Spatial Clustering Berbasis Densitas untuk Persebaran Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera

SPATIAL CLUSTERING BERBASIS DENSITAS UNTUK PERSEBARAN
TITIK PANAS SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN GAMBUT DI SUMATERA

MUHAMMAD USMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Spatial Clustering Berbasis
Densitas untuk Persebaran Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan
Lahan Gambut di Sumatera adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor,

Desember 2014

Muhammad Usman
G651120511

RINGKASAN
MUHAMMAD USMAN. Spatial Clustering Berbasis Densitas untuk Persebaran
Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera.
Komisi Pembimbing
IMAS SUKAESIH SITANGGANG, dan LAILAN
SYAUFINA.
Titik panas merupakan salah satu indikator kebakaran hutan dan lahan yang
banyak digunakan untuk pengembangan sistem peringatan dini bahaya kebakaran
dengan tujuan untuk melakukan pencegahan, pengendalian dan pemantauan
kerusakan serta kebakaran di daerah yang memiliki resiko kebakaran yang tinggi
seperti lahan gambut. Data mining sesuai untuk diterapkan dalam proses analisis

data persebaran titik panas berukuran besar. Salah satu penerapan metode data
mining untuk menganalisis data spasial adalah clustering. Penelitian ini
menerapkan algoritme DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering Algorithm
with Noise) yang merupakan algoritme pengelompokan yang didasarkan pada
kerapatan data untuk membentuk cluster pada data titik panas kebakaran hutan di
Sumatera tahun 2002 dan 2013 dengan tujuan untuk menentukan daerah dimana
titik panas terjadi dalam kerapatan tinggi di areal lahan gambut pulau Sumatera.
Terdapat empat tahapan penelitian. Pertama, praproses data titik panas dan
data lahan gambut. Kedua, clustering data titik panas menggunakan algoritme
DBSCAN. Ketiga, evaluasi hasil clustering. Keempat, melakukan analisis cluster
berdasarkan karakteristik fisikal dari lahan gambut untuk memperoleh informasi
titik panas yang terdapat di dalam areal lahan gambut.
Hasil pengujian menunjukan bahwa, pada tahun 2002, areal lahan gambut
yang memiliki kepadatan titik panas tertinggi di Sumatera terdapat di beberapa
wilayah di provinsi Riau dengan nilai densitas mencapai 0.226 km2 dan provinsi
Sumatera Selatan dengan nilai densitas mencapai 0.201 km2. Sebaran titik panas di
provinsi Riau sebagian besar terdapat di areal jenis lahan gambut Hemists/Saprists
(60/40), sangat dalam dan Hemists/Saprists (60/40), sedang dan tersebar merata
pada areal dengan ketebalan sedang (100-200 cm), dalam (200-400 cm), dan sangat
dalam (> 400 cm). Sedangkan sebaran titik panas di provinsi Riau sebagian besar

terdapat di areal gambut dengan jenis Hemists/mineral (90/10), sedang dan
didominasi di areal dengan ketebalan sedang (100-200 cm). Penutupan lahan
gambut pada kedua wilayah didominasi oleh hutan rawa. Pada tahun 2013, areal
lahan gambut yang memiliki kepadatan titik panas tertinggi di Sumatera terdapat di
beberapa wilayah di provinsi Riau dengan nilai densitas mencapai 0.226 km2 ,
dimana sebagian besar titik panas terdapat pada jenis lahan gambut
Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam dan banyak tersebar di areal gambut dengan
ketebalan sangat dalam. Penutupan lahan gambut di wilayah tersebut didominasi
oleh hutan rawa. Terjadi perubahan pola distribusi titik panas dan penggunaan lahan
gambut dari tahun 2002 ke tahun 2013, dimana pada tahun 2002 sebaran titik panas
sebagian besar terdapat di areal lahan gambut dengan ketebalan sedang (100-200
cm) sedangkan pada tahun 2013 sebaran titik panas didominasi di areal gambut
dengan ketebalan sangat dalam (> 400 cm).
Kata kunci: algoritme DBSCAN, clustering, data mining, lahan gambut, titik panas.

