TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT SAHNYA PUTUSAN PEMIDANAAN (Studi Kasus Nomor : 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py)

(1)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT SAHNYA

PUTUSAN PEMIDANAAN

(Studi Kasus Nomor : 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py) Oleh

Rifan Maruli Siregar

Hakim memiliki peran yang paling penting dalam suatu badan peradilan, karena pada dasarnya hakim yang berhak memutus setiap perkara yang sedang berlangsung, dalam melaksanakan tugasnya memutus suatu perkara hakim harus selalu berpegang pada prinsip-prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak. Hakim dalam menjatuhkan putusan perkara pidana wajib memuat suatu syarat formil yang telah ditentukan dalam Pasal 197 Ayat (1) KUHAP, sebab tidak terpenuhinya syarat formil tersebut dapat mengakibatkan putusan hakim menjadi batal demi hukum. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan hukum pidana formil dalam putusan pengadilan tentang syarat sahnya putusan pemidanaan (studi kasus nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py) dan bagaimanakah pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan (studi kasus nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py).

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan, dan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh dengan cara wawancara menggunakan pedoman tertulis terhadap narasumber yang telah ditentukan. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tahun 2015.

Hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa syarat sahnya putusan pemidanaan telah secara jelas diatur dalam Pasal 197 Ayat (2) KUHAP, berdasarkan putusan pemidanaan dalam perkara 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py, diketahui bahwa dalam uraian putusan tersebut tidak memuat ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP, dengan demikian maka diketahui bahwa putusan perkara tersebut tidak memiliki kekuatan eksekusi, meskipun pada tahun 2012 terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


(2)

69/PU-putusannya tidak memuat Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP tidak mengakibatkan putusannya menjadi batal demi hukum, akan tetapi, guna memberikan dasar hukum yang jelas berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi terhadap terdakwa maka sangat penting apabila dalam setiap putusan pemidanaan hakim memuat ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP sebagai bentuk kepastian hukum. Pelaksanaan eksekusi oleh jaksa hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP terhadap putusan yang tidak memenuhi syarat pemidanaan pada dasarnya jaksa akan melakukan upaya hukum banding maupun kasasi guna menguji putusan pengadilan negeri tersebut, hingga sampai pada tahap putusan tersebut benar-benar telah memenuhi syarat pemidanaan dan dapat dilakukan eksekusi oleh jaksa.

Penulis memberikan saran kepada aparat penegak hukum khususnya pada hakim dalam hal memberikan suatu putusan pemidanaan untuk tetap memuat perintah penahanan kepada terdakwa, hal tersebut dimaksudkan agar terhadap putusan yang diberikan hakim benar-benar mencerminkan keadilan dan kepastian hukum. Kata Kunci : Syarat Sah Putusan Pemidanaan


(3)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT SAHNYA

PUTUSAN PEMIDANAAN

(Studi Kasus Nomor: 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py)

Oleh

Rifan Maruli Siregar

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara, pasangan Editor Siregar, S.T. dan Lusia Riana Manalu yang dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 31 Juli 1990. Jenjang pendidikan penulis dimulai pada TK Xaverius I Teluk Betung, Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 1996, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SD Xaverius I Teluk Betung yang diselesaikan pada tahun 2002, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Gunadharma Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2006, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 8 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2009.

Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam persekutuan kampus pada Forum Mahasiswa Hukum Kristen (FORMAHKRIS) serta aktif dalam organisasi eksternal kampus yaitu Gerakan Mahasiwa Kristen Indonesia (GMKI). Pada bulan Januari 2014 penulis melaksanakan KKN di desa Gedung Ratu, Kecamatan Tulang Bawang Udik, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Provinsi Lampung.


(7)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan berkat dan anugerahNya kepadaku

Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, dan hormatku secara tulus kupersembahkan karya kecilku ini kepada :

Ayahku terkasih Bapak Editor Siregar, S.T., Mamaku tercinta Lusia Riana Manalu yang selalu sabar membimbing, mencurahkan kasih sayang dan doa

yang tiada henti setiap saat dan setiap waktu dalam menanti keberhasilanku. Adikku yang ku kasihi Dita Elisa Siregar, Wilson Natanael Siregar yang selalu memberikan semangat, senantiasa mengisi hari-hari dengan penuh canda tawa

serta doa yang tulus demi kesuksesanku.

Serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan berharap demi keberhasilanku dalam meraih cita-cita


(8)

MOTO

“Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi

orang bodoh menghina hikmat dan didikan”

(Amsal 1 : 7)

“Tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan dan tidak ada

kesuksesan tanpa kesulitan”


(9)

SANWACANA

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu melimpahkan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Yang Tidak Memenuhi Syarat Sahnya Putusan Pemidanaan (Studi Kasus Nomor: 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari dalam penyusunan hingga selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan masukan yang diberikan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Heriyandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung serta selaku pembahas I yang telah memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran serta kesabarannya dalam membimbing penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.


(10)

kesabarannya dalam membimbing penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Bapak Muhammad Farid, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang senantiasa memberikan kritik, saran, dan masukannya dalam penulisan skripsi ini. 7. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang telah memberikan nasehat dan bimbingannya selama penulis menjalani proses pendidikan di Universitas Lampung

8. Bapak dan ibu dosen Fakultas Hukum Unversitas Lampung yang telah mencurahkan segenap kesabaran dan kemampuan dalam mendidik penulis selama menjalani masa perkuliahan.

9. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Pak Narto, Mbak Dian, Mbak Yani, Mbak Yanti, Mbak Sri, Kyai Apri, dan karyawan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama menjalani masa perkuliahan.

10. Teristimewa untuk kedua Orang tuaku Ayahanda Editor Siregar, S.T. dan Ibunda Lusia Riana Manalu yang senantiasa mendoakanku, memberikanku motivasi, nasehat serta pengarahan dalam keberhasilanku menyelesaikan studi.

11. Kedua adikku, Dita Elisa Siregar dan Wilson Natanael Siregar yang telah memberikan motivasi, kegembiraan, serta selalu mendoakanku. Semoga kelak kita dapat berhasil dan membanggakan orang tua kita.


(11)

13. Untuk teman seperjuangan Fakultas Hukum Angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Bersama kalian, kulewati saat manis pahit perjalanan ini. Terima kasih atas pertemanan yang terjalin selama ini.

14. Untuk teman-teman Formahkris 2011 Juna Saputra Ginting, Nico Albert Silaban, Grace Donald Silaban, Go Hidayat Sihaloho, Stefanus Lieberto, Dopdon Sinaga, Salamat Sihombing, Yossafat Galang Rakasiwi, Torang Alfontius, David Simanjuntak, Bram Samosir, Daniel Sitanggang, Yonathan Hutagalung, Ferry Damanik, Kurniawan Manulang, Nova Simbolon, Priska Oktaviani Samosir, Johanna Manalu, Ernawati Sihombing, Lasmaida Manik, yang telah memberikan kenangan yang indah selama perkuliahan dan untuk adik-adik Formahkris angkatan 2012, 2013, dan 2014 tetap semangat dalam pelayanannya

15. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata di Desa Gedung Ratu, Kecamatan Tulang Bawang Udik, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Randy Saputra, Rendy Pranatha, Rama Rapina, Retta, Reni, Uti, Tita, Rere, Danisha, terima kasih atas pertemanan yang terjalin selama ini.

16. Alamamaterku tercinta beserta seluruh Mahasiswa Fakultas Hukum Unila Angkatan 2011 “VIVA JUSTICIA”.

17. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(12)

ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Bandar Lampung, 25Februari 2016 Penulis,

Rifan Maruli Siregar


(13)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Hukum Pidana ... 17

B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 21

C. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan ... 27

D. Tinjauan Umum tentang Eksekusi ... 36

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 39

B. Sumber dan Jenis Data ... 40

C. Penentuan Narasumber ... 41

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 42


(14)

A. Penerapan Hukum Pidana Formil dalam Putusan Pengadilan tentang Syarat Sahnya Putusan Pemidanaan

(studi kasus nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py) ... 44 B. Eksekusi terhadap Putusan Pengadilan yang

Tidak Memenuhi Syarat Sahnya Putusan Pemidanaan

(Studi Kasus Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py) ... 68

V. PENUTUP

Simpulan ... 75 Saran ... 77


(15)

I. PENDAHULUAN

- A. Latar Belakang Masalah

Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, sehingga dapat diartikan bahwa Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Konsepsi negara hukum secara konstitusional telah dijelaskan pada rumusan tujuan negara Republik Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke IV, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Hukum merupakan keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah tersebut yang dapat dipaksakan keberlakuannya oleh pemerintah dengan cara penjatuhan suatu sanksi tertentu kepada pelanggarnya. Fungsi hukum itu sendiri adalah untuk mengatur perilaku manusia agar bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku, akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat terkadang terjadi penyimpangan terhadap peraturan-peraturan yang ada, sehingga hal ini dapat menimbulkan


(16)

permasalahan dibidang hukum dan dapat menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan masyarakat.

Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menempatkan masalah hukum pada kedudukan yang sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku di negara kita, dengan demikian hukum di negara kita dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh penguasa ataupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing.

Berkaitan dengan konsep negara hukum, fungsi penegak hukum memiliki peran yang sangat penting karena merupakan bagian dari proses kegiatan hukum itu sendiri, upaya penegakan hukum dapat dimaksudkan sebagai suatu kegiatan yang meliputi pengawasan terhadap penyimpangan hukum, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan, pemidanaan atau penjatuhan pidana oleh hakim, pelaksanaan eksekusi pidana atas putusan hakim, dan kegiatan pemasyarakatan oleh lembaga pemasyarakatan.

Hakim memiliki peran yang paling penting dalam suatu badan peradilan, karena pada dasarnya hakimlah yang berhak memutus setiap perkara yang sedang berlangsung, dalam melaksanakan tugasnya memutus suatu perkara hakim harus selalu berpegang pada prinsip-prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor


(17)

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Hukum acara pidana merupakan sebuah aturan hukum yang dibuat sebagai pedoman dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana, yang di dalamnya memuat aturan tentang bagaimana cara alat-alat perlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh keputusan pengadilan, oleh siapa keputusan pengadilan itu dilaksanakan jika ada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perbuatan pidana.1

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP putusan pengadilan dalam perkara pidana terdiri dari tiga bentuk, yaitu :

a. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP, yaitu pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.

b. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang

1


(18)

didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.

c. Putusan yang mengandung suatu penghukuman terdakwa, Pasal 193 KUHAP yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.

Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 KUHAP, yakni :

(1) Surat putusan pemidanaan memuat :

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;


(19)

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik yang palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

Menurut Yahya Harahap, apabila ditinjau dari segi hukum, pengertian putusan batal demi hukum, berakibat putusan yang dijatuhkan :

1. Dianggap “tidak pernah ada” atau never existed sejak semula;

2. Putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai kekuatan dan akibat hukum; 3. Dengan demikian putusan yang batal demi hukum, sejak semula putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan.2

Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana demi untuk mendapatkan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang tertuang dalam pasal demi pasal yang ada di dalam KUHAP guna menentukan apakah seorang terdakwa terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak dan apabila terbukti bersalah maka seorang terdakwa tersebut dapat dijatuhi pidana atau sebaliknya

2 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan,


(20)

bila tidak terbukti bersalah maka seorang terdakwa harus diputus bebas sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri serta demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam hal penjatuhan putusan pidana oleh majelis hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 KUHAP, diketahui masih terdapat putusan pidana yang tidak sepenuhnya berdasarkan ketentuan Pasal 197 KUHAP tersebut. Salah satu contoh putusan pidana tersebut adalah putusan Pengadilan Negeri Panyabungan Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.py tanggal 23 Maret 2006 atas nama terdakwa Razman Arief Nasution, adapun amar putusan dalam perkara tersebut adalah menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan ringan terhadap Nurkholis Siregar sebagaimana diatur dalam Pasal 352 Ayat (1) KUHP, menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah). Atas putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding, melalui putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan, dengan nomor perkara 331/Pid/2006/PT.Mdn, Razman Arief Nasution dinyatakan bersalah melakukan penganiayaan ringan, dan divonis 3 bulan penjara. Razman Arief Nasution lalu mengajukan kasasi, tetapi melalui putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1260.K/Pid/2009 tanggal 19 januari 2010 memutuskan menolak permohonan kasasi yang diajukan.4

3 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung, Mandar, Maju, 1999, Hlm 15 4


(21)

Berdasaran uraian kasus tersebut, maka diketahui bahwa amar putusan Pengadilan Negeri Panyabungan Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py atas nama terdakwa Razman Arief Nasution tidak memuat perintah penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP, oleh sebab itu maka berdasarkan ketentuan Pasal 197 Ayat (2) KUHAP yang menentukan bahwa “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Penjatuhan putusan sebagaimana dimaksud dalam perkara nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.py perlu untuk dilakukan suatu tinjauan yuridis guna mengetahui syarat sahnya suatu putusan pemidanaan.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka penulis tertarik untuk menganalisis dan menuangkan dalam bentuk tulisan yang berbentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Pengadilan yang Tidak Memenuhi Syarat Sahnya Putusan Pemidanaan (Studi Kasus Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py)”.


(22)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :

a. Bagaimanakah penerapan hukum pidana formil dalam putusan pengadilan tentang syarat sahnya putusan pemidanaan (studi kasus nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py) ?

b. Bagaimanakah eksekusi terhadap putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan (studi kasus nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py) ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dalam penulisan ini dibatasi dalam kajian hukum pidana dan hukum acara pidana, khususnya tentang tinjauan yuridis terhadap putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan. Adapun ruang lingkup kajian dalam penulisan ini adalah dititikberatkan pada mekanisme penjatuhan putusan pidana yang didasarkan pada ketentuan syarat sahnya putusan pidana dalam KUHAP, penelitian ini dilakukan pada tahun 2015.


(23)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. Mengetahui dan memahami secara jelas mengenai penerapan hukum pidana formil dalam putusan pengadilan tentang syarat sahnya putusan pemidanaan.

b. Mengetahui dan memahami pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan.

2. Kegunaan Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan skripsi itu sendiri, penelitian ini mempunyai dua kegunaan yaitu dari sisi teoritis dan praktis, adapun kegunaan keduanya dalam penelitian ini adalah :

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperluas cakrawala serta dapat menjadi bahan referensi dan dapat memberikan masukan-masukan disamping undang-undang dan peraturan perundang-undang-undang-undangan terkait bagi penegak hukum, lembaga pemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan serta masyarakat umumnya atas hasil tinjauan yuridis terhadap putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan.


(24)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran khususnya bagi penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya terutama dalam menangani permasalahan yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan, selain itu sebagai informasi dan pengembangan teori serta tambahan kepustakaan bagi praktisi maupun akademisi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.5

Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa “putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Selanjutnya dalam Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa “penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.

5


(25)

Berkaitan dengan hal tersebut, maka Pasal 197 Ayat (1) KUHAP merumuskan secara rinci dan limitatif tentang isi surat putusan pemidanaan harus memuat :

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. Nama lengkap, tanggal lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus

dan nama panitera.

Selanjutnya dalam Pasal 197 Ayat (2) berisi ancaman pembatalan jika terdapat kelalaian atau kekeliruan tidak mengikuti apa yang ditetapkan dalam Pasal 197 Ayat (1), adapun ketentuan dalam Pasal 197 Ayat (2) berbunyi “Tidak


(26)

dipenuhinya ketentuan dalam Ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini akan mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

Menurut Lilik Mulyadi, pada hakikatnya putusan hakim merupakan :

a. Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum.

Pada konteks ini, putusan yang diucapkan hakim karena jabatannya, artinya hakim diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengadili perkara (Pasal 1 Angka 8 KUHAP). Putusan hakim itu kemudian haruslah diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

b. Putusan dijatuhkan setelah melalui proses atau tahapan-tahapan persidangan dan proses administrasi menurut hukum acara pidana pada umumnya.

