PENGARUH KINESIOTAPING TERHADAP KEKUATAN OTOTDORSAL Pengaruh Kinesio Taping Terhadap Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Pada Pasien Kusta Dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah.

(1)

PENGARUH KINESIOTAPING TERHADAP KEKUATAN OTOTDORSAL FLEXOR ANKLEPADA PASIEN KUSTADENGANLESI NERVE

PERONEUSDI UNIT REHABILITASI KUSTA RSUD KELET PROVINSI JAWA TENGAH

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan

Disusun Oleh: ADRYAN ROY NIM : J120 151 091

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017


(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

PENGARUH KINESIO TAPING TERHADAP KEKUATAN OTOT DORSAL FLEXOR ANKLE PADA PASIEN KUSTA DENGAN LESI

NERVE PERONEUSDI UNIT REHABILITASI KUSTA RSUD KELET PROVINSI JAWA TENGAH

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh:

ADRYAN ROY NIM. J120 151 091

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:

Dosen Pembimbing

Umi Budi Rahayu., S.Fis., M.Kes


(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

PENGARUH KINESIO TAPING TERHADAP KEKUATAN OTOT DORSAL FLEXOR ANKLE PADA PASIEN KUSTA DENGAN LESI

NERVE PERONEUSDI UNIT REHABILITASI KUSTA RSUD KELET PROVINSI JAWA TENGAH

Oleh : ADRYAN ROY

J120 151 091

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Jumat, 6 Januari 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan Penguji:

1. Umi Budi Rahayu., S.Fis., M.Kes (………)

2. Dwi Rosella K., S.Fis., M.Fis, Dipl. Cidesco (………)

3. Agus Widodo, S. Fis., M. Fis (………)

Dekan FIK UMS

Dr. Suwaji, M.Kes

NIP/NIDN : 195311231983031002/0023115301


(4)

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggidan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran pernyataan saya di atas, maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

Surakarta, 6 Januari 2017 Penulis

ADRYAN ROY NIM.J120 151 091


(5)

1

PENGARUH KINESIO TAPING TERHADAP KEKUATAN OTOT DORSAL FLEXOR ANKLE PADA PASIEN KUSTA DENGAN LESI

NERVE PERONEUS DI UNIT REHABILITASI KUSTA RSUD KELET PROVINSI JAWA TENGAH UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Abstrak

Latar belakang: Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi dan apabila mengenai nerve peroneus maka cacat yang timbul adalah kelemahan/kelumpuhan otot dorsal flexor ankle.Solusi yang ditawarkan oleh fisioterapi adalah pemasangan

kinesio taping untuk meningkatkan kekuatan otot.Tujuan:

Mengetahui pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal

flexor ankle pada pasien kusta dengan lesi nerve

peroneus.Metode:Quasi experiment dengan desain Pre and post test with control group.Hasil: Data berdistribusi normal dan variansi homogen, uji hipotesis menggunakan Paired sample T-Test kelompok perlakuan (p=0,031< α = 0,05), sedangkan pada kelompok kontrol (p = 0,051 > α = 0,05). Hasil Independent sample T-Test (p = 0,190 > α = 0,05).Kesimpulan: Secara praktik ada pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle pada pasien kusta dengan lesi nerve peroneus. Namun secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan pengaruh kinesio taping dengan kelompok kontrol terhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle.Kata Kunci: Kinesio taping, kekuatan otot, reaksi kusta

Abstracts

Background: Leprosy is a chronic infectious disease caused by Mycobacterium leprae attacking peripheral nerves which reaches nerve peroneus,then it causes weakness/paralysis of dorsal flexor ankle muscle. Solution offered by physiotherapy is a fixing of kinesio taping in order to improve muscle strength. Purpose: to know the effect of kinesio taping on strength of dorsal flexor ankle muscle of leprosy patient with nerve peroneus lesion. Method: quasi-experimental method with pre and post with control group design.Results: Data was normally distributed and homogenous variance. Hypothesis testing using Paired Sample T-Test for treatment group (p=0,031< α = 0,05); in the other hand in control group (p = 0,051 > α = 0,05). Independent Sample T-test obtained p value (p = 1.190 > α=0.05). Conclusion: Practically, kinesio taping has effect on


(6)

2

strength of dorsal flexor ankle muscle of leprosy patient with nerve peroneus lesion. However, statistically the effect of kinesio taping had been not found on strength of dorsal flexor ankle muscle.Key words: Kinesio taping. Leprosy reaction

1. PENDAHULUAN

Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Kandun, 2007).Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 kasus.Jumlah tersebut paling banyak ditemukan di regional Asia Tenggara (termasuk Indonesia dengan jumlah kasus baru 20.032) diikuti Amerika dan Afrika (Aditama, 2012).Salah satu ciri khas kusta adalah timbulnya komplikasi kusta yaitu reaksi, dimana reaksi merupakan suatu periode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (respon selular) atau reaksi antigen antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan pasien (cacat).Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama dan setelah pengobatan (Aditama, 2012).

