Sosiologi 007

(1)

Kekerasan Simbolik di Sekolah

OPINI | 21 August 2012 | 14:02 Dibaca: 1161 Komentar: 5 1

Membaca kata pertama judul di atas, saya teringat kejadian pahit yang pernah saya alami. Waktu itu saya masih duduk di sekolah dasar tapi saya lupa di kelas berapa, saat itu pelajaran sedang berlangsung, sedangkan saya yang memang terkenal iseng dan nakal sedang asyik mengobrol dengan teman semeja saya dan mengacuhkan guru yang sedang mengajar di depan kelas. Merasa terganggu dan dirinya tidak dihargai, guru saya tersebut melemparkan penghapus papan tulis, waktu itu sekolah kami masih menggunakan papan tulis hitam dan kapur sebagai alat tulisnya, yang mendarat tepat di atas meja kami. Untungnya tidak mengenai wajah atau tubuh kami, tapi debu kapur yang mengepul sempat membuat kami terbatuk-batuk, dan rasa terkejut yang kami alami membuat kami menjadi kaget dan takut.

Kisah di atas merupakan salah satu contoh kekerasan yang kerap kali terjadi di sebuah institusi bernama “sekolah”. Kekerasan fisik di sekolah tidak hanya dilakukan oleh guru terhadap muridnya, tapi juga oleh murid terhadap gurunya, dan antar sesama murid (senior dan junior). Contoh-contoh kekerasan tersebut sekarang sangat mudah dilihat di televisi karena kekerasan (di sekolah) merupakan tema yang laris “dijual” oleh beberapa produser sinetron di negeri ini. Padahal kekerasan merupakan salah satu kata yang seharusnya tidak boleh terdengar atau bahkan terjadi di lingkungan yang melahirkan manusia-manusia kritis yang berbudi pekerti luhur ini.

Tapi apakah hanya kekerasan yang kasat mata saja yang terjadi di dunia pendidikan kita? Pierre Bourdieu menyebutkan ada bentuk lain dari kekerasan. Dia menyebutnya dengan “la violence symbolique” atau kekerasan simbolik. Sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang

mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini oleh korbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan sebagai suatu kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang harus terjadi.

Lalu seperti apakah bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang terjadi di sekolah? Saya sebagai orang yang pernah dan sedang merasakan pahit dan manisnya bangku sekolah akan mencoba mengulasnya berdasarkan atas apa yang pernah saya alami, baca, dengar, lihat dan renungkan. 1. Seragam

Sebuah pertanyaan yang wajib dilontarkan: masih perlukah seragam sekolah?

Setiap tahunnya, semua orang tua yang ingin atau sedang menyekolahkan anaknya disiksa oleh urusan biaya sekolah. Selain semakin meningkatnya biaya masuk sekolah dan iuran SPP sekolah yang seiring juga dengan meningkatnya tarif dasar listrik dan harga BBM, mereka juga masih harus dipusingkan oleh berbagai keperluan perlengkapan sekolah anak mereka, mulai dari buku, tas, sepatu, hingga seragam sekolah. Perlu diingat bahwa di negeri ini seragam sekolah di setiap


(2)

jenjang pendidikan berbeda, dan akhir-akhir ini tiap sekolah juga mulai memiliki seragam sendiri yang merupakan ciri khas sekolah mereka masing-masing.

Setiap senin, seorang anak yang ingin bersekolah harus mengenakan baju putih, celana merah, dasi, topi, kaos kaki putih dan sepatu hitam, malahan kadang-kadang mereka diharuskan juga memakai ikat pinggang. Lalu setiap hari tertentu, anak tersebut harus menggunakan batik atau pun baju yang khusus untuk hari tersebut yang disesuaikan dengan keputusan masing-masing sekolah. Sebegitu repot dan ruwetnya seorang anak agar bisa dapat duduk di dalam kelas, mendengarkan, “berdiskusi”, dan “berbagi” ilmu pengetahuan bersama guru dan teman-temannya.

Lebih parahnya lagi semua perlengkapan “penyeragaman” di atas kadang dijual langsung oleh pihak sekolah dan apabila ada murid yang tidak “diperlengkapi” dengan sempurna pasti akan dihukum. Belum lagi dengan baju pramuka, baju koko, rok panjang plus jilbab untuk para siswi yang harus dikenakan pada hari jum’at dan baju olah raga. Sekali lagi, sebegitu repotnya seorang anak agar bisa berlari di pagi hari, bermain bola, bersenang-senang sambil menyehatkan

tubuhnya bersama teman-temannya.

Bila kita menengok ke belakang, awal mula penyeragaman pakaian sekolah oleh pemerintah adalah untuk memupuk kebanggaan nasional. Tapi pada kenyataannya kebijakan tersebut harus menyiksa masyarakat miskin di negeri ini. Sebagai catatan orang miskin di Indonesia berjumlah sekitar 52 juta orang (data Badan Pusat Statistik tahun 2005). Jumlah yang tidak sedikit.

Untuk makan setiap hari, bayar kontrakan, bayar listrik, bayar ini-itu, dan bayar SPP saja sudah sangat memberatkan mereka, apalagi jika ditambah untuk beli seragam. Untuk mereka yang kaya mungkin itu bukan masalah tapi bagi masyarakat miskin itu menjadi sebuah masalah besar. Beberapa mitos yang diyakini kebenarannya oleh khalayak umum bahwa dengan berseragam akan tercipta rasa persatuan dan kesatuan di antara para siswa, membentuk kerapian,

menampakkan keindahan, dan menciptakan kedisiplinan siswa. Dan jika seragam dihapuskan akan tercipta gap yang besar antara yang miskin dan yang kaya.

Sebuah pemikiran yang keliru. Bukankah kerapian, keindahan, dan disiplin dapat juga tercipta dengan menggunakan baju bebas? Dan bukankah tujuan kita sekolah adalah untuk sadar akan keadaan diri kita sendiri dan mengetahui realitas yang ada di masyarakat, bahwa ada yang miskin dan ada yang kaya, bahwa perbedaan itu pasti ada dan itu hal yang lazim terjadi dalam suatu masyarakat yang majemuk, dan bahwa kita harus menghargai segala perbedaan yang ada. Lihat apa yang Tan Malaka lakukan waktu dia mendirikan sekolahnya. Dia tidak ingin ada tukang kebun di sekolahnya karena dia ingin anak-anak sekolah belajar bagaimana menjadi rakyat sebenarnya (rakyat yang masih dalam ketertindasan).

Jadi program penghapusan seragam harus didukung karena sudah tidak berguna lagi, karena hal tersebut telah membuat anak tidak menyadari dirinya sendiri. Seragam hanya digunakan untuk memotong akses bagi orang miskin mendapatkan pendidikannya. Seragam telah menjadi salah satu kekerasan simbolik yang menjadikan murid sebagai korbannya.


(3)

2. Dominasi yang dilakukan guru 2.1 Hukuman

Guru, sadar atau tanpa disadari, merupakan salah satu pelaku kekerasan simbolik di sekolah. Seperti saya pernah utarakan kalau sebagian besar dari tulisan ini merupakan pengalaman saya sebagai pelajar, maka saya ingin memberikan satu kisah lagi yang sampai saat ini masih saya ingat.

Saya, dulu dan masih sampai sekarang, dikenal sebagai orang yang tidak bisa diam, baik mulut maupun tangan dan kaki selalu ingin bergerak. Untuk ukuran guru, saya mungkin dianggap sebagai anak yang nakal dan selalu mengganggu saat jam pelajaran dan tak jarang saya dihukum untuk itu. Pernah saya dihukum karena tidak mengerjakan PR atau mengobrol di kelas. Saya disuruh untuk menulis: “Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi” di kertas sebanyak empat halaman lalu harus ditandatangani oleh orang tua saya. Untung bagi saya karena saya hanya disuruh menulis di atas kertas. Teman saya pernah disuruh melakukan hal yang sama hanya saja dia harus rela melakukannya di depan kelas, di papan tulis.

Ada juga teman saya yang harus rela berdiri di depan kelas dengan tangan kanan memegang telinga kiri dan ditambah berdiri dengan satu kaki sampai jam pelajaran habis hanya karena tidak mengerjakan PR.

Pernah juga teman-teman saya disuruh untuk berlari keliling lapangan dan ada juga yang disuruh untuk menghormat ke arah bendera merah-putih selama satu jam karena melakukan kesalahan (terlambat atau tidak memakai seragam dengan lengkap) saat upacara bendera. Hukuman

tersebut dilakukan setelah upacara bendera, di bawah teriknya sinar matahari, di tengah lapangan upacara dan disaksikan oleh ratusan murid lainnya.

Guru-guru hanya suka memberi hukuman tanpa menanyakan dulu ada apa di balik kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa-siswanya. Dan mereka juga tidak sadar akan dampak (psikologis) apa yang terjadi di balik hukuman yang mereka berikan. Mereka mungkin tidak sadar kalau hukuman seperti dicontohkan di atas dapat mengakibatkan murid mereka menjadi takut, malu, terhina, tidak berdaya, cemas, khawatir, apatis, hilang kepercayaan diri, menutup diri, marah bahkan mendendam yang pada akhirnya akan mengganggu proses kembang anak bahkan mengakibatkan kegagalannya di sekolah.

Saya hanyalah orang awam yang tidak begitu mengerti akan masalah psikologi khususnya psikologi anak, tapi hendaknya para guru mengubah hukuman-hukuman yang selama ini mereka berikan pada anak didik mereka karena hukuman-hukuman yang tidak mendidik itu pada

hakekatnya hanyalah merupakan kekerasan semata. 2.2 Kegiatan Belajar Mengajar

Dalam suatu kuliah dosen saya pernah berkata kalau salah satu penyebab mengapa anak-anak Indonesia kurang kritis dan cenderung untuk diam saat ditanya adalah karena kurangnya


(4)

ditanamkan budaya bertanya oleh guru. Guru di kelas lanjutnya sangat jarang menggunakan kata tanya “mengapa” atau “bagaimana”. Mereka lebih senang bertanya “apa”, “siapa”, dan “kapan” atau memberikan pertanyan yang sudah jelas jawabannya. Siswa tidak dibiasakan untuk

menjawab pertanyaaan dengan berpikir menggunakan akal pikiran mereka. Dan celakanya lagi, tercipta mitos bahwa “lebih baik diam daripada menjawab tapi salah”. Hal tersebut

mengakibatkan timbulnya budaya “diam” di kalangan siswa bahkan mahasiswa.

Kebiasaan guru tersebut salah satunya didorong oleh padatnya kurikulum yang dianut di negeri ini. Jadi kebanyakan guru sibuk mengejar deadline sehingga tidak ingin atau bahkan malas jika ada siswanya yang bertanya macam-macam yang kiranya dapat menyita waktunya.

Di lain pihak guru lebih senang menggunakan kalimat-kalimat perintah; bahwa siswa “harus inilah, itulah, beginilah, begitulah, ndak boleh begitu, jangan seperti itu” dan lain sebagainya. Kalimat-kalimat yang mengharuskan siswa menjadi individu yang patuh, penurut dan tidak bebas dalam bertindak dan berpikir. Kenyataan yang didukung oleh “kekuatan” yang dimiliki oleh guru untuk boleh menghukum siswanya jika tidak mengikuti apa yang dikatakannya. Diakui atau tidak semua hal di atas merupakan suatu kekerasan yang mengekang kebebasan (berpikir dan bertindak), rasa ingin tahu dan kreatifitas anak. Dan dikhawatirkan jika hal tersebut terus dilakukan maka kebebasan, rasa ingin tahu dan kreatifitas tersebut lama kelamaan akan hilang.

Sistem pendidikan kita yang bertujuan untuk membuat murid menjadi patuh, sopan dan pintar sangat diaplikasikan oleh cara mengajar guru di dalam kelas. Guru lalu tentu saja menganggap murid sebagai anak yang bodoh, tidak tahu, tidak bisa dan tidak mengerti apa-apa. Sedangkan mereka menganggap diri mereka sebagai yang mahatahu, yang lebih bisa, dan yang lebih pintar. Pandangan tersebut lalu diterjemahkan sebagai pelegitimasian mereka sebagai penguasa di dalam kelas. Dan itulah mengapa mereka menggunakan istilah “Kegiatan Belajar Mengajar”, yang menjelaskan status murid dan guru. Ada jarak yang lebar antara murid yang belajar dan guru yang memberi pelajaran.

Hal itu pun terlihat dari cara mengajar guru di sini yang seperti mengutip ungkapan Sartre “mengunyahkan” (digestive) atau memberi makan (nutritive) pengetahuan kepada siswa (Siti Murtiningsih, 2004:78). Guru seperti memberi makan di mana pengetahuan-pengetahuan disuapkan kepada siswa-siswanya untuk membuat mereka kenyang. Sebuah konsep yang menurut Paolo Freire sebagai “Konsep Gaya Bank”. Anak-anak menjadi terpasung

kebebasannya, bahkan untuk memilih pelajaran yang mereka suka saja mereka tidak boleh. Semuanya telah diatur dan murid hanya tinggal menurut saja. Murid hanya dipandang sebagai objek dan tidak sebagai subjek. Dan apabila ada murid yang membangkang, mereka sebagai penguasa diberikan keleluasaan untuk menghukum dengan berbagai cara baik fisik dan non fisik seperti apa yang telah utarakan di atas.

Dalam pelaksanaannya guru jarang sekali berdiskusi dengan murid-muridnya, guru lebih sering berceramah di depan kelas. Hal tersebut didukung juga oleh bentuk ruang-ruang kelas yang menjadikan guru sebagai tokoh sentral di dalam kelas. Sekali lagi cara mengajar yang seperti ini


(5)

merupakan suatu kekerasan yang telah membuat hak, kebebasan dalam berpikir dan bertindak, rasa ingin tahu, kreatifitas, dan karakter murid hilang.

Sekarang ini dalam pengajaran sudah dikenal dengan apa yang disebut “L’enseignement sur l’apprenant” atau pengajaran yang ditekankan pada murid. Guru dalam sistem ini hanyalah sebagai fasilitator dimana muridlah yang harus berperan aktif dalam pembelajarannya. Guru harus memberikan otonomi yang sebesar-besarnya kepada murid-muridnya. Otonomi yang berarti pembebasan kepada mereka untuk mencari sumber-sumber belajar lainnya selain dari yang diberikan oleh guru mereka. Otonomi yang membuat guru harus bekerja keras untuk mencari strategi yang terbaik utnuk dapat memberikan latihan-latihan atau tugas-tugas yang dapat merangsang murid-muridnya untuk belajar menurut kesenangan hati mereka. Di sinilah diskusi biasa terjadi; diskusi antara guru dan murid; murid dan murid. Jadi tugas guru hanya membantu dan merangsang murid untuk menemukan strategi belajar mereka masing-masing yang pada akhirnya akan membuat mereka dapat menjadi murid yang mandiri.

Oleh larema itu saya cenderung untuk menggunakan ungkapan “Kegiatan Belajar-Belajar” ketimbang “Kegiatan Belajar Mengajar” karena ungkapan tersebut lebih menggambarkan posisi guru dan murid yang memang sedang dalam proses belajar dan belajar.

3. Dominasi yang dilakukan sekolah dan pemerintah

Pernahkah anda membaca pengumuman yang diberikan sekolah pada setiap menjelang Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS)? Di setiap pengumuman tersebut sekolah memperbolehkan setiap siswa yang telah menyelesaikan administrasi mereka dengan sekolah mengikuti ujian sedangkan yang belum harap segera menyelesaikannya sebelum waktu ujian dimulai. Memang terkadang itu hanya gertakan belaka, tapi itu dapat memberikan dampak psikologis (cemas, khawatir, takut, malu, minder, stress, dan hilang kepercayaan diri) pada murid terlebih lagi mereka yang tergolong miskin sehingga pada akhirnya akan mengganggu

konsentrasi mereka dalam mengerjakan ujian. Kegagalan mengerjakan ujian di negeri ini diartikan sebagai kegagalan mereka mengikuti pendidikan. Sebuah kekerasan yang sepatutnya tidak dilakukan oleh sekolah yang seharusnya menjadi tempat teraman di dunia ini.

Beratnya beban yang diterima seorang murid di Indonesia dikarenakan banyaknya beban pelajaran dan padatnya jam pelajaran yang harus dilalui. Saya ingat dulu waktu sekolah saya selalu membawa tas yang penuh dengan buku pelajaran setiap harinya. Mulai dari pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris sampai Pancasila.

Guru menjadi orang pertama yang dipusingkan karena mereka harus menyelesaikan apa yang sudah tertulis dalam kurikulum dan jika mereka tidak sanggup, mereka akan dicap sebagai guru yang gagal. Jadi mau tidak mau guru hanya menerangkan seadanya saja dan selalu memberikan Pekerjaan Rumah (PR) yang bertumpuk guna mengejar target kurikulum. Pemberian PR yang berlebihan telah membuat anak-anak tidak mempunyai waktu untuk bermain dan menikmati masa kecilnya yang seharusnya diisi dengan senyum dan tawa. Masa kecil mereka yang semestinya bahagia kini hanya diisi dengan kata belajar, belajar dan belajar. PR dan les-les merupakan aktivitas mereka di luar sekolah guna memberikan nilai yang baik di sekolah dan menyenangkan hati kedua orang tua mereka. Menyenangkan hati orang tua karena tidak ada satu


(6)

pun orang tua yang ingin anak mereka gagal di sekolah jadi mereka rela mengorbankan

kebahagiaan masa kecil anak mereka dengan mengirim anak mereka ke tempat-tempat les atau mendatangkan guru-guru les hanya demi kebanggaan semata. Lagi-lagi anak yang menjadi korbannya.

Akhirnya

Saya yakin masih banyak kekerasan simbolik yang terjadi di sekolah yang belum terungkap. Tulisan ini bukan ditujukan untuk mengecilkan peran besar sekolah dan para guru yang telah melahirkan para pemikir hebat di negeri ini, tapi hanya untuk memperlihatkan kalau yang mereka lakukan selama ini salah dan untuk meminta supaya terjadi perubahan agar di kemudian hari pendidikan kita dapat lebih maju.

Membayangkan asyiknya bersekolah di sekolahnya Totto-chan pastilah sangat menyenangkan. Setiap pagi kita bisa memilih pelajaran apa yang kita suka. Bertemu guru-guru yang mau meladeni segala permintaan dan pertanyaan aneh semua muridnya. Berenang tanpa sehelai pakaian, hanya untuk menunjukkan perbedaaan antar sesama murid dan belajar menghargai kekurangan yang dimiliki orang lain. Bagi saya itu adalah gambaran sekolah yang selama ini tidak pernah saya temui dalam hidup saya. Sekolah di mana tidak ada satu pun kekerasan di dalamnya.


(7)

kekerasan simbolik di sekolah

diposting oleh sufyan-ahamad-fisip11 pada 01 February 2013 di isuisu sosial politik - 0 komentar

Kekerasan Simbolik di Sekolah

Membaca kata pertama judul di atas, saya teringat kejadian pahit yang pernah saya alami. Waktu itu saya masih duduk di sekolah dasar tapi saya lupa di kelas berapa, saat itu pelajaran sedang berlangsung, sedangkan saya yang memang terkenal iseng dan nakal sedang asyik mengobrol dengan teman semeja saya dan mengacuhkan guru yang sedang mengajar di depan kelas. Merasa terganggu dan dirinya tidak dihargai, guru saya tersebut melemparkan penghapus papan tulis, waktu itu sekolah kami masih menggunakan papan tulis hitam dan kapur sebagai alat tulisnya, yang mendarat tepat di atas meja kami. Untungnya tidak mengenai wajah atau tubuh kami, tapi debu kapur yang mengepul sempat membuat kami terbatuk-batuk, dan rasa terkejut yang kami alami membuat kami menjadi kaget dan takut.

Kisah di atas merupakan salah satu contoh kekerasan yang kerap kali terjadi di sebuah institusi bernama “sekolah”. Kekerasan fisik di sekolah tidak hanya dilakukan oleh guru terhadap muridnya, tapi juga oleh murid terhadap gurunya, dan antar sesama murid (senior dan junior). Contoh-contoh kekerasan tersebut sekarang sangat mudah dilihat di televisi karena kekerasan (di sekolah) merupakan tema yang laris “dijual” oleh beberapa produser sinetron di negeri ini. Padahal kekerasan merupakan salah satu kata yang seharusnya tidak boleh terdengar atau bahkan terjadi di lingkungan yang melahirkan manusia-manusia kritis yang berbudi pekerti luhur ini. Tapi apakah hanya kekerasan yang kasat mata saja yang terjadi di dunia pendidikan kita? Pierre Bourdieu menyebutkan ada bentuk lain dari kekerasan. Dia menyebutnya dengan “la violence symbolique” atau kekerasan simbolik. Sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang

mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini oleh korbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan sebagai suatu kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang harus terjadi.

Lalu seperti apakah bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang terjadi di sekolah? Saya sebagai orang yang pernah dan sedang merasakan pahit dan manisnya bangku sekolah akan mencoba mengulasnya berdasarkan atas apa yang pernah saya alami, baca, dengar, lihat dan renungkan. 1. Seragam

Sebuah pertanyaan yang wajib dilontarkan: masih perlukah seragam sekolah?

Setiap tahunnya, semua orang tua yang ingin atau sedang menyekolahkan anaknya disiksa oleh urusan biaya sekolah. Selain semakin meningkatnya biaya masuk sekolah dan iuran SPP sekolah yang seiring juga dengan meningkatnya tarif dasar listrik dan harga BBM, mereka juga masih


(8)

harus dipusingkan oleh berbagai keperluan perlengkapan sekolah anak mereka, mulai dari buku, tas, sepatu, hingga seragam sekolah. Perlu diingat bahwa di negeri ini seragam sekolah di setiap jenjang pendidikan berbeda, dan akhir-akhir ini tiap sekolah juga mulai memiliki seragam sendiri yang merupakan ciri khas sekolah mereka masing-masing.

Setiap senin, seorang anak yang ingin bersekolah harus mengenakan baju putih, celana merah, dasi, topi, kaos kaki putih dan sepatu hitam, malahan kadang-kadang mereka diharuskan juga memakai ikat pinggang. Lalu setiap hari tertentu, anak tersebut harus menggunakan batik atau pun baju yang khusus untuk hari tersebut yang disesuaikan dengan keputusan masing-masing sekolah. Sebegitu repot dan ruwetnya seorang anak agar bisa dapat duduk di dalam kelas, mendengarkan, “berdiskusi”, dan “berbagi” ilmu pengetahuan bersama guru dan teman-temannya.

Lebih parahnya lagi semua perlengkapan “penyeragaman” di atas kadang dijual langsung oleh pihak sekolah dan apabila ada murid yang tidak “diperlengkapi” dengan sempurna pasti akan dihukum. Belum lagi dengan baju pramuka, baju koko, rok panjang plus jilbab untuk para siswi yang harus dikenakan pada hari jum’at dan baju olah raga. Sekali lagi, sebegitu repotnya seorang anak agar bisa berlari di pagi hari, bermain bola, bersenang-senang sambil menyehatkan

tubuhnya bersama teman-temannya.

Bila kita menengok ke belakang, awal mula penyeragaman pakaian sekolah oleh pemerintah adalah untuk memupuk kebanggaan nasional. Tapi pada kenyataannya kebijakan tersebut harus menyiksa masyarakat miskin di negeri ini. Sebagai catatan orang miskin di Indonesia berjumlah sekitar 52 juta orang (data Badan Pusat Statistik tahun 2005). Jumlah yang tidak sedikit.

Untuk makan setiap hari, bayar kontrakan, bayar listrik, bayar ini-itu, dan bayar SPP saja sudah sangat memberatkan mereka, apalagi jika ditambah untuk beli seragam. Untuk mereka yang kaya mungkin itu bukan masalah tapi bagi masyarakat miskin itu menjadi sebuah masalah besar. Beberapa mitos yang diyakini kebenarannya oleh khalayak umum bahwa dengan berseragam akan tercipta rasa persatuan dan kesatuan di antara para siswa, membentuk kerapian,

menampakkan keindahan, dan menciptakan kedisiplinan siswa. Dan jika seragam dihapuskan akan tercipta gap yang besar antara yang miskin dan yang kaya.

Sebuah pemikiran yang keliru. Bukankah kerapian, keindahan, dan disiplin dapat juga tercipta dengan menggunakan baju bebas? Dan bukankah tujuan kita sekolah adalah untuk sadar akan keadaan diri kita sendiri dan mengetahui realitas yang ada di masyarakat, bahwa ada yang miskin dan ada yang kaya, bahwa perbedaan itu pasti ada dan itu hal yang lazim terjadi dalam suatu masyarakat yang majemuk, dan bahwa kita harus menghargai segala perbedaan yang ada. Lihat apa yang Tan Malaka lakukan waktu dia mendirikan sekolahnya. Dia tidak ingin ada tukang kebun di sekolahnya karena dia ingin anak-anak sekolah belajar bagaimana menjadi rakyat sebenarnya (rakyat yang masih dalam ketertindasan).

Jadi program penghapusan seragam harus didukung karena sudah tidak berguna lagi, karena hal tersebut telah membuat anak tidak menyadari dirinya sendiri. Seragam hanya digunakan untuk


(9)

memotong akses bagi orang miskin mendapatkan pendidikannya. Seragam telah menjadi salah satu kekerasan simbolik yang menjadikan murid sebagai korbannya.

2. Dominasi yang dilakukan guru 2.1 Hukuman

Guru, sadar atau tanpa disadari, merupakan salah satu pelaku kekerasan simbolik di sekolah. Seperti saya pernah utarakan kalau sebagian besar dari tulisan ini merupakan pengalaman saya sebagai pelajar, maka saya ingin memberikan satu kisah lagi yang sampai saat ini masih saya ingat.

Saya, dulu dan masih sampai sekarang, dikenal sebagai orang yang tidak bisa diam, baik mulut maupun tangan dan kaki selalu ingin bergerak. Untuk ukuran guru, saya mungkin dianggap sebagai anak yang nakal dan selalu mengganggu saat jam pelajaran dan tak jarang saya dihukum untuk itu. Pernah saya dihukum karena tidak mengerjakan PR atau mengobrol di kelas. Saya disuruh untuk menulis: “Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi” di kertas sebanyak empat halaman lalu harus ditandatangani oleh orang tua saya. Untung bagi saya karena saya hanya disuruh menulis di atas kertas. Teman saya pernah disuruh melakukan hal yang sama hanya saja dia harus rela melakukannya di depan kelas, di papan tulis.

Ada juga teman saya yang harus rela berdiri di depan kelas dengan tangan kanan memegang telinga kiri dan ditambah berdiri dengan satu kaki sampai jam pelajaran habis hanya karena tidak mengerjakan PR.

Pernah juga teman-teman saya disuruh untuk berlari keliling lapangan dan ada juga yang disuruh untuk menghormat ke arah bendera merah-putih selama satu jam karena melakukan kesalahan (terlambat atau tidak memakai seragam dengan lengkap) saat upacara bendera. Hukuman

tersebut dilakukan setelah upacara bendera, di bawah teriknya sinar matahari, di tengah lapangan upacara dan disaksikan oleh ratusan murid lainnya.

Guru-guru hanya suka memberi hukuman tanpa menanyakan dulu ada apa di balik kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa-siswanya. Dan mereka juga tidak sadar akan dampak (psikologis) apa yang terjadi di balik hukuman yang mereka berikan. Mereka mungkin tidak sadar kalau hukuman seperti dicontohkan di atas dapat mengakibatkan murid mereka menjadi takut, malu, terhina, tidak berdaya, cemas, khawatir, apatis, hilang kepercayaan diri, menutup diri, marah bahkan mendendam yang pada akhirnya akan mengganggu proses kembang anak bahkan mengakibatkan kegagalannya di sekolah.

Saya hanyalah orang awam yang tidak begitu mengerti akan masalah psikologi khususnya psikologi anak, tapi hendaknya para guru mengubah hukuman-hukuman yang selama ini mereka berikan pada anak didik mereka karena hukuman-hukuman yang tidak mendidik itu pada

hakekatnya hanyalah merupakan kekerasan semata. 2.2 Kegiatan Belajar Mengajar


(10)

Dalam suatu kuliah dosen saya pernah berkata kalau salah satu penyebab mengapa anak-anak Indonesia kurang kritis dan cenderung untuk diam saat ditanya adalah karena kurangnya

ditanamkan budaya bertanya oleh guru. Guru di kelas lanjutnya sangat jarang menggunakan kata tanya “mengapa” atau “bagaimana”. Mereka lebih senang bertanya “apa”, “siapa”, dan “kapan” atau memberikan pertanyan yang sudah jelas jawabannya. Siswa tidak dibiasakan untuk

menjawab pertanyaaan dengan berpikir menggunakan akal pikiran mereka. Dan celakanya lagi, tercipta mitos bahwa “lebih baik diam daripada menjawab tapi salah”. Hal tersebut

mengakibatkan timbulnya budaya “diam” di kalangan siswa bahkan mahasiswa.

Kebiasaan guru tersebut salah satunya didorong oleh padatnya kurikulum yang dianut di negeri ini. Jadi kebanyakan guru sibuk mengejar deadline sehingga tidak ingin atau bahkan malas jika ada siswanya yang bertanya macam-macam yang kiranya dapat menyita waktunya.

Di lain pihak guru lebih senang menggunakan kalimat-kalimat perintah; bahwa siswa “harus inilah, itulah, beginilah, begitulah, ndak boleh begitu, jangan seperti itu” dan lain sebagainya. Kalimat-kalimat yang mengharuskan siswa menjadi individu yang patuh, penurut dan tidak bebas dalam bertindak dan berpikir. Kenyataan yang didukung oleh “kekuatan” yang dimiliki oleh guru untuk boleh menghukum siswanya jika tidak mengikuti apa yang dikatakannya. Diakui atau tidak semua hal di atas merupakan suatu kekerasan yang mengekang kebebasan (berpikir dan bertindak), rasa ingin tahu dan kreatifitas anak. Dan dikhawatirkan jika hal tersebut terus dilakukan maka kebebasan, rasa ingin tahu dan kreatifitas tersebut lama kelamaan akan hilang.

Sistem pendidikan kita yang bertujuan untuk membuat murid menjadi patuh, sopan dan pintar sangat diaplikasikan oleh cara mengajar guru di dalam kelas. Guru lalu tentu saja menganggap murid sebagai anak yang bodoh, tidak tahu, tidak bisa dan tidak mengerti apa-apa. Sedangkan mereka menganggap diri mereka sebagai yang mahatahu, yang lebih bisa, dan yang lebih pintar. Pandangan tersebut lalu diterjemahkan sebagai pelegitimasian mereka sebagai penguasa di dalam kelas. Dan itulah mengapa mereka menggunakan istilah “Kegiatan Belajar Mengajar”, yang menjelaskan status murid dan guru. Ada jarak yang lebar antara murid yang belajar dan guru yang memberi pelajaran.

Hal itu pun terlihat dari cara mengajar guru di sini yang seperti mengutip ungkapan Sartre “mengunyahkan” (digestive) atau memberi makan (nutritive) pengetahuan kepada siswa (Siti Murtiningsih, 2004:78). Guru seperti memberi makan di mana pengetahuan-pengetahuan disuapkan kepada siswa-siswanya untuk membuat mereka kenyang. Sebuah konsep yang menurut Paolo Freire sebagai “Konsep Gaya Bank”. Anak-anak menjadi terpasung

kebebasannya, bahkan untuk memilih pelajaran yang mereka suka saja mereka tidak boleh. Semuanya telah diatur dan murid hanya tinggal menurut saja. Murid hanya dipandang sebagai objek dan tidak sebagai subjek. Dan apabila ada murid yang membangkang, mereka sebagai penguasa diberikan keleluasaan untuk menghukum dengan berbagai cara baik fisik dan non fisik seperti apa yang telah utarakan di atas.


(11)

berceramah di depan kelas. Hal tersebut didukung juga oleh bentuk ruang-ruang kelas yang menjadikan guru sebagai tokoh sentral di dalam kelas. Sekali lagi cara mengajar yang seperti ini merupakan suatu kekerasan yang telah membuat hak, kebebasan dalam berpikir dan bertindak, rasa ingin tahu, kreatifitas, dan karakter murid hilang.

Sekarang ini dalam pengajaran sudah dikenal dengan apa yang disebut “L’enseignement sur l’apprenant” atau pengajaran yang ditekankan pada murid. Guru dalam sistem ini hanyalah sebagai fasilitator dimana muridlah yang harus berperan aktif dalam pembelajarannya. Guru harus memberikan otonomi yang sebesar-besarnya kepada murid-muridnya. Otonomi yang berarti pembebasan kepada mereka untuk mencari sumber-sumber belajar lainnya selain dari yang diberikan oleh guru mereka. Otonomi yang membuat guru harus bekerja keras untuk mencari strategi yang terbaik utnuk dapat memberikan latihan-latihan atau tugas-tugas yang dapat merangsang murid-muridnya untuk belajar menurut kesenangan hati mereka. Di sinilah diskusi biasa terjadi; diskusi antara guru dan murid; murid dan murid. Jadi tugas guru hanya membantu dan merangsang murid untuk menemukan strategi belajar mereka masing-masing yang pada akhirnya akan membuat mereka dapat menjadi murid yang mandiri.