Hanya putusan hakim yang melalui proses atau tahapan-tahapan dalam persidangan dan proses administrasi menurut hukum acara pidana pada umumnya saja yang mempunyai kekuatan mengikat dan sah. Pengertian proses atau tahapan persidangan disini, adalah proses hakim dalam menangani perkara pidana, mulai dari tahap menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum, pemeriksaan identitas terdakwa, pembacaan dakwaan, keberatan/eksepsi, putusan sela/tussen vonis, pemeriksan saksi-saksi dan terdakwa kemudian pemeriksaan dinyatakan selesai lalu tuntutan pidana, pembelaan/pledoi, replik, duplik, re-replik, re-duplik, musyawarah hakim dan pembacaan putusan.

Sedangkan untuk proses administrasi dimulai dari tahap proses administrasi pelimpahan perkara, pengagendaan dan pemberian nomor perkara, didaftarkan surat kuasa khusus di kepaniteraan apabila terdakwa didampingi oleh penasehat hukum/advokat dan sampai penetapan mejelis hakim/hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara itu.

c. Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum.

Pada hakikatnya, putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya mempunyai tiga sifat yaitu pemidanaan apabila hakim/pengadilan berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan (Pasal 193 Ayat (1) KUHAP) kemudian putusan bebas apabila hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang


(27)

didakwakan (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP) dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 Ayat (2) KUHAP).

d. Putusan dibuat dalam bentuk tertulis.

Dalam praktik, putusan hakim haruslah dibuat dalam bentuk tertulis. Persyaratan bentuk tertulis ini secara tersirat tercermin dari ketentuan Pasal 200 KUHAP yang menyatakan bahwa surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Jadi sangat jelas apabila dilakukan penandatanganan harus dibuat dalam bentuk tertulis.

e. Putusan hakim tersebut bertujuan untuk menyelesaikan perkara.

Dengan diucapkannya atau dibacakannya putusan hakim di sidang pengadilan maka secara formal perkara tersebut ditingkat Pengadilan Negeri telah selesai. Oleh karena itu, status dan langkah terdakwa pun menjadi jelas apakah menerima putusan, menolak putusan untuk melakukan upaya hukum banding/kasasi atau melakukan grasi. Oleh karena itu, diharapkan putusan hakim mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran agar dapat dipertanggungjawabkan kepada pencari keadilan, ilmu hukum itu sendiri, hati nurani hakim dan masyarakat pada umumnya serta demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6

Pasal 54 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa “pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa”, sejalan dengan ketentuan tersebut, Pasal 270 KUHAP juga menentukan bahwa “pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa yang untuk itu panitera mengirimkan salinan putusan kepadanya”.

6 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung PT.


(28)

Berkaitan dengan penerapan ketentuan-ketentuan pelaksanaan eksekusi agar dapat dilakukan secara tepat tanpa kekeliruan, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :

a) Panitera mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada kepala kejaksaan (Pasal 270 KUHAP).

b) Kepala kejaksaan negeri menunjuk satu atau beberapa orang jaksa untuk melaksanakan eksekusi.

c) Kepala seksi segera meneliti amar putusan.

d) Setelah meneliti, maka kepala seksi yang bersangkutan menyiapkan konsep-konsep surat perintah dan surat-surat panggilan.7

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau diinginkan.8

Kerangka konseptual yang diketengahkan akan dibatasi pada konsepsi pemakaian istilah-istilah dalam penulisan ini yaitu Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Pengadilan yang Tidak Memenuhi Syarat Sahnya Putusan Pemidanaan. Adapun pengertian dari istilah tersebut adalah :

a. Tinjauan adalah pemeriksaan yang teliti, penyelidikan, kegiatan pengumpulan data, pengolahan, analisa, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan.9

7

Laden Marpaung, Proses Penangan Perkara Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm 224

8

Soerjono Soekanto, Op.Cit,hlm 132.

9


(29)

b. Yuridis adalah menurut ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10

c. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.11

d. Pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman atau sanksi terhadap orang yang telah melakukan kejahatan 12

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi, permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang

10

Ibid, Hlm 526

11 Pasal 1 Angka 11 KUHAP 12


(30)

besifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori dan praktek

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah serta uraian tentang sumber-sumber data, pengolahan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan jawaban atas pembahasan dari pokok masalah yang akan dibahas yaitu Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Pengadilan yang Tidak Memenuhi Syarat Sahnya Putusan Pemidanaan.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil dari pokok permasalahan yang diteliti yaitu merupakan kesimpulan dan saran-saran dari penulis yang berhubungan dengan permasalahan yang ada.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Hukum Pidana

Merumuskan hukum pidana kedalam rangakaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah sangat sukar, namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah pengertian dapat membantu memberikan gambaran atau deskripsi awal tentang hukum pidana, adapun pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut :

Simons menjelaskan bahwa hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale, adapun rumusan mengenai hukum pidana dalam arti objektif adalah sebagai berikut :

1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;

2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;


(32)

3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut :

1. Dalam arti luas :

Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;

2. Dalam arti sempit :

Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale), dengan kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.13

Adami Chazawi mendefinisikan hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memuat ketentuan-ketentuan tentang :

1. Aturan umum hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana bagi yang melanggar larangan itu;

13


(33)

2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi sipelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka atau terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.14

Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan sanksi, dengan fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan untuk menjamin ketertiban hukum, maka hubungan hukum yang ada dititikberatkan kepada kepentingan umum.

Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh hukum pidana dalam pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan umum, kepentingan masyarakat, hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula dijatuhkannya pidana, disitu bukanlah suatu hubungan koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu

14

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, Hlm 2


(34)

bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk memperhatikan kepentingan rakyat.15

Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik hukum pidana berfungsi :

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut.

Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam, yaitu : a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen)

b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-lijke belangen) c. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen)

2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum.

3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.16

15

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985, hlm,37.

16


(35)

B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar yang diterjemahkan dengan dapat atau boleh, dan feit yang diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri, biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Istilah strafbaar feit atau kadang disebut sebagai delict (delik) diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan berbagai istilah.

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang, dan perbuatan yang bersifat pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum.17

17


(36)

Tindak pidana di bagi menjadi dua bagian yaitu :

a. Tindak pidana materil (materiel delict).

Tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum pidana (straf) dalam hal ini dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu. Inilah yang disebut tindak pidana materiil (materiel delict).

b. Tindak pidana formal (formeel delict).

Apabila perbuatan tindak pidana yang dimaksudkan dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, inilah yang disebut tindak pidana formal (formeel delict).18

Adapun beberapa pengertian tindak pidana dalam arti (strafbaarfeit) menurut pendapat ahli :

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.19

18

Adami Chazawi, Op.Cit, Hlm 126

19


(37)

Wirjono Prodjodikoro menjelaskan hukum pidana materiil dan formiil sebagai berikut :

a. Penunjuk dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana.

b. Penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang menbuatnya dapat di hukum pidana.

c. Penunjuk jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh karena itu merupakan suatu rangkaian yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.20

Pompe menjelaskan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu :

a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.21

20

Laden Marpaung, Op.Cit, Hlm 21

21


(38)

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tinjauan tindak pidana terkait unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu :

a. Sudut Teoritis

Unsur tindak pidana adalah : 1. Perbuatan;

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

b. Sudut Undang-Undang

1. Unsur tingkah laku: mengenai larangan perbuatan.

2. Unsur melawan hukum: suatu sifat tercelanya dan terlarangnya dari satu perbuatan, yang bersumber dari undang-undang dan dapat juga bersumber dari masyarakat.

3. Unsur kesalahan: mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan.

4. Unsur akibat konstitutif: unsur ini terdapat pada tindak pidana materiil (materiel delicten) atau tindak pidana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana, dan tindak pidana dimana akibat merupakan syarat terpidananya pembuat.

5. Unsur keadaan yang menyertai: unsur tindak pidana berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan.


(39)

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana: unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan yaitu tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika ada pengaduan dari yang berhak mengadu.

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana: unsur ini berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materiil. 8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana: unsur keadaan-keadaan

tertentu yang timbul setelah perbuatan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan.

9. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana: unsur kepada siapa rumusan tindak pidana itu ditujukan tersebut, contoh; “barangsiapa” (bij die) atau “setiap orang”.

10. Unsur objek hukum tindak pidana: tindak pidana ini selalu dirumuskan unsur tingkah laku atau perbuatan.

11. Unsur syarat tambahan memperingan pidana: unsur ini berupa unsur pokok yang membentuk tindak pidana, sama dengan unsur syarat tambahan lainnya, seperti unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana. 22

Setiap Tindak Pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang dibagi menjadi 2 macam unsur, yakni unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif.

22

Adami Chazawi, Op. Cit, Hlm 79-80


(40)

Lamintang menjelaskan mengenai unsur-unsur subjektif dan objektif dalam suatu tindak pidana, yaitu :

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana adalah :

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat 1 KUHP.

3) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad , misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

4) Perasaan takut atau vress, antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

1) Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid. 2) Kualitas dari si pelaku.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu sebagai kenyataan.23

23


(41)

C. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan

1. Ketentuan dalam Penjatuhan Putusan Pengadilan

Putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.24 Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut, proses penjatuhan putusan yang dilakukan oleh seorang hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.

Pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berkaitan dengan penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana yang merupakan sesuatu yang sangat penting karena tugas utama dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil. Pembuktian di sidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana, sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan didukung dengan keyakinan hakim.25

Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan yang dinamakan dengan putusan hakim, yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum yang bertujuan untuk

24

M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hlm 326.

25


(42)

mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara. Putusan pemidanaan dapat terjadi apabila majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya.

Secara garis besar, proses penjatuhan putusan oleh hakim ditentukan dalam Pasal 182 KUHAP, yang menentukan bahwa :

(1) a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana;

b. Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir; c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis

dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.

(2) Jika acara tersebut pada Ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.

(3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.

(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan.

(5) Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.

(6) Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :


(43)

a. putusan diambil dengan suara terbanyak;

b. jika ketentuan tersebut (huruf a) tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi

terdakwa.

(7) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.

(8) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.

Proses penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana menurut Moelyatno dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu :

a. Tahap menganalisis perbuatan pidana; b. Tahap menganalisis tanggung jawab pidana; c. Tahap penentuan pemidanaan.26

Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa :

(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

26

Ahmad Rifai ,Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,Jakarta,Sinar Grafika,2010,hlm 96.


(44)

Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :

1. Hak segera menerima atau segera menolak putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

2. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang telah ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) huruf b jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

3. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mangajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

4. Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

5. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding


(45)

dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (196 ayat (3) KUHAP)

Pasal 197 ayat (1) KUHAP menjelaskan tentang adanya formalitas yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat putusan pemidanaan, yang jika tidak terpenuhi maka keputusan tersebut dapat mengakibatkan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah :

a. Kepala putusan berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan terdakwa;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada barang siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus,


(46)

2. Bentuk Putusan Pengadilan

Persidangan perkara pidana mengenal beberapa bentuk putusan pengadilan, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili.

Setelah berkas perkara dilimpahkan oleh kejaksaan, maka ketua pengadilan negeri kemudian mempelajari berkas perkara tersebut untuk menentukan apakah berkas perkara tersebut termasuk ke dalam wewenang pengadilan negeri setempat atau tidak, seandainya ketua pengadilan negeri berpendapat perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya dikarenakan :

1. Tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan; atau

2. Sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau ditahan berada di wilayah pengadilan negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah hukum pengadilan negeri yang lain, sedangkan saksi-saksi yang dipanggil lebih dekat dengan pengadilan negeri tempat dimana tindak pidana dilakukan, dan sebagainya.

Pengadilan negeri yang menerima pelimpahan perkara tersebut, tidak berwenang mengadili. Pengadilan negeri yang lain yang berwenang mengadili, untuk itu pengadilan negeri yang bersangkutan harus menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang dianggap berwenang


(47)

mengadilinya, kemudian pengadilan negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi pernyataan tidak berwenang mengadili. 27

Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasehat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa pengadilan negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut untuk mengadili perkara tersebut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasehat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili.28

b. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum

Surat dakwaan disusun berdasarkan ketentuan Pasal 143 Ayat (2) KUHP yang secara garis besar menentukan bahwa Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

1. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

2. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

27

M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hlm 337

28


(48)

Berdasarkan ketentuan tersebut maka alasan utama untuk membatalkan surat dakwaan demi hukum, apabila surat dakwaan tidak memenuhi unsur yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat surat dakwaan adalah :

Syarat formal :

1. Surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penuntut Umum; 2. Berisi identitas Terdakwa.

Syarat materiil :

Memuat secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan oleh Terdakwa.29

c. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima

Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan Penuntut Umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena :

1) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada; 2) Perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa sudah pernah diadili (nebis in

idem); dan

3) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).30

29

Hari Sasangka, Lily Rosita, Komentar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Bandung, Mandar Maju, 2003, Hlm 174

30


(49)

d. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum

Putusan yang menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP yakni “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Menurut Yahya Harahap, kriteria putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum adalah :

1. Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan;

2. Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan suatu tindak pidana.31

e. Putusan bebas

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum (vrij spraak) atau acquittal, terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan pemidanaan, tegasnya terdakwa tidak ditahan, putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai majelis hakim yang bersangkutan karena :

31


(50)

1. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.

2. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.

Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian maksudnya adalah dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim.32

f. Putusan pemidanaan

Pemidanaan dapat diartikan terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 193 Ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan, jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa.

D. Tinjauan Umum tentang Eksekusi

Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi diatur dalam Pasal 270 KUHAP yang menentukan bahwa “pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Dalam HIR (het herziene

32


(51)

indonesisch reglement) pengertian eksekusi sama dengan pengertian menjalankan putusan, istilah menjalankan putusan mempunyai arti melaksanakan isi putusan pengadilan. Pelaksanaan putusan adalah suatu tindakan paksa dengan kekuatan umum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan atau hakim tidak cukup hanya menyelesaikan perkara dengan menjatuhkan putusan, melainkan putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan.33

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), adapun yang dimaksud memperoleh kekuatan hukum tetap adalah :

a. Apabila baik terdakwa maupun penuntut umum telah menerima putusan. b. Apabila tenggang waktu mengajukan banding telah lewat tanpa dipergunakan

oleh yang berhak.

c. Apabila ada permohonan grasi yang diajukan disertai permohonan penangguhan eksekusi.34

Taufik Makarao menyatakan bahwa tata cara pelaksanaan putusan pengadilan adalah sebagai berikut :

a. Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh jaksa b. Pelaksanaan pidana mati tidak dimuka umum

c. Pidana dijalankan secara berturut-turut

33

Djamanan Samosir, Hukum Acara Perdata, Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata, Nuansa Aulia, Bandung, 2011, hlm 325

34

Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa Bandung, Bandung, 1990, hlm 223


(52)

d. Jangka waktu pembayaran denda satu bulan dapat diperpanjang

e. Barang bukti yang dirampas negara dilelang dan hasilnya dimasukkan ke kas negara

f. Putusan ganti rugi dilakukan secara perdata

g. Biaya perkara dan ganti rugi ditanggung berimbang oleh para terpidana h. Pidana bersyarat diawasi dan dan diamati sungguh-sunguh.35

Penerapan ketentuan pelaksanaan eksekusi agar dapat dilakukan secara tepat tanpa kekeliruan, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Panitera mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada kepala kejaksaan (Pasal 270 KUHAP).

b. Kepala kejaksaan negeri menunjuk satu atau beberapa orang jaksa untuk melaksanakan eksekusi.

c. Kepala seksi segera meneliti amar putusan.

d. Setelah meneliti, maka kepala seksi yang bersangkutan menyiapkan konsep-konsep surat perintah dan surat-surat panggilan.36

35

Taufik Makarao, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 237

36


(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.37

Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat, dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berkenaan dengan permasalahan yaitu mengenai tinjauan yuridis terhadap putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan.

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan masalah dengan menelaah hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, pendapat, sikap yang dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti, digunakan metode wawancara dengan hakim, jaksa, advokat, dan akademisi berkaitan dengan putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan, yang berfungsi sebagai pembantu

37


(54)

dalam menganalisis skripsi ini. Jenis dan sifat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian yang bersifat analisis.

