Optimalisasi Katalog Bintang Untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas
OPTIMALISASI KATALOG BINTANG UNTUK NAVIGASI
SIKAP SATELIT MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING
BERBASIS DENSITAS
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimalisasi Katalog
Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis
Densitas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Muhammad Arif Saifudin
G651120684
RINGKASAN
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN. Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi
Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas. Dibimbing oleh
BIB PARUHUM SILALAHI dan IMAS SUKAESIH SITANGGANG.
Membuat katalog bintang yang optimal merupakan hal yang penting dalam
aplikasi sensor bintang. Sensor bintang sebagai sensor navigasi sikap satelit
membutuhkan akurasi serta kecepatan memberikan informasi sikap satelit yang tinggi.
Ukuran katalog yang besar dapat memberikan akurasi yang tinggi namun kecepatan
proses identifikasi bintang menjadi lebih lambat. Akibat kedua faktor tersebut, maka
diperlukan suatu katalog bintang yang optimal. Pada prinsipnya, katalog baru dibuat
dengan cara mengurangi jumlah bintang dari katalog dasar. Teknik sederhana yang
umum digunakan untuk mengurangi jumlah bintang adalah menggunakan Magnitude
Filtering Method (MFM) yaitu mengurangi jumlah bintang dengan caro menapis daftar
bintang berdasarkan nilai magnitudo tertentu yang tergantung pada sensitivitas sensor.
Namun, teknik ini mempunyai kekurangan yaitu bintang dalam katalog tidak
terdistribusi secara merata yang bisa menggagalkan proses identifikasi bintang di setiap
arah bore sight Field of View (FOV). Dalam penelitian ini, diusulkan metode baru untuk
menghasilkan katalog bintang menggunakan metode clustering berbasis densitas yaitu
DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise). Dengan
menggunakan metode clustering berbasis densitas, bintang-bintang pada daerah dengan
densitas tinggi akan teridentifikasi dalam cluster-cluster bintang. Reduksi jumlah
bintang dilakukan dengan menyimpan bintang yang paling terang pada setiap cluster.
Kandidat bintang navigasi dipilih semua bintang paling terang yang tersisa dari hasil
reduksi ditambah dengan semua bintang yang bukan anggota cluster. Simulasi Monte
Carlo dilakukan dengan membangkitkan FOV acak untuk melakukan pengujian
keseragaman katalog baru. Proses identifikasi bintang menggunakan metode segitiga
diterapkan untuk menghitung waktu proses identifikasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa metode clustering menggunakan algoritme DBSCAN menghasilkan katalog
bintang yang optimal yang menghasilkan 840 bintang dengan akurasi 96%. Kesimpulan
yang diperoleh adalah bahwa metode clustering berbasis densitas merupakan metode
yang menjanjikan untuk digunakan dalam memilih bintang navigasi untuk bintang
membuat katalog bintang.
.
Kata kunci: DBSCAN, clustering berbasis densitas, katalog bintang, navigasi sikap
satelit, sensor bintang
SUMMARY
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN. Star Catalog Optimization for Satellite Attitude
Navigation using Density-based Clustering Method. Supervised by BIB
PARUHUM SILALAHI and IMAS SUKAESIH SITANGGANG.
Generating an optimized star catalog are an essential part of the star sensor
application. Star sensor as satellite attitude navigation sensor requires an high accuracy
and high speed of updated information of satellite attitude. The number of stars of the
catalog may affect to star identification process and accuracy of attitude determination
of satellite. Less number of stars might speed up of the identification process, however
the accuracy is getting low. As a result of these two factors, it requires an optimized star
catalog. In principle, the new catalog is generated by reducing the number of stars from
a base catalog. Common simple techniques to reduce the number of star is using
Magnitude Filtering Method (MFM) which is cutting star list based on its particular
magnitude with related to sensor sensitivity. However, the technique has disadvantaged
that is, the stars are not uniformly distributed which could fail of star identification in
any Field of View (FOV) bore sight direction. In this study, a new method to generate
star catalog using density-based clustering namely DBSCAN (Density-based Spatial
Clustering of Application with Noise) is proposed. By using density-based clustering
method, stars in regions with a high density will be identified in clusters of stars.
Reduction of the number of stars is done by storing the brightest star in each cluster.
Navigation star candidates selected all the brightest star was left out of the results
coupled with the reduction of all the stars that are not members of the cluster. Monte
Carlo simulation has performed to generate random FOV to check the uniformity of the
new catalog. Star identification using triangle method has performed to calculate the
time process. The result shows that proposed method produced an optimized star
catalog that has 840 stars with an accuracy of 96%. It concluded that density-based
clustering is a promising method to select navigation star for star catalog generation.
Keywords: DBSCAN, density-based clustering, satellite attitude navigation, star
catalog, star sensor
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
OPTIMALISASI KATALOG BINTANG UNTUK NAVIGASI SIKAP
SATELIT MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING BERBASIS
DENSITAS
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN
G651120684
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : DrEng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT
Judul Tesis : Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan
Metode Clustering Berbasis Densitas
Nama
: Muhammad Arif Saifudin
NRP
: G651120684
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Bib Paruhum Silalahi, MKom
Ketua
Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Komputer
Dekan Sekolah Pascasarjana
DrEng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 7 September 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha
Mendengar dan Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayahNya sehingga penulis dapat meyelesaikan karya tulis ilmiah dalam bentuk tesis ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad Sallallahu ‘Alayhi wa sallam serta seluruh keluarganya, sahabatnya, dan
para pengukutnya sampai akhir zaman.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bib Paruhum Silalahi, MKom
dan Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi, MKom selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman Magister Ilmu Komputer kelas
khusus angkatan XIV yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan semangat.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya dan juga kepada segenap keluarga besar Pusat
Teknologi Satelit LAPAN atas dukungannya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka saran serta
kritik dari semua pihak dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Muhammad Arif Saifudin
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sensor Bintang
Proses Identifikasi Bintang
Katalog Bintang
Algoritme DBSCAN
3 METODOLOGI
Praproses Clustering
Penetapan Katalog Bintang
Pengurutan Berdasarkan Magnitudo
Penapisan Berdasarkan Batasan Magnitudo
Reduksi Jumlah Bintang
Clustering Menggunakan Algoritme DBSCAN
Pembuatan Katalog dan Sub katalog
Simulasi dan Evaluasi
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Praproses Clustering
Pengurutan berdasarkan Magnitudo
Penapisan berdasarkan batasan Magnitudo
Reduksi Jumlah Bintang
Simulasi Monte Carlo
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
i
ii
ii
ii
1
1
2
2
2
3
4
4
6
7
9
14
14
14
15
15
15
15
16
17
20
20
20
21
21
25
29
29
29
30
33
40
DAFTAR TABEL
1 Sensor sikap satelit (Bak 1999)
2 Contoh magnitudo bintang (Sidi 1997)
3 Contoh Katalog SAO dengan Informasi RA, DE, dan Mv
4 Format katalog utama
5 Format sub katalog
6 Data bintang dalam katalog SAO
7 Data bintang dalam katalog SAO setelah diurutkan
8 Katalog awal dengan MFM 6.0 Mv
9 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.1, 0.2, 0.3, dan
0.4
10 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.5, 0.6, 0.7,
0.8, 0.9, dan 1.0
1
8
15
16
16
20
20
21
26
27
DAFTAR GAMBAR
1 Skema model sensor bintang (Analyticon 2002)
2 Sensor bintang
3 Sensor bintang dengan FOV mo x no
4 Sensor bintang dengan FOV do
5 Proses identifikasi bintang (Ho 2012)
6 Distribusi Katalog SAO dengan VMT 6.0
7 Visual Magnitude Threshold terhadap jumlah bintang
8 Directly density-reachability (Ester et al. 1996)
9 Density-reachability (Ester et al. 1996)
10 Cluster DBSCAN (Andrade et al. 2013)
11 Posisi bintang dalam koordinat langit (Escobal 1976)
12 Sudut antara bintang A dan bintang B
13 Metodologi penelitian
14 Ilustrasi clustering DBSCAN pada katalog bintang
15 Diagram alir simulasi
16 Diagram alir proses identifikasi bintang dengan metode poligon segitiga
17 Distribusi bintang dalam katalog awal
18 Contoh cluster dan noise yang terbentuk
19 Bintang ID 669 dan semua noise sebagai kandidat bintang navigasi
20 Grafik pengaruh nilai awal Eps terhadap penurunan jumlah bintang serta
jumlah iterasi
21 Contoh katalog utama
22 Contoh katalog dan sub katalognya
23 Titik pusat FOV acak yang dibangkitkan
24 Grafik akurasi dan waktu proses hasil simulasi
25 Distribusi Katalog dengan 840 Bintang
4
5
5
6
6
8
9
10
10
10
11
12
14
16
18
19
21
22
22
23
24
24
25
28
28
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabel hasil clustering dari setiap nilai Eps awal
34
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Satelit sebagai wahana antariksa secara alamiah akan mengalami dinamika sikap
akibat adanya gangguan yang ada di lingkungan orbitnya yang disebut sebagai torsi
gangguan. Torsi gangguan dapat berasal dari gradien gravitasi bumi dan medan magnet
bumi untuk satelit orbit rendah (Low Earth Orbit/LEO) dengan ketinggian < 1000 km.
Torsi gangguan tersebut yang berinteraksi dengan properti massa atau inersia satelit
dapat menganggu kestabilan sikap satelit. Pada umumnya satelit yang membawa misi
tertentu membutuhkan pengendalian sikap agar misinya tercapai. Misalnya saja satelit
dengan misi penginderaan jauh/observasi bumi (remote sensing) yang harus melakukan
pengendalian ketika kamera mengambil citra bumi, satelit telekomunikasi yang harus
menjaga pointing antena ke area layanannya, satelit navigasi yang harus mengirimkan
sinyal navigasi ke bumi, maupun misi ilmiah. Misi satelit-satelit tersebut tidak akan
terpenuhi jika tidak ada pengetahuan akan dinamika satelit. Penentuan sikap satelit
menjadi salah satu komponen kunci pada hampir semua misi satelit terutama untuk
satelit-satelit yang navigasi dan pengendalian sikapnya dilakukan secara otomatis di
komputer satelit. Pengetahuan akan dinamika satelit membutuhkan komponen sensor
yang berfungsi untuk memberikan informasi orientasi sikap satelit. Pada umumnya,
beberapa sensor sikap satelit yang sering digunakan adalah sensor horizon, sensor
matahari, sensor bintang dan magnetometer seperti yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Sensor sikap satelit (Bak 1999)
Sensor
Akurasi
Sensor horizon
Sensor matahari
Sensor bintang
Magnetometer
0.05o - 1o (LEO)
0.005o – 4o
1 arc sec – 1 arc min
0.5o - 5o
Di antara sensor-sensor sikap satelit tersebut, sensor bintang merupakan sensor
sikap satelit yang paling akurat (Liebe 1995; Li et al. 2005; Jiang et al. 2009; Fortescue
et al. 2011; Mohammadnejad et al. 2012; Miri dan Shiri, 2012). Orientasi sikap satelit
dinyatakan sebagai gerak rotasi satelit relatif dalam ruang tiga dimensi x, y, dan z
terhadap kerangka acuan sumbu bendanya. Untuk mengetahui orientasi sikap satelit
tersebut secara absolut, maka diperlukan sebuah referensi yang bersifat inersial atau
tetap dan referensi ini mengacu pada tata acuan koordinat langit. Posisi bintang dalam
sistem koordinat inersial adalah relatif tetap karena pergesarannya terjadi dalam kurun
waktu yang sangat lama sehingga posisi bintang dapat dijadikan sebagai referensi.
Posisi bintang inilah yang akan ditransformasikan sebagai sikap satelit. Navigasi satelit
dengan meggunakan referensi posisi bintang dilakukan dengan menggunakan sebuah
sensor yang dikenal dengan sensor bintang (star sensor atau star tracker). Komponen
utama sensor bintang adalah kamera optik yang berfungsi untuk menangkap citra
bintang. Sensor bintang membutuhkan referensi sebagai acuan dalam menghitung posisi
bintang. Referensi tersebut berupa basis data bintang atau disebut juga dengan katalog
bintang.
2
Perumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi adalah terdapat berbagai versi katalog bintang seperti
Tycho-2, SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory), USNO (US Naval
Observatory), Hipparchos, Yale, dan lain-lain. Katalog dasar tersebut memuat ribuan
bahkan jutaan data bintang. Untuk tujuan pengenalan pola bintang, katalog dasar
tersebut tidak dapat digunakan secara langsung dan harus dilakukan modifikasi agar
bisa digunakan dalam algoritme pengenalan bintang. Ukuran katalog yang besar
menjadi permasalahan dalam proses pengenalan pola karena proses akan membutuhkan
waktu yang relatif lama sementara kebutuhan penentuan sikap satelit membutuhkan
waktu yang sangat cepat. Terutama jika proses identifikasi bintang dilakukan secara
onboard di satelit, maka membutuhkan memori yang besar dan kecepatan komputasi
yang tinggi di unit elektronik sensor bintang. Sementara memori pada perangkat keras
sensor bintang umumnya memiliki kapasitas yang terbatas serta mikroprosesor yang
sederhana. Jika jumlah bintang dalam katalog dikurangi secara drastis, maka akan
timbul masalah yaitu seberapa akurat proses pengenalan pola bintang yang dihasilkan,
artinya dalam setiap kondisi “lost in space” atau tidak memperoleh informasi sikap
satelit, sensor bintang selalu dapat menemukan pola antara di sensor dengan data di
katalog. Distribusi bintang yang tidak seragam (uniform) menjadi kendala dalam
menentukan daftar bintang dalam katalog. Kepadatan bintang tinggi pada gugus Bima
Sakti sementara rendah pada daerah kutub. Maka dibutuhkan suatu katalog bintang yang
optimal dengan criteria akurasi navigasi satelit tinggi dan waktu proses identifikasi
bintang cepat. Metode yang umum digunakan adalah dengan melakukan penapisan data
bintang berdasarkan nilai magnitudonya. Sebagai contoh, sensor dengan sensitivitas
cahaya bintang dengan nilai magnitudo 6.0, maka katalog yang digunakan hanya akan
memuat data bintang dengan nilai magnitudo maksimal 6.0. Namun metode ini
terkendala dalam distribusi bintang yang tidak merata yang memungkinkan munculnya
“lubang” dalam kondisi FOV tertentu. Akibatnya pada kondisi tersebut, sensor bintang
gagal dalam menemukan pola bintang.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membuat katalog bintang yang optimal,
dengan kriteria akurasi proses identifikasi bintang tinggi dan waktu proses untuk
identifikasi bintang singkat. Kedua hal tersebut akan diperoleh jika distribusi bintang
yang dihasilkan mendekati seragam.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh adalah mengurangi kemungkinan “blind” dari sensor
bintang atau tidak mendapat informasi sikap satelit sehingga meningkatkan probabilitas
proses pengenalan pola serta mempercepat proses pengenalan pola dalam algoritme
identifikasi bintang sehingga jika katalog bintang optimal, maka pengendalian sikap
satelit dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.
