C. Ngronggo dan Sembir: Gambaran Masyarakat Marginal
Melihat media massa tak lagi mampu lagi untuk menjadi sarana bagi masyarakat maka riset  aksi  ini  berupaya  untuk  menemukan  media  alternatif  yang  lebih  berpihak  kepada
masyarakat. Dikatakan demikian karena terbukti bahwa media mainstream lebih mendukung kepentingan  pemilik  modal.  Media  lebih  pada  sarana  bisnis  atau  sarana  kepentingan  untuk
mencapai  harapan  pemilik  modal.  Kondisi  ini  tentu  membuat  media  tidak  lagi  dapat menjalankan fungsinya sebagai kontrol pemerintah atau stakeholder yang tidak berpihak pada
masyarakat.  Independensi  media  terutama  dalam  hal  konten  media  tidak  dapat  dianggap sebagai kebenaran, karena media mengedepankan kelompok tertentu bukan masyarakat.
Istilah  “marginal”  menurut  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia  versi  online  diartikan, berhubungan  dengan  batas  tepi;  tidak  terlalu  menguntungkan  atau  diartikan  berada  di
pinggir.  Pinggir  berarti  tidak  menjadi  subyek  atau  poin  utama  perhatian,  sehingga kecenderungannya  tidak  menjadi  prioritas.  Apabila  masyarakat  atau  lingkungan
“ditempatkan”  sebagai  kelompok  marginal  dapat  diasumsikan  bahwa  kelompok  atau lingkungan  ini  tidak  menjadi  fokus  dalam  berbagai  aspek.  Berbeda  dengan  kondisi  dimana
masyarakat  tidak  ditempatkan  sebagai  kelompok  marginal.  Di  dalam  masyarakat  yang  adil dan  seimbang  tidak  dibutuhkan  lagi  ideologi  karena  semua  orang  akan  memiliki  kesadaran
yang  benar  mengenai  diri  dan  hubungan  sosial  yang  mereka  miliki.  Fiske,  2012:  283. Namun  dalam  kerangka  masyarakat  marginal,  mereka  adalah  kelompok  sasaran  yang  bisa
dimanfaatkan. Penelitian ini memilih Ngronggo dan Sembir sebagai subyek kajian karena masyarakat
ini  adalah  marginal.  Disebut  sebagai  masyarakat  marginal  karena  Ngronggo  adalah  wilayah yang memiliki sekian persoalan karena merupakan wilayah pembuangan sampah atau tempat
pembuangan  sampah  akhir.  Dari  pemetaan  persoalan  di  lapangan  diperoleh  hasil  bahwa masyarakat  di  Ngronggo  bermasalah  dengan  air  bersih.  Sampah  membuat  masyarakat  ini
tidak  dapat  memperoleh  air  bersih  karena  resapan  sampah  akan  mempengaruhi  kualitas  air yang  ada  disana.  Efek  domino  dari  keterbatasan  air  bersih  tersebut,  masyarakat  menjadi
memiliki persoalan kesehatan terutama penyakit kulit. Tidak hanya persoalan kesehatan, dari hasil  wawancara  dengan  ketua  RT  IV  RW  IV  Dusun  Ngronggo,  Kelurahan  Kumpulrejo,
Kecamatan  Argomulyo  lebih  dari  75  persen  masyarakat  di  Ngronggo  menggantungkan hidupnya  dari  sampah.  Mereka  memilah  dan  memilih  sampah  yang  kemudian  mereka
setorkan ke pengepul. Observasi yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa ketika mereka sedang  memilih  dan  memilah  sampah  yang  bisa  disetor,  mereka  sama  sekali  tidak
menggunakan pelindung tangan atau tubuh yang layak, sehingga tidak heran jika masyarakat ini sering kali mengalami penyakit kulit seperti gatal-gatal, dan lebih parahnya lagi, di daerah
ini  tidak  ada  Puskesmas  yang  menangani  persoalan  kesehatan  di  masyarakat  Ngronggo. Faktor  kurangnya  kesejahteraan  mungkin  juga  memicu  persoalan  keamanan.  Ketika  peneliti
melakukan  pengamatan  di  daerah  tersebut,  Yanti  salah  satu  warga  yang  menyaksikan  teater yang sedang digelar sungkan untuk masuk ke tempat duduk yang disediakan, ketika peneliti
bertanya, dia menjawab, “Saya sambil ngamati rumah mbak, soalnya tetangga saya kemaren baru saja ada yang kemalingan.” Dari pernyataan tersebut tampak bahwa faktor keamanan di
daerah  yang  cenderung  tampak  kurang  terang  di  sisi  kanan  kiri  jalan  ini  juga  menjadi persoalan.
Lokasi kedua yang dijadikan lokasi penelitian terkait sosialiasi Pemilu Legislatif 2014 adalah  RW  9  Sarirejo,  Kelurahan  Sidorejo  Lor,  Kecamatan  Sidorejo  atau  yang  terkenal
dengan  daerah  Sembir.  Daerah  ini  awalnya  terkenal  sebagai  daerah  lokalisasi  di  Salatiga, namun  kini  wilayah  ini  merupakan  daerah  yang  oleh  pemerintah  kota  Salatiga  dijadikan
sebagai RW  tersendiri  yaitu  RW  9.  Lokasi  yang  terletak  di  perbatasan  Salatiga  bagian  barat ini memiliki tiga RT. Warga di lingkungan ini menggantungkan hidup mereka melalui usaha
wisata karaoke. Usaha ini memberi peluang, bukan hanya orang di sekitar RW 09 namun juga hampir  kebanyakan  orang-orang  di  luar  Salatiga  maupun  luar  Jawa  Tengah  untuk  menjadi
Pemandu Karaoke atau biasa mereka sebut sebagai PK. Dari data yang diperoleh ada sekitar 288 PK yang berasal dari berbagai wilayah seperti Lampung, Kalimantan, dll. Masyarakat di
daerah  ini  memiliki  persoalan  terutama  persoalan  kesehatan  dan  perizinan.  Perizinan  untuk mendirikan bisnis karaoke atau memperpanjang usaha ini, diakui para pemilik bisnis karaoke
tidak  mudah  didapat.  Selain  itu,  kesehatan  adalah  persoalan  utama  dari  kampung  ini.  Hal tersebut  diungkapkan  oleh  salah  satu  pemandu  karaoke  bahwa  akses  kesehatan  di  daerah ini
tidak  mudah  diperoleh.  Berdasarkan  wawancara  dengan  Ibu  Titik,  Ketua  RW  09, permasalahan  semakin  bertambah  tatkala  dia  seringkali  tidak  diajak  berembug  terkait  usaha
karaoke  di  wilayahnya.  Hal  tersebut  terkait  dengan  pendataan  warga  pendatang  yang seringkali  keluar  masuk  wilayah,  padahal  diungkapkannya  hampir  sebagian  besar  pemilik
utama dari usaha tersebut berada di luar Salatiga, sehingga kontrol sulit dilakukan. Dari dua wilayah yang menjadi sasaran penelitian ini terdapat kesamaan yang menarik
jika  diperhatikan.  Selama  masa  kampanye  pemilihan  calon  legislatif  2014,  dua  wilayah
tersebut  sama  sekali  tidak  dikunjungi  oleh  satupun  calon  legislatif  dari  partai  apapun.  Dua wilayah  ini  seolah  bukan  wilayah  yang  dianggap  penting  oleh  calon  wakil  rakyat  yang
seharusnya lebih memperhatikan mereka karena masyarakat di wilayah ini memiliki persoalan yang lebih pelik dibanding dengan wilayah yang lain. “Wah, disini adem-adem aja ek mbak,
ga ada caleg yang datang kesini untuk sosialisasi pemilu,” ungkap Abdullah, seorang security yang  bekerja  di  RW  09  Sarirejo.  Hal  tersebut  senada  dengan  yang  diungkapkan  oleh  Ketua
RT  IV  Ngronggo.  Bahkan  ketika  peneliti  menanyakan  bagaimana  ada  berbagai  papan spanduk dan bendera partai berjajar di wilayah tersebut. Mereka senada pula mengungkapkan
bahwa, “Ya, tiba-tiba paginya ada saja gambar itu, kapan masangnya, saya juga tidak tahu.” Ketika  ditanya  lagi  apakah  mereka  tidak  meminta  izin,  mereka  bilang  bahwa  bahwa  di
Ngronggo, tidak ada satupun yang minta izin untuk memasang alat peraga kampanye tersebut. Dari  pernyataan-pernyataan  tersebut  tampak  bahwa  masyarakat  hanya  dianggap  oleh  tim
sukses  atau  calon  legislatif  sebagai  obyek  mati  yang  tak  mampu  diajak  berkomunikasi. Mereka  hanya  bagian  dari  tujuan  para  caleg  untuk  mendapatkan  kursi  di  Dewan,  bukan
subyek yang mereka dengarkan untuk ditampung aspirasinya dan diselesaikan persoalannya.
D. Teater sebagai Media Alternatif