Proses terjadinya cacat kusta dapat melalui 2 (dua) proses yaitu infiltrasi langsung Mycobacterium leprae ke susunan saraf tepi dan atau kerusakan akibat peradangan saraf (neuritis) melalui reaksi kusta. Manifestasi kerusakan akibat peradangan saraf tepi dapat berupa kerusakan/gangguan fungsi sensorik, motorik dan otonom.Jika kerusakan saraf mengenai nerve peroneus maka cacat yang timbul adalah kelemahan atau kelumpuhan kekuatan otot dorsal flexor ankle.Masalahyang muncul akibat penurunan kekuatan otot dorsal flexor ankle adalah dapat menyebabkan terjadinya jari-jari bengkok dan kemungkinan mutilasi absorbsi (Aditama, 2012).

Kerusakan saraf yang terjadi kurang dari 6 bulan, bila diobati prednison dengan tepat, tidak akan terjadi kerusakan saraf yang permanen (fungsi saraf masih reversible). Bila kerusakan saraf ini sudah terlanjur menjadi cacat permanen maka yang dapat dilakukan adalah upaya pencegahan cacat agar tidak bertambah berat (Aditama, 2012).Salah satu peran fisioterapi pada upaya pencegahan cacat yaitu dengan mencegah cacat tersebut agar tidak bertambah


(7)

3

parah. Menurut PMK No 65 tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi, menjelaskan bahwa salah satu pendekatan fisioterapi muskuloskeletal adalah dengan kinesio taping.Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah lesi nerve peroneus berupa kelemahan atau kelumpuhan kekuatan otot dorsal fleksor ankle adalah pemasangan kinesio taping untuk membantu meningkatkan kekuatan otot.

2. METODE PENELITIAN

Penelitianini telah dilakukan di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah pada bulan Juni sampai Agustus 2016. Penelitian ini menggunakandesain Quasi experiment. Teknik pengambilan sampel yaitupurposive samplingdengan systematic random sampling.Jumlah sampel dalam penelitian ini 19 responden, terdiri dari kelompok intervensi 9 responden dan kelompok kontrol 10 responden.Analisa data menggunakan SPSS, Data berdistribusi normal dan variansi sama atau homogen, maka uji hipotesa menggunakan uji parametricIndependent T-test.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Univariat

Gambaran kekuatan otot dorsal flexor ankle pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Tabel 1.

Gambaran Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontroldi Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah

Juni-Agustus 2016 (n=19) Variabel Kelompok

Rata-rata

Jumlah sampel

SD Kekuatan otot (min-max) Kekuatan otot

Hari ke 1 Intervensi Kontrol 1,22 1,00 9 10 1,302 1,155 0-3 0-3 Hari ke 14 Intervensi

Kontrol 1,67 1,40 9 10 1,581 1,075 0-4 0-3 Hari ke 28 Intervensi

Kontrol 2,33 1,60 9 10 1,414 1,075 0-4 0-3


(8)

4

Tabel 1 menunjukkan bahwa ada peningkatan nilai rata-rata kekuatan otot dorsal flexor ankle pada kedua kelompok pada hari ke 1, hari ke 14 dan hari ke 28 akan tetapi peningkatan pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rata-rata peningkatan kekuatan otot pada kelompok intervensi dimulai dari 1,22 menjadi 1,67 kemudian menjadi 2,33 nilai terendah 0 dan tertinggi 4. Sedangkan pada kelompok kontrol dimulai dari 1,00 menjadi 1,40 kemudian menjadi 1,60 nilai terendah 0 dan tertinggi 3.