3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah mereduksi jumlah bintang dalam katalog bintang
dasar menjadi katalog bintang baru yang optimal dengan metode clustering berbasis
densitas, yaitu DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise.
Katalog baru yang dibuat menggunakan salah satu katalog dasar yang sering digunakan
dalam astronomi, yaitu SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory) dengan waktu
epoch J2000 (1 Januari 2000). Nilai FOV yang akan digunakan sebesar 23o lingkaran.
Evaluasi dilakukan dengan simulasi Monte Carlo untuk membangkitkan FOV acak
dengan sudut jangkauan 23o lingkaran dan metode identifikasi bintang menggunakan
poligon segitiga dengan minimal tiga bintang terdapat dalam FOV.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sensor Bintang
Bintang merupakan referensi optik yang paling akurat untuk menentukan sikap
satelit dengan alasan (1) bintang merupakan acuan yang tetap secara inersial dan (2)
bintang merupakan obyek yang sangat kecil dilihat dari tata surya (Sidi 1997). Sensor
bintang adalah sebuah sensor berupa kamera optik (lensa, sensor deteksi dan baffle)
yang digunakan untuk menangkap citra bintang dan selanjutnya diproses dengan hasil
keluaran posisi bintang. Sensor bintang terdiri atas sebuah fungsi pencitraan, fungsi
deteksi, dan fungsi pemrosesan data Electronic Data Processing Unit (EDPU). Model
skema sensor bintang seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Bintang
Cahaya dari
Bintang
Optik
Prosesor
Detektor
Keluaran
Proses
Gambar 1 Skema model sensor bintang (Analyticon 2002)
Fungsi pencitraan berfungsi untuk menangkap foton dari sebuah obyek dalam
jangkauan Field of View (FOV) sensor dan memusatkannya pada elemen detektor.
Elemen tersebut akan mengubah foton menjadi sinyal listrik untuk selanjutnya diproses
untuk menghasilkan keluaran sensor. Fungsi pemrosesan akan memproses output dari
sensor menjadi parameter yang digunakan dalam proses pengenalan pola bintang. Tipe
detektor yang digunakan umumnya adalah CCD (Couple Charge Device) dan CMOS
(Complementary Metal-Oxide Semiconductor) yang banyak digunakan pada kamera
digital. Contoh sensor bintang yang digunakan dalam satelit LAPAN-TUBSAT
menggunakan sensor dengan detektor CMOS sedangkan dalam satelit LAPAN-A2
menggunakan dua buah sensor bintang dengan detektor CMOS dan CCD. Gambar 2
menunjukkan berbagai sensor bintang yang digunakan untuk satelit.
Setiap sensor bintang mempunyai karakteristik tertentu terutama adalah Field of
View (FOV) yaitu luasan atau cakupan bidang yang dapat dijangkau oleh sensor yang
dipengaruhi oleh ukuran sensor dan panjang fokal (focal length, f) dari lensa. Semakin
besar/luas FOV sensor bintang, maka semakin banyak citra bintang yang ditangkap.
Bentuk FOV dapat berupa kotak persegi yang dinyatakan dalam
(Error!
eference source not found.) dengan m adalah lebar cakupan horizontal dan n adalah lebar
5
cakupan vertikal. Sedangkan FOV dengan cakupan lingkaran sebesar
dengan d adalah diameter cakupan.
Sensor bintang satelit
LAPAN-TUBSAT
Sensor bintang satelit LAPANA2
(Gambar 4)
Sensor bintang buatan
LAPAN
Gambar 2 Sensor bintang
mo
no
Sensor Bintang
Gambar 3 Sensor bintang dengan FOV mo x no
6
do
Sensor Bintang
Gambar 4 Sensor bintang dengan FOV do
Proses Identifikasi Bintang
Pengenalan pola bintang atau biasa disebut juga dengan proses identifikasi
bintang adalah proses bagaimana mengenali citra yang ditangkap oleh sensor tersebut
apakah obyek bintang atau bukan karena di antariksa terdapat berbagai obyek benda
langit yang bertebaran dan mempunyai tampilan visual seperti halnya bintang seperti
planet, meteor dan benda langit lainnya. Untuk mengetahui suatu obyek itu merupakan
bintang atau bukan, maka digunakan sebuah referensi berupa basis data bintang atau
disebut juga katalog bintang. Dalam proses pengenalan pola bintang, terdapat proses
pembandingan antara citra yang ditangkap sensor dengan katalog. Proses inilah yang
sangat menentukan dalam menentukan keberhasilan menentukan posisi bintang.
Gambar 5 Proses identifikasi bintang (Ho 2012)
7
Metode mendapatkan posisi bintang dari sebuah sensor bintang dijelaskan secara
sederhana adalah sebagai berikut. Sensor menangkap citra yang masuk dalam FOV.
Kemudian citra tersebut diekstraksi menjadi data bintang. Langkah berikutnya adalah
melakukan proses identifikasi bintang dari citra kamera dengan cara membandingkan
dengan data dalam katalog bintang. Proses identifikasi bintang berhasil jika citra
bintang identik dengan identitas (ID) bintang tertentu dalam katalog. Jika citra bintang
berhasil diidentifikasi, maka selanjutnya adalah melakukan perhitungan posisinya
berdasarkan data posisi bintang dalam katalog. Posisi bintang yang dihasilkan
diterjemahkan sebagai arah sikap satelit seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Untuk
mengidentifikasi atau mengenali pola bintang, maka diperlukan suatu metode atau
algoritme tertentu. Berbagai algoritme identifikasi bintang telah banyak dikembangkan
dan bervariasi dalam hal kompleksitas, waktu identifikasi, basis data atau ukuran
katalog, akurasi pengenalan, dan robustness (Pham et al. 2012). Algoritme yang paling
banyak digunakan adalah menggunakan pendekatan geometri kelompok bintang dalam
FOV atau cakupan sensor bintang. Metode yang umum digunakan adalah mengukur
jarak angular atau sudut masing-masing bintang dengan bintang lainnya. Algoritme
yang menggunakan metode ini antara lain: Oriented Triangle (Rousseau et al. 2005),
Planar Triangle (Cole dan Crassidis, 2006), dan Geometric Voting (Kolomenkin et al.
2008). Selain itu juga dikembangkan metode pengenalan pola bintang dengan berbasis
kecerdasan seperti Neural Network (Li et al. 2003), Fuzzy (Sohrabi dan Shirazi 2010),
dan Algoritme Genetika (Paladugu et al. 2003). Metode dengan mengukur jarak angular
paling sederhana adalah dengan metode poligon segitiga dengan minimal terdapat tiga
buah bintang dalam FOV (Ho 2012). Proses identifikasi bintang untuk pengenalan pola
membutuhkan referensi dari bintang navigasi yang terdapat dalam katalog bintang.
Katalog Bintang
Katalog bintang berisi data bintang yang terdeteksi oleh instrumen ekplorasi
seperti teleskop resolusi tinggi maupun satelit dengan misi khusus untuk
mengeksplorasi obyek-obyek ruang angkasa. Katalog bintang sederhana telah disusun
sejak jaman peradaban kuno seperti Babylonia, Yunani, China, Persia, dan Arab
meskipun dengan metode dan alat yang sederhana. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi telah menghasilkan data obyek benda langit khususnya bintang menjadi
lebih banyak dan lebih presisi. Berbagai katalog bintang telah dibuat untuk tujuan riset
dalam astronomi dan astrofisika maupun untuk keperluan praktis misalnya dalam hal
penanggalan dan penentuan waktu. Dalam dunia astronautika khususnya operasi dan
pengendalian satelit, katalog bintang digunakan sebagai referensi dalam navigasi sikap
satelit dengan menggunakan sensor bintang. Berbagai versi katalog bintang yang telah
dibuat berisi data bintang yang sangat banyak dengan berbagai atributnya sementara
data bintang yang digunakan harus dipilih secara selektif untuk menghindari proses
pengenalan pola bintang yang lama serta besarnya file katalog. Umumnya data atau
atribut bintang yang digunakan dalam proses pengenalan pola bintang adalah ID bintang
(Star ID), posisi bintang yaitu Asensio Rekta (Right Ascension, RA), deklinasi (DE),
dan magnitudo (Mv). Sebagai contoh jika sebuah bintang mempunyai posisi RA, DE =
(0, 0), maka bintang tersebut terletak pada titik perpotongan antara vernal equinox
dengan bidang ekuator bola langit. Sedangkan parameter magnitudo (Mv) menyatakan
tingkat kecerahanan atau level terang dari suatu bintang. Indeks Mv dinyatakan dalam
besaran angka dimulai dari angka terkecil. Jika ada dua bintang dengan nilai magnitudo
8
masing-masing -1.6 dan 1.0, maka bintang dengan nilai mag -1.6 lebih terang dari
bintang dengan nilai magnitudo 1.0.
Tabel 2 Contoh magnitudo bintang (Sidi 1997)
Magnitudo, Mv
Nama Bintang
0 Vega
-1.6 Sirius
-26.8 Matahari
Nama Konstelasi
Alfa Lyrae ( Lyr)
Alfa Canis Majoris ( CMa)
-
Katalog bintang yang ada umumnya memuat data bintang sampai ratusan ribu
atau lebih dengan atribut lebih dari empat. Untuk keperluan praktis dalam pengenalan
pola bintang, maka diperlukan suatu teknik ekstraksi yang hanya mengambil sebagian
isi dan atribut dari katalog bintang. Teknik sederhana yang mudah untuk
diimplementasikan adalah dengan Magnitude Filtering Method (MFM) yaitu melakukan
seleksi data bintang hanya berdasarkan nilai magnitudonya (Kim dan Junkins 2002).
Dengan teknik MFM, bintang dengan batasan nilai magnitudo tertentu yang akan
digunakan dalam katalog. Sebagai contoh, katalog SAO memuat data 258997 bintang,
jika menggunakan teknik MFM dengan batasan nilai magnitudo atau Visual Magnitude
Threshold (VMT) = 6.0 maka katalog bintang akan berisi 5000 bintang. Dengan teknik
MFM data katalog telah tereduksi sekitar 98% dan secara kuantitatif cukup baik dalam
mereduksi jumlah bintang. Namun teknik ini mempunyai masalah lain dikarenakan
distribusi bintang yang diekstraksi tidak merata (Gambar 6) sehingga dikhawatirkan
sensor bintang tidak mempunyai referensi yang cukup ketika menghadap pada berbagai
kemungkinan FOV.
90
Deklinasi (o)
60
30
0
-30
-60
-90
0
60
120
180
Asensio Rekta
240
300
360
(o)
Gambar 6 Distribusi Katalog SAO dengan VMT 6.0
Jika masih terdapat adanya “lubang” pada katalog bintang dengan teknik MFM,
cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan nilai VMT. Namun dengan
9
bertambahnya VMT, jumlah bintang panduan akan meningkat secara eksponensial.
Contohnya dengan menentukan VMT = 6.0 yang terdiri atas 5000 bintang dengan
menaikkan VMT menjadi 9 maka jumlah bintang menjadi 15000 bintang, meningkat 3
kali lipat seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
30000
Jumlah Bintang
25000
20000
15000
10000
5000
0
1
3
5
6
7
8
9
Visual Magnitude Threshold (VMT)
Gambar 7 Visual Magnitude Threshold terhadap jumlah bintang
Untuk mengatasi hal tersebut, metode pembuatan katalog bintang juga telah
dikembangkan diantaranya metode Thinning Method (Kim dan Junkins 2002), metode
Spherical-Patches, Charged Particles, dan Fixed-Slope Spiral (Samaan et al. 2003),
modifikasi Thinning Method menggunakan Minimum Boltzmann Entropy (MBE)
(Zhang et al. 2004), dan metode klasifikasi Support Vector Machine (SVM) (Rui dan
Ting 2008). Pada semua metode tersebut tidak dilakukan simulasi atau evaluasi
identifikasi bintang sehingga tidak diketahui waktu proses identifikasi bintangnya.
Algoritme DBSCAN
Algoritme clustering yang digunakan dalam penelitian ini adalah DBSCAN
(Density-based Spatial Clustering of Application with Noise) (Ester et al. 1996).
DBSCAN adalah clustering tipe partisional dimana daerah dengan kepadatan tinggi
dianggap sebagai cluster dan daerah dengan kepadatan rendah disebut sebagai noise.