SUMMARY
MUHAMMAD USMAN. Density-based Spatial Clustering for Hotspots
Distribution as Forest and Peatland Fire Indicator in Sumatera. Supervised by
IMAS SUKAESIH SITANGGANG and LAILAN SYAUFINA.
Hotspot is one of forest and land fire indicators that is widely used for

developing fire early warning system in the purpose of preventing, controlling and
monitoring of wildfire in the area that has high fire risk such as peat land. Data
mining is suitable to be applied to analyse the large hotspots data. One application
of the data mining methods for analysing spatial data is clustering. The method
applied for the study was DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering Algorithm
with Noise) algorithm which is a clustering algorithm based on density to form
hotspot clusters in the study area of Sumatra in the year of 2002 and 2013.
The research was executed in four stages. First, hotspot and peatland data preprocess. Second, clustering the hotspot using the DBSCAN algorithm. Third,
evaluating clustering results. Fourth, analyze clusters based on physical
characteristics of peatland to get information about hotspot in the peatland area.
The study revealed that in 2002, the highest density of hotspot found in Riau
province with the density value of 0.226 km2 and South Sumatra province with the
density value of 0.201 km2. Distribution of hotspot in Riau province were mostly
found in the area that has peat types of Hemists/Saprists (60/40) with very deep
peat, and Hemists/Saprists (60/40) with moderate depth and spread evenly on the
area with a moderate depth (100-200 cm), in the deep peat (200-400 cm), and very
deep peat (> 400 cm) consecutively. Hotspot distribution in South Sumatera
province were mostly found in peat land area that has peat types of Hemists/mineral
(90/10) and mostly found in areas with moderate depth (100-200 cm). Land cover
of peat land in both regions are dominated by peat swamp forest. In 2013, the

highest density of hotspots on peat land area of Sumatra was found in Riau province
with the density value of 0.056 km2, where most of hotspots was on peat types of
Hemists/Saprists (60/40), and very deep peat land. Land cover of peat land are
dominated by peat swamp forest. It seems that there were changes in the pattern of
distribution of hotspot and land cover of peat land from 2002 to 2013, where in
2002 the distribution of hotspot are mostly found in moderate depth (100-200 cm)
peat land, whereas in 2013, the distribution of hotspot were mostly found in very
deep (> 400 cm) peat land area.

Keywords: DBSCAN algorithm, clustering, data Mining, hotspot, peat land.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


SPATIAL CLUSTERING BERBASIS DENSITAS UNTUK PERSEBARAN
TITIK PANAS SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN GAMBUT DI SUMATERA

MUHAMMAD USMAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom

Judul Tesis : Spatial Clustering Berbasis Densitas untuk Persebaran Titik Panas

sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di
Sumatera
Nama
: Muhammad Usman
NIM
: G651120521

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Lailan Syaufina, MSc
Anggota

Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Komputer


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST, MT

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian:
3 November 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 adalah Spatial Clustering
Berbasis Densitas untuk Persebaran Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan
dan Lahan Gambut di Sumatera.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister
Komputer pada program studi Ilmu Komputer Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa bantuan-bantuan dan arahan-arahan

dari kedua pembimbing sangat membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi
MKom selaku pembimbing I dan Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, M.Sc selaku
pembimbing II.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom selaku Ketua Departemen Ilmu Komputer dan
juga sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis.
2. Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Komputer.
3. Seluruh dosen dan staf pegawai tata usaha Departemen Ilmu Komputer.
4. Pemerintah Provinsi Aceh sebagai sponsor Beasiswa Pemerintah Aceh.
5. Departemen Kehutanan RI dan Wetland International Program Indonesia
sebagai penyedia data.
6. Orang tua, saudara dan seluruh keluarga yang selalu memberikan dorongan dan
mendoakan untuk keberhasilan studi bagi penulis.
7. Seluruh mahasiswa Departemen Ilmu Komputer khususnya teman-teman
angkatan tahun 2012 pada program studi S2 Ilmu Komputer.
8. Sahabat-sahabat yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga segala bantuan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan kepada

penulis senantiasa mendapat balasan dari ALLAH SWT.
Akhirnya, semoga penulisan tesis ini dapat memperkaya pengalaman belajar
serta wawasan kita semua.

Bogor, 12 Desember 2014
Muhammad Usman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1  PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian







2  TINJAUAN PUSTAKA
Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran
Spatial Data Mining
Spatial Clustering
Algoritme DBSCAN







3  METODE
Lokasi dan Waktu
Bahan dan Alat
Area Studi
Tahapan Penelitian
Praproses Data
Pembentukan Data set untuk Proses Clustering
Clustering Data Titik Panas menggunakan algoritme DBSCAN
Evaluasi Hasil Clustering
Analisis Cluster







10 
10 
10 
11 

4  HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembentukan Cluster Data Sebaran Titik Panas Tahun 2002
Pembentukan Cluster Data Sebaran Titik Panas Tahun 2013

11 
16 
23 

5  KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

31 
31 
31 

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

32 
35
48

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di pulau Sumatera
tahun 2002
Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di pulau Sumatera
tahun 2013
Jumlah cluster dan evaluasi hasil cluster data sebaran titik panas tahun
2002
Jumlah titik panas tahun 2002 pada setiap cluster
Jumlah cluster dan evaluasi hasil cluster data sebaran titik panas tahun
2013
Jumlah titik panas tahun 2013 pada setiap cluster

12
13 
16 
17 
24 
25 

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Tahapan proses clustering (Fayyad et al. 1996)
Ilustrasi konsep Eps-neigborhood, density reachable, dan
density-connected
Tahapan penelitian
Jumlah titik panas diareal gambut dan nongambut pulau sumatera tahun
2002 dan 2013.
Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan gambut pulau Sumatera tahun
2002
Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan gambut pulau Sumatera tahun
2013
Jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut pulau Sumatera tahun
2002
Jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut pulau Sumatera tahun
2013
Sebaran titik panas pada cluster 6 dan 24
Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di areal cluster 6 dan
24
Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal cluster
6 dan 24
Sebaran titik panas pada areal penutupan lahan di areal cluster 6 dan 24
Wilayah/Kabupaten yang termasuk dalam cluster 42
Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut pada cluster 42
Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal cluster
42
Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal cluster
42

5
6
9
11 
14 
14 
15 
15 
18 
18 
20 
22 
26 
26 
28 
29 

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Wilayah administrasi Kabupaten dan Kecamatan yang terdeteksi titik
panas pada cluster 6 di areal gambut pulau Sumatera Tahun 2002
Wilayah administrasi Kabupaten dan Kecamatan yang terdeteksi titik
panas pada cluster 24 di areal gambut pulau Sumatera Tahun 2002
Wilayah administrasi Kabupaten dan Kecamatan yang terdeteksi titik
panas pada cluster 42 di areal gambut pulau Sumatera Tahun 2013

37 
40 
43 

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan permasalahan serius
dan dipandang sebagai peristiwa bencana regional dan global. Hal ini disebabkan
karena dampak dari kebakaran hutan sudah menjalar ke negara-negara tetangga
dan gas-gas hasil pembakaran yang diemisikan ke atmosfer (seperti CO2)
berpotensi menimbulkan pemanasan global (Adinugroho et al. 2005). Kabut asap
akibat kebakaran hutan di Indonesia yang terjadi pada tahun 1997, 1998 dan 2002
telah melampaui batas negara tetangga hingga ke Malaysia, Singapura, Brunei,
Thailand dan Filipina. Kebakaran pada tahun 1997 yang didominasi oleh
terbakarnya lahan gambut bahkan telah menyebabkan sekitar 10 juta hektar hutan
dan lahan terbakar serta menimbulkan kerugian sekitar US$ 10 miliar (Syaufina
2008). Kebakaran di hutan lahan gambut jauh lebih sulit ditangani dibandingkan
di tanah mineral atau dataran tinggi karena apinya menjalar di bawah permukaan
(Adinugroho et al. 2005). Dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan
lahan gambut meliputi adanya degradasi lingkungan, gangguan kesehatan, dan
masalah ekonomi (Adinugroho et al. 2005). Kebakaran pada umumnya
disebabkan oleh faktor manusia dan sebagian kecil karena faktor alam (Syaufina
2008).
Indikasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik
panas (hotspot) yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu (Syaufina
2008). