Perilaku Orang Bertakwa

Perilaku Orang Bertakwa
Dr. Isnawati Rais, MA.
(http://www.seasite.niu.edu/trans/indonesian/Concordance/Situs%20Persyarikatan
%20Muhammadiyah%20Indonesia-Isnawati.htm)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orangorang yag menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun di waktu sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik. Dan (juga) orang yang apabila melakukan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosadosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah
ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang
mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal” (Qs. Ali
Imran 133-136).
Pada ayat pertama dari kelompok ayat diatas, Allah SWT memerintahkan terhadap orangorang yang beriman untuk bersegera meraih ampunan dan surga yang sangat luas yang
disediakan untuk mereka yang bertakwa. Kemudian pada ayat-ayat selanjutnya Allah SWT
menjelaskan beberapa perilaku orang bertakwa tersebut.
Setidaknya ada lima perilaku takwa yang digambarkan Allah pada ayat-ayat di atas, berikut
penjelasannya:
Berinfak diwaktu lapang dan sempit
Termasuk perilaku orang bertakwa adalah berinfaq dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam
keadaan lapang (berkecukupan) ataupun dalam keadaan sempit (kekurangan). Mereka

berusaha untuk selalu dapat membantu orang lain sesuai dengan kemampuan. Mereka tidak
pernah melalaikan infaq meski terkadang mereka sendiri sedang kesulitan.
Dalam suatu hadits Rasulullah SAW menyatakan: “Jauhkanlah dirimu dari api neraka
walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Menurut Rasyid Ridha (AL-Manar III, hal. 123-133) Allah memulai gambaran orang
bertakwa dengan infaq karena dua hal berikut: Pertama; infaq adalah kebalikan dari riba yang
dilarang oleh ayat sebelumnya (Qs. Ali Imran 130). Riba adalah pemerasan yang dilakukan
oleh orang kaya terhadap orang yang membutuhkan pertolongan dengan memakan hartanya
dari bayaran hutang yang berlipat ganda. Sedangkan infaq adalah sebuah pertolongan kepada
orang yang membutuhkan tanpa imbalan. Kedua; Sesungguhnya infaq adalah sesuatu yang
tidak mudah dilakukan karena kecintaan manusia terhadap harta. Oleh karena itu, barangsiapa

yang sanggup menginfakkan harta diwaktu lapang dan sempit, jelas menunjukkan sikap kepatuhan, ketundukkan hati, yang merupakan sebuah ketakwaan.
Anjuran dan perintah berinfaq pada waktu lapang adalah untuk menghilangkan perasaan
sombong, rakus, aniaya, cinta yang berlebihan terhadap harta, dan lain-lain. Sedangkan
anjuran bersedekah di waktu sulit adalah untuk merobah sifat manusia yang lebih suka diberi
dari pada memberi. Sebenarnya sesusah apapun, manusia masih bisa memberikan sesuatu di
jalan Allah walaupun sedikit. Dorongan ini ada pada diri setiap orang tetapi kadang-kadang
tidak muncul. Untuk itu agamalah yang menumbuhkan kesadaran itu.
Menahan marah

Selanjutnya perilaku orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan tidak
melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu melakukannya. Kata al-kazhimiin
berarti penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh dengan air, lalu
ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan marah, sakit hati, dan
keinginan untuk menuntut balas masih ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan
dan ditutup rapat agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik. (Quraisy Shihab,
Tafsir al-Misbah, II, hal. 207).
Orang yang mampu menahan marah, oleh Nabi SAW disebut sebagai orang yang kuat. Beliau
bersabda: “Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi (orang yang kuat itu
adalah) orang yang mampu menahan dirinya ketika marah” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu
Daud). Dalam hadits lain nabi juga bersabda: “Barangsiapa menahan marah padahal ia
mampu untuk melampiaskannya, maka di hari kiamat Allah akan memenuhi hatinya dengan
keridhaan”.
Memaafkan
Memaafkan berarti menghapuskan. Jadi seseorang baru dikatakan memaafkan orang lain
apabila ia menghapuskan kesalahan orang lain itu, kemudian tidak menghukumnya sekalipun
ia mampu melakukannya. Ini adalah perjuangan untuk pengendalian diri yang lebih tinggi dari
menahan marah. Karena menahan marah hanya upaya menahan sesuatu yang tersimpan dalam
diri, sedangkan memaafkan, menuntut orang untuk menghapus bekas luka hati akibat
perbuatan orang. Ini tidak mudah, oleh karena itu pantaslah dianggap perilaku orang

bertakwa.
Untuk memberikan dorongan kepada manusia agar mau memaafkan, Allah berulang kali
memerintahkannya di dalam Al-Qur‘an, antara lain dalam surat Al-A’raf 199, Al-Hijr 85, dan
Asy-Syura 43. Sementara itu Rasulullah SAW juga menjelaskan keuntungan orang-orang
yang mau memaafkan kesalahan orang lain, di antaranya:
“Barangsiapa memberi maaf ketika dia mampu membalas, maka Allah akan mengampuninya
saat ia kesukaran”. Dan “Orang yang memaafkan terhadap kezhaliman, karena
mengharapkan keredhaan Allah, maka Allah akan menambah kemuliaan kepadanya di hari

kiamat” (Lengkapnya dapat dilihat dalam Muhammad Ahmad al-Hufy, Edisi Indonesia, hal.
272).
Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah kita, adalah seseorang yang sangat pemaaf.
Aisyiyah r. a. berkata: “Saya belum pernah melihat Rasulullah SAW membalas karena beliau
dianiaya selama hukum Allah tidak dilanggar. Beliau akan memaafkan kesalahan orang lain
yang mengenai dirinya, karena itu adalah sifat utama. ”
Berbuat ihsan
Ini adalah tingkat yang lebih tinggi dari tiga perilaku takwa sebelumnya. Allah mencintai
orang yang berbuat ihsan dengan berbagai cara yang mungkin dilakukannya. Dalam
menafsirkan ayat ini Muhammad Rasyid Ridha mengemukakan suatu riwayat yang menggambarkan bahwa berbuat ihsan itu adalah sebagai puncak dari tiga sifat utama sebelumnya:
“Seorang budak melakukan sesuatu pelanggaran yang membuat tuannya sangat marah. Budak

itu berkata kepada tuannya: Tuan, Allah SWT berfirman “wal kazhimiin alghaizha”, maka
tuannya menjawab: Aku telah menahan marahku. Budak itu berkata lagi, Allah telah
berfirman “wal’afiina aninnaas”, yang dijawab oleh tuannya: Kamu telah kumaafkan. Budak
itupun melanjutkan lagi, bahwa Allah telah berfirman “wallahu yuhibbul muhsiniin”, tuannya
menjawab: Pergilah! Engkau merdeka karena Allah. (Muhammad Rasyid Ridha, IV, hal. 135).
Riwayat senada juga dikemukakan oleh Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat ini.
Cepat menyadari kesalahan lalu beristighfar
Perilaku ini menggambarkan bagaimana orang yang bertakwa menghadapi dirinya sendiri,
yaitu bila dia, sengaja atau tidak, melakukan perbuatan dosa seperti, membunuh, memakan
riba, korupsi, berzina, atau menganiaya diri sendiri seperti minum khamar, membuka aurat,
tidak shalat, tidak berpuasa, dan sebagainya, mereka langsung ingat Allah, sehingga merasa
malu dan takut kepadaNya. Lalu ia cepat menyesali semua perbuatannya dan memohon
ampun sambil bertekad tidak akan mengulangi lagi kesalahan itu.
Orang mu‘min yang bertakwa setelah bertaubat tidak akan mengulang pelanggaran yang telah
dilakukannya, karena ia akan selalu ingat dan takut kepada Allah.
Dalam ayat ini Allah juga menegaskan dua hal, pertama; Hanya Allah lah tempat memohon
ampunan, karena hanya Allah juga yang mampu memberi ampunan. Kedua; ayat ini
menunjukkan batapa Maha Pemaaf dan Pengampunnya Allah.
Untuk mereka yang memenuhi lima kriteria diatas, Allah menjanjikan balasan berupa
ampunan, selamat dari siksaan, mendapat pahala yang besar, dan memperoleh surga yang

sangat luas dan menyenangkan. Itu semua adalah sebaik-baik balasan dan imbalan Allah
terhadap amal yang telah mereka lakukan.
(Isnawati Rais: Dosen IAIN Imam Bonjol)