klinis dan penyelenggaraan
upaya kesehatan masyarakat di Puskesmas
memiliki sertifikat kelulusan Pelatihan Pendamping
Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
membuat pernyatan kesediaan melaksanakan tug as
pendampingan selama 3 tahun masa kerja terhitung
sejak tanggal ditetapkan Surat Keputusan Kadinkes
Kab/Kota.
Bila Oinkes Kabupaten/Kota memiliki keterbatasan tenaga
Tim Pendamping Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama, Oinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat meminta
bantuan kepada lembaga lain/pihak ketiga untuk ikut terlibat
sebagai anggota Tim Pendamping Akreditasi . Lembaga lain/
pihak ketiga yang berminat, mendaftarkan calon anggota
tim , sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, untuk mengikuti
Pelatihan Pendamping Akreditasi Puskesmas
Pendamping Akreditasi dari pihak ketiga yang berminat,
mendaftarkan Calon Pendamping Akreditasi untuk mengikuti
Pelatihan Pendamping Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama melalui Kepala Oinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Kriteria Calon Pendamping Akreditasi dari Pihak Ketiga
adalah sesuai dengan Kriteria Tim Pendamping Akreditasi
yang berasal dari Oinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2.

Prosedur rekrutmen, seleksi dan pelatihan pendamping :
a.

Pelatihan Pelatih (TOT) Pendamping Akreditasi di
tingkat Pusat.
1).

Fasilitator
Fasilitator Pelatihan Pelatih (TOT) Pendamping
Akreditasi di tingkat Pusat ditetapkan oleh BPSOM
7

berdasarkan usulan dari Direktorat Bina Upaya
Pelayanan Kesehatan dasar, Sub Direktorat Bina
Pelayanan Kesehatan Dasar.
Seleksi pemilihan Fasilitator Pelatihan Pelatih
(TOT) Pendamping Akreditasi di Tingkat Pusat
dilakukan oleh Subdirektorat Pelayanan Kesehatan
Dasar dengan mekanisme sebagai berikut :
calon-calon
Fasilitator
Mengidentifikasi
Pelatihan
Pelatih
(TOT)
Pendamping
Akreditasi di tingkat Pusat
Mengusulkan
calon-calon
Fasilitator
Pelatihan
Pelatih
(TOT)
Pendamping
Akreditasi di tingkat Pusat kepada Badan
PPSDM
selaku
penyelenggar
TOT
Pendampingan Akreditasi .
2).

Peserta
Peserta Pelatihan Pelatih (TOT) Pendamping
Akreditasi di tingkat Pusat terdiri dari Widyaiswara
dan staf Dinas Kesehatan Provinsi atau peserta
dari individu atau pihak ketiga yang diusulkan
oleh Dinas Kesehatan Propinsi dengan kriteria
pendidikan dokter dan/atau tenaga kesehatan
dengan pendidikan minimal 03 dan memiliki
kompetensi dalam bidang manajemen kesehatan,
upaya kesehatan masyarakat, dan pelayanan
klinis yang akan diakreditasi.

b.

Pelatihan Pendamping Akreditasi di Tingkat Propinsi.
1).

Fasilitator
Fasilitator Pelatihan Pendamping Akreditasi di
Tingkat Provinsi terdiri dari widyaiswara , staf Dinas
Kesehatan Provinsi, dan peserta dari swasta/
pihak ketiga yang telah mengikuti pelatihan serta
mendapatkan sertifikat Pelatihan Pelatih (TOT)

8

Pend am ping Akreditasi di tingkat Pusat dari Komisi
Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
2).

Peserta
Peserta Pelatihan Pendamping Akreditasi di
Tingkat Provinsi adalah Calon Pendamping
Akreditasi yang direkrut oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan.

c.

Pendamping Akreditasi Tingkat Kabupaten
Pendamping Kabupaten/Kota direkrut oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan kriteria
yang ditetapkan dan telah mengikuti pelatihan serta
mendapatkan
sertifikat
Pelatihan
Pendamping
Akreditasi Fasiiitas Kesehatan Tingkat Pertama yang
diselenggarakan di Provinsi.

d.

Pendamping Swasta
Peserta individual dari swasta atau pihak ketiga
yang akan menjadi Pendamping Akreditasi harLJs
mendaftarkan diri ke Dinas Kesehatan Provinsi melaiui
Dinas Kesehatan Kabupaten. Seleksi dari individu
maupun swasta ditetapkan oieh Dinas Kesehatan
Provinsi.

9

BAB III
MANAJEMEN MUTU PELAYANAN KESEHATAN 01
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA
A.

PROGRAM PENINGKATAN MUTU BERKESINAMBUNGAN
Di dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Bidang
Kesehatan di Indonesia, Puskesmas merupakan salah satu
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di satu wilayah kecamatan
atau bag ian wilayah kecamatan akan difungsikan sebagai Gate
Keeper1 dari satu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan
perseorangan yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Bidang Kesehatan, bersama dengan klinik, praktik
dokter, dan Fasilitas Kesehatan Tingkat pertama yang lain.
Puskesmas merupakan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang
bertanggung jawab dalam menyediakan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat melalui penyelenggaraan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan. Upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan harus
diselenggarakan secara berkualitas, adil dan merata, memuaskan
seluruh masyarakat di wilayah yang menjadi tanggung-jawabnya.
Kualitas dan kinerja dalam menyelenggaraan upaya kesehatan
masyarakat akan dicapai jika penyelenggaraan upaya kesehatan
masyarakat tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan standard
dan pedoman penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat,
dan peningkatan mutu dan kinerja yang berkesinambungan.
Penyelenggaraan
upaya
kesehatan
masyarakat
harus
memperhatikan standar struktur, standar proses penyelenggaraan, dan standar hasil. Indikator kinerja upaya kesehatan

Gate Keeper adalah fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang akan
berfungsi sebagai penjaring pertama dalam satu sistem penyelenggaraan
pelayanan kesehatan perseorangan paripurna yang berkualitas.