(Nagpal dan Mann 2011). Parameter utama DBSCAN adalah cluster memiliki
setidaknya jumlah obyek minimum (MinPts) dalam radius lingkungan (Eps). Kriteria
cluster di DBSCAN adalah (Ester et al. 1996):
Core, inti adalah titik sebagai pusat cluster, yang memiliki sejumlah tetangga obyek
lebih atau sama dengan nilai yang ditentukan MinPts dalam Eps jangkauan.
Border, perbatasan adalah titik dari sejumlah MinPts lebih sedikit namun memiliki
hubungan kedekatan dengan titik inti (core).
Noise, yang tidak terklasifikasi baik titik inti dan titik perbatasan.
Directly Density-Reachable, sebuah titik p adalah directly density-reachable dari titik q
.
dan
terhadap Eps dan MinPts jika
10
Ilustrasi Diretly Density-Reachable ditunjukkan pada Gambar 8.
p directly densityreachable dari q
q tidak directly densityreachable dari p
p
q
Gambar 8 Directly density-reachability (Ester et al. 1996)
Density Reachable, sebuah titik p adalah density-reachable dari titik p terhadap Eps and
MinPts jika terdapat rantai titik-titik p1,…, pn, p1 = q, pn = p sehingga pi+1 adalah
directly-reachable dari p. Ilustrasi Density-Reachable ditunjukkan pada Gambar 9.
p densityreachable dari q
q tidak densityreachable dari p
p
q
Gambar 9 Density-reachability (Ester et al. 1996)
Gambar 10 menggambarkan kriteria dari DBSCAN.
Border point
B
Eps
A
Core point
Border
point
B
Eps
A
Noise point
Core point
Cluster 1
Cluster 2
Eps = 3
MinPts = 4
Gambar 10 Cluster DBSCAN (Andrade et al. 2013)
11
Algoritme DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996):
1. Menetapkan dataset (setpoints), nilai Eps, dan MinPts
2. Tentukan titik p dalam setpoints
3. Jika titik p belum teridentifikasi (core/border/noise), maka:
4.
Cari semua titik (region p) dalam jangkauan Eps dan memenuhi MinPts
5.
Jika setpoint dalam region p tidak memenuhi MinPts, maka p adalah
noise
6.
Jika setpoint dari p memenuhi MinPts, maka p adalah titik inti (core
point) dan cluster terbentuk
7. Ulangi langkah 3 untuk semua setpoint
Posisi bintang dinyatakan dalam Asensio Rekta (RA) dan Deklinasi (DE) dalam
sistem acuan koordinat langit. RA adalah sudut bintang terhadap vernal equinox ke arah
timur sepanjang bidang ekuator langit dan DE adalah sudut bintang yang diukur ke
utara atau ke selatan terhadap bidang ekuator langit seperti ditunjukkan pada Gambar 11
dengan,
Asensio Rekta (RA)
Deklinasi (DE)
Gambar 11 Posisi bintang dalam koordinat langit (Escobal 1976)
Transformasi dari koordinat langit ke koordinat kartesian adalah sebagai berikut
(Montenbruck dan Gill, 2000):
x cos cos
y cos sin
z sin
(1)
Jika posisi dua buah bintang A dan bintang B direpresentasikan sebagai vektor, yaitu
vektor a dan b dengan a x1 , y1 , z1 dan b x2 , y2 , z2
dan jika sudut antara dua bintang seperti ditunjukkan pada Gambar 12 adalah nilai Eps
dalam algoritme DBSCAN, maka Eps () dihitung dengan persamaan (Anton 2010) :
cos
ab
a b
(2)
12
Jika a dan b dinormalisasi, maka a b 1
Sehingga, nilai Eps diperoleh dari persamaan :
cos a b
(3)
Maka diperoleh nilai Eps:
cos x1 x2 y1 y2 z1 z2
(4)
cos 1 ( x1 x2 y1 y2 z1 z2 )
Jika parameter Eps dalam DBSCAN menggunakan jarak euclidean antar titik-titik
dalam dataset, maka dalam penelitian ini nilai Eps merupakan jarak angular (sudut)
antar bintang dalam katalog seperti yang telah diuraikan di atas.
A
a
B
b
o
Gambar 12 Sudut antara bintang A dan bintang B
Pada umumnya, setelah melakukan proses clustering maka dilakukan evaluasi
terhadap hasil clustering untuk melihat kualitas dari cluster, seberapa baik sebuah obyek
dimasukkan dalam cluster. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan evaluasi cluster
karena clustering yang dilakukan adalah sebagai alat bantu dalam mereduksi jumlah
bintang dari setiap cluster yang terbentuk.
Setiap algoritme memiliki kompleksitas masing-masing. Demikian juga dengan
algoritme DBSCAN. Kompleksitas dari algoritme DBSCAN adalah O(n2) untuk worst
case (Akbar dan Khan 2014). Untuk setiap n titik dari dataset, maka paling tidak
terdapat satu region query sehingga kompleksitas rata-rata adalah O(n log n)(Ester et al.
1996). Kelemahan dari algoritme DBSCAN di antaranya adalah kompleksitasnya tinggi
dan tidak dapat digunakan untuk dataset dengan perbedaan densitas yang sangat besar
(Maitry dan Vaghela 2014).
13
Simulasi Monte Carlo
Simulasi Monte Carlo adalah suatu model pengambilan data sampling statistik
yang telah diketahui distribusinya yang seolah-olah merepresentasikan data faktual.
Salah satu metode Monte Carlo yang dapat digunakan adalah membangkitkan obyek
acak dan memprosesnya untuk mengetahui perilakunya (Kroese dan Rubinstein 2012).
Karena simulasi ini membutuhkan perhitungan yang kompleks, maka bilangan-bilangan
acak dibangkitkan dengan bantuan komputer. Bilangan acak yang dibangkitkan tidak
benar-benar acak melainkan bilangan acak semu (pseudorandom number). Disebut
bilangan acak semu karena bilangan acak tersebut diperoleh melalui suatu algoritme
yang menggunakan rumus matematik atau secara sederhana merupakan tabel yang
berisi urutan angka yang telah dihitung sebelumnya dan akan muncul secara acak
(Haahr 2010). Algoritme pembangkit bilangan acak semu tersebut dinamakan
Pseudorandom Number Generator (PRNG). Pada beberapa bahasa pemrograman
komputer, PRNG telah disediakan dalam bentuk sebuah fungsi, misalnya rand()
dalam bahasa C/C++ dan matlab dan rnd() dalam Visual Basic. Fungsi tersebut akan
membangkitkan bilangan acak semu antara 0 dan 1.
Simulasi Monte Carlo digunakan pertama kali pada tahun 1940-an dalam proyek
senjata nuklir atau Manhattan Project oleh fisikawan Stanislaw Ulam di Laboratorium
Nasional Los Alamos, Amerika Serikat. Nama Monte Carlo sendiri merupakan kode
proyek tersebut yang diambil dari nama sebuah kasino dan tempat judi yang terkenal di
Monako tempat paman dari Stanislaw Ulam menghabiskan uang untuk berjudi. Pada
awalnya simulasi Monte Carlo digunakan oleh para fisikawan untuk membuat model
difusi neutron yang saat itu sangat kompleks dalam memperoleh solusi analitiknya,
maka mereka menggunakan solusi numerik untuk memecahkannya melalui simulasi
Monte Carlo. Saat ini simulasi Monte Carlo sudah banyak digunakan dalam bidang
sains, teknik, dan keuangan.
Dalam penelitian yang berkaitan dengan bidang penelitan tesis ini, metode Monte
Carlo juga digunakan untuk mensimulasikan citra bintang/posisi pada penelitian
sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Samaan et al. (2003 dan 2005), Lee dan Bang
(2007), dan Hua et al. (2014). Kelebihan pengujian menggunakan simulasi Monte Carlo
adalah tidak membutuhkan pengujian dengan data faktual dalam hal ini tidak perlu
harus menerbangkan sensor bintang ke antariksa untuk mendapatkan data citra bintang
secara aktual sehingga evaluasi metode dapat dilakukan secara lebih cepat.
3 METODOLOGI
Praproses Clustering
Metodologi penelitian yang dilakukan terdiri atas tiga tahapan utama. Pertama,
praproses katalog meliputi pengurutan berdasarkan magnitudo kemudian penapisan
berdasarkan batasan magnitudo. Kedua, reduksi jumlah bintang dengan DBSCAN
Clustering. Ketiga adalah tahap evaluasi meliputi pengujian identifikasi bintang dengan
data simulasi Monte Carlo, dan menganalisis data statistik hasil simulasi. Alur
metodologi penelitian ini secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 13.
Praproses
Pengurutan
berdasarkan
Magnitudo
Penetapan Katalog
Dasar
Penapisan
berdasarkan
batasan Magnitudo
Reduksi Jumlah Bintang
Katalog Baru Nilai Eps
Katalog
Awal
Baru
Ya
Set nilai MinPts dan
Eps
Terbentuk
Cluster Baru?
DBSCAN
Clustering
Tidak
Evaluasi
Proses Identifikasi
Bintang
Data Akurasi
dan Waktu
Proses
Data Uji
(Simulasi
Monte Carlo)
Analisis Data Statistik
Katalog
Optimal
Gambar 13 Metodologi penelitian
Penetapan Katalog Bintang
Katalog dasar yang akan digunakan adalah SAO (Smithsonian Astrophysical
Observatory) yang memuat data 258997 bintang. Data yang diambil dari katalog SAO
meliputi Asensio Rekta (RA), Deklinasi (DE), Magntitudo (Mv). Tabel 3 adalah contoh
informasi dari katalog SAO.
15
Tabel 3 Contoh Katalog SAO dengan Informasi RA, DE, dan Mv
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Asensio Rekta
(RA)
00:00:00.031
00:00:00.212
00:00:00.862
00:00:01.184
00:00:01.200
00:00:01.640
00:00:02.230
00:00:02.759
00:00:02.985
00:00:03.266
Deklinasi
Magnitudo
(DE)
(Mv)
-05:29:39.85
8.8
+01:05:19.83
9.0
+31:31:55.77
8.4
+38:51:34.10
6.6
-19:29:57.80
8.8
-14:48:54.92
9.4
-40:35:26.91
8.5
+17:26:50.90
9.1
+44:25:12.48
8.9
-20:54:51.31
9.1
Dalam katalog dasar, RA dan DE dinyatakan dalam satuan sudut jam dan akan
dikonversi ke dalam satuan sudut (derajat).
Pengurutan Berdasarkan Magnitudo
Pengurutan data katalog dilakukan berdasarkan nilai magnitudonya dari yang
paling kecil (paling terang) ke yang paling besar (paling redup). Tujuan dari pengurutan
data katalog ini adalah untuk melakukan proses penyaringan data bintang tahap pertama
berdasarkan nilai magnitudonya menggunakan teknik MFM.
Penapisan Berdasarkan Batasan Magnitudo
Setelah dilakukan proses pengurutan data bintang berdasarkan nilai
magnitudonya, selanjutnya dilakukan proses penyaringan dengan MFM. Kriteria yang
ditetapkan dalam dalam MFM ini adalah menentukan nilai VMT. Dalam penelitian ini,
nilai VMT yang ditetapkan adalah 6.0 (VMT 6.0). Nilai ini digunakan berdasarkan
batas sensitivitas sensor yang hanya mampu mendeteksi cahaya bintang sampai dengan
nilai magnitudo 6.0.
Reduksi Jumlah Bintang
Clustering Menggunakan Algoritme DBSCAN
Tahap pertama dalam DBSCAN adalah menentukan nilai MinPts dan Eps. Nilai
MinPts yang ditetapkan adalah 3 (tiga) sedangkan nilai awal Eps ditetapkan dari 0.1
sampai dengan 1.0 dengan masing-masing nilai Eps meningkat setiap kelipatan dari
nilai awal. Misalnya nilai awal Eps adalah 0.1, maka clustering berikutnya nilai Eps
adalah 0.2, 0.3 dan seterusnya. Proses clustering berhenti jika tidak terbentuk lagi
cluster baru. Gambar 14 adalah ilustrasi penerapan algoritme DBSCAN untuk obyek
bintang.
16
C
B
A = Bintang sebagai Core
B = Bintang sebagai Border
C = Bintang sebagai Noise
Ep
s
A
MinPts = 3
Gambar 14 Ilustrasi clustering DBSCAN pada katalog bintang
Dari hasil clustering, cluster yang padat akan dikurangi jumlah bintangnya hingga
diperoleh tersisa satu bintang dalam satu cluster. Reduksi akan dilakukan dengan
mengambil satu bintang yang paling terang dan menghapus bintang yang lainnya. Iterasi
clustering akan terus dilakukan sampai tidak lagi terbentuk cluster baru.
Pembuatan Katalog dan Sub katalog
Katalog utama merupakan katalog yang berisi data bintang hasil reduksi.
Informasi yang diperlukan adalah ID dan posisi bintang dalam vektor satuan (vx, vy,
vz). Format katalog utama ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Format katalog utama
ID
i
…
n
vx
vxi
…
vxn
vy
vyi
…
vyn
vz
vzi
…
vzn
Sub katalog adalah katalog bintang yang diturunkan dari katalog utama hasil clustering.
Sub katalog berisi informasi jarak angular dari setiap bintang dalam katalog utama yang
dinamakan sebagai bintang poros terhadap bintang-bintang tetangganya. Karena bintang
poros sebagai titik pusat dari FOV, maka kategori bintang tetangga adalah semua
bintang dalam radius FOV/2. Format sub katalog ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Format sub katalog
NBi
ID bintang terdekat
j
…
k
Jarak
dij
…
dik
dengan,
NBi : Jumlah bintang terdekat dari bintang ke-i dalam radius FOV/2 derajat
j
: ID bintang terkecil (paling terang) dalam radius FOV/2 derajat dari bintang
ke-i
k
: ID bintang terbesar (paling redup) dalam radius FOV/2 derajat dari bintang
ke-i
dij
: Jarak bintang ke-i dengan bintang dengan ID j dalam derajat
dik
: Jarak bintang ke-i dengan bintang dengan ID k dalam derajat
17
Simulasi dan Evaluasi
Pada tahap ini, simulasi dilakukan untuk memberikan data uji dengan
membangkitkan FOV secara acak yang merepresentasikan berbagai arah FOV dengan
metode Monte Carlo. FOV yang dibangkitkan adalah koordinat Asensio Rekta (RA) dan
Deklinasi (DE) dalam sistem koordinat langit sebagai titik pusat FOV yang selanjutnya
ditransformasikan ke dalam koordinat kartesian. Dari titik pusat FOV tersebut kemudian
mencari semua bintang dalam radius FOV/2 dari katalog awal. Evaluasi katalog
dilakukan dengan memproses data bintang dari setiap FOV acak melalui algoritme
identifikasi pola bintang menggunakan metode poligon segitiga. Dari proses evaluasi
akan diperoleh data persentase keberhasilan (tingkat akurasi) identifikasi bintang serta
waktu rata-rata yang dibutuhkan dalam proses identifikasi tersebut.
Simulasi data bintang yang akan dibangkitkan menggunakan distribusi seragam
kontinu (continuous uniform distribution) dengan membangkitkan nilai RA dan DE
secara acak dengan menggunakan fungsi:
r = a + (b - a)*RAND()
(5)
dengan,
r = bilangan acak yang dibangkitkan
a = nilai minimum
b = nilai maksimum
RAND() = fungsi acak
Dari fungsi pada persamaan (5) di atas, maka:
r = Asensio Rekta (RA) atau Deklinasi (DE)
a = 0 untuk RA dan -90 untuk DE
b = 360 untuk RA dan 90 untuk DE
Nilai RA dan DE yang telah dibangkitkan selanjutnya akan ditransformasikan ke
koordinat kartesian (x, y, z), melalui persamaan (1). Diagram alir simulasi Monte Carlo
ditunjukkan pada Gambar 15.
18
Diberikan :
-Nilai batas RA dan DE
-Katalog awal
Mulai
Bangkitkan RA, DE
acak
Transformasi ke Sistem
Koordinat Kartesian
(x, y, z)
Periksa semua bintang
dalam katalog
untuk semua bintang i dalam
katalog
i++
Periksa jarak RA, DE yang
dibangkitkan dengan
bintang i dalam katalog
D < FOV/2 ?
i++
tidak
ya
Simpan Informasi bintang i
dalam FOV
Periksa jumlah bintang
tidak
jika jumlah bintang = NSTAR ?
ya
akhir loop i
Selesai
Gambar 15 Diagram alir simulasi
Simulasi data tiga buah bintang yang telah diperoleh selanjutnya akan dijadikan
sebagai input proses identifikasi pola bintang dengan menggunakan algoritme yang
ditunjukkan pada Gambar 16.
19
Diberikan :
-Data bintang hasil simulasi
-Katalog bintang
Mulai
3 bintang pada daftar
bintang
Pilih 3 bintang hasil
simulasi
Hitung jarak ketiga bintang
Hitung jarak antar bintang
Periksa semua bintang
dalam katalog
untuk semua bintang i dalam
katalog
Periksa semua bintang j
dalam sub katalog
untuk semua bintang j dalam
sub katalog
da adalah kosinus jarak bintang 1 Dan
bintang 2
th adalah nilai toleransi atau koreksi
maksimum jarak
Abs(jarak(j) – da)< th ?
tidak
ya
Ditemukan kecocokan pertama
untuk semua bintang k
dalam sub katalog
db adalah kosinus jarak bintang 1
dan bintang 3
i++
Abs(jarak(k) – db)< th ?
tidak
Ditemukan kecocokan kedua
ya
Hitung jarak bintang j dan
bintang k
dc adalah kosinus jarak bintang 2 dan
bintang 3
tidak
Ditemukan kecocokan ketiga
k++
j++
Abs(jarak(j,k) – dc)< th ?
ya
Akhir dari loop k
Simpan Informasi bintang i
cocok dengan bintang j
dan k dalam katalog
Akhir dari loop j
Akhir dari loop i
Identifikasi bintang berhasil
Selesai
Gambar 16 Diagram alir proses identifikasi bintang dengan metode poligon segitiga
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Praproses Clustering
Katalog dasar yang digunakan, yaitu SAO dengan epoch J2000 (1 Januari 2000)
yang memuat 258997 bintang. Informasi yang diperlukan dari katalog dasar adalah
Asensio Rekta (RA), Deklinasi (DE), dan Magnitudo (Mv) karena ketiga informasi
tersebut yang diperlukan dalam menyusun katalog baru seperti ditunjukkan pada Tabel
6.
Tabel 6 Data bintang dalam katalog SAO
Asensio Rekta (o)
0.0212
0.0401
0.1616
…
359.9458
0.0229
0.0470
…
358.7037
358.7151
359.7189
Deklinasi (o)
Magnitudo (Mv)
82.6950
80.0038
82.3782
…
-13.6971
-25.3969
-22.1683
…
-84.6115
-82.4481
-83.8014
7.2
7.7
9.2
…
9.1
9.3
8.6
…
9.4
5.7
8.9
Pengurutan berdasarkan Magnitudo
Tahap pertama praproses clustering adalah mengurutkan data bintang berdasarkan
magnitudo dari yang paling terang ke yang paling redup kemudian setiap bintang diberi
nomor ID berdasarkan urutan tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Data bintang dalam katalog SAO setelah diurutkan
ID Bintang
1
2
3
4
5
6
..
258995
258996
258997
Asensio Rekta (o) Deklinasi (o)
100.7363
-16.6461
95.7103
-52.6674
278.8110
38.7360
219.0469
-60.6304
78.2477
45.9495
213.3448
19.4422
…
..
178.0335
-82.9947
208.8059
-84.5502
344.4571
-80.1551
Magnitudo (Mv)
-1.6
-0.9
0.1
0.1
0.2
0.2
…
99.9
99.9
99.9
21
Penapisan berdasarkan batasan Magnitudo
Tahap kedua dalam praposes adalah melakukan penapisan katalog SAO
berdasarkan nilai magnitudo tertentu. Dalam penelitian ini penapisan dilakukan dengan
mengambil data bintang menggunakan Magnitude Filtering Method (MFM) dengan
magnitudo 6.0 Mv dan diperoleh sebanyak 5103 bintang seperti ditunjukkan Tabel 8.
Tabel 8 Katalog awal dengan MFM 6.0 Mv
ID Bintang
Asensio Rekta (o)
Deklinasi (o)
Magnitudo (Mv)
1
2
3
…
5102
5103
100.7363
95.7103
278.8110
…
335.3253
353.8330
-16.6461
-52.6674
38.7360
…
-70.6847
-77.1465
-1.6
-0.9
0.1
…
6.0
6.0
Proses MFM dengan magnitudo 6.0 Mv menghasilkan data katalog dengan distribusi
bintang yang tidak merata dengan populasi dominan pada gugus Bima Sakti seperti
ditunjukkan pada Gambar 17.
90
Deklinasi (o)
60
30
0
-30
-60
-90
0
60
120
180
240
o
Asensio Rekta ( )
300
360
Gambar 17 Distribusi bintang dalam katalog awal
Reduksi Jumlah Bintang
Tahap pertama dalam DBSCAN adalah menentukan nilai MinPts dan Eps. Nilai
MinPts yang ditetapkan adalah 3 (tiga) sedangkan nilai awal Eps ditetapkan dari 0.1
sampai dengan 1.0 dengan masing-masing nilai Eps meningkat setiap kelipatan dari
nilai awal. Misalnya nilai awal Eps adalah 0.1, maka clustering berikutnya nilai Eps
adalah 0.2, 0.3 dan seterusnya. Proses clustering berhenti jika tidak terbentuk lagi
22
Deklinasi (o)
cluster baru. Dari setiap hasil clustering terbentuk beberapa cluster dan noise seperti
contoh yang ditunjukkan pada Gambar 18, dan dari setiap cluster diambil satu bintang
yang paling terang yang ditandai dengan ID yang paling kecil sebagai kandidat bintang
navigasi termasuk semua noise (Gambar 19). Dari contoh Gambar 18, satu cluster
terbentuk dengan anggota bintang ID 669, 970, 2185, dan 4986. Sedangkan bintang ID
374, 1730, dan 4985 sebagai noise. Hasil clustering tersebut menjadikan bintang ID 669
sebagai bintang paling terang dan seluruh noise (ID 374, 1730, dan 4985) sebagai
kandidat bintang navigasi. Proses clustering pertama dengan nilai awal Eps = 0,1
menghasilkan katalog baru dengan jumlah 5095 bintang. Katalog baru tersebut
kemudian dijadikan sebagai dataset baru pada clustering berikutnya dengan nilai Eps =
0.2 dan seterusnya.
Asensio Rekta (o)
Deklinasi (o)
Gambar 18 Contoh cluster dan noise yang terbentuk
Asensio Rekta (o)
Gambar 19 Bintang ID 669 dan semua noise sebagai kandidat bintang
navigasi
23
Tabel hasil clustering dari setiap nilai Eps awal dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari
hasil clustering yang dilakukan, nilai awal Eps berpengaruh terhadap jumlah iterasi
clustering yang dilakukan. Ditunjukkan pada Gambar 20 bahwa semakin besar nilai
awal Eps, maka jumlah bintang yang direduksi dalam setiap iterasi clustering juga
semakin banyak. Dengan semakin cepatnya jumlah bintang yang berkurang maka
jumlah iterasi clustering juga akan semakin sedikit.
Jumlah Bintang
5000
Eps = 0.1
Eps = 0.2
4000
Eps = 0.3
Eps = 0.4
3000
Eps = 0.5
2000
Eps = 0.6
Eps = 0.7
1000
Eps = 0.8
Eps = 0.9
0
0
20
40
60
80
100
Eps = 1.0
Iterasi ke-i
Gambar 20 Grafik pengaruh nilai awal Eps terhadap penurunan jumlah bintang serta
jumlah iterasi
Pembuatan Katalog dan Sub Katalog
Katalog bintang dibuat berdasarkan jumlah bintang dari setiap iterasi. File katalog
yang dibuat berektensi .bin dengan format isi katalog heksadesimal dan diberi nama
SAO_LIST1_xxxx.bin, xxxx adalah jumlah bintang. Contoh katalog utama
ditunjukkan pada Gambar 21. Vektor (x, y, z) bintang dalam katalog utama dituliskan
dalam bilangan integer tidak bertanda (unsigned integer) masing-masing 2 byte
sehingga setiap satu bintang terdiri atas 6 byte. File sub katalog yang dibuat berektensi
.bin dengan format isi katalog heksadesimal dan diberi nama SAO_LIST2_xxxx.bin,
xxxx adalah jumlah bintang. Contoh sub katalog ditunjukkan pada Gambar 22 pada
panel sebelah kanan. ID dan jarak pada sub katalog dituliskan dalam bilangan integer
tidak bertanda (unsigned integer) masing-masing 2 byte. Jarak dituliskan dalam
miliderajat. Setiap satu ID bintang dalam sub katalog terdiri atas 4 byte kali dikali
jumlah seluruh tetangga dalam jarak < 23o. Pada contoh Gambar 22, bintang dengan ID
1 pada katalog utama mempunyai bintang tetangga dengan ID 22 dengan jarak 12.641 o,
ID 30 dengan jarak 22.99o, ID 39 dengan jarak 21.657o dan seterusnya. Proses
identifikasi bintang akan menggunakan sub katalog sedangkan perhitungan posisi
bintang menggunakan katalog utama.
24
Gambar 21 Contoh katalog utama
Gambar 22 Contoh katalog dan sub katalognya
25
Simulasi Monte Carlo
Program simulasi Monte Carlo dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman
Visual Basic 2010 Express, dijalankan pada PC Intel Core i5-3470 CPU, 3.20 GHz; 4
GB RAM; sistem operasi Windows 7 64-bit Professional Service Pack 1. Simulasi
dilakukan dengan membangkitkan nilai koordinat inersial yaitu RA dan DE dalam
satuan derajat (o) sebagai titik pusat FOV secara acak sebanyak 1000 kali. Contoh
koordinat RA dan DE yang dibangkitkan adalah :
1) (87.49o, 22.86o)
2) (241.61o, 65.77o)
3) (127.31o, -51.22o)
4) (18.39o, 4.93o)
5) dan seterusnya sampai 1000 kali
Nilai 1000 FOV acak yang dibangkitkan dari simulasi Monte Carlo ditunjukkan pada
Gambar 23.
90
Deklinasi (o)
60
30
0
-30
-60
-90
0
60
120
180
240
o
Asensio Rekta ( )
300
360
Gambar 23 Titik pusat FOV acak yang dibangkitkan
Terlihat dari Gambar 23 bahwa distribusi FOV acak yang dibangkitkan mendekati
seragam. Dari titik pusat FOV tersebut selanjutnya akan dicari semua bintang pada
katalog awal (Gambar 17) dengan jumlah 5103 bintang yang radiusnya sebesar 11.5o
sebagai bintang kandidat pengujian katalog yang dihasilkan dari proses clustering.
Untuk setiap katalog bintang yang dihasilkan dari proses clustering, data simulasi
Monte Carlo yang digunakan adalah sama. Dari hasil simulasi diperoleh akurasi dan
waktu proses dari setiap nilai Eps awal yang ditunjukkan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
26
Tabel 9 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk
SIKAP SATELIT MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING
BERBASIS DENSITAS
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimalisasi Katalog
Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis
Densitas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Muhammad Arif Saifudin
G651120684
RINGKASAN
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN. Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi
Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas. Dibimbing oleh
BIB PARUHUM SILALAHI dan IMAS SUKAESIH SITANGGANG.
Membuat katalog bintang yang optimal merupakan hal yang penting dalam
aplikasi sensor bintang. Sensor bintang sebagai sensor navigasi sikap satelit
membutuhkan akurasi serta kecepatan memberikan informasi sikap satelit yang tinggi.
Ukuran katalog yang besar dapat memberikan akurasi yang tinggi namun kecepatan
proses identifikasi bintang menjadi lebih lambat. Akibat kedua faktor tersebut, maka
diperlukan suatu katalog bintang yang optimal. Pada prinsipnya, katalog baru dibuat
dengan cara mengurangi jumlah bintang dari katalog dasar. Teknik sederhana yang
umum digunakan untuk mengurangi jumlah bintang adalah menggunakan Magnitude
Filtering Method (MFM) yaitu mengurangi jumlah bintang dengan caro menapis daftar
bintang berdasarkan nilai magnitudo tertentu yang tergantung pada sensitivitas sensor.
Namun, teknik ini mempunyai kekurangan yaitu bintang dalam katalog tidak
terdistribusi secara merata yang bisa menggagalkan proses identifikasi bintang di setiap
arah bore sight Field of View (FOV). Dalam penelitian ini, diusulkan metode baru untuk
menghasilkan katalog bintang menggunakan metode clustering berbasis densitas yaitu
DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise). Dengan
menggunakan metode clustering berbasis densitas, bintang-bintang pada daerah dengan
densitas tinggi akan teridentifikasi dalam cluster-cluster bintang. Reduksi jumlah
bintang dilakukan dengan menyimpan bintang yang paling terang pada setiap cluster.
Kandidat bintang navigasi dipilih semua bintang paling terang yang tersisa dari hasil
reduksi ditambah dengan semua bintang yang bukan anggota cluster. Simulasi Monte
Carlo dilakukan dengan membangkitkan FOV acak untuk melakukan pengujian
keseragaman katalog baru. Proses identifikasi bintang menggunakan metode segitiga
diterapkan untuk menghitung waktu proses identifikasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa metode clustering menggunakan algoritme DBSCAN menghasilkan katalog
bintang yang optimal yang menghasilkan 840 bintang dengan akurasi 96%. Kesimpulan
yang diperoleh adalah bahwa metode clustering berbasis densitas merupakan metode
yang menjanjikan untuk digunakan dalam memilih bintang navigasi untuk bintang
membuat katalog bintang.
.
Kata kunci: DBSCAN, clustering berbasis densitas, katalog bintang, navigasi sikap
satelit, sensor bintang
SUMMARY
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN. Star Catalog Optimization for Satellite Attitude
Navigation using Density-based Clustering Method. Supervised by BIB
PARUHUM SILALAHI and IMAS SUKAESIH SITANGGANG.
Generating an optimized star catalog are an essential part of the star sensor
application. Star sensor as satellite attitude navigation sensor requires an high accuracy
and high speed of updated information of satellite attitude. The number of stars of the
catalog may affect to star identification process and accuracy of attitude determination
of satellite. Less number of stars might speed up of the identification process, however
the accuracy is getting low. As a result of these two factors, it requires an optimized star
catalog. In principle, the new catalog is generated by reducing the number of stars from
a base catalog. Common simple techniques to reduce the number of star is using
Magnitude Filtering Method (MFM) which is cutting star list based on its particular
magnitude with related to sensor sensitivity. However, the technique has disadvantaged
that is, the stars are not uniformly distributed which could fail of star identification in
any Field of View (FOV) bore sight direction. In this study, a new method to generate
star catalog using density-based clustering namely DBSCAN (Density-based Spatial
Clustering of Application with Noise) is proposed. By using density-based clustering
method, stars in regions with a high density will be identified in clusters of stars.
Reduction of the number of stars is done by storing the brightest star in each cluster.
Navigation star candidates selected all the brightest star was left out of the results
coupled with the reduction of all the stars that are not members of the cluster. Monte
Carlo simulation has performed to generate random FOV to check the uniformity of the
new catalog. Star identification using triangle method has performed to calculate the
time process. The result shows that proposed method produced an optimized star
catalog that has 840 stars with an accuracy of 96%. It concluded that density-based
clustering is a promising method to select navigation star for star catalog generation.
Keywords: DBSCAN, density-based clustering, satellite attitude navigation, star
catalog, star sensor
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
OPTIMALISASI KATALOG BINTANG UNTUK NAVIGASI SIKAP
SATELIT MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING BERBASIS
DENSITAS
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN
G651120684
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : DrEng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT
Judul Tesis : Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan
Metode Clustering Berbasis Densitas
Nama
: Muhammad Arif Saifudin
NRP
: G651120684
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Bib Paruhum Silalahi, MKom
Ketua
Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Komputer
Dekan Sekolah Pascasarjana
DrEng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 7 September 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha
Mendengar dan Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayahNya sehingga penulis dapat meyelesaikan karya tulis ilmiah dalam bentuk tesis ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad Sallallahu ‘Alayhi wa sallam serta seluruh keluarganya, sahabatnya, dan
para pengukutnya sampai akhir zaman.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bib Paruhum Silalahi, MKom
dan Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi, MKom selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman Magister Ilmu Komputer kelas
khusus angkatan XIV yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan semangat.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya dan juga kepada segenap keluarga besar Pusat
Teknologi Satelit LAPAN atas dukungannya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka saran serta
kritik dari semua pihak dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Muhammad Arif Saifudin
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sensor Bintang
Proses Identifikasi Bintang
Katalog Bintang
Algoritme DBSCAN
3 METODOLOGI
Praproses Clustering
Penetapan Katalog Bintang
Pengurutan Berdasarkan Magnitudo
Penapisan Berdasarkan Batasan Magnitudo
Reduksi Jumlah Bintang
Clustering Menggunakan Algoritme DBSCAN
Pembuatan Katalog dan Sub katalog
Simulasi dan Evaluasi
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Praproses Clustering
Pengurutan berdasarkan Magnitudo
Penapisan berdasarkan batasan Magnitudo
Reduksi Jumlah Bintang
Simulasi Monte Carlo
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
i
ii
ii
ii
1
1
2
2
2
3
4
4
6
7
9
14
14
14
15
15
15
15
16
17
20
20
20
21
21
25
29
29
29
30
33
40
DAFTAR TABEL
1 Sensor sikap satelit (Bak 1999)
2 Contoh magnitudo bintang (Sidi 1997)
3 Contoh Katalog SAO dengan Informasi RA, DE, dan Mv
4 Format katalog utama
5 Format sub katalog
6 Data bintang dalam katalog SAO
7 Data bintang dalam katalog SAO setelah diurutkan
8 Katalog awal dengan MFM 6.0 Mv
9 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.1, 0.2, 0.3, dan
0.4
10 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.5, 0.6, 0.7,
0.8, 0.9, dan 1.0
1
8
15
16
16
20
20
21
26
27
DAFTAR GAMBAR
1 Skema model sensor bintang (Analyticon 2002)
2 Sensor bintang
3 Sensor bintang dengan FOV mo x no
4 Sensor bintang dengan FOV do
5 Proses identifikasi bintang (Ho 2012)
6 Distribusi Katalog SAO dengan VMT 6.0
7 Visual Magnitude Threshold terhadap jumlah bintang
8 Directly density-reachability (Ester et al. 1996)
9 Density-reachability (Ester et al. 1996)
10 Cluster DBSCAN (Andrade et al. 2013)
11 Posisi bintang dalam koordinat langit (Escobal 1976)
12 Sudut antara bintang A dan bintang B
13 Metodologi penelitian
14 Ilustrasi clustering DBSCAN pada katalog bintang
15 Diagram alir simulasi
16 Diagram alir proses identifikasi bintang dengan metode poligon segitiga
17 Distribusi bintang dalam katalog awal
18 Contoh cluster dan noise yang terbentuk
19 Bintang ID 669 dan semua noise sebagai kandidat bintang navigasi
20 Grafik pengaruh nilai awal Eps terhadap penurunan jumlah bintang serta
jumlah iterasi
21 Contoh katalog utama
22 Contoh katalog dan sub katalognya
23 Titik pusat FOV acak yang dibangkitkan
24 Grafik akurasi dan waktu proses hasil simulasi
25 Distribusi Katalog dengan 840 Bintang
4
5
5
6
6
8
9
10
10
10
11
12
14
16
18
19
21
22
22
23
24
24
25
28
28
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabel hasil clustering dari setiap nilai Eps awal
34
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Satelit sebagai wahana antariksa secara alamiah akan mengalami dinamika sikap
akibat adanya gangguan yang ada di lingkungan orbitnya yang disebut sebagai torsi
gangguan. Torsi gangguan dapat berasal dari gradien gravitasi bumi dan medan magnet
bumi untuk satelit orbit rendah (Low Earth Orbit/LEO) dengan ketinggian < 1000 km.
Torsi gangguan tersebut yang berinteraksi dengan properti massa atau inersia satelit
dapat menganggu kestabilan sikap satelit. Pada umumnya satelit yang membawa misi
tertentu membutuhkan pengendalian sikap agar misinya tercapai. Misalnya saja satelit
dengan misi penginderaan jauh/observasi bumi (remote sensing) yang harus melakukan
pengendalian ketika kamera mengambil citra bumi, satelit telekomunikasi yang harus
menjaga pointing antena ke area layanannya, satelit navigasi yang harus mengirimkan
sinyal navigasi ke bumi, maupun misi ilmiah. Misi satelit-satelit tersebut tidak akan
terpenuhi jika tidak ada pengetahuan akan dinamika satelit. Penentuan sikap satelit
menjadi salah satu komponen kunci pada hampir semua misi satelit terutama untuk
satelit-satelit yang navigasi dan pengendalian sikapnya dilakukan secara otomatis di
komputer satelit. Pengetahuan akan dinamika satelit membutuhkan komponen sensor
yang berfungsi untuk memberikan informasi orientasi sikap satelit. Pada umumnya,
beberapa sensor sikap satelit yang sering digunakan adalah sensor horizon, sensor
matahari, sensor bintang dan magnetometer seperti yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Sensor sikap satelit (Bak 1999)
Sensor
Akurasi
Sensor horizon
Sensor matahari
Sensor bintang
Magnetometer
0.05o - 1o (LEO)
0.005o – 4o
1 arc sec – 1 arc min
0.5o - 5o
Di antara sensor-sensor sikap satelit tersebut, sensor bintang merupakan sensor
sikap satelit yang paling akurat (Liebe 1995; Li et al. 2005; Jiang et al. 2009; Fortescue
et al. 2011; Mohammadnejad et al. 2012; Miri dan Shiri, 2012). Orientasi sikap satelit
dinyatakan sebagai gerak rotasi satelit relatif dalam ruang tiga dimensi x, y, dan z
terhadap kerangka acuan sumbu bendanya. Untuk mengetahui orientasi sikap satelit
tersebut secara absolut, maka diperlukan sebuah referensi yang bersifat inersial atau
tetap dan referensi ini mengacu pada tata acuan koordinat langit. Posisi bintang dalam
sistem koordinat inersial adalah relatif tetap karena pergesarannya terjadi dalam kurun
waktu yang sangat lama sehingga posisi bintang dapat dijadikan sebagai referensi.
Posisi bintang inilah yang akan ditransformasikan sebagai sikap satelit. Navigasi satelit
dengan meggunakan referensi posisi bintang dilakukan dengan menggunakan sebuah
sensor yang dikenal dengan sensor bintang (star sensor atau star tracker). Komponen
utama sensor bintang adalah kamera optik yang berfungsi untuk menangkap citra
bintang. Sensor bintang membutuhkan referensi sebagai acuan dalam menghitung posisi
bintang. Referensi tersebut berupa basis data bintang atau disebut juga dengan katalog
bintang.
2
Perumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi adalah terdapat berbagai versi katalog bintang seperti
Tycho-2, SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory), USNO (US Naval
Observatory), Hipparchos, Yale, dan lain-lain. Katalog dasar tersebut memuat ribuan
bahkan jutaan data bintang. Untuk tujuan pengenalan pola bintang, katalog dasar
tersebut tidak dapat digunakan secara langsung dan harus dilakukan modifikasi agar
bisa digunakan dalam algoritme pengenalan bintang. Ukuran katalog yang besar
menjadi permasalahan dalam proses pengenalan pola karena proses akan membutuhkan
waktu yang relatif lama sementara kebutuhan penentuan sikap satelit membutuhkan
waktu yang sangat cepat. Terutama jika proses identifikasi bintang dilakukan secara
onboard di satelit, maka membutuhkan memori yang besar dan kecepatan komputasi
yang tinggi di unit elektronik sensor bintang. Sementara memori pada perangkat keras
sensor bintang umumnya memiliki kapasitas yang terbatas serta mikroprosesor yang
sederhana. Jika jumlah bintang dalam katalog dikurangi secara drastis, maka akan
timbul masalah yaitu seberapa akurat proses pengenalan pola bintang yang dihasilkan,
artinya dalam setiap kondisi “lost in space” atau tidak memperoleh informasi sikap
satelit, sensor bintang selalu dapat menemukan pola antara di sensor dengan data di
katalog. Distribusi bintang yang tidak seragam (uniform) menjadi kendala dalam
menentukan daftar bintang dalam katalog. Kepadatan bintang tinggi pada gugus Bima
Sakti sementara rendah pada daerah kutub. Maka dibutuhkan suatu katalog bintang yang
optimal dengan criteria akurasi navigasi satelit tinggi dan waktu proses identifikasi
bintang cepat. Metode yang umum digunakan adalah dengan melakukan penapisan data
bintang berdasarkan nilai magnitudonya. Sebagai contoh, sensor dengan sensitivitas
cahaya bintang dengan nilai magnitudo 6.0, maka katalog yang digunakan hanya akan
memuat data bintang dengan nilai magnitudo maksimal 6.0. Namun metode ini
terkendala dalam distribusi bintang yang tidak merata yang memungkinkan munculnya
“lubang” dalam kondisi FOV tertentu. Akibatnya pada kondisi tersebut, sensor bintang
gagal dalam menemukan pola bintang.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membuat katalog bintang yang optimal,
dengan kriteria akurasi proses identifikasi bintang tinggi dan waktu proses untuk
identifikasi bintang singkat. Kedua hal tersebut akan diperoleh jika distribusi bintang
yang dihasilkan mendekati seragam.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh adalah mengurangi kemungkinan “blind” dari sensor
bintang atau tidak mendapat informasi sikap satelit sehingga meningkatkan probabilitas
proses pengenalan pola serta mempercepat proses pengenalan pola dalam algoritme
identifikasi bintang sehingga jika katalog bintang optimal, maka pengendalian sikap
satelit dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.