Grafik 1

Gambaran Kekuatan Otot Berdasarkan Tipe ReaksiPada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Kusta dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah Juni-Agustus 2016 (n= 19)

Berdasarkan hasil penelitian, jika dilihat dari peningkatan kekuatan otot berdasarkan tipe reaksi baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol menunjukkan bahwa peningkatan kekuatan otot pada reaksi tipe 2 lebih baik dari pada reaksi tipe 1.Peningkatan kekuatan otot pada reaksi tipe 2 kelompok intervensi meningkat pada hari ke 14 dan meningkat tajam pada hari ke 28.Sedangkan peningkatan kekuatan otot pada reaksi tipe 1 kelompok intervensi meningkat pada hari ke 14 namun tidak terjadi peningkatan pada hari ke 28.

Gangguan fungsi saraf dapat terjadi pada reaksi tipe 1 maupun tipe 2.Kecacatan akibat gangguan fungsi saraf yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena.Apakah sensorik, motorik, otonom ataupun kombinasi ketiganya. Gejala reaksi tipe 2 baik pada kulit, saraf, limfonodus dan testis umumnya akan menghilang dalam 10 hari atau lebih dan perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu atau lebih (Aditama, 2012).

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Hari ke 1 Hari ke 14 Hari ke 28

Ra

ta

-ra

ta

ke

kua

ta

n

ot

ot

Tipe 1 (Kontrol) Tipe 2 (Kontrol) Tipe 1 (Intervensi) Tipe 2 (Intervensi)


(9)

5

Pada kelompok intervensi terdapat 3 responden dengan reaksi tipe 1 dan 1 diantaranya tidak mengalami perbaikan kekuatan otot dorsal flexor ankle setelah diberikan pengobatan prednison sesuai skema selama perawatan dan ditambah intervensi kinesio taping. Sedangkan pada kelompok kontrol seluruh responden mengalamai reaksi tipe 2 dan 6 diantaranya tidak mengalami perbaikan kekuatan otot dorsal flexor ankle setelah diberikan pengobatan prednison sesuai skema selama perawatan.Menurut keterangan responden yang tidak mengalami perbaikan kekuatan otot, mereka mengalami reaksi berulang disebabkan stres karena beban fikiran dimana mereka dikucilkan oleh keluarga dan lingkungan serta merasa putus asa dan tidak ada motivasi untuk sembuh.Salah satu manifestasi dari reaksi kusta adalah adanya peradangan pada saraf baik berupa nyeri tekan saraf dan atau gangguan fungsi saraf salah satunya adalah penurunan kekuatan otot. Jika faktor pencetus reaksi masih ada maka perbaikan fungsi saraf yaitu peningkatan kekuatan otot juga akan terhambat.

Hal tersebut sesuai dengan Aditama (2012) yang menyatakan faktor pencetus reaksi tipe 2 adalah stres fisik dan mental.Dimana menurut penelitian Pujiastuti (2014) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara dukungan emosional keluarga dengan stres psikologis pada pasien reaksi kusta.

3.2 Analisis Bivariat

Perbedaan pengaruh kekuatan otot dorsal flexor ankle setelah pemasangan kinesio taping pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol selama perawatan

Tabel 2.

Hasil Analisis Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Setelah Dipasang Kinesio taping Pada Kelompok IntervensiDengan Kelompok Kontrol Selama Perawatan di

Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah Juni-Agustus 2016 (n=19)

Kelompok n Rata-rata selisih

SD 95% CI P

Selisih Intervensi Kontrol

9 10

1.11 0.60

0.782 0.843

0.279; 1.301 0.276; 1.298

0.190

Tabel 2.menunjukkan bahwa nilai p value (p = 0,190 > α = 0,05) artinya Ho diterima, artinya secara statistik tidak ada perbedaan pengaruh kinesio


(10)

6

tapingterhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol selama perawatan.

Berdasarkan hasil penelitian selisih kekuatan otot dorsal flexor ankle secara praktik sebenarnya ada perbedaan pengaruh karena bila dilihat dari nilai rata-rata antara hari ke 1 ke hari ke 28 pada kelompok intervensi didapatkan nilai rata-rata yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Nilai rata-rata selisih peningkatan kekuatan otot pada kelompok intervensi sebesar 1,11 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 0,60.

Grafik 2.

Gambaran Peningkatan Rata-rata Selisih Kekuatan Otot Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Kusta dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah

Juni-Agustus 2016 (n=19)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata kekuatan otot dorsal flexor ankle hari ke 1 pada kelompok intervensi adalah 1,22 kemudian pada hari ke 28 menjadi 2,33 nilai terendah 0 dan tertinggi 4. Sedangkan pada kelompok kontrol nilai rata-rata kekuatan otot dorsal flexor ankle hari ke 1 adalah 1,00 kemudian pada hari ke 28 adalah 1,60 nilai terendah 0 dan tertinggi 3. Rata-rata selisih kekuatan otot dorsal flexor ankle pada kelompok intervensi sebesar 1,11 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 0,60. Terdapat peningkatan nilai rata-rata kekuatan otot dorsal flexor ankle pada hari 1 dan hari ke 28 pada kedua

1.22

1.67

2.33

1

1.4 1.6

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Hari ke 1 Hari ke 14 Hari ke 28

Intervensi Kontrol

Keterangan:

Rata-rata selisih kekuatan otot dari hari 1 ke hari 28 pada: Kelompok intervensi : 1.11

Kelompok kontrol : 0.6

Ra ta -ra ta k ekua ta n ot ot


(11)

7

kelompok tetapi peningkatan pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.Hal tersebut menunjukkan bahwa secara praktik ada perbedaan pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor anklepada pasien kusta dengan lesi nerve peroneus.

Hasil analisis dengan Uji T Test, secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p value (p = 0,190 > α = 0,05) artinya Ho diterima, tidak ada beda pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle pada pasien kusta dengan lesi nerve peroneus.

Kedua kelompok memperoleh perawatan dan tindakan medis yang sama sesuai dengan prosedur rumah sakit tetapi kelompok intervensi ditambah dengan 1 perlakuan yaitu pemasangan kinesio taping.Pada kelompok kontrol tidak diberikan kinesio taping tetapi tetap mendapatkan perawatan dan tindakan medis sesuai prosedur rumah sakit.Hal ini menunjukkan bahwa perawatan yang diterapkan di rumah sakit tempat penelitian telah sesuai standar dan berhasil meningkatkan kekuatan otot dorsal flexor ankle.Beberapa tindakan yang telah diberikan diantaranya pemberian terapi prednison dan monitoring fungsi saraf secara rutin setiap 14 hari.

Kekuatan otot ialah kemampuan otot mengembangkan ketegangan maksimal tanpa memperhatikan faktor waktu (Giriwijoyo et al., 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan otot adalah usia, jenis kelamin, ukuran cross sectional otot, hubungan antara panjang dan tegangan otot pada waktu kontraksi, tipe kontraksi, jenis serabut otot, ketersediaan energi dan aliran darah, kecepatan kontraksi dan motivasi (Lesmana, 2012 dalam skripsi Fitriani, 2015). Salah satu tujuan pemberian intervensi kinesio taping adalah meningkatkan kontraksi otot yang mengalami kelemahan sehingga jika kontraksi otot baik maka kekuatan ototpun akan meningkat (Kase, 2005).

Penurunan kekuatan otot pada pasien kusta merupakan salah satu manifestasi dari reaksi kusta dimana pada saat reaksi kusta terjadi lesi atau kerusakan saraf perifer. Klasifikasi cidera saraf menurut Seddon dibagi menjadi tiga kategori yaitu: tahap 1 (Neuropraxia) terjadi lesi pada saraf berbentuk


(12)

8

penebalan saraf, nyeri, tanpa ada gangguan fungsi gerak, terjadi gangguan sensorik. Tahap 2 (Axonotmesis) dimana pada tahap ini terjadi kerusakan saraf, timbul paralisis tidak lengkap atau paralisis awal termasuk pada otot kelopak mata, otot jari tangan, dan otot kaki. Penting sekali untuk mengenali tahap kerusakan ini karena dengan pengobatan prednisone dengan tepat, tidak akan terjadi kerusakan saraf permanen karena fungsi saraf masih reversible dan tahap 3 (Neurotmesis) terjadi diskontiunitas lengkap saraf, kelumpuhan akan menetap pada stadium ini (Menorca et al., 2013; Putra, 2008; Aditama, 2012).

Kriteria sampel pada penelitian ini yang diambil adalah pasien kusta yang berada di cidera saraf tahap 2 (Axonotmesis) yaitu kerusakan saraf tidak lebih dari 6 bulan.Dalam menentukan tingkat kerusakan saraf peneliti hanya menggunakan dasar keterangan langsung dari responden berdasarkan lamanya gejala yang disadari dan dirasakan oleh responden.Jika responden mengatakan gejala kurang dari 6 bulan maka dimasukkan sebagai sampel penelitian.Bisa jadi sebenarnya gejala kerusakan saraf sudah terjadi sebelumnya (lebih dari 6 bulan) namun responden tidak menyadarinya. Hasil penelitian ini dipengaruhi oleh tipe reaksi dan status RFT akan tetapi dikarenakan jumlah kasus yang sangat jarang peneliti tidak membedakan responden berdasarkan karakteristik responden (usia, tipe reaksi dan status RFT).Sehingga hasil penelitian tidak sesuai dengan hipotesa yang dibangun dikarenakan jumlah sampel yang didapatkan terlalu sedikit dan waktu penelitian yang relatif pendek sehingga hasil yang didapatkan kurang dapat digeneralisasikan.

3.3.Keterbatasan Penelitian:

3.3.1 Sampel dalam penelitian ini relatif sedikit dikarenakan kasus yang jarang ditemui sehingga kesimpulan yang dihasilkan kurang dapat digeneralisasikan untuk sampel yang lebih besar.

3.3.2 Pengukuran kekuatan otot menggunakan MMT (Manual Muscle Test) yang mana tingkat subyektifitasnya cukup tinggi.

3.3.3 Dikarenakan jumlah kasus yang sangat jarang peneliti tidak membedakan responden berdasarkan karakteristik responden (usia, tipe reaksi dan status RFT).


(13)

9

Karakteristik responden tersebut diduga mempengaruhi hasil penelitian sehingga untuk menjadikan karakteristik responden sebagai counfonding factor.

3.3.4 Ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya reaksi kusta yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti yaitu stres mental yang dialami oleh beberapa responden. Dimana stres mental merupakan salah satu faktor pencetus reaksi kusta sehingga jika reaksi kustanya tidak membaik akan berpengaruh terhadap perbaikan kekuatan otot.

3.3.5 Pada penelitian ini dalam menentukan tingkat kerusakan saraf peneliti hanya menggunakan dasar keterangan langsung dari responden berdasarkan lamanya gejala yang disadari dan dirasakan oleh responden.

4. PENUTUP

Berdasarkan keterbatasan penelitian yang dijumpai, penulis merekomendasikan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat:

4.1 Mengembangkan dan melakukan penelitian dengan mengambil sampel dari beberapa Rumah Sakit Kusta di Indonesia, menambahkan jumlah sampel yang lebih representatif agar mampu menghasilkan kesimpulan yang lebih valid. 4.2 Menambah kriteria inklusi tentang pembatasan nilai kekuatan otot minimal yang akan dijadikan responden atau menggunakan alat pengukuran kekuatan otot seperti EMG (Electro Myelo Graphy) sehingga hasil pengukuranya lebih objektif. 4.3 Lebih mengamati karakteristik responden seperti tipe reaksi dan status RFT karena diduga mempengaruhi hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama., TY. (2012). Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit

Kusta.Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Fitriani., D. (2015). Pengaruh Pemberian Latihan Calf Raises Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Gastrocnemius Pada Pemain Bulutangkis Di Sekolah Bulutangkis Pusaka Putih Sukoharjo.Program Studi S1 Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta


(14)

10

Giriwijoyo., S & Sidik., DZ. (2013). Ilmu Faal Olah Raga (Fisiologi Olah Raga). Remaja Rosdakarya. Bandung

Kandun., IN. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit

Kusta.Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Jakarta

Kase., K. (2005). Ilustrated Kinesio Taping Fourth Edition. Of Ken Ikai Co. Ltd. Tokyo

Menorca, RM., Fussell, TS.,& Elfar, JC. (2013). Peripheral Nerve Trauma: Mechanisms of Injury and Recovery. Hand Clin. Vol 3:317-330. doi:10.1016/j.hcl.2013.04.002.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Fisioterapi. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Pujiastuti., D. (2014). Hubungan Dukungan Emosional Keluarga Dengan Stres Psikologis dan Kelelahan Fisik Pada Pasien Reaksi Kusta Di RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah.Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran


(1)

5

Pada kelompok intervensi terdapat 3 responden dengan reaksi tipe 1 dan 1 diantaranya tidak mengalami perbaikan kekuatan otot dorsal flexor ankle setelah diberikan pengobatan prednison sesuai skema selama perawatan dan ditambah intervensi kinesio taping. Sedangkan pada kelompok kontrol seluruh responden mengalamai reaksi tipe 2 dan 6 diantaranya tidak mengalami perbaikan kekuatan otot dorsal flexor ankle setelah diberikan pengobatan prednison sesuai skema selama perawatan.Menurut keterangan responden yang tidak mengalami perbaikan kekuatan otot, mereka mengalami reaksi berulang disebabkan stres karena beban fikiran dimana mereka dikucilkan oleh keluarga dan lingkungan serta merasa putus asa dan tidak ada motivasi untuk sembuh.Salah satu manifestasi dari reaksi kusta adalah adanya peradangan pada saraf baik berupa nyeri tekan saraf dan atau gangguan fungsi saraf salah satunya adalah penurunan kekuatan otot. Jika faktor pencetus reaksi masih ada maka perbaikan fungsi saraf yaitu peningkatan kekuatan otot juga akan terhambat.

Hal tersebut sesuai dengan Aditama (2012) yang menyatakan faktor pencetus reaksi tipe 2 adalah stres fisik dan mental.Dimana menurut penelitian Pujiastuti (2014) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara dukungan emosional keluarga dengan stres psikologis pada pasien reaksi kusta.

3.2 Analisis Bivariat

Perbedaan pengaruh kekuatan otot dorsal flexor ankle setelah pemasangan kinesio taping pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol selama perawatan

Tabel 2.

Hasil Analisis Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Setelah Dipasang Kinesio taping Pada Kelompok IntervensiDengan Kelompok Kontrol Selama Perawatan di

Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah Juni-Agustus 2016 (n=19)

Kelompok n Rata-rata

selisih

SD 95% CI P

Selisih Intervensi Kontrol

9 10

1.11 0.60

0.782 0.843

0.279; 1.301 0.276; 1.298

0.190

Tabel 2.menunjukkan bahwa nilai p value (p = 0,190 > α = 0,05) artinya Ho diterima, artinya secara statistik tidak ada perbedaan pengaruh kinesio


(2)

6

tapingterhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol selama perawatan.

Berdasarkan hasil penelitian selisih kekuatan otot dorsal flexor ankle secara praktik sebenarnya ada perbedaan pengaruh karena bila dilihat dari nilai rata-rata antara hari ke 1 ke hari ke 28 pada kelompok intervensi didapatkan nilai rata-rata yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Nilai rata-rata selisih peningkatan kekuatan otot pada kelompok intervensi sebesar 1,11 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 0,60.

Grafik 2.

Gambaran Peningkatan Rata-rata Selisih Kekuatan Otot Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Kusta dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah

Juni-Agustus 2016 (n=19)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata kekuatan otot dorsal flexor ankle hari ke 1 pada kelompok intervensi adalah 1,22 kemudian pada hari ke 28 menjadi 2,33 nilai terendah 0 dan tertinggi 4. Sedangkan pada kelompok kontrol nilai rata-rata kekuatan otot dorsal flexor ankle hari ke 1 adalah 1,00 kemudian pada hari ke 28 adalah 1,60 nilai terendah 0 dan tertinggi 3. Rata-rata selisih kekuatan otot dorsal flexor ankle pada kelompok intervensi sebesar 1,11 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 0,60. Terdapat peningkatan nilai rata-rata kekuatan otot dorsal flexor ankle pada hari 1 dan hari ke 28 pada kedua

1.22

1.67

2.33

1

1.4 1.6

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Hari ke 1 Hari ke 14 Hari ke 28

Intervensi Kontrol

Keterangan:

Rata-rata selisih kekuatan otot dari hari 1 ke hari 28 pada: Kelompok intervensi : 1.11

Kelompok kontrol : 0.6

Ra

ta

-ra

ta

k

ekua

ta

n ot


(3)

7

kelompok tetapi peningkatan pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.Hal tersebut menunjukkan bahwa secara praktik ada perbedaan pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor anklepada pasien kusta dengan lesi nerve peroneus.

Hasil analisis dengan Uji T Test, secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p value (p = 0,190 > α = 0,05) artinya Ho diterima, tidak ada beda pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle pada pasien kusta dengan lesi nerve peroneus.

Kedua kelompok memperoleh perawatan dan tindakan medis yang sama sesuai dengan prosedur rumah sakit tetapi kelompok intervensi ditambah dengan 1 perlakuan yaitu pemasangan kinesio taping.Pada kelompok kontrol tidak diberikan kinesio taping tetapi tetap mendapatkan perawatan dan tindakan medis sesuai prosedur rumah sakit.Hal ini menunjukkan bahwa perawatan yang diterapkan di rumah sakit tempat penelitian telah sesuai standar dan berhasil meningkatkan kekuatan otot dorsal flexor ankle.Beberapa tindakan yang telah diberikan diantaranya pemberian terapi prednison dan monitoring fungsi saraf secara rutin setiap 14 hari.

Kekuatan otot ialah kemampuan otot mengembangkan ketegangan maksimal tanpa memperhatikan faktor waktu (Giriwijoyo et al., 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan otot adalah usia, jenis kelamin, ukuran cross sectional otot, hubungan antara panjang dan tegangan otot pada waktu kontraksi, tipe kontraksi, jenis serabut otot, ketersediaan energi dan aliran darah, kecepatan kontraksi dan motivasi (Lesmana, 2012 dalam skripsi Fitriani, 2015). Salah satu tujuan pemberian intervensi kinesio taping adalah meningkatkan kontraksi otot yang mengalami kelemahan sehingga jika kontraksi otot baik maka kekuatan ototpun akan meningkat (Kase, 2005).

Penurunan kekuatan otot pada pasien kusta merupakan salah satu manifestasi dari reaksi kusta dimana pada saat reaksi kusta terjadi lesi atau kerusakan saraf perifer. Klasifikasi cidera saraf menurut Seddon dibagi menjadi tiga kategori yaitu: tahap 1 (Neuropraxia) terjadi lesi pada saraf berbentuk


(4)

8

penebalan saraf, nyeri, tanpa ada gangguan fungsi gerak, terjadi gangguan sensorik. Tahap 2 (Axonotmesis) dimana pada tahap ini terjadi kerusakan saraf, timbul paralisis tidak lengkap atau paralisis awal termasuk pada otot kelopak mata, otot jari tangan, dan otot kaki. Penting sekali untuk mengenali tahap kerusakan ini karena dengan pengobatan prednisone dengan tepat, tidak akan terjadi kerusakan saraf permanen karena fungsi saraf masih reversible dan tahap 3 (Neurotmesis) terjadi diskontiunitas lengkap saraf, kelumpuhan akan menetap pada stadium ini (Menorca et al., 2013; Putra, 2008; Aditama, 2012).

Kriteria sampel pada penelitian ini yang diambil adalah pasien kusta yang berada di cidera saraf tahap 2 (Axonotmesis) yaitu kerusakan saraf tidak lebih dari 6 bulan.Dalam menentukan tingkat kerusakan saraf peneliti hanya menggunakan dasar keterangan langsung dari responden berdasarkan lamanya gejala yang disadari dan dirasakan oleh responden.Jika responden mengatakan gejala kurang dari 6 bulan maka dimasukkan sebagai sampel penelitian.Bisa jadi sebenarnya gejala kerusakan saraf sudah terjadi sebelumnya (lebih dari 6 bulan) namun responden tidak menyadarinya. Hasil penelitian ini dipengaruhi oleh tipe reaksi dan status RFT akan tetapi dikarenakan jumlah kasus yang sangat jarang peneliti tidak membedakan responden berdasarkan karakteristik responden (usia, tipe reaksi dan status RFT).Sehingga hasil penelitian tidak sesuai dengan hipotesa yang dibangun dikarenakan jumlah sampel yang didapatkan terlalu sedikit dan waktu penelitian yang relatif pendek sehingga hasil yang didapatkan kurang dapat digeneralisasikan.

3.3.Keterbatasan Penelitian:

3.3.1 Sampel dalam penelitian ini relatif sedikit dikarenakan kasus yang jarang ditemui sehingga kesimpulan yang dihasilkan kurang dapat digeneralisasikan untuk sampel yang lebih besar.

3.3.2 Pengukuran kekuatan otot menggunakan MMT (Manual Muscle Test) yang mana tingkat subyektifitasnya cukup tinggi.

3.3.3 Dikarenakan jumlah kasus yang sangat jarang peneliti tidak membedakan responden berdasarkan karakteristik responden (usia, tipe reaksi dan status RFT).


(5)

9

Karakteristik responden tersebut diduga mempengaruhi hasil penelitian sehingga untuk menjadikan karakteristik responden sebagai counfonding factor.

3.3.4 Ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya reaksi kusta yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti yaitu stres mental yang dialami oleh beberapa responden. Dimana stres mental merupakan salah satu faktor pencetus reaksi kusta sehingga jika reaksi kustanya tidak membaik akan berpengaruh terhadap perbaikan kekuatan otot.

3.3.5 Pada penelitian ini dalam menentukan tingkat kerusakan saraf peneliti hanya menggunakan dasar keterangan langsung dari responden berdasarkan lamanya gejala yang disadari dan dirasakan oleh responden.

4. PENUTUP

Berdasarkan keterbatasan penelitian yang dijumpai, penulis merekomendasikan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat:

4.1 Mengembangkan dan melakukan penelitian dengan mengambil sampel dari beberapa Rumah Sakit Kusta di Indonesia, menambahkan jumlah sampel yang lebih representatif agar mampu menghasilkan kesimpulan yang lebih valid. 4.2 Menambah kriteria inklusi tentang pembatasan nilai kekuatan otot minimal yang akan dijadikan responden atau menggunakan alat pengukuran kekuatan otot seperti EMG (Electro Myelo Graphy) sehingga hasil pengukuranya lebih objektif. 4.3 Lebih mengamati karakteristik responden seperti tipe reaksi dan status RFT karena diduga mempengaruhi hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama., TY. (2012). Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Fitriani., D. (2015). Pengaruh Pemberian Latihan Calf Raises Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Gastrocnemius Pada Pemain Bulutangkis Di Sekolah Bulutangkis Pusaka Putih Sukoharjo.Program Studi S1 Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta


(6)

10

Giriwijoyo., S & Sidik., DZ. (2013). Ilmu Faal Olah Raga (Fisiologi Olah Raga). Remaja Rosdakarya. Bandung

Kandun., IN. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta.Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Jakarta

Kase., K. (2005). Ilustrated Kinesio Taping Fourth Edition. Of Ken Ikai Co. Ltd. Tokyo

Menorca, RM., Fussell, TS.,& Elfar, JC. (2013). Peripheral Nerve Trauma: Mechanisms of Injury and Recovery. Hand Clin. Vol 3:317-330. doi:10.1016/j.hcl.2013.04.002.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Fisioterapi. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Pujiastuti., D. (2014). Hubungan Dukungan Emosional Keluarga Dengan Stres Psikologis dan Kelelahan Fisik Pada Pasien Reaksi Kusta Di RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah.Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN KINESIO TAPING DAN ES TERHADAP PENURUNAN NYERI SPRAIN ANKLE PADA PEMAIN FUTSAL Pengaruh Pemberian Kinesio Taping dan Es Terhadap Penurunan Nyeri Sprain Ankle pada Pemain Futsal.

0 5 11

PENGARUH PEMBERIAN KINESIO TAPING DAN ES TERHADAP PENURUNAN NYERI SPRAIN ANKLE PADA Pengaruh Pemberian Kinesio Taping dan Es Terhadap Penurunan Nyeri Sprain Ankle pada Pemain Futsal.

0 3 14

PENGARUH KINESIO TAPING TERHADAP KEKUATAN OTOT Pengaruh Kinesio Taping Terhadap Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Pada Pasien Kusta Dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah.

0 1 18

PENDAHULUAN Pengaruh Kinesio Taping Terhadap Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Pada Pasien Kusta Dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah.

0 1 7

PENGARUH NEUROMUSCULAR ELECTRICAL STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT DORSALFLEXOR Pengaruh Neuromuscular Electrical Stimulation Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Dorsalflexor Ankle Pada Penderita Stroke.

3 20 14

PENGARUH NEUROMUSCULAR ELECTRICAL STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT DORSALFLEXOR Pengaruh Neuromuscular Electrical Stimulation Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Dorsalflexor Ankle Pada Penderita Stroke.

0 3 15

PENGARUH KINESIO TAPING TERHADAP NYERI Pengaruh Kinesio Taping Terhadap Nyeri Lateral Epicondylitis Pada Koki.

1 8 13

PENGARUH KINESIO TAPING TERHADAP NYERI Pengaruh Kinesio Taping Terhadap Nyeri Lateral Epicondylitis Pada Koki.

0 4 18

Pengaruh Kinesiotaping Terhadap Kekuatan Otot Membrum Inferius Pada Laki-laki Dewasa.

0 0 24

FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL PERAWATAN DIRI MANDIRI MANTAN PENDERITA KUSTA DI REHABILITATION VILLAGE SUMBER TELU UNIT REHABILITAS KUSTA RSUD KELET PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2018 - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

0 0 12