10

masyarakat perlu ditetapkan , distandarkan, dan diukur secara
periodik, dianalisis sebagai dasar untuk melakukan upaya
perbaikan mutu dan kinerja yang berkesinambungan .
Untuk dapat mengatur penyelenggaraan pelayanan kesehatan
perseorangan dalam satu sistem penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang paripurna, dan melayani seluruh peserta secara
adil , merata, berkualitas dan memuaskan, maka pelayanan
kesehatan perseorangan yang diselenggarakan oleh BPJS
Bidang Kesehatan, harus dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien . Puskesmas dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
yang lain sebagai Gate Keeper dalam pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh BPJS Bidang Kesehatan, akan difungsikan
dalam proses penjaringan pasien, agar pelayanan kesehatan
perseorangan dapat diberikan secara benar dan tepat sesuai
セョァォ。エ・「オィケL@

Puskesmas, klinik dan praktik dokter/dokter gigi sebagai Gate
Keeper selain sebagai pemberi layanan kesehatan perseorangan
tingkat pertama, juga akan difungsikan sebagai salah satu simpul
dalam satu sistem rujukan kesehatan perseorangan di tingkat
kabupaten/kota yang dapat difungsikan secara mantap dan
berkesinambungan.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang berfungsi dengan
baik, akan dapat memberikan jaminan untuk tersedianya sistem
penyelenggaraan pelayanan kesehatan perseorangan yang
paripurna, adil, merata, berkualitas serta memuaskan , sesuai
dengan kebutuhan pelayanan yang diberikan, sehingga layanan
rujukan kesehatan perseorangan dapat diselenggarakan
secara berkesinambungan dalam satu sistem penyelenggaraan
pelayanan kesehatan perseorangan yang paripurna.
Sesuai tahapan dan tingkat perkembangannya, maka upaya
peningkatan mutu dan manajemen pelayanan kesehatan pada
fasilitas kesehatan, perlu dirancang dengan tujuan pencapaian
yang pasti, yaitu standar pelayanan yang ditetapkan, yang secara
berkesinambungan akan terus ditingkatkan untuk mencapai
satu tingkat kualitas pelayanan yang sesuai dengan standar
sebagaimana diharapkan .
11

Akreditasi adalah suatu proses penilaian dalam rangka pengakuan
telah memenuhi standar yang telah ditentukan . Akreditasi
merupakan langkah kedua dari 3 (tiga) langkah dalam program
quality assurance .
Program quality assurance terdiri atas:
1.

Standarisasi , meliputi kriteria yang terukur (measurable)
dan indikator dengan standar pencapaian dan satuan waktu
(time-frame) yang jelas .

2.

Akreditasi , dilakukan setelah fasilitas kesehatan membangun
system mutu dan penyelenggaraan upaya kesehatan ,
mempersiapkan diri untuk akreditasi, dan siap untuk dinilai
setelah melaksanakan penilaian diri (self-assessment).

3.

Kegiatan mutu berkesinambungan (contiuous quality
improvement) , dengan mempergunakan kaidah mutu (PlanDo-Cheek-Action) dalam rangka mempertahankan dan atau
meningkatkan mutu .

Untuk melakukan penilaian melalui akreditasi , akan lebih baik
kalau Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama terlebih
dahulu dipersiapkan , dengan menyesuaikan situasi dan kondisi
yang ada .
Manajemen Mutu (Quality Management) adalah seluruh aktivitas
kegiatan fungsi manajemen dari kebijakan , tugas dan tanggung
jawab yang dituangkan dalam bentuk perencanaan mutu (quality
planning) , kendali mutu (quality contro/) , jaminan mutu (quality
assurance) dan peningkatan mutu (quality improvement), serta
kendali biaya dalam suatu sistem mutu.
Mutu dapat ditinjau dari berbagai perspektif, baik dari perspekstif
penerima pelayanan kesehatan, pengelola program kesehatan,
profesi tenaga pelaksana pelayanan kesehatan , dan penyandang
dana, maupun pembuat dan pelaksana kebijakan pelayanan
kesehatan , dalam hal ini khususnya pelayanan kesehatan tingkat
pertama .

12

Sistem mutu itu sendiri terdiri atas tiga komponen yakni struktur,
proses dan hasil (outcome) yang sama pentingnya, saling
berhubungan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu perlu
kualifikasi penguasaan materi mutu bagi pimpinan fasilitas
kesehatan tingkat pertama dan pembinanya serta manajer mutu
(quality manager).
Seiring dengan perkembangan era globalisasi, terbukanya arus
informasi dan semakin meningkatnya tuntutan pengguna jasa
layanan kesehatan akan mutu,keselamatan serta biaya, maka
prinsip-prinsip "good corporate governance" (dalam hal ini
mencakup Health Center governance dan Clinical governance),
yakni keterbukaan (transparency), tanggap (responsiveness)
dan dapat dipertanggung-jawabkan (accountable) akan semakin
menonjol, serta mengedepankan efisiensi dan efektifitas suatu
pelayanan .
Istilah efisiensi akan sangat berhubungan erat antara masukan
dan proses, sedangkan efektifitas akan berhubungan dengan
proses dan hasilnya. Efisiensi dapat digolongkan pada efisiensi
tehnik (technical efficiency), efisiensi produksilhasil (productive
efficiency) dan efisiensi alokatif (al/ocative/societal efficiency)
termasuk didalamnya bidang market dan kesehatan. Oleh karena
itu saat ini dibutuhkan tidak hanya "doing things right", akan
tetapi juga diperlukan prinsip manajemen "doing the right things ",
(dikenal sebagai increasing effectiveness) sehingga kombinasi
keduanya disebut sebagai prinsip manajemen layanan modern
"doing the right things right", sebagaimana digambarkan berikut
ini:

13

EVOLUSI PRINSIP MANAJEMEN

1970

1980

1990

ABAD 21

Doing the right things right tidaklah cukup , tetapi harus dibiasakan
sehingga terjadi system default dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat baik upaya kesehatan masyarakat maupun
upaya kesehatan perseorangan . Oleh karena itu prinsip yang
digunakan adalah doing the right things right by default, lakukan
sesuatu yang benar dengan benar sebagai suatu kebiasaan.

Evolusi Prinsip Manajemen

Perkembangan akan "mutu" itu sendiri dari cara (1) inspection,
(2) quality control, (3) quality assurance sampai ke (4) total quality
(Management & Services), sangat bervariasi sesuai dengan
perkembangan ilmu.
Jepang menggunakan istilah "quality control" untuk seluruhnya,
sedangkan di Amerika memakai istilah "continuous quality
Improvement" untuk "total quality" dan Inggris memakai istilah
"quality assurance" untuk 'quality assurance', 'continuous quality
improvement ' maupun untuk 'total quality' (Management &
Services) dan tidak membedakannya.

14

QUAUTY
ASSURANCE

Skema Sederhana Perkembangan Mutu
Evolusi perkembangan mutu itu sendiri berasal dari bidang
industri pada akhir abad ke sembilan belas dan awal abad ke
dua puluh di masa Perang Dunia Pertama (PO I) . Pada waktu
itu industri senjata menerapkan kaidah "inspection" dalam
menjaga kualitas produksi amunisi dan senjata . Kemudian
Shewart mengembangkan dan mengadopsi serta menerapkan
kaidah statistik sebagai "quality control" serta memperkenalkan
pendekatan siklus P-D -S-A (Plan, Do, Study, Act) yang mana hal
ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Deming sebagai P-DC-A (Plan, Do, Check , Action) . Kaidah PDCA ini menjadi cikal
bakal yang kemudian dikenal sebagai "generic form of quality
system " dalam "quality assurance".
Tatkala Deming diperbantukan ke Jepang dalam upaya memperbaiki
dan mengembangkan industri, beliau mengembangkan dengan
memadukan unsur budaya Jepang 'Kaizen' dan filosofi Sun Tzu
dalam hal 'benchmarking' maupun manajemen dan dikenal
sebagai 'total quality'. Sedangkan Total Quality Management!
Service (TOM/S) adalah suatu cara pendekatan organisasi dalam
upaya meningkatkan efektifitas, efisiensi dan res pons organisasi
dengan melibatkan seluruh staf manajemen, pemberi pelayanan,
15

dan karyawan-karyawan penunjang, dalam segala proses aktifitas
peningkatan mutu untuk memenuhl kebutuhan/tuntutan konsumen
pengguna jasa organisasi (Process driven dan customer-focused
oriented). Ini merupakan tingkat tertinggi upaya organisasi tersebut
dalam mencapai tingkat kualitas tinggi dengan berorientasi pad a
pelanggan, yang dalam WHA 2008 tentang Revitalisasi Primary
Health Care (PHC) , disebutkan sebagai people centred.
Secara ringkas ada 5 struktur komponen utama dalam Total Quality
ManagemenUSevice (TOM /S) , yakni bagaimana memahami :
(1) pelanggan, (2) kepentingan institusi (contoh puskesmas),
(3) sistem mutu (quality systems) , (4) peningkatan kualitas yang
berkesinambungan (continuous quality improvement) dan (5)
instrumen mutu (quality tools).
Untuk dapat menguasai TOM/S harus menguasai kaidah/tehnik
dari perkembangan mutu itu sendiri dari inspection, quality control
dengan seven basic statistics process controll SPC dan quality
assurance dengan ketiga kompenen utamanya yang terdiri setting
standards, checking the standards (audit and accreditation) dan
continuous quality improvement (COl) . Quality Assurance (OA)
adalah tahap ke tiga dan yang paling penting dalam perkembangan
mutu suatu institusi/organisasi menuju tingkat yang lebih luas
dan tinggi (total quality), dan OA itu sendiri terdiri dari beberapa
komponen sebagai berikut;
1.

Standar

Standar dibuat berdasarkan kebijakan (policy), tujuan (aims)
dan objektif yang telah disepakati bersama dalam institusi
terse but, untuk dijadikan kriteria yang dapat ditinjau dari segi
inputl struktur, proses dan output/outcome .
Untuk
bidang
kesehatan ,
Donabedian
dengan
'structure, process dan outcome' pada awal tahun 80-an
memperkenalkan tentang cara penilaian untuk standar,
kriteria dan indikator. Selang beberapa tahun kemudian
Maxwell mengembangkan "six dimensions of quality". Tehnik
Donabedian dan Maxwell ini lebih menitik beratkan tentang

16

hal membuat standar dan penilaiannya (akreditasi) yang
merupakan komponen penting "Quality Assurance".

Maxwell

Konsep Donabedian melalui standardisasi struktur, proses,
dan hasil dapat dikombinasikan dengan konsep Maxwell
yaitu 6 dimensi mutu yang meliputi: Akses terhadap
pelayanan, ekuiti (keadilan), relevan dengan kebutuhan,
aksepabilitas terhadap pelayanan , efektifitas, efisiensi dan
ekonomi. Dengan demikian dapat disusun indikator-indikator
yang bersifat tepat dan andal (relevant and reliable), dapat
dipahami (understandable), dapat diukur (measurable) ,
dalam bentuk perilaku (behavioral), dan dapat dicapai
(achievable) yang menjadi dasar dalam melakukan upaya
perbaikan yang berkesinambungan mengikuti siklus P-DC-A.
Penerapan konsep Donabedian dan Maxwell dimulai dengan
perencanaan pelayanan yang berbasis pada kebutuhan
masyarakat, pengendalian terhadap proses pelayanan, dan
pemeliharaan sistem pelayanan.

17

2.

Instrumen Penilaian Diri (self assessment) dan proses
akreditasi:

Instrumen self assessment disusun mengacu pada standar
akreditasi yang disusun oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, selain akan digunakan sebagai alat
ukur yang akan digunakan oleh tim surveyor dari Komisi
Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama baik untuk
penilaian survey akreditasi oleh Komisi Akreditasi Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama maupun untuk pendampingan
persiapan akreditasi
maupun pendampingan pasca
akreditasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupatenl
Kota. Instrumen ini digunakan juga oleh Puskesmas/Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama untuk melakukan kajian awal,
dan untuk menilai perkembangan kondisi Puskesmasl
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama oleh fasilitas pelayanan
kesehatan itu sendiri, yang akan dilakukan per tahun ,
sehingga pada saat akan dinilai Tim Penilai pada periode
3 tahunan, pencapaiannya sudah mampu mencapai tingkat
ataupun bahkan melebihi tujuan yang diharapkan.
3.

Peningkatan Kualitas Berkelanjutan (Continuous Quality
Improvement/(CQI)
COl adalah langkah selanjutnya dalam siklus OA yang
merupakan upaya institusi mempertahankan dan atau
meningkatkan mutu melalui berbagai kegiatan sesuai
standar, kriteria dan indikator, yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam suatu sistem manajemen mutu. COl
merupakan salah satu kunci utama dalam Ouality Assurance
bila institusi tersebut akan meningkatkan mutu, menuju
standar pelayanan tertinggi yang ditetapkan saat itu.

B.

IMPLEMENTASI PROGRAM
BERKESINAMBUNGAN.

PENINGKATAN

MUTU

Sebagai contoh implementasi program peningkatan mutu
berkesinambungan akan dijelaskan penerapan di Puskesmas,

18

yang dapat digunakan juga oleh Klinik dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama yang lain sebagai acuan.
Pelayanan yang baik, ramah, dan memberikan hasil sesuai
dengan tujuan dan harapan dari penggunanya merupakan
syarat untuk terbangunnya hubungan berkelanjutan (Ioyalitas)
dari para pengguna pelayanan kesehatan di Puskesmas dalam
memanfaatkan pelayanan sampai terpenuhi kebutuhannya, baik
sebagai pengguna pelayanan kesehatan perseorangan maupun
sebagai target sasaran upaya kesehatan yang prioritas .
Luaran atas hasil pelayanan teknis yang berkualitas antara lain
pada individu : penyakit dapat disembuhkan, persalinan berjalan
dengan selamat baik ibu dan bayinya, sedangkan pada pelayanan
kesehatan masyarakat, masalah kesehatannya dapat teratasi ,
tumbuh-kembang Balita di posyandu berhasil baik, CDR dan Cure
Rate program P2TB tercapai sesuai target.
Proses pelayanan yang bermutu, membuat pengguna merasakan
diperhatikan dan dilayani dengan baik sehingga bila kedua-duanya
diperoleh sesuai dengan harapan, para pengguna pelayanan akan
mempunyai kesan (citra/image) layanan di puskesmas memang
baik dan bila pelayanan diberikan dengan baik, ramah, perhatian ,
pengguna akan merasa puas atas layanan yang diterima.
Layanan yang customized merupakan layanan yang berorientasi
pada pelanggan (people centred), yang dengan beragamnya
kondisi masyarakat tidak akan sama, terutama pada masyarakat
yang heterogen. Tuntutan masyarakat pengguna jasa pada
pelayanan kesehatan yang bermutu dan memuaskan , akan
dibentuk oleh:
a.

Tingkat perkembangan masyarakat dari aspek: tingkat
pendidikan dan kondisi kondisi kehidupan sosial-ekonomi,
sosial-budaya, dan sosial-spiritualnya,

b.

Ada tidaknya alternatif untuk mencari fasilitas pelayanan
kesehatan lain yang mampu dijangkau.

Dengan kemampuan menyesuaikan diri pada situasi yang
beragam, Puskesmas akan dimanfaatkan oleh masyarakat,
19

terutama di wilayah kerja tanggung-jawabnya, maupun masyarakat
yang dapat menjangkau pelayanannya. Hal ini penting ketika
model pembiayaan pelayanan kesehatan perseorangan melalui
SJSN diterapkan , dengan puskesmas sebagai salah satu Gate
Keeper-nya .
Puskesmas dengan konsep wilayah, bertanggung-jawab
melayani kesehatan masyarakat yang berada didalamnya,
terutama pelayanan kesehatan masyarakat, sedangkan untuk
pelayanan kesehatan perseorangan, banyak Puskesmas
terutama di perkotaan akan menghadapi pesaing yang juga
ditunjuk oleh BPJS melayani masyarakat tertentu sesuai dengan
peraturan yang berlaku . Pad a kondisi demikian , Puskesmas akan
dihadapkan pada pesaing-pesaing dalam pelayanan kesehatan
perseorangan. Untuk hal tersebut, maka Puskesmas harus
berupaya memenuhi tuntutan masyarakat ,dengan pelayanan
yang berkualitas dan customized .
Dengan keberagaman kondisi masyarakat yang harus dilayani ,
dapat diperkenalkan beberapa pendekatan berikut ini :
a.

Puskesmas sebagai pemberi layanan tunggal di wilayah
kerja.

Pada kondisi ini , tidak ada fasilitas pelayanan kesehatan
perseorangan dan kesehatan lainnya di wilayah kerja
Puskesmas. Kondisi ini umumnya dijumpai di daerah-daerah
tertinggal , terpencil , sangat terpen cil , dan daerah yang tidak
diminati pemberi layanan kesehatan perseorangan swasta,
Selain itu di lokasi tersebut juga tidak banyak perubahan
berarti yang dialami masyarakat , yang pada gilirannya
membuat masyarakat menuntut terlalu banyak , yang
menyebabkan Puskesmas harus mengembangkan sesuatu
program secara khusus .
Di wilayah seperti ini, Puskesmas seolah "memonopoli"
pelayanan kesehatan perseorangan dan kesehatan
masyarakat, karena memang tidak ada pesaing disana .
Sekalipun kondisinya demikian, pelayanan puskesmas tetap
harus diberikan secara berkualitas . Walaupun pelayanan
20

yang diberikan minimal (bahkan sangat minimal), sepanjang
tetap dilakukan secara bertanggung-jawab sesuai standar
kualitas, masyarakat disana akan merasa puas. Metode
manajemen mutu yang dilakukan pada tingkat perkembangan
ini adalah "Inspeksi/inspection", dengan mempertahankan
pelayanan tetap mengikuti prosedur.
Dengan pendekatan demikian, tanggapan masyarakat
pengguna pelayanan puskesmas akan tetap "OK" saja,
dalam arti hampir tidak ada penolakan dari para pengguna
jasa, karena memang tidak ada lagi fasilitas lain yang
memberikan pelayanan, sementara puskesmas sudah
melayaninya dengan baik, dan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat disana.
b.

Adanya fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, disamping
Puskesmas.
Pada situasi ini, keberadaan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya walaupun ada, tetapi kemampuannya masih
belum melebihi kemampuan Puskesmas dalam melayani
masyarakat, kalaupun akan disebut sebagai "pesaing"
dengan situasinya yang sudah mulai terasa "terganggu/
interupted' oleh kehadiran fasilitas lainnya dalam menarik
pengunjung Puskesmas, aliran perpindahan dari masyarakat
pengguna jasanya belum nyata benar, sehingga tingkat
persaingannya dianggap masih ringan-ringan saja . Pada
kondisi ini, Puskesmas sudah harus melakukan Quality
Control (QC), untuk selalu memantau proses dan kualitas
pelayanannya, kalau tidak ingin ditinggalkan masyarakat
pengguna jasanya.
Masyarakat yang meninggalkan pelayanan Puskesmas,
bukan berarti juga akan memperoleh layanan yang benarbenar berkualitas sebagaimana seharusnya, karena seringkali
kenyamanan yang diberikan tidak menyentuh kebutuhan
kesehatan yang sebenarnya, sehingga outcome layanan
belum pasti akan tercapai. Karenanya untuk menghindarkan
"Iarinya" masyarakat dari Puskesmas, proses pelayanan
perlu diawasi / dikontrol agar para pemberi layanan dapat

21

memenuhi standar teknis dan standar fungsionalnya dapat
dipertanggung-jawabkan . Metode manajemen mutu dalam
kondisi ini disebut metode "Quality Control (OC)".
c.

Adanya fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dengan
kinerja cukup bag us.

Pad a situasi ini , keberadaan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya di wilayah kerja Puskesmas sudah dapat menarik
perhatian masyarakat pengguna jasa, sehingga perpindahan
dalam mencari pelayanan sudah tampak jelas. Kalau kondisi
ini dianggap sebagai suatu persaingan, maka tingkat
persaingannya dianggap sudah cukup berat (complicated) ,
sehingga Puskesmas harus memastikan bahwa layanan
yang
disediakan
memang
benar-benar berkualitas.
Peningkatan kualitas pelayanan di Puskesmas dilakukan
agar Puskesmas tidak semakin kehilangan pengunjung
/ pelanggannya, bahkan bilamana mampu harus dapat
memperbaiki posisinya dalam peta persaingan di wilayah
kerjanya sendiri .
Metode manajemen mutu dalam kondisi inj disebut metode
Quality Assurance ("OA"), dimana Puskesmas berani
menyatakan dan menjam in bahwa pelayanannya memang
berkualitas . Puskesmas di daerah perbatasan negara
tetangga minimal harus berada pada kondisi seperti ini ,
sehingga Puskesmas di perbatasan harus menerapkan
pendekatan kualitas dengan metode OA.
d.

Adanya fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dengan
kinerja yang bagus.

Pad a situasi ini , keberadaan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya di wilayah kerja Puskesmas sudah semakin menarik
perhatian masyarakat pengguna jasa karena kemampuannya
melayani sesuai dengan tuntutan dari para pengguna
jasanya. Kalau pada situasi demikian Puskesmas tidak
melakukan perubahan dalam memberikan layanan, maka
perpindahan pengguna jasa dalam mencari pelayanan akan
semakin meningkat jelas . Kalau kondisi ini dianggap sebagai
22

suatu persaingan, maka tingkat persaingannya sudah cukup
beraUhebat (sophisticated) ,
Pada kondisi ini , Puskesmas harus memastikan bahwa
layanan yang disediakan memang benar-benar berkualitas ,
dengan biaya (cost) yang mampu bersaing, dan
memperlakukan para pengguna jasanya dengan sangat
customized, sesuai dengan tuntutan para penggunajasanya.
Untuk menuju kemampuannya tersebut, Puskesmas harus
melibatkan pihak pengelola (manajemen) Puskesmas, dalam
hal ini adalah para penanggung-jawab penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di Puskesmas secara keseluruhan.
Dan metode manajemen mutu dalam kondisi ini disebut
metode Total Quality Management ("TOM").
e.

Banyaknya fasilitas pelayanan kesehatan lain dengan
kinerja sangat bagus.
Pada situasi ini, keberadaan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya di wilayah kerja Puskesmas sudah semakin banyak
seperti misalnya di kota-kota besar, dengan keberagaman
pelayanannya . Kalau tidak secara tegas diatur, maka
fasilitas pelayanan kesehatan tingkatan atas (kedua dan
ketiga) dapat saja melakukan pelayanan tingkat pertama
yang sebenarnya bukan porsinya . Pada kondisi demikian,
tidak jelas lagi pembagian peran dalam penyelenggaraan
pelayanannya, sehingga dapat saja fasyankes rujukan
memberikan pelayanan kesehatan perseorangan tingkat
pertama, disamping porsinya memberikan pelayanan
kesehatan perseorangan tingkat kedua atau ketiga.
Masyarakat pengguna jasa di sekitar lokasi keberadaan
fasilitas kesehatan non puskesmas tersebut, dengan
kemampuan finansialnya dapat secara bebas memilih fasilitas
mana yang dapat memuaskannya, yaitu fasilitas pelayanan
kesehatan yang mampu memberikan hasil (outcome) yang
jelas sekalipun hanya untuk kebutuhan pelayanan tingkat
pertama/dasar. Fasilitas pelayanan kesehatan rujukan,
dengan kemampuan dan kemauan melayani pelanggannya
23

sangat baik, akan menjadi tempat pilihan masyarakat
mampu untuk mencari pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan sekalipun untuk masalah-masalah kesehatan
non spesialistis. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat
melayani secara berkualitas, baik dalam aspek teknis tujuan
pelayanan tercapai, dan secara personal dapat memenuhi
harapan pelanggannya, sehingga pelanggan merasa puas
dengan pelayanannya.
Pada situasi demikian kalau Puskesmas tidak melakukan
perubahan dalam memberikan layanannya (services)
dalam berbagai aspeknya, maka Puskesmas hanya akan
dimanfaatkan oleh penduduk setempat yang mempunyai
jaminan kesehatan masyarakat bagi orang-orang miskin
saja. Kesan bahwa Puskesmas adalah tempat pelayanan
bagi orang miskin seolah-olah menjadi terbukti, sementara
orang-orang mampu yang nanti telah terikat dengan
model pelayanan dalam BPJS, tidak akan memanfaatkan
pelayanannya. Hal ini akan dapat dibuktikan ketika BPJS
melakukan survai tentang kepuasan pelanggan, dalam
rangka mengevaluasi pemanfaatan fasilitas pelayanan
kesehatan sebagai PPK yang ditunjuk.
Pada kondisi lingkungan dengan fasilitas pelayanan
kesehatan yang banyak dan beragam dianggap sebagai
suatu peta persaingan bagi Puskesmas, maka tingkat
persaingan disini sudah cukup "kacau/chaos". Untuk hal
tersebut maka Puskesmas sebagai penyedia pelayanan
kesehatan perseorangan tingkat pertama, harus mampu
mengetahui "value" yang diharapkan pelanggan atas
pelayanan Puskesmas, membuat strategi pemasarannya,
dan membuat seluruh karyawan Puskesmas menyadari
akan hal terse but, meninjau kembali proses pelayanannya
dan secara terus menerus memantau hasilnya. Metode
manajemen mutu dalam kondisi ini disebut metode Total
Quality Services ("TOS")
Model pendekatan manajemen mutu sebagaimana dijelaskan
di atas, akan sangat bermanfaat untuk dipelajari secara lebih
24

mendalam, apalagi model pendekatan pelayanan sesuai
Undang-undang No. 24 tahun 2011 tentang BPJS telah
diterapkan sejak awal tahun 2014, karena baik peserta
Jaminan Kesehatan maupun pengelolanya yaitu BPJS akan
memilih institusi yang mampu memberikan layanan terbaik
dan memuaskan para pengguna jasanya. Untuk hal tersebut
bukan hanya kemampuan teknis yang berkualitas yang akan
menjadi pilihan pengguna jasa, akan tetapi juga kemampuan
melayani dengan personal yang baik dan berkualitas,
sehingga dapat membangun image yang baik, disamping
layanan yang berhasil memberi outcome yang baik.

25

BABIV
LANGKAH-LANGKAH PERSIAPAN AKREDITASI
Upaya peningkatan mutu pelayanan dilakukan sebenarnya untuk
meminimalkan adanya variasi proses dalam sistem pelayanan.
Variasi proses adalah suatu perbedaan-perbedaan yang terjadi
dalam pelaksanaan suatu proses yang sama . Variasi proses tersebut
berakibat pada hasil yang tidak sesuai dengan yang diharapkan yang
akhirnya bermuara pada ketidak puasan pasien atau pelanggan. Variasi
proses tersebut terjadi sebagai akibat dari proses atau sistem tidak
diukur dengan baik, tidak dimonitor dengan baik, tidak dikendalikan
dengan baik, tidak dipelihara dengan baik, tidak disempurnakan secara
berkesinambungan, dan tidak didokumentasikan dengan baik.
Untuk meminimalkan variasi proses maka perlu dilakukan pengukuran
terhadap sistem pelayanan melalui ditetapkannya indikator dan
standar kinerja, pengendalian dengan ditetapkan aturan internal yang
berupa kebijakan, pedoman, standar pelayanan , dan standar prosedur
operasional. Dengan menggunakan indikator, standar, pedoman , serta
standar proseduroperasional maka dapat dilakukan monitoring terhadap
sistem pelayanan. Pemeliharaan dapat dilakukan dengan menerapkan
prinsip-prinsip tata graha dengan berpedoman pada 5 R: Ringkas,
Rapih , Resik, Rawat, Rajin, sedangkan penyempurnaan sistem atau
proses pelayanan dilakukan dengan menerapkan Continuous Quality
Improvement yang mengikuti siklus Plan Do Check Action.
Oleh karena itu perlu dibangun suatu sistem yang mengarahkan
Puskesmas , Klinik, dan praktik dokter/dokter gigi untuk melakukan
pengukuran, monitoring, pengendalian, pemeliharaan, penyempurnaan
yang berkelanjutan, dan pendokumentasian yang baik. Sistem tersebut
disebut dengan Sistem Manajemen Mutu. Dengan adanya sistem
manajemen mutu yang berjalan dengan baik, maka akan memandu
sistem pelayanan di Puskesmas, klinik, dan praktik dokter/dokter gigi
untuk mematuhi standar, pedoman, dan peraturan-peraturan yang
berlaku dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
Kedua sistem tersebut, yaitu sistem manajemen mutu , dan sistem
pelayanan klinis dan sistem pengelolaan upaya kesehatan masyarakat

26

di puskesmas perlu dibakukan dan dilaksanakan. Akreditasi akan
menilai apakah kedua sistem tersebut berjalan dengan baik. Dengan
demikian langkah awal dalam persiapan akreditasi adalah membangun
dan membakukan sistem manajemen mutu dan sistem pelayanan pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
A.

Langkah-Iangkah penyiapan akreditasi.
1.

Langkah Persiapan Akreditasi Puskesmas
Puskesmas yang akan diakreditasi ditetapkan oleh Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan
penyiapan
akreditasi dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupatenl
Kota yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Tim
Pendamping Akreditasi Puskesmas dan/atau Pihak Ketiga
yang ditunjuk dengan langkah-Iangkah sebagai berikut:
a.

Lokakarya di Puskesmas selama dua hari efektif untuk
menggalang komitmen dan pemahaman tentang
Standar dan Instrumen Akreditasi, pembentukan Panitia
Persiapan Akreditasi Puskesmas, dan pembentukan
Kelompok Kerja, yaitu Kelompok Kerja manajemen,
Kelompok Kerja Upaya Puskesmas, dan Kelompok
Kerja Pelayanan Klinis.

b.

Pendampingan di Puskesmas diikuti oleh seluruh
karyawan Puskesmas untuk memahami secara rinci
standar dan instrument akreditasi Puskesmas dan
persia pan self-assessment.

c.

Pelaksanaan self-assessment oleh Panitia Persiapan
Akreditasi Puskesmas

d.

Panitia Persiapan Akreditasi Puskesmas melakukan
pembahasan hasil self-assessment bersama Tim
Pendamping Akreditasi dan menyusun Rencana Aksi
untuk persiapan akreditasi.

e.

Penyiapan Dokumen Akreditasi, dengan tahapan:
1)

Identifikasi dokumen-dokumen yang dipersyaratkan  oleh  standar akreditasi, 
27

2)  

Penyiapan  tata  naskah  penulisan  dokumen 
termasuk  di  dalamnya  pengendalian  dokumen 
akreditasi  yang  meliputi  pengaturan  tentang 
kewenangan  pembuatan,  pemanfaatan  dan 
penyimpanan seluruh dokumen  puskesmas. 

3)  

Penyiapan dokumen akreditasi 
a) 

dokumen  internal,  meliputi  : 
surat­surat keputusan 
pedoman  mutu 
pedoman­pedoman yang terkait dengan 
pelayanan 
kerangka  acuan 
standar prosedur operasional (SPO) 
rekam  implementasi  (dokumen  sebagai 
bukti  telusur) . 

b) 

dokumen eksternal yang  perlu disediakan 
Penyiapan  dokumen  sebagai  regulasi 
internal  tersebut  membutuhkan  waktu  lebih 
kurang 4  bulan.  Selama  penyiapan dokumen 
dilakukan  pendampingan  lebih  kurang  3 
sampai dengan 5 kali  @  2 hari 

f.  

Setelah  dokumen  yang  merupakan  regulasi  internal 
disusun,  berikut  dengan  program­program  kegiatan 
yang  direncanakan,  maka  dilakukan  implementasi 
sesuai dengan kebijakan,  pedoman/panduan,  prosedur 
dan program kegiatan yang direncanakan. Pelaksanaan 
kegiatan implementasi tersebut diperkirakan  dilaksanakan  dalam  kurun  waktu  5  sampai  dengan  6  bulan, 
dengan  pendampingan  3  sampai  dengan  5  kali  @  2 
hari . 

g.  

Penilaian  Prasertifikasi  oleh  Tim  Pendamping 
Akreditasi,  untuk  mengetahui  kesiapan  Puskesmas 
untuk diusulkan dilakukan  penilaian  akreditasi. 

28 

h.  

Pengusulan  Puskesmas  yang  siap  diakreditasi 
dilakukan  oleh  Kepala  Dinas  Kesehatan  Kabupatenl 
Kota  berdasarkan  rekomendasi  hasil  Penilaian 
Prasertifikasi oleh Tim  Pendamping Akreditasi. 

2.   Langkah  Persiapan Akreditasi  Klinik. 
Klinik yang akan diakreditasi dapat mengajukan permohonan 
kepada 
Dinas  Kesehatan 
Kabupaten/Kota 
untuk 
mendapatkan  pendampingan  jika  dibutuhkan .  Pelaksanaan 
penyiapan  akreditasi  dilakukan  oleh  Tim  Pendamping 
Akreditasi  dan/atau  Pihak  Ketiga  yang  ditunjuk  dengan 
langkah­Iangkah sebagai  berikut: 
a.  

Lokakarya  di  Klinik  selama  dua  hari  efektif  untuk 
menggalang  komitmen  dan  pemahaman  tentang 
Standar  dan  Instrumen  Akreditasi.  pembentukan 
Panitia  Persia pan  Akreditasi.  dan  pembentukan 
Kelompok  Kerja  sesuai  kebutuhan.  misalnya  dibentuk 
kelompok  kerja  sesuai  dengan  Bab  dari  ウエ。ョ、セ@
akreditasi. 

b.   Pendampingan  diikuti  oleh  seluruh  karyawan  untuk 
memahami  secara  rinci  standar  dan  instrument 
akreditasi dan  persiapan  self-assessment
c.  

Pelaksanaan  self-assessment oleh  Panitia  Persia pan 
Akreditasi. 

d.   Panitia  Persiapan  Akreditasi  melakukan  pembahasan 
hasil  ウ・ャエ
セ 。ウ・ュョエ@
bersama  Tim  Pendamping 
Akreditasi dan menyusun Rencana Aksi untuk persia pan 
akreditasi . 
e.  

Penyiapan Dokumen Akreditasi . dengan tahapan : 
1) 

Identifikasi  dokumen­dokumen  yang  dipersyaratkan  oleh  standar akreditasi. 

2) 

Penyiapan  tata  naskah  penulisan  dokumen 
termasuk  di  dalamnya  pengendalian  dokumen 
akreditasi  yang  meliputi  pengaturan  tentang 
kewenangan  pembuatan ,  pemanfaatan  dan 
penyimpanan seluruh dokumen puskesmas . 
29 

3}  

Penyiapan dokumen  akreditasi 
a} 

dokumen  internal,  meliputi  : 
surat­surat keputusan 
pedoman mutu 
pedoman­pedoman yang terkait dengan 
pelayanan 
kerangka acuan 
standar prosedur operasional  (SPO) 
rekam  implementasi  (dokumen  sebagai 
bukti  telusur). 

b}   dokumen eksternal yang perlu  disediakan 
Penyiapan  dokumen  sebagai  regulasi 
internal  tersebut  membutuhkan  waktu  lebih 
kurang 4 bulan.  Selama penyiapan dokumen 
dilakukan  pendampingan  lebih  kurang  3 
sampai d