3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah mereduksi jumlah bintang dalam katalog bintang
dasar menjadi katalog bintang baru yang optimal dengan metode clustering berbasis
densitas, yaitu DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise.
Katalog baru yang dibuat menggunakan salah satu katalog dasar yang sering digunakan
dalam astronomi, yaitu SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory) dengan waktu
epoch J2000 (1 Januari 2000). Nilai FOV yang akan digunakan sebesar 23o lingkaran.
Evaluasi dilakukan dengan simulasi Monte Carlo untuk membangkitkan FOV acak
dengan sudut jangkauan 23o lingkaran dan metode identifikasi bintang menggunakan
poligon segitiga dengan minimal tiga bintang terdapat dalam FOV.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sensor Bintang
Bintang merupakan referensi optik yang paling akurat untuk menentukan sikap
satelit dengan alasan (1) bintang merupakan acuan yang tetap secara inersial dan (2)
bintang merupakan obyek yang sangat kecil dilihat dari tata surya (Sidi 1997). Sensor
bintang adalah sebuah sensor berupa kamera optik (lensa, sensor deteksi dan baffle)
yang digunakan untuk menangkap citra bintang dan selanjutnya diproses dengan hasil
keluaran posisi bintang. Sensor bintang terdiri atas sebuah fungsi pencitraan, fungsi
deteksi, dan fungsi pemrosesan data Electronic Data Processing Unit (EDPU). Model
skema sensor bintang seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Bintang
Cahaya dari
Bintang
Optik
Prosesor
Detektor
Keluaran
Proses
Gambar 1 Skema model sensor bintang (Analyticon 2002)
Fungsi pencitraan berfungsi untuk menangkap foton dari sebuah obyek dalam
jangkauan Field of View (FOV) sensor dan memusatkannya pada elemen detektor.
Elemen tersebut akan mengubah foton menjadi sinyal listrik untuk selanjutnya diproses
untuk menghasilkan keluaran sensor. Fungsi pemrosesan akan memproses output dari
sensor menjadi parameter yang digunakan dalam proses pengenalan pola bintang. Tipe
detektor yang digunakan umumnya adalah CCD (Couple Charge Device) dan CMOS
(Complementary Metal-Oxide Semiconductor) yang banyak digunakan pada kamera
digital. Contoh sensor bintang yang digunakan dalam satelit LAPAN-TUBSAT
menggunakan sensor dengan detektor CMOS sedangkan dalam satelit LAPAN-A2
menggunakan dua buah sensor bintang dengan detektor CMOS dan CCD. Gambar 2
menunjukkan berbagai sensor bintang yang digunakan untuk satelit.
Setiap sensor bintang mempunyai karakteristik tertentu terutama adalah Field of
View (FOV) yaitu luasan atau cakupan bidang yang dapat dijangkau oleh sensor yang
dipengaruhi oleh ukuran sensor dan panjang fokal (focal length, f) dari lensa. Semakin
besar/luas FOV sensor bintang, maka semakin banyak citra bintang yang ditangkap.
Bentuk FOV dapat berupa kotak persegi yang dinyatakan dalam
(Error!
eference source not found.) dengan m adalah lebar cakupan horizontal dan n adalah lebar
5
cakupan vertikal. Sedangkan FOV dengan cakupan lingkaran sebesar
dengan d adalah diameter cakupan.
Sensor bintang satelit
LAPAN-TUBSAT
Sensor bintang satelit LAPANA2
(Gambar 4)
Sensor bintang buatan
LAPAN
Gambar 2 Sensor bintang
mo
no
Sensor Bintang
Gambar 3 Sensor bintang dengan FOV mo x no
6
do
Sensor Bintang
Gambar 4 Sensor bintang dengan FOV do
Proses Identifikasi Bintang
Pengenalan pola bintang atau biasa disebut juga dengan proses identifikasi
bintang adalah proses bagaimana mengenali citra yang ditangkap oleh sensor tersebut
apakah obyek bintang atau bukan karena di antariksa terdapat berbagai obyek benda
langit yang bertebaran dan mempunyai tampilan visual seperti halnya bintang seperti
planet, meteor dan benda langit lainnya. Untuk mengetahui suatu obyek itu merupakan
bintang atau bukan, maka digunakan sebuah referensi berupa basis data bintang atau
disebut juga katalog bintang. Dalam proses pengenalan pola bintang, terdapat proses
pembandingan antara citra yang ditangkap sensor dengan katalog. Proses inilah yang
sangat menentukan dalam menentukan keberhasilan menentukan posisi bintang.
Gambar 5 Proses identifikasi bintang (Ho 2012)
7
Metode mendapatkan posisi bintang dari sebuah sensor bintang dijelaskan secara
sederhana adalah sebagai berikut. Sensor menangkap citra yang masuk dalam FOV.
Kemudian citra tersebut diekstraksi menjadi data bintang. Langkah berikutnya adalah
melakukan proses identifikasi bintang dari citra kamera dengan cara membandingkan
dengan data dalam katalog bintang. Proses identifikasi bintang berhasil jika citra
bintang identik dengan identitas (ID) bintang tertentu dalam katalog. Jika citra bintang
berhasil diidentifikasi, maka selanjutnya adalah melakukan perhitungan posisinya
berdasarkan data posisi bintang dalam katalog. Posisi bintang yang dihasilkan
diterjemahkan sebagai arah sikap satelit seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Untuk
mengidentifikasi atau mengenali pola bintang, maka diperlukan suatu metode atau
algoritme tertentu. Berbagai algoritme identifikasi bintang telah banyak dikembangkan
dan bervariasi dalam hal kompleksitas, waktu identifikasi, basis data atau ukuran
katalog, akurasi pengenalan, dan robustness (Pham et al. 2012). Algoritme yang paling
banyak digunakan adalah menggunakan pendekatan geometri kelompok bintang dalam
FOV atau cakupan sensor bintang. Metode yang umum digunakan adalah mengukur
jarak angular atau sudut masing-masing bintang dengan bintang lainnya. Algoritme
yang menggunakan metode ini antara lain: Oriented Triangle (Rousseau et al. 2005),
Planar Triangle (Cole dan Crassidis, 2006), dan Geometric Voting (Kolomenkin et al.
2008). Selain itu juga dikembangkan metode pengenalan pola bintang dengan berbasis
kecerdasan seperti Neural Network (Li et al. 2003), Fuzzy (Sohrabi dan Shirazi 2010),
dan Algoritme Genetika (Paladugu et al. 2003). Metode dengan mengukur jarak angular
paling sederhana adalah dengan metode poligon segitiga dengan minimal terdapat tiga
buah bintang dalam FOV (Ho 2012). Proses identifikasi bintang untuk pengenalan pola
membutuhkan referensi dari bintang navigasi yang terdapat dalam katalog bintang.
Katalog Bintang
Katalog bintang berisi data bintang yang terdeteksi oleh instrumen ekplorasi
seperti teleskop resolusi tinggi maupun satelit dengan misi khusus untuk
mengeksplorasi obyek-obyek ruang angkasa. Katalog bintang sederhana telah disusun
sejak jaman peradaban kuno seperti Babylonia, Yunani, China, Persia, dan Arab
meskipun dengan metode dan alat yang sederhana. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi telah menghasilkan data obyek benda langit khususnya bintang menjadi
lebih banyak dan lebih presisi. Berbagai katalog bintang telah dibuat untuk tujuan riset
dalam astronomi dan astrofisika maupun untuk keperluan praktis misalnya dalam hal
penanggalan dan penentuan waktu. Dalam dunia astronautika khususnya operasi dan
pengendalian satelit, katalog bintang digunakan sebagai referensi dalam navigasi sikap
satelit dengan menggunakan sensor bintang. Berbagai versi katalog bintang yang telah
dibuat berisi data bintang yang sangat banyak dengan berbagai atributnya sementara
data bintang yang digunakan harus dipilih secara selektif untuk menghindari proses
pengenalan pola bintang yang lama serta besarnya file katalog. Umumnya data atau
atribut bintang yang digunakan dalam proses pengenalan pola bintang adalah ID bintang
(Star ID), posisi bintang yaitu Asensio Rekta (Right Ascension, RA), deklinasi (DE),
dan magnitudo (Mv). Sebagai contoh jika sebuah bintang mempunyai posisi RA, DE =
(0, 0), maka bintang tersebut terletak pada titik perpotongan antara vernal equinox
dengan bidang ekuator bola langit. Sedangkan parameter magnitudo (Mv) menyatakan
tingkat kecerahanan atau level terang dari suatu bintang. Indeks Mv dinyatakan dalam
besaran angka dimulai dari angka terkecil. Jika ada dua bintang dengan nilai magnitudo
8
masing-masing -1.6 dan 1.0, maka bintang dengan nilai mag -1.6 lebih terang dari
bintang dengan nilai magnitudo 1.0.
Tabel 2 Contoh magnitudo bintang (Sidi 1997)
Magnitudo, Mv
Nama Bintang
0 Vega
-1.6 Sirius
-26.8 Matahari
Nama Konstelasi
Alfa Lyrae ( Lyr)
Alfa Canis Majoris ( CMa)
-
Katalog bintang yang ada umumnya memuat data bintang sampai ratusan ribu
atau lebih dengan atribut lebih dari empat. Untuk keperluan praktis dalam pengenalan
pola bintang, maka diperlukan suatu teknik ekstraksi yang hanya mengambil sebagian
isi dan atribut dari katalog bintang. Teknik sederhana yang mudah untuk
diimplementasikan adalah dengan Magnitude Filtering Method (MFM) yaitu melakukan
seleksi data bintang hanya berdasarkan nilai magnitudonya (Kim dan Junkins 2002).
Dengan teknik MFM, bintang dengan batasan nilai magnitudo tertentu yang akan
digunakan dalam katalog. Sebagai contoh, katalog SAO memuat data 258997 bintang,
jika menggunakan teknik MFM dengan batasan nilai magnitudo atau Visual Magnitude
Threshold (VMT) = 6.0 maka katalog bintang akan berisi 5000 bintang. Dengan teknik
MFM data katalog telah tereduksi sekitar 98% dan secara kuantitatif cukup baik dalam
mereduksi jumlah bintang. Namun teknik ini mempunyai masalah lain dikarenakan
distribusi bintang yang diekstraksi tidak merata (Gambar 6) sehingga dikhawatirkan
sensor bintang tidak mempunyai referensi yang cukup ketika menghadap pada berbagai
kemungkinan FOV.
90
Deklinasi (o)
60
30
0
-30
-60
-90
0
60
120
180
Asensio Rekta
240
300
360
(o)
Gambar 6 Distribusi Katalog SAO dengan VMT 6.0
Jika masih terdapat adanya “lubang” pada katalog bintang dengan teknik MFM,
cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan nilai VMT. Namun dengan
9
bertambahnya VMT, jumlah bintang panduan akan meningkat secara eksponensial.
Contohnya dengan menentukan VMT = 6.0 yang terdiri atas 5000 bintang dengan
menaikkan VMT menjadi 9 maka jumlah bintang menjadi 15000 bintang, meningkat 3
kali lipat seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
30000
Jumlah Bintang
25000
20000
15000
10000
5000
0
1
3
5
6
7
8
9
Visual Magnitude Threshold (VMT)
Gambar 7 Visual Magnitude Threshold terhadap jumlah bintang
Untuk mengatasi hal tersebut, metode pembuatan katalog bintang juga telah
dikembangkan diantaranya metode Thinning Method (Kim dan Junkins 2002), metode
Spherical-Patches, Charged Particles, dan Fixed-Slope Spiral (Samaan et al. 2003),
modifikasi Thinning Method menggunakan Minimum Boltzmann Entropy (MBE)
(Zhang et al. 2004), dan metode klasifikasi Support Vector Machine (SVM) (Rui dan
Ting 2008). Pada semua metode tersebut tidak dilakukan simulasi atau evaluasi
identifikasi bintang sehingga tidak diketahui waktu proses identifikasi bintangnya.
Algoritme DBSCAN
Algoritme clustering yang digunakan dalam penelitian ini adalah DBSCAN
(Density-based Spatial Clustering of Application with Noise) (Ester et al. 1996).
DBSCAN adalah clustering tipe partisional dimana daerah dengan kepadatan tinggi
dianggap sebagai cluster dan daerah dengan kepadatan rendah disebut sebagai noise.