Oleh larema itu saya cenderung untuk menggunakan ungkapan “Kegiatan Belajar-Belajar” ketimbang “Kegiatan Belajar Mengajar” karena ungkapan tersebut lebih menggambarkan posisi guru dan murid yang memang sedang dalam proses belajar dan belajar.

3. Dominasi yang dilakukan sekolah dan pemerintah

Pernahkah anda membaca pengumuman yang diberikan sekolah pada setiap menjelang Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS)? Di setiap pengumuman tersebut sekolah memperbolehkan setiap siswa yang telah menyelesaikan administrasi mereka dengan sekolah mengikuti ujian sedangkan yang belum harap segera menyelesaikannya sebelum waktu ujian dimulai. Memang terkadang itu hanya gertakan belaka, tapi itu dapat memberikan dampak psikologis (cemas, khawatir, takut, malu, minder, stress, dan hilang kepercayaan diri) pada murid terlebih lagi mereka yang tergolong miskin sehingga pada akhirnya akan mengganggu

konsentrasi mereka dalam mengerjakan ujian. Kegagalan mengerjakan ujian di negeri ini diartikan sebagai kegagalan mereka mengikuti pendidikan. Sebuah kekerasan yang sepatutnya tidak dilakukan oleh sekolah yang seharusnya menjadi tempat teraman di dunia ini.

Beratnya beban yang diterima seorang murid di Indonesia dikarenakan banyaknya beban pelajaran dan padatnya jam pelajaran yang harus dilalui. Saya ingat dulu waktu sekolah saya selalu membawa tas yang penuh dengan buku pelajaran setiap harinya. Mulai dari pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris sampai Pancasila.

Guru menjadi orang pertama yang dipusingkan karena mereka harus menyelesaikan apa yang sudah tertulis dalam kurikulum dan jika mereka tidak sanggup, mereka akan dicap sebagai guru yang gagal. Jadi mau tidak mau guru hanya menerangkan seadanya saja dan selalu memberikan Pekerjaan Rumah (PR) yang bertumpuk guna mengejar target kurikulum. Pemberian PR yang berlebihan telah membuat anak-anak tidak mempunyai waktu untuk bermain dan menikmati masa kecilnya yang seharusnya diisi dengan senyum dan tawa. Masa kecil mereka yang semestinya bahagia kini hanya diisi dengan kata belajar, belajar dan belajar. PR dan les-les


(12)

merupakan aktivitas mereka di luar sekolah guna memberikan nilai yang baik di sekolah dan menyenangkan hati kedua orang tua mereka. Menyenangkan hati orang tua karena tidak ada satu pun orang tua yang ingin anak mereka gagal di sekolah jadi mereka rela mengorbankan

kebahagiaan masa kecil anak mereka dengan mengirim anak mereka ke tempat-tempat les atau mendatangkan guru-guru les hanya demi kebanggaan semata. Lagi-lagi anak yang menjadi korbannya.

Akhirnya

Saya yakin masih banyak kekerasan simbolik yang terjadi di sekolah yang belum terungkap. Tulisan ini bukan ditujukan untuk mengecilkan peran besar sekolah dan para guru yang telah melahirkan para pemikir hebat di negeri ini, tapi hanya untuk memperlihatkan kalau yang mereka lakukan selama ini salah dan untuk meminta supaya terjadi perubahan agar di kemudian hari pendidikan kita dapat lebih maju.

Membayangkan asyiknya bersekolah di sekolahnya Totto-chan pastilah sangat menyenangkan. Setiap pagi kita bisa memilih pelajaran apa yang kita suka. Bertemu guru-guru yang mau meladeni segala permintaan dan pertanyaan aneh semua muridnya. Berenang tanpa sehelai pakaian, hanya untuk menunjukkan perbedaaan antar sesama murid dan belajar menghargai kekurangan yang dimiliki orang lain. Bagi saya itu adalah gambaran sekolah yang selama ini tidak pernah saya temui dalam hidup saya. Sekolah di mana tidak ada satu pun kekerasan di dalamnya.

Harun Kristiawan Referensi

Murtiningsih, Siti. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book


(13)

Kekerasan Simbolik Pendidikan Kita

Oleh: Arif Nur Ridwan

Aksi menolak Kurikulum 2013 yang dilakukan Aliansi Revolusi Pendidikan Indonesia Koleksi: Merdeka.com | 2013

Maraknya perkelahian pelajar yang terjadi seolah menjadi cerminan dari budaya kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat kita. Siswa yang semestinya membawa buku dan tas, kini punya alat pendidikan baru berbentuk celurit, golok dan pedang. Guru yang seharusnya menjadi figur orangtua di sekolah berubah menjadi sipir penjara yang tidak segan-segan memukul siswa jika tidak mengerjakan tugas atau tidak mengikuti perintah guru. Masa Pengenalan Akademik berubah menjadi Masa Kekerasan Fisik, yang dilakukan Senior terhadap Junior. Inikah realita pendidikan kita yang sebenarnya terjadi? Pendidikan yang penuh dengan budaya kekerasan di


(14)

dalamnya. Namun, bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik saja yang terjadi di dalam pendidikan kita.Terjadi bentuk kekerasan lain yang apa di sebut oleh Pierre Bourdieu, seorang tokoh Sosiologi Pendidikan Perancis sebagai “Kekerasan Simbolik”. Kekerasan ini dengan sifat-nya yang sangat halus dan tidak terlihat justru menjadi kekerasan yang lebih berbahaya dari kekerasan fisik yang terlihat.

Pierre Bourdieu dan Kekerasan Simbolik

Pierre Bourdieu (1930-2002) adalah seorang pemikir pendidikan sekaligus sosiolog dari Perancis. Bourdieu dikenal oleh para pendidik atas penjelasannya mengenai bagaimana kelompok sosial yang terdidik (kelompok atau kelas profesional) menggunakan modal kebudayaan (culture capital) sebagai strategi untuk mempertahankan atau mendapatkan status dan kehormatan dalam masyarakat.

Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting dalam ide teoritis Bourdieu. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor lain tersebut. Kekerasan ini bahkan tidak dirasakan sebagai sebuah bentuk kekerasan sehingga dapat berjalan efektif dalam praktik dominasi sosial karena kekerasan ini tidak bersifat fisik seperti kekerasan yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang dilakukan secara paksa untuk mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan atau disadari sebagai sebuah paksaaan. Kekerasaan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut Bourdieu


(15)

dapat dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus-menerus.

Ada dua cara untuk melakukan kekerasan simbolik. Pertama, Eufisme yang artinya membentuk konsep ini menjadi tidak nampak dan bekerja secara halus dapat berupa kepercayaan, kesetiaan, dan utang. Kedua, Sensorisasi yang artinya membentuk konsep ini sebagai sesuatu yang dianggap nilai bersama seperti pemberian makna “keadilan” antara orang kaya dengan orang miskin.

Sekolah Sebagai Arena Terjadinya Kekerasan Simbolik

Pendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi. Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut oleh Illich sebagai hidden curriculum, sekolah mempengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan.

Misalnya, sekolah-sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi lebih, sehingga mampu membayar dan ikut les tambahan. Selain dari kebijakan atau peraturan sekolah, terjadi kekerasan budaya yang lebih besar sifatnya dan justru berasal dari pemerintah melalui Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang dibagikan dan digunakan oleh banyak sekolah sebagai media pembelajaran pendidikan kita. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Nanang Martono dan sudah diterbitkan menjadi sebuah buku pada tahun 2012 yang berjudul “Kekerasan Simbolik di Sekolah”, menunjukan hasil yang memprihatinkan dimana 85% terdapat kekerasan simbolik di


(16)

dalam Buku Sekolah Elektronik pada tingkat Sekolah Dasar (SD) baik secara bahasa maupun secara gambar.

Kelas Dominan Sebagai Subjek

Kekerasan simbolik terjadi di dalam kelas melalui buku-buku ajar yang mereka baca dan gunakan. Tanpa sadar, siswa kelas bawah menjadi korban dominasi, korban penindasan kelas atas secara simbolis. Seringkali mereka (siswa kelas bawah) tidak sadar ketika mereka sebenarnya hanya menjadi objek, menjadi bahan tontonan dan hiburan, menjadi bahan olokan atau ejekan dan menjadi objek belas kasihan kelas dominan. Penggunaan bahasa sebagai kekerasan simbolik dan dominasi kelas atas di dalam BSE tingkat SD terlihat dari penggunaan kata-kata yang terkandung di dalam buku tersebut. Nanang Martono didalam penelitiannya menyebutkan bahwa BSE Bahasa Indonesia dan IPS kelas 1 menggunakan istilah yang menyimbolkan kelas atas seperti misalnya kata “mama” untuk memanggil sosok ibu, kata “papa” untuk sosok ayah, “eyang putri” untuk menyebut nenek dan “eyang kakung” untuk menyebut kakek, yang pada umumnya lebih banyak digunakan oleh keluarga dari kalangan atas daripada kelas bawah.

Selain itu juga, bentuk dominasi kelas atas tercermin dari ilustrasi aktivitas yang menjadi contoh dan diceritakan dalam BSE. Kegiatan/aktivitas yang menjadi contoh dalam BSE terutama Bahasa Indonesia kelas 1 SD sebagian besar adalah kegiatan-kegiatan kelas atas seperti pergi ke pantai Bali, kebun binatang, kebun raya, puncak dan taman hiburan. Walaupun ada kegiatan pergi ke desa tetapi lebih diceritakan desa sebagai tempat yang terpencil, kuno dan tempat orang kota menjadi sebagai subjek yang lebih tinggi dari orang desa.

Selain dari kalimat, bentuk kekerasan simbolik terlihat dari penggunaan gambar-gambar di dalam BSE tingkat sekolah dasar. Di dalam BSE Bahasa


(17)

Indonesia, gambar yang tertera 78,3% menggunakan gambar-gambar yang mencerminkan kelas atas dan hanya 21,7% yang menggambarkan kelas bawah. Gambar yang mayoritas digunakan di dalam BSE Bahasa Indonesia seperti: gambar rumah dan denah rumah yang memiliki garasi dan mobil di dalamnya, gambar ruangan dalam yang sehat dan bersih diidentikan dengan adanya sofa, lukisan dinding, vas bunga, televisi, radio, kipas angin, kulkas, meja makan dan ruang belajar yang besar.

Selain itu juga, gambaran mengenai kamar pribadi pun sangat dominasi kelas atas dimana mayoritas menggambarkan mengenai kamar pribadi dengan tempat tidur luas, jendela, meja belajar, dan kasur yang empuk dan nyaman. Buku BSE tersebut mengajarkan bahwa rumah sehat dan bersih harus seperti itu, rumah yang terbaik adalah memiliki garasi dan mobil dan kamar pribadi harus memiliki tempat tidur yang luas beserta perlengkapan lain-nya yang tentu saja ini semua dimiliki oleh kelas atas.

Lalu, dimana anak petani, anak tukang becak, dan anak pemulung berada? Mungkin jawaban-nya adalah mereka “mereka berada di luar sana, jauh dari sekolah ini” atau “mereka tidak mungkin berada di ruang kelas ini, sehingga tidak perlu di ceritakan”. Kehidupan orang miskin seolah-olah hanya di gambarkan sebagai sebuah hiburan, tontonan, bahan cerita, dan bahan puisi. Kehidupan mereka hanyalah pelengkap dan penghias saja sebagai cerminan bahwa mereka malas, udik, kampungan, dan terpencil. kekerasan simbolik ini yang sehari-hari menghajar dan meracuni siswa habis-habisan tanpa kita sadari. Di tengah kita mempeributkan kekerasaan fisik dan kerusakan moral yang di lakukan oleh para pelajar, sudah kita mempeributkan atau setidaknya mempermasalahkan kerusakan bahan dan materi pembelajaran yang sehari-hari masuk dan di jejalkan oleh instansi pendidikan kedalam pikiran para pelajar kita?


(18)

Jakarta, 29 September 2014 Arif Nur Ridwan Mahasiswa Sejarah 2011


(1)

Kekerasan Simbolik Pendidikan Kita

Oleh: Arif Nur Ridwan

Aksi menolak Kurikulum 2013 yang dilakukan Aliansi Revolusi Pendidikan Indonesia Koleksi: Merdeka.com | 2013 Maraknya perkelahian pelajar yang terjadi seolah menjadi cerminan dari budaya kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat kita. Siswa yang semestinya membawa buku dan tas, kini punya alat pendidikan baru berbentuk celurit, golok dan pedang. Guru yang seharusnya menjadi figur orangtua di sekolah berubah menjadi sipir penjara yang tidak segan-segan memukul siswa jika tidak mengerjakan tugas atau tidak mengikuti perintah guru. Masa Pengenalan Akademik berubah menjadi Masa Kekerasan Fisik, yang dilakukan Senior terhadap Junior. Inikah realita pendidikan kita yang sebenarnya terjadi? Pendidikan yang penuh dengan budaya kekerasan di


(2)

dalamnya. Namun, bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik saja yang terjadi di dalam pendidikan kita.Terjadi bentuk kekerasan lain yang apa di sebut oleh Pierre Bourdieu, seorang tokoh Sosiologi Pendidikan Perancis sebagai “Kekerasan Simbolik”. Kekerasan ini dengan sifat-nya yang sangat halus dan tidak terlihat justru menjadi kekerasan yang lebih berbahaya dari kekerasan fisik yang terlihat.

Pierre Bourdieu dan Kekerasan Simbolik

Pierre Bourdieu (1930-2002) adalah seorang pemikir pendidikan sekaligus sosiolog dari Perancis. Bourdieu dikenal oleh para pendidik atas penjelasannya mengenai bagaimana kelompok sosial yang terdidik (kelompok atau kelas profesional) menggunakan modal kebudayaan (culture capital) sebagai strategi untuk mempertahankan atau mendapatkan status dan kehormatan dalam masyarakat.

Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting dalam ide teoritis Bourdieu. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor lain tersebut. Kekerasan ini bahkan tidak dirasakan sebagai sebuah bentuk kekerasan sehingga dapat berjalan efektif dalam praktik dominasi sosial karena kekerasan ini tidak bersifat fisik seperti kekerasan yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang dilakukan secara paksa untuk mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan atau disadari sebagai sebuah paksaaan. Kekerasaan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut Bourdieu


(3)

dapat dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus-menerus.

Ada dua cara untuk melakukan kekerasan simbolik. Pertama, Eufisme yang artinya membentuk konsep ini menjadi tidak nampak dan bekerja secara halus dapat berupa kepercayaan, kesetiaan, dan utang. Kedua, Sensorisasi yang artinya membentuk konsep ini sebagai sesuatu yang dianggap nilai bersama seperti pemberian makna “keadilan” antara orang kaya dengan orang miskin.

Sekolah Sebagai Arena Terjadinya Kekerasan Simbolik

Pendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi. Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut oleh Illich sebagai hidden curriculum, sekolah mempengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan.

Misalnya, sekolah-sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi lebih, sehingga mampu membayar dan ikut les tambahan. Selain dari kebijakan atau peraturan sekolah, terjadi kekerasan budaya yang lebih besar sifatnya dan justru berasal dari pemerintah melalui Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang dibagikan dan digunakan oleh banyak sekolah sebagai media pembelajaran pendidikan kita. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Nanang Martono dan sudah diterbitkan menjadi sebuah buku pada tahun 2012 yang berjudul “Kekerasan Simbolik di Sekolah”, menunjukan hasil yang memprihatinkan dimana 85% terdapat kekerasan simbolik di


(4)

dalam Buku Sekolah Elektronik pada tingkat Sekolah Dasar (SD) baik secara bahasa maupun secara gambar.

Kelas Dominan Sebagai Subjek

Kekerasan simbolik terjadi di dalam kelas melalui buku-buku ajar yang mereka baca dan gunakan. Tanpa sadar, siswa kelas bawah menjadi korban dominasi, korban penindasan kelas atas secara simbolis. Seringkali mereka (siswa kelas bawah) tidak sadar ketika mereka sebenarnya hanya menjadi objek, menjadi bahan tontonan dan hiburan, menjadi bahan olokan atau ejekan dan menjadi objek belas kasihan kelas dominan. Penggunaan bahasa sebagai kekerasan simbolik dan dominasi kelas atas di dalam BSE tingkat SD terlihat dari penggunaan kata-kata yang terkandung di dalam buku tersebut. Nanang Martono didalam penelitiannya menyebutkan bahwa BSE Bahasa Indonesia dan IPS kelas 1 menggunakan istilah yang menyimbolkan kelas atas seperti misalnya kata “mama” untuk memanggil sosok ibu, kata “papa” untuk sosok ayah, “eyang putri” untuk menyebut nenek dan “eyang kakung” untuk menyebut kakek, yang pada umumnya lebih banyak digunakan oleh keluarga dari kalangan atas daripada kelas bawah.

Selain itu juga, bentuk dominasi kelas atas tercermin dari ilustrasi aktivitas yang menjadi contoh dan diceritakan dalam BSE. Kegiatan/aktivitas yang menjadi contoh dalam BSE terutama Bahasa Indonesia kelas 1 SD sebagian besar adalah kegiatan-kegiatan kelas atas seperti pergi ke pantai Bali, kebun binatang, kebun raya, puncak dan taman hiburan. Walaupun ada kegiatan pergi ke desa tetapi lebih diceritakan desa sebagai tempat yang terpencil, kuno dan tempat orang kota menjadi sebagai subjek yang lebih tinggi dari orang desa.

Selain dari kalimat, bentuk kekerasan simbolik terlihat dari penggunaan gambar-gambar di dalam BSE tingkat sekolah dasar. Di dalam BSE Bahasa


(5)

Indonesia, gambar yang tertera 78,3% menggunakan gambar-gambar yang mencerminkan kelas atas dan hanya 21,7% yang menggambarkan kelas bawah. Gambar yang mayoritas digunakan di dalam BSE Bahasa Indonesia seperti: gambar rumah dan denah rumah yang memiliki garasi dan mobil di dalamnya, gambar ruangan dalam yang sehat dan bersih diidentikan dengan adanya sofa, lukisan dinding, vas bunga, televisi, radio, kipas angin, kulkas, meja makan dan ruang belajar yang besar.

Selain itu juga, gambaran mengenai kamar pribadi pun sangat dominasi kelas atas dimana mayoritas menggambarkan mengenai kamar pribadi dengan tempat tidur luas, jendela, meja belajar, dan kasur yang empuk dan nyaman. Buku BSE tersebut mengajarkan bahwa rumah sehat dan bersih harus seperti itu, rumah yang terbaik adalah memiliki garasi dan mobil dan kamar pribadi harus memiliki tempat tidur yang luas beserta perlengkapan lain-nya yang tentu saja ini semua dimiliki oleh kelas atas.

Lalu, dimana anak petani, anak tukang becak, dan anak pemulung berada? Mungkin jawaban-nya adalah mereka “mereka berada di luar sana, jauh dari sekolah ini” atau “mereka tidak mungkin berada di ruang kelas ini, sehingga tidak perlu di ceritakan”. Kehidupan orang miskin seolah-olah hanya di gambarkan sebagai sebuah hiburan, tontonan, bahan cerita, dan bahan puisi. Kehidupan mereka hanyalah pelengkap dan penghias saja sebagai cerminan bahwa mereka malas, udik, kampungan, dan terpencil. kekerasan simbolik ini yang sehari-hari menghajar dan meracuni siswa habis-habisan tanpa kita sadari. Di tengah kita mempeributkan kekerasaan fisik dan kerusakan moral yang di lakukan oleh para pelajar, sudah kita mempeributkan atau setidaknya mempermasalahkan kerusakan bahan dan materi pembelajaran yang sehari-hari masuk dan di jejalkan oleh instansi pendidikan kedalam pikiran para pelajar kita?


(6)

Jakarta, 29 September 2014 Arif Nur Ridwan Mahasiswa Sejarah 2011