Bagaimana menangani dampak psikologis pada penyintas bencana?
Terbit pada Mata Garuda Institute Bulletin edisi Juli 2015, halaman 21‐22.
https://issuu.com/matagarudainstitute/docs/mgi_bulletin_edisi_juli_2015
Andrian Liem, M.Psi., Psikolog
Beasiswa Pendidikan Indonesia, LPDP PK‐25
School of Public Health
University of Queensland, Australia
andrian.liem@uq.net.au
BAGAIMANA MENANGANI DAMPAK PSIKOLOGIS PADA PENYINTAS BENCANA?
Bencana pada dasarnya adalah sesuatau yang menyebabkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Pengertian lain dari bencana adalah peristiwa atau peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
(UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
Bencana seringkali hanya dikaitkan dengan kejadian alam seperti gempa bumi, angin besar, atau
banjir. Hal tersebut tidak salah karena peristiwa tersebut memang termasuk dalam bencana alam.
Akan tetapi hal yang terlewat adalah adanya jenis bencana lain seperti bencana nonalam dan bencana
sosial seperti yang tertulis di UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bencana
nonalam dapat berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit. Sedangkan
bencana sosial timbul dalam bentuk konflik sosial antarkelompok atau komunitas, kerusuhan, dan
teror.
Apapun jenis bencana yang dialami akan menyebabkan dampak negatif bagi mereka yang terkena
musibah tersebut. Dalam artikel ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah dampak psikologis yang
umumnya dialami dan usaha apa yang dapat dilakukan untuk menanganinya. Kata “penyintas” sengaja
digunakan karena merupakan padanan dari kata “survivor” (a person who is able to continue living
their life successfully despite experiencing difficulties. Sumber: Cambridge Dictionaries Online).
Sedangkan kata “korban” kurang tepat digunakan karena terkesan pasif dan tidak berdaya (victim:
someone or something that has been hurt, damaged, or killed or has suffered, either because of the
actions of someone or something else, or because of illness or chance. Sumber: Cambridge Dictionaries
Online).
Beberapa risiko gangguan psikologis setelah trauma
(Risiko gangguan psikologis dan gejala yang ditampilkan dalam tabel hanya gambaran umum dan perlu
ahli atau profesi terkait dalam penegakan diagnosisnya)
Minggu ke‐ setelah peristiwa traumatik
1
2
3
4
5
6
7
8
Reaksi stres akut: kebingungan, sangat reaktif, menarik diri, berkeringat berlebih, jantung
berdebar cepat, disorientasi, amnesia.
Berkabung
Depresi: suasana hati sedih, kehilangan minat dan kesenangan, tidur terganggu rasa bersalah
dan kehilangan percaya diri, perlambatan gerak atau bicara (atau sebaliknya, yaitu agitasi),
gangguan nafsu makan, sulit berkonsentrasi, adanya pikiran bunuh diri
Gangguan panik/kecemasan: nyeri dada, rasa seperti tercekik, perut seperti terbakar, pusing,
kehilangan kontrol,rasa akan mati, rasa seperti terkena serangan jantung
Gangguan stres pascatrauma (PTSD): bayangan / mimpi / kilas balik peristiwa traumatik,
menghindari hal‐hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik, muncul kecemasan dan
kesiagaan berlebih jika terpapar pada hal‐hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik,
suasana hati yang depresif, menarik diri, sulit berkonsentrasi, tidur terganggu.
Gangguan Penyesuaian
Psikosis, Skizofrenia, gangguan bipolar
Penyalahgunaan zat, gangguan makan, gangguan tidur
(Sumber: Maramis dalam Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/suryo.dharmono/material/gangguanmentalterkaittrauma.pdf )
Psikiatri
FKUI/RSCM.
… 24
Diakses
…
dari
Menurut Spokane dkk. (2011) dalam artikelnya yang berjudul “Ecologically Based, Culturally
Concordant Responding Following Disasters: The Counselling Psychologist’s Role” hal utama dalam
penanganan dampak psikologis penyintas bencana adalah komunikasi dengan rekan sejawat dan
memerhatikan norma serta budaya yang dimiliki para penyintas. Dalam panduan yang dikeluarkan
oleh WHO “Psychological First Aid: Guide for Field Workers” (2011) dijelaskan kelompok yang mungkin
membutuhkan perhatian khusus. Kelompok tersebut adalah anak dan remaja, orang dengan masalah
kesehatan (fisik dan mental), serta orang yang berisiko mengalami diskriminasi atau kekerasan.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk menangangi permasalahan psikologis yang timbul dapat
dilihat pada gambar berikut:
Sementara itu ada beberapa hal yang perlu dihindari ketika bersama para penyintas, yaitu:
Dalam pidato pengukuhan guru besar Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S.
menyebutkan bahwa jumlah psikolog klinis di Indonesia baru sekitar 365 orang pada tahun 2011.
Jumlah tersebut tentu tidak dapat melayani para penyintas bencana secara maksimal. Oleh karena itu
perlu jejaring dan kerjasama dengan profesi kesehatan mental lainnya. Upaya lain yang perlu
ditingkatkan adalah tersedianya poli psikologi dan psikolog di Puskesmas sehingga layanan kesehatan
jiwa menjadi bagian dari pelayanan primer di Indonesia dan penanganan dampak psikologis pada
penyintas bencana dapat dilakukan dengan lebih terkoordinasi dengan hashil yang maksimal.
https://issuu.com/matagarudainstitute/docs/mgi_bulletin_edisi_juli_2015
Andrian Liem, M.Psi., Psikolog
Beasiswa Pendidikan Indonesia, LPDP PK‐25
School of Public Health
University of Queensland, Australia
andrian.liem@uq.net.au
BAGAIMANA MENANGANI DAMPAK PSIKOLOGIS PADA PENYINTAS BENCANA?
Bencana pada dasarnya adalah sesuatau yang menyebabkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Pengertian lain dari bencana adalah peristiwa atau peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
(UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
Bencana seringkali hanya dikaitkan dengan kejadian alam seperti gempa bumi, angin besar, atau
banjir. Hal tersebut tidak salah karena peristiwa tersebut memang termasuk dalam bencana alam.
Akan tetapi hal yang terlewat adalah adanya jenis bencana lain seperti bencana nonalam dan bencana
sosial seperti yang tertulis di UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bencana
nonalam dapat berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit. Sedangkan
bencana sosial timbul dalam bentuk konflik sosial antarkelompok atau komunitas, kerusuhan, dan
teror.
Apapun jenis bencana yang dialami akan menyebabkan dampak negatif bagi mereka yang terkena
musibah tersebut. Dalam artikel ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah dampak psikologis yang
umumnya dialami dan usaha apa yang dapat dilakukan untuk menanganinya. Kata “penyintas” sengaja
digunakan karena merupakan padanan dari kata “survivor” (a person who is able to continue living
their life successfully despite experiencing difficulties. Sumber: Cambridge Dictionaries Online).
Sedangkan kata “korban” kurang tepat digunakan karena terkesan pasif dan tidak berdaya (victim:
someone or something that has been hurt, damaged, or killed or has suffered, either because of the
actions of someone or something else, or because of illness or chance. Sumber: Cambridge Dictionaries
Online).
Beberapa risiko gangguan psikologis setelah trauma
(Risiko gangguan psikologis dan gejala yang ditampilkan dalam tabel hanya gambaran umum dan perlu
ahli atau profesi terkait dalam penegakan diagnosisnya)
Minggu ke‐ setelah peristiwa traumatik
1
2
3
4
5
6
7
8
Reaksi stres akut: kebingungan, sangat reaktif, menarik diri, berkeringat berlebih, jantung
berdebar cepat, disorientasi, amnesia.
Berkabung
Depresi: suasana hati sedih, kehilangan minat dan kesenangan, tidur terganggu rasa bersalah
dan kehilangan percaya diri, perlambatan gerak atau bicara (atau sebaliknya, yaitu agitasi),
gangguan nafsu makan, sulit berkonsentrasi, adanya pikiran bunuh diri
Gangguan panik/kecemasan: nyeri dada, rasa seperti tercekik, perut seperti terbakar, pusing,
kehilangan kontrol,rasa akan mati, rasa seperti terkena serangan jantung
Gangguan stres pascatrauma (PTSD): bayangan / mimpi / kilas balik peristiwa traumatik,
menghindari hal‐hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik, muncul kecemasan dan
kesiagaan berlebih jika terpapar pada hal‐hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik,
suasana hati yang depresif, menarik diri, sulit berkonsentrasi, tidur terganggu.
Gangguan Penyesuaian
Psikosis, Skizofrenia, gangguan bipolar
Penyalahgunaan zat, gangguan makan, gangguan tidur
(Sumber: Maramis dalam Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/suryo.dharmono/material/gangguanmentalterkaittrauma.pdf )
Psikiatri
FKUI/RSCM.
… 24
Diakses
…
dari
Menurut Spokane dkk. (2011) dalam artikelnya yang berjudul “Ecologically Based, Culturally
Concordant Responding Following Disasters: The Counselling Psychologist’s Role” hal utama dalam
penanganan dampak psikologis penyintas bencana adalah komunikasi dengan rekan sejawat dan
memerhatikan norma serta budaya yang dimiliki para penyintas. Dalam panduan yang dikeluarkan
oleh WHO “Psychological First Aid: Guide for Field Workers” (2011) dijelaskan kelompok yang mungkin
membutuhkan perhatian khusus. Kelompok tersebut adalah anak dan remaja, orang dengan masalah
kesehatan (fisik dan mental), serta orang yang berisiko mengalami diskriminasi atau kekerasan.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk menangangi permasalahan psikologis yang timbul dapat
dilihat pada gambar berikut:
Sementara itu ada beberapa hal yang perlu dihindari ketika bersama para penyintas, yaitu:
Dalam pidato pengukuhan guru besar Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S.
menyebutkan bahwa jumlah psikolog klinis di Indonesia baru sekitar 365 orang pada tahun 2011.
Jumlah tersebut tentu tidak dapat melayani para penyintas bencana secara maksimal. Oleh karena itu
perlu jejaring dan kerjasama dengan profesi kesehatan mental lainnya. Upaya lain yang perlu
ditingkatkan adalah tersedianya poli psikologi dan psikolog di Puskesmas sehingga layanan kesehatan
jiwa menjadi bagian dari pelayanan primer di Indonesia dan penanganan dampak psikologis pada
penyintas bencana dapat dilakukan dengan lebih terkoordinasi dengan hashil yang maksimal.