(Nagpal dan Mann 2011). Parameter utama DBSCAN adalah cluster memiliki
setidaknya jumlah obyek minimum (MinPts) dalam radius lingkungan (Eps). Kriteria
cluster di DBSCAN adalah (Ester et al. 1996):
Core, inti adalah titik sebagai pusat cluster, yang memiliki sejumlah tetangga obyek
lebih atau sama dengan nilai yang ditentukan MinPts dalam Eps jangkauan.
Border, perbatasan adalah titik dari sejumlah MinPts lebih sedikit namun memiliki
hubungan kedekatan dengan titik inti (core).
Noise, yang tidak terklasifikasi baik titik inti dan titik perbatasan.
Directly Density-Reachable, sebuah titik p adalah directly density-reachable dari titik q
.
dan
terhadap Eps dan MinPts jika
10
Ilustrasi Diretly Density-Reachable ditunjukkan pada Gambar 8.
p directly densityreachable dari q
q tidak directly densityreachable dari p
p
q
Gambar 8 Directly density-reachability (Ester et al. 1996)
Density Reachable, sebuah titik p adalah density-reachable dari titik p terhadap Eps and
MinPts jika terdapat rantai titik-titik p1,…, pn, p1 = q, pn = p sehingga pi+1 adalah
directly-reachable dari p. Ilustrasi Density-Reachable ditunjukkan pada Gambar 9.
p densityreachable dari q
q tidak densityreachable dari p
p
q
Gambar 9 Density-reachability (Ester et al. 1996)
Gambar 10 menggambarkan kriteria dari DBSCAN.
Border point
B
Eps
A
Core point
Border
point
B
Eps
A
Noise point
Core point
Cluster 1
Cluster 2
Eps = 3
MinPts = 4
Gambar 10 Cluster DBSCAN (Andrade et al. 2013)
11
Algoritme DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996):
1. Menetapkan dataset (setpoints), nilai Eps, dan MinPts
2. Tentukan titik p dalam setpoints
3. Jika titik p belum teridentifikasi (core/border/noise), maka:
4.
Cari semua titik (region p) dalam jangkauan Eps dan memenuhi MinPts
5.
Jika setpoint dalam region p tidak memenuhi MinPts, maka p adalah
noise
6.
Jika setpoint dari p memenuhi MinPts, maka p adalah titik inti (core
point) dan cluster terbentuk
7. Ulangi langkah 3 untuk semua setpoint
Posisi bintang dinyatakan dalam Asensio Rekta (RA) dan Deklinasi (DE) dalam
sistem acuan koordinat langit. RA adalah sudut bintang terhadap vernal equinox ke arah
timur sepanjang bidang ekuator langit dan DE adalah sudut bintang yang diukur ke
utara atau ke selatan terhadap bidang ekuator langit seperti ditunjukkan pada Gambar 11
dengan,
Asensio Rekta (RA)
Deklinasi (DE)
Gambar 11 Posisi bintang dalam koordinat langit (Escobal 1976)
Transformasi dari koordinat langit ke koordinat kartesian adalah sebagai berikut
(Montenbruck dan Gill, 2000):
x cos cos
y cos sin
z sin
(1)
Jika posisi dua buah bintang A dan bintang B direpresentasikan sebagai vektor, yaitu
vektor a dan b dengan a x1 , y1 , z1 dan b x2 , y2 , z2
dan jika sudut antara dua bintang seperti ditunjukkan pada Gambar 12 adalah nilai Eps
dalam algoritme DBSCAN, maka Eps () dihitung dengan persamaan (Anton 2010) :
cos
ab
a b
(2)
12
Jika a dan b dinormalisasi, maka a b 1
Sehingga, nilai Eps diperoleh dari persamaan :
cos a b
(3)
Maka diperoleh nilai Eps:
cos x1 x2 y1 y2 z1 z2
(4)
cos 1 ( x1 x2 y1 y2 z1 z2 )
Jika parameter Eps dalam DBSCAN menggunakan jarak euclidean antar titik-titik
dalam dataset, maka dalam penelitian ini nilai Eps merupakan jarak angular (sudut)
antar bintang dalam katalog seperti yang telah diuraikan di atas.
A
a
B
b
o
Gambar 12 Sudut antara bintang A dan bintang B
Pada umumnya, setelah melakukan proses clustering maka dilakukan evaluasi
terhadap hasil clustering untuk melihat kualitas dari cluster, seberapa baik sebuah obyek
dimasukkan dalam cluster. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan evaluasi cluster
karena clustering yang dilakukan adalah sebagai alat bantu dalam mereduksi jumlah
bintang dari setiap cluster yang terbentuk.
Setiap algoritme memiliki kompleksitas masing-masing. Demikian juga dengan
algoritme DBSCAN. Kompleksitas dari algoritme DBSCAN adalah O(n2) untuk worst
case (Akbar dan Khan 2014). Untuk setiap n titik dari dataset, maka paling tidak
terdapat satu region query sehingga kompleksitas rata-rata adalah O(n log n)(Ester et al.
1996). Kelemahan dari algoritme DBSCAN di antaranya adalah kompleksitasnya tinggi
dan tidak dapat digunakan untuk dataset dengan perbedaan densitas yang sangat besar
(Maitry dan Vaghela 2014).
13
Simulasi Monte Carlo
Simulasi Monte Carlo adalah suatu model pengambilan data sampling statistik
yang telah diketahui distribusinya yang seolah-olah merepresentasikan data faktual.
Salah satu metode Monte Carlo yang dapat digunakan adalah membangkitkan obyek
acak dan memprosesnya untuk mengetahui perilakunya (Kroese dan Rubinstein 2012).
Karena simulasi ini membutuhkan perhitungan yang kompleks, maka bilangan-bilangan
acak dibangkitkan dengan bantuan komputer. Bilangan acak yang dibangkitkan tidak
benar-benar acak melainkan bilangan acak semu (pseudorandom number). Disebut
bilangan acak semu karena bilangan acak tersebut diperoleh melalui suatu algoritme
yang menggunakan rumus matematik atau secara sederhana merupakan tabel yang
berisi urutan angka yang telah dihitung sebelumnya dan akan muncul secara acak
(Haahr 2010). Algoritme pembangkit bilangan acak semu tersebut dinamakan
Pseudorandom Number Generator (PRNG). Pada beberapa bahasa pemrograman
komputer, PRNG telah disediakan dalam bentuk sebuah fungsi, misalnya rand()
dalam bahasa C/C++ dan matlab dan rnd() dalam Visual Basic. Fungsi tersebut akan
membangkitkan bilangan acak semu antara 0 dan 1.
Simulasi Monte Carlo digunakan pertama kali pada tahun 1940-an dalam proyek
senjata nuklir atau Manhattan Project oleh fisikawan Stanislaw Ulam di Laboratorium
Nasional Los Alamos, Amerika Serikat. Nama Monte Carlo sendiri merupakan kode
proyek tersebut yang diambil dari nama sebuah kasino dan tempat judi yang terkenal di
Monako tempat paman dari Stanislaw Ulam menghabiskan uang untuk berjudi. Pada
awalnya simulasi Monte Carlo digunakan oleh para fisikawan untuk membuat model
difusi neutron yang saat itu sangat kompleks dalam memperoleh solusi analitiknya,
maka mereka menggunakan solusi numerik untuk memecahkannya melalui simulasi
Monte Carlo. Saat ini simulasi Monte Carlo sudah banyak digunakan dalam bidang
sains, teknik, dan keuangan.
Dalam penelitian yang berkaitan dengan bidang penelitan tesis ini, metode Monte
Carlo juga digunakan untuk mensimulasikan citra bintang/posisi pada penelitian
sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Samaan et al. (2003 dan 2005), Lee dan Bang
(2007), dan Hua et al. (2014). Kelebihan pengujian menggunakan simulasi Monte Carlo
adalah tidak membutuhkan pengujian dengan data faktual dalam hal ini tidak perlu
harus menerbangkan sensor bintang ke antariksa untuk mendapatkan data citra bintang
secara aktual sehingga evaluasi metode dapat dilakukan secara lebih cepat.
3 METODOLOGI
Praproses Clustering
Metodologi penelitian yang dilakukan terdiri atas tiga tahapan utama. Pertama,
praproses katalog meliputi pengurutan berdasarkan magnitudo kemudian penapisan
berdasarkan batasan magnitudo. Kedua, reduksi jumlah bintang dengan DBSCAN
Clustering. Ketiga adalah tahap evaluasi meliputi pengujian identifikasi bintang dengan
data simulasi Monte Carlo, dan menganalisis data statistik hasil simulasi. Alur
metodologi penelitian ini secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 13.
Praproses
Pengurutan
berdasarkan
Magnitudo
Penetapan Katalog
Dasar
Penapisan
berdasarkan
batasan Magnitudo
Reduksi Jumlah Bintang
Katalog Baru Nilai Eps
Katalog
Awal
Baru
Ya
Set nilai MinPts dan
Eps
Terbentuk
Cluster Baru?
DBSCAN
Clustering
Tidak
Evaluasi
Proses Identifikasi
Bintang
Data Akurasi
dan Waktu
Proses
Data Uji
(Simulasi
Monte Carlo)
Analisis Data Statistik
Katalog
Optimal
Gambar 13 Metodologi penelitian
Penetapan Katalog Bintang
Katalog dasar yang akan digunakan adalah SAO (Smithsonian Astrophysical
Observatory) yang memuat data 258997 bintang. Data yang diambil dari katalog SAO
meliputi Asensio Rekta (RA), Deklinasi (DE), Magntitudo (Mv). Tabel 3 adalah contoh
informasi dari katalog SAO.
15
Tabel 3 Contoh Katalog SAO dengan Informasi RA, DE, dan Mv
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Asensio Rekta
(RA)
00:00:00.031
00:00:00.212
00:00:00.862
00:00:01.184
00:00:01.200
00:00:01.640
00:00:02.230
00:00:02.759
00:00:02.985
00:00:03.266
Deklinasi
Magnitudo
(DE)
(Mv)
-05:29:39.85
8.8
+01:05:19.83
9.0
+31:31:55.77
8.4
+38:51:34.10
6.6
-19:29:57.80
8.8
-14:48:54.92
9.4
-40:35:26.91
8.5
+17:26:50.90
9.1
+44:25:12.48
8.9
-20:54:51.31
9.1
Dalam katalog dasar, RA dan DE dinyatakan dalam satuan sudut jam dan akan
dikonversi ke dalam satuan sudut (derajat).
Pengurutan Berdasarkan Magnitudo
Pengurutan data katalog dilakukan berdasarkan nilai magnitudonya dari yang
paling kecil (paling terang) ke yang paling besar (paling redup). Tujuan dari pengurutan
data katalog ini adalah untuk melakukan proses penyaringan data bintang tahap pertama
berdasarkan nilai magnitudonya menggunakan teknik MFM.
Penapisan Berdasarkan Batasan Magnitudo
Setelah dilakukan proses pengurutan data bintang berdasarkan nilai
magnitudonya, selanjutnya dilakukan proses penyaringan dengan MFM. Kriteria yang
ditetapkan dalam dalam MFM ini adalah menentukan nilai VMT. Dalam penelitian ini,
nilai VMT yang ditetapkan adalah 6.0 (VMT 6.0). Nilai ini digunakan berdasarkan
batas sensitivitas sensor yang hanya mampu mendeteksi cahaya bintang sampai dengan
nilai magnitudo 6.0.
Reduksi Jumlah Bintang
Clustering Menggunakan Algoritme DBSCAN
Tahap pertama dalam DBSCAN adalah menentukan nilai MinPts dan Eps. Nilai
MinPts yang ditetapkan adalah 3 (tiga) sedangkan nilai awal Eps ditetapkan dari 0.1
sampai dengan 1.0 dengan masing-masing nilai Eps meningkat setiap kelipatan dari
nilai awal. Misalnya nilai awal Eps adalah 0.1, maka clustering berikutnya nilai Eps
adalah 0.2, 0.3 dan seterusnya. Proses clustering berhenti jika tidak terbentuk lagi
cluster baru. Gambar 14 adalah ilustrasi penerapan algoritme DBSCAN untuk obyek
bintang.
16
C
B
A = Bintang sebagai Core
B = Bintang sebagai Border
C = Bintang sebagai Noise
Ep
s
A
MinPts = 3
Gambar 14 Ilustrasi clustering DBSCAN pada katalog bintang
Dari hasil clustering, cluster yang padat akan dikurangi jumlah bintangnya hingga
diperoleh tersisa satu bintang dalam satu cluster. Reduksi akan dilakukan dengan
mengambil satu bintang yang paling terang dan menghapus bintang yang lainnya. Iterasi
clustering akan terus dilakukan sampai tidak lagi terbentuk cluster baru.
Pembuatan Katalog dan Sub katalog
Katalog utama merupakan katalog yang berisi data bintang hasil reduksi.
Informasi yang diperlukan adalah ID dan posisi bintang dalam vektor satuan (vx, vy,
vz). Format katalog utama ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Format katalog utama
ID
i
…
n
vx
vxi
…
vxn
vy
vyi
…
vyn
vz
vzi
…
vzn
Sub katalog adalah katalog bintang yang diturunkan dari katalog utama hasil clustering.