B. Sumber dan Jenis Data

Menurut Soerjono Soekanto, data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber, berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan.38

Data yang dipergunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan melakukan wawancara kepada responden, yaitu Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Advokat pada Kantor Hukum Eko Yuliyanto and Partners, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian, data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2004, hlm 15


(55)

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang sedang diteliti.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu meliputi literatur-literatur, makalah-makalah kamus ensiklopedia, internet.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber dalam penulisan ini sebanyak 4 (empat) orang yaitu :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang 2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang 3. Advokat pada Kantor Hukum Eko Yuliyanto and Partners : 1 Orang 4. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung : 1 Orang


(56)

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, penulis menggunakan prosedur studi lapangan dan studi kepustakaan.

a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mengutip hal-hal yang dianggap penting dan perlu dari beberapa peraturan perundang-undangan, literatur, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Studi lapangan dilakukan dengan cara mengadakan wawancara (interview) dengan responden. Wawancara dilakukan secara langsung dengan mengadakan tanya jawab secara terbuka dan mendalam untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang utuh sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan. Metode wawancara yang digunakan adalah standartisasi interview dimana hal-hal yang akan dipertanyakan telah disiapkan terlebih dahulu (wawancara terbuka). Studi lapangan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.


(57)

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Evaluasi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif yang dilakukan dengan cara menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diteliti, sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu suatu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(58)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Penerapan hukum pidana formil dalam putusan pengadilan tentang syarat sahnya putusan pemidanaan dalam perkara 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py, diketahui bahwa dalam uraian putusan tersebut tidak memuat ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP, dengan demikian maka terdapat satu syarat formil yang tidak dipenuhi oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan huruf l KUHAP, maka Pasal 197 Ayat (2) KUHAP telah menentukan bahwa putusan yang demikian adalah batal demi hukum.

Putusan Pengadilan Negeri Panyabungan Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.py atas nama terdakwa Razman Arief Nasution diputus pada tanggal tanggal 23 Maret 2006, dengan demikian maka berkaitan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PU-X/2012, maka syarat mutlak dalam memaknai Pasal 197 Ayat (2) KUHAP yaitu hanya pada huruf a, b, c, d e, f, h, i, j dan l, dengan demikian maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi


(59)

tersebut tidak membawa akibat hukum apapun dalam putusan Pengadilan Negeri Panyabungan Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.py sebab perkara ini diperiksa dan diputus pada tahun 2006 sedangkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PU-X/2012 terbit pada tahun 2012, maka ketentuan mengenai batal demi hukum yang disebabkan karena tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP masih tetap dianggap sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam membuat surat putusan pemidanaan dikarenakan hal tersebut merupakan kehendak undang-undang sendiri yang menyatakan tidak tepenuhinya maka mengakibatkan batal demi hukum dan kebatalannya bersifat mutlak serta berlaku kepada seluruh tingkat pengadilan.

Dengan demikian maka diketahui bahwa syarat putusan pemidanaan harus memuat segala ketentuan dalam Pasal 197 Ayat (1) KUHAP, penulis juga memandang perlu dalam suatu putusan pemidanaan harus memuat ketentuan mengenai perintah penahanan kepada terdakwa, meskipun setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PU-X/2012 apabila hakim dalam putusannya tidak memuat Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP tidak mengakibatkan putusannya menjadi batal demi hukum, akan tetapi pentingnya memuat ketentuan perintah penahanan adalah sebagai dasar hukum bagi jaksa untuk melakukan eksekusi putusan, disamping itu apabila dalam putusan pemidanaan memuat ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP dapat lebih mencerminkan suatu putusan yang memberikan kepastian hukum.

2. Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan (Studi Kasus Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py),


(60)

diketahui bahwa jaksa hanya dapat melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, dengan demikian maka apabila terdapat suatu putusan pengadilan negeri yang dinilai oleh jaksa penuntut umum sebagai putusan yang tidak memenuhi syarat pemidanaan, tentunya jaksa dapat melakukan upaya hukum banding maupun kasasi guna menguji putusan pengadilan negeri tersebut, hingga sampai pada tahap putusan tersebut benar-benar telah memenuhi syarat pemidanaan dan dapat dilakukan eksekusi oleh jaksa.

B. Saran

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penulis memberikan saran kepada aparat penegak hukum khususnya kepada hakim dalam hal memberikan suatu putusan pemidanaan terhadap terdakwa yang didasarkan pada terpenuhinya seluruh unsur-unsur yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum yang membawa suatu keyakinan bahwa memang benar terdakwalah yang melakukan tindak pidana serta tidak ditemukan unsur pemaaf pada terdakwa, maka hakim wajib untuk memuat perintah penahanan kepada terdakwa, hal tersebut dimaksudkan agar terhadap putusan yang diberikan hakim benar-benar mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea dan Ruben Achmad. 1990. Hukum Acara Pidana. Bandung. Angkasa Bandung.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta. PT Raja Grafindo.

Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. PT. Prenhallindo. Hartanti, Evi. 2009. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta. Sinar Grafika

Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta. Citra Aditya Bakti.

--- dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi Cetakan ke 2. Jakarta. Sinar Grafika

Makarao, Taufik. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta. Ghalia Indonesia.

Marpaung, Leden. 2010. Proses Penangan Perkara Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.

--- 2005. Azas Teori Praktik Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. Moeljatno. 1986. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung PT. Alumni.

Poernomo, Bambang. 1985. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana. Jakarta. PT Raja Grafindo.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta. Sinar Grafika.


(62)

Sasangka, Hari, Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bandung. Mandar Maju

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press.

--- dan Sri Mamuji. 2004. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang. Yayasan Sudarto

Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung. Mandar Maju.

Yahya, M. Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta. Sinar Grafika.

Zainal, A. Abidin Farid, 1995. Hukum Pidana I. Jakarta. Sinar Grafika.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Yasin,Sulchan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. http://news.metrotvnews.com/ diakses pada tanggal 1 April 2015


(1)

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Evaluasi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif yang dilakukan dengan cara menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diteliti, sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu suatu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(2)

75

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Penerapan hukum pidana formil dalam putusan pengadilan tentang syarat sahnya putusan pemidanaan dalam perkara 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py, diketahui bahwa dalam uraian putusan tersebut tidak memuat ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP, dengan demikian maka terdapat satu syarat formil yang tidak dipenuhi oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan huruf l KUHAP, maka Pasal 197 Ayat (2) KUHAP telah menentukan bahwa putusan yang demikian adalah batal demi hukum.

Putusan Pengadilan Negeri Panyabungan Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.py atas nama terdakwa Razman Arief Nasution diputus pada tanggal tanggal 23 Maret 2006, dengan demikian maka berkaitan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PU-X/2012, maka syarat mutlak dalam memaknai Pasal 197 Ayat (2) KUHAP yaitu hanya pada huruf a, b, c, d e, f, h, i, j dan l, dengan demikian maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi


(3)

tersebut tidak membawa akibat hukum apapun dalam putusan Pengadilan Negeri Panyabungan Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.py sebab perkara ini diperiksa dan diputus pada tahun 2006 sedangkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PU-X/2012 terbit pada tahun 2012, maka ketentuan mengenai batal demi hukum yang disebabkan karena tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP masih tetap dianggap sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam membuat surat putusan pemidanaan dikarenakan hal tersebut merupakan kehendak undang-undang sendiri yang menyatakan tidak tepenuhinya maka mengakibatkan batal demi hukum dan kebatalannya bersifat mutlak serta berlaku kepada seluruh tingkat pengadilan.

Dengan demikian maka diketahui bahwa syarat putusan pemidanaan harus memuat segala ketentuan dalam Pasal 197 Ayat (1) KUHAP, penulis juga memandang perlu dalam suatu putusan pemidanaan harus memuat ketentuan mengenai perintah penahanan kepada terdakwa, meskipun setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PU-X/2012 apabila hakim dalam putusannya tidak memuat Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP tidak mengakibatkan putusannya menjadi batal demi hukum, akan tetapi pentingnya memuat ketentuan perintah penahanan adalah sebagai dasar hukum bagi jaksa untuk melakukan eksekusi putusan, disamping itu apabila dalam putusan pemidanaan memuat ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP dapat lebih mencerminkan suatu putusan yang memberikan kepastian hukum.

2. Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sahnya putusan pemidanaan (Studi Kasus Nomor 520/Pid.B/2005/PN.Psp.Py),


(4)

77

diketahui bahwa jaksa hanya dapat melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, dengan demikian maka apabila terdapat suatu putusan pengadilan negeri yang dinilai oleh jaksa penuntut umum sebagai putusan yang tidak memenuhi syarat pemidanaan, tentunya jaksa dapat melakukan upaya hukum banding maupun kasasi guna menguji putusan pengadilan negeri tersebut, hingga sampai pada tahap putusan tersebut benar-benar telah memenuhi syarat pemidanaan dan dapat dilakukan eksekusi oleh jaksa.

B. Saran

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penulis memberikan saran kepada aparat penegak hukum khususnya kepada hakim dalam hal memberikan suatu putusan pemidanaan terhadap terdakwa yang didasarkan pada terpenuhinya seluruh unsur-unsur yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum yang membawa suatu keyakinan bahwa memang benar terdakwalah yang melakukan tindak pidana serta tidak ditemukan unsur pemaaf pada terdakwa, maka hakim wajib untuk memuat perintah penahanan kepada terdakwa, hal tersebut dimaksudkan agar terhadap putusan yang diberikan hakim benar-benar mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea dan Ruben Achmad. 1990. Hukum Acara

Pidana. Bandung. Angkasa Bandung.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta. PT Raja Grafindo.

Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. PT. Prenhallindo. Hartanti, Evi. 2009. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta. Sinar Grafika

Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta. Citra Aditya Bakti.

--- dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi Cetakan ke 2. Jakarta. Sinar Grafika

Makarao, Taufik. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta. Ghalia Indonesia.

Marpaung, Leden. 2010. Proses Penangan Perkara Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.

--- 2005. Azas Teori Praktik Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. Moeljatno. 1986. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan

Permasalahannya. Bandung PT. Alumni.

Poernomo, Bambang. 1985. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana. Jakarta. PT Raja Grafindo.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta. Sinar Grafika.


(6)

Samosir, Djamanan. 2011. Hukum Acara Perdata, Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata. Bandung. Nuansa Aulia.

Sasangka, Hari, Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP). Bandung. Mandar Maju

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press.

--- dan Sri Mamuji. 2004. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang. Yayasan Sudarto

Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung. Mandar Maju.

Yahya, M. Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta. Sinar Grafika.

Zainal, A. Abidin Farid, 1995. Hukum Pidana I. Jakarta. Sinar Grafika.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Yasin,Sulchan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. http://news.metrotvnews.com/ diakses pada tanggal 1 April 2015