Sub katalog berisi informasi jarak angular dari setiap bintang dalam katalog utama yang
dinamakan sebagai bintang poros terhadap bintang-bintang tetangganya. Karena bintang
poros sebagai titik pusat dari FOV, maka kategori bintang tetangga adalah semua
bintang dalam radius FOV/2. Format sub katalog ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Format sub katalog
NBi
ID bintang terdekat
j
…
k
Jarak
dij
…
dik
dengan,
NBi : Jumlah bintang terdekat dari bintang ke-i dalam radius FOV/2 derajat
j
: ID bintang terkecil (paling terang) dalam radius FOV/2 derajat dari bintang
ke-i
k
: ID bintang terbesar (paling redup) dalam radius FOV/2 derajat dari bintang
ke-i
dij
: Jarak bintang ke-i dengan bintang dengan ID j dalam derajat
dik
: Jarak bintang ke-i dengan bintang dengan ID k dalam derajat
17
Simulasi dan Evaluasi
Pada tahap ini, simulasi dilakukan untuk memberikan data uji dengan
membangkitkan FOV secara acak yang merepresentasikan berbagai arah FOV dengan
metode Monte Carlo. FOV yang dibangkitkan adalah koordinat Asensio Rekta (RA) dan
Deklinasi (DE) dalam sistem koordinat langit sebagai titik pusat FOV yang selanjutnya
ditransformasikan ke dalam koordinat kartesian. Dari titik pusat FOV tersebut kemudian
mencari semua bintang dalam radius FOV/2 dari katalog awal. Evaluasi katalog
dilakukan dengan memproses data bintang dari setiap FOV acak melalui algoritme
identifikasi pola bintang menggunakan metode poligon segitiga. Dari proses evaluasi
akan diperoleh data persentase keberhasilan (tingkat akurasi) identifikasi bintang serta
waktu rata-rata yang dibutuhkan dalam proses identifikasi tersebut.
Simulasi data bintang yang akan dibangkitkan menggunakan distribusi seragam
kontinu (continuous uniform distribution) dengan membangkitkan nilai RA dan DE
secara acak dengan menggunakan fungsi:
r = a + (b - a)*RAND()
(5)
dengan,
r = bilangan acak yang dibangkitkan
a = nilai minimum
b = nilai maksimum
RAND() = fungsi acak
Dari fungsi pada persamaan (5) di atas, maka:
r = Asensio Rekta (RA) atau Deklinasi (DE)
a = 0 untuk RA dan -90 untuk DE
b = 360 untuk RA dan 90 untuk DE
Nilai RA dan DE yang telah dibangkitkan selanjutnya akan ditransformasikan ke
koordinat kartesian (x, y, z), melalui persamaan (1). Diagram alir simulasi Monte Carlo
ditunjukkan pada Gambar 15.
18
Diberikan :
-Nilai batas RA dan DE
-Katalog awal
Mulai
Bangkitkan RA, DE
acak
Transformasi ke Sistem
Koordinat Kartesian
(x, y, z)
Periksa semua bintang
dalam katalog
untuk semua bintang i dalam
katalog
i++
Periksa jarak RA, DE yang
dibangkitkan dengan
bintang i dalam katalog
D < FOV/2 ?
i++
tidak
ya
Simpan Informasi bintang i
dalam FOV
Periksa jumlah bintang
tidak
jika jumlah bintang = NSTAR ?
ya
akhir loop i
Selesai
Gambar 15 Diagram alir simulasi
Simulasi data tiga buah bintang yang telah diperoleh selanjutnya akan dijadikan
sebagai input proses identifikasi pola bintang dengan menggunakan algoritme yang
ditunjukkan pada Gambar 16.
19
Diberikan :
-Data bintang hasil simulasi
-Katalog bintang
Mulai
3 bintang pada daftar
bintang
Pilih 3 bintang hasil
simulasi
Hitung jarak ketiga bintang
Hitung jarak antar bintang
Periksa semua bintang
dalam katalog
untuk semua bintang i dalam
katalog
Periksa semua bintang j
dalam sub katalog
untuk semua bintang j dalam
sub katalog
da adalah kosinus jarak bintang 1 Dan
bintang 2
th adalah nilai toleransi atau koreksi
maksimum jarak
Abs(jarak(j) – da)< th ?
tidak
ya
Ditemukan kecocokan pertama
untuk semua bintang k
dalam sub katalog
db adalah kosinus jarak bintang 1
dan bintang 3
i++
Abs(jarak(k) – db)< th ?
tidak
Ditemukan kecocokan kedua
ya
Hitung jarak bintang j dan
bintang k
dc adalah kosinus jarak bintang 2 dan
bintang 3
tidak
Ditemukan kecocokan ketiga
k++
j++
Abs(jarak(j,k) – dc)< th ?
ya
Akhir dari loop k
Simpan Informasi bintang i
cocok dengan bintang j
dan k dalam katalog
Akhir dari loop j
Akhir dari loop i
Identifikasi bintang berhasil
Selesai
Gambar 16 Diagram alir proses identifikasi bintang dengan metode poligon segitiga
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Praproses Clustering
Katalog dasar yang digunakan, yaitu SAO dengan epoch J2000 (1 Januari 2000)
yang memuat 258997 bintang. Informasi yang diperlukan dari katalog dasar adalah
Asensio Rekta (RA), Deklinasi (DE), dan Magnitudo (Mv) karena ketiga informasi
tersebut yang diperlukan dalam menyusun katalog baru seperti ditunjukkan pada Tabel
6.
Tabel 6 Data bintang dalam katalog SAO
Asensio Rekta (o)
0.0212
0.0401
0.1616
…
359.9458
0.0229
0.0470
…
358.7037
358.7151
359.7189
Deklinasi (o)
Magnitudo (Mv)
82.6950
80.0038
82.3782
…
-13.6971
-25.3969
-22.1683
…
-84.6115
-82.4481
-83.8014
7.2
7.7
9.2
…
9.1
9.3
8.6
…
9.4
5.7
8.9
Pengurutan berdasarkan Magnitudo
Tahap pertama praproses clustering adalah mengurutkan data bintang berdasarkan
magnitudo dari yang paling terang ke yang paling redup kemudian setiap bintang diberi
nomor ID berdasarkan urutan tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Data bintang dalam katalog SAO setelah diurutkan
ID Bintang
1
2
3
4
5
6
..
258995
258996
258997
Asensio Rekta (o) Deklinasi (o)
100.7363
-16.6461
95.7103
-52.6674
278.8110
38.7360
219.0469
-60.6304
78.2477
45.9495
213.3448
19.4422
…
..
178.0335
-82.9947
208.8059
-84.5502
344.4571
-80.1551
Magnitudo (Mv)
-1.6
-0.9
0.1
0.1
0.2
0.2
…
99.9
99.9
99.9
21
Penapisan berdasarkan batasan Magnitudo
Tahap kedua dalam praposes adalah melakukan penapisan katalog SAO
berdasarkan nilai magnitudo tertentu. Dalam penelitian ini penapisan dilakukan dengan
mengambil data bintang menggunakan Magnitude Filtering Method (MFM) dengan
magnitudo 6.0 Mv dan diperoleh sebanyak 5103 bintang seperti ditunjukkan Tabel 8.
Tabel 8 Katalog awal dengan MFM 6.0 Mv
ID Bintang
Asensio Rekta (o)
Deklinasi (o)
Magnitudo (Mv)
1
2
3
…
5102
5103
100.7363
95.7103
278.8110
…
335.3253
353.8330
-16.6461
-52.6674
38.7360
…
-70.6847
-77.1465
-1.6
-0.9
0.1
…
6.0
6.0
Proses MFM dengan magnitudo 6.0 Mv menghasilkan data katalog dengan distribusi
bintang yang tidak merata dengan populasi dominan pada gugus Bima Sakti seperti
ditunjukkan pada Gambar 17.
90
Deklinasi (o)
60
30
0
-30
-60
-90
0
60
120
180
240
o
Asensio Rekta ( )
300
360
Gambar 17 Distribusi bintang dalam katalog awal
Reduksi Jumlah Bintang
Tahap pertama dalam DBSCAN adalah menentukan nilai MinPts dan Eps. Nilai
MinPts yang ditetapkan adalah 3 (tiga) sedangkan nilai awal Eps ditetapkan dari 0.1
sampai dengan 1.0 dengan masing-masing nilai Eps meningkat setiap kelipatan dari
nilai awal. Misalnya nilai awal Eps adalah 0.1, maka clustering berikutnya nilai Eps
adalah 0.2, 0.3 dan seterusnya. Proses clustering berhenti jika tidak terbentuk lagi
22
Deklinasi (o)
cluster baru. Dari setiap hasil clustering terbentuk beberapa cluster dan noise seperti
contoh yang ditunjukkan pada Gambar 18, dan dari setiap cluster diambil satu bintang
yang paling terang yang ditandai dengan ID yang paling kecil sebagai kandidat bintang
navigasi termasuk semua noise (Gambar 19). Dari contoh Gambar 18, satu cluster
terbentuk dengan anggota bintang ID 669, 970, 2185, dan 4986. Sedangkan bintang ID
374, 1730, dan 4985 sebagai noise. Hasil clustering tersebut menjadikan bintang ID 669
sebagai bintang paling terang dan seluruh noise (ID 374, 1730, dan 4985) sebagai
kandidat bintang navigasi. Proses clustering pertama dengan nilai awal Eps = 0,1
menghasilkan katalog baru dengan jumlah 5095 bintang. Katalog baru tersebut
kemudian dijadikan sebagai dataset baru pada clustering berikutnya dengan nilai Eps =
0.2 dan seterusnya.
Asensio Rekta (o)
Deklinasi (o)
Gambar 18 Contoh cluster dan noise yang terbentuk
Asensio Rekta (o)
Gambar 19 Bintang ID 669 dan semua noise sebagai kandidat bintang
navigasi
23
Tabel hasil clustering dari setiap nilai Eps awal dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari
hasil clustering yang dilakukan, nilai awal Eps berpengaruh terhadap jumlah iterasi
clustering yang dilakukan. Ditunjukkan pada Gambar 20 bahwa semakin besar nilai
awal Eps, maka jumlah bintang yang direduksi dalam setiap iterasi clustering juga
semakin banyak. Dengan semakin cepatnya jumlah bintang yang berkurang maka
jumlah iterasi clustering juga akan semakin sedikit.
Jumlah Bintang
5000
Eps = 0.1
Eps = 0.2
4000
Eps = 0.3
Eps = 0.4
3000
Eps = 0.5
2000
Eps = 0.6
Eps = 0.7
1000
Eps = 0.8
Eps = 0.9
0
0
20
40
60
80
100
Eps = 1.0
Iterasi ke-i
Gambar 20 Grafik pengaruh nilai awal Eps terhadap penurunan jumlah bintang serta
jumlah iterasi
Pembuatan Katalog dan Sub Katalog
Katalog bintang dibuat berdasarkan jumlah bintang dari setiap iterasi. File katalog
yang dibuat berektensi .bin dengan format isi katalog heksadesimal dan diberi nama
SAO_LIST1_xxxx.bin, xxxx adalah jumlah bintang. Contoh katalog utama
ditunjukkan pada Gambar 21. Vektor (x, y, z) bintang dalam katalog utama dituliskan
dalam bilangan integer tidak bertanda (unsigned integer) masing-masing 2 byte
sehingga setiap satu bintang terdiri atas 6 byte. File sub katalog yang dibuat berektensi
.bin dengan format isi katalog heksadesimal dan diberi nama SAO_LIST2_xxxx.bin,
xxxx adalah jumlah bintang. Contoh sub katalog ditunjukkan pada Gambar 22 pada
panel sebelah kanan. ID dan jarak pada sub katalog dituliskan dalam bilangan integer
tidak bertanda (unsigned integer) masing-masing 2 byte. Jarak dituliskan dalam
miliderajat. Setiap satu ID bintang dalam sub katalog terdiri atas 4 byte kali dikali
jumlah seluruh tetangga dalam jarak < 23o. Pada contoh Gambar 22, bintang dengan ID
1 pada katalog utama mempunyai bintang tetangga dengan ID 22 dengan jarak 12.641 o,
ID 30 dengan jarak 22.99o, ID 39 dengan jarak 21.657o dan seterusnya. Proses
identifikasi bintang akan menggunakan sub katalog sedangkan perhitungan posisi
bintang menggunakan katalog utama.
24
Gambar 21 Contoh katalog utama
Gambar 22 Contoh katalog dan sub katalognya
25
Simulasi Monte Carlo
Program simulasi Monte Carlo dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman
Visual Basic 2010 Express, dijalankan pada PC Intel Core i5-3470 CPU, 3.20 GHz; 4
GB RAM; sistem operasi Windows 7 64-bit Professional Service Pack 1. Simulasi
dilakukan dengan membangkitkan nilai koordinat inersial yaitu RA dan DE dalam
satuan derajat (o) sebagai titik pusat FOV secara acak sebanyak 1000 kali. Contoh
koordinat RA dan DE yang dibangkitkan adalah :
1) (87.49o, 22.86o)
2) (241.61o, 65.77o)
3) (127.31o, -51.22o)
4) (18.39o, 4.93o)
5) dan seterusnya sampai 1000 kali
Nilai 1000 FOV acak yang dibangkitkan dari simulasi Monte Carlo ditunjukkan pada
Gambar 23.
90
Deklinasi (o)
60
30
0
-30
-60
-90
0
60
120
180
240
o
Asensio Rekta ( )
300
360
Gambar 23 Titik pusat FOV acak yang dibangkitkan
Terlihat dari Gambar 23 bahwa distribusi FOV acak yang dibangkitkan mendekati
seragam. Dari titik pusat FOV tersebut selanjutnya akan dicari semua bintang pada
katalog awal (Gambar 17) dengan jumlah 5103 bintang yang radiusnya sebesar 11.5o
sebagai bintang kandidat pengujian katalog yang dihasilkan dari proses clustering.
Untuk setiap katalog bintang yang dihasilkan dari proses clustering, data simulasi
Monte Carlo yang digunakan adalah sama. Dari hasil simulasi diperoleh akurasi dan
waktu proses dari setiap nilai Eps awal yang ditunjukkan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
26
Tabel 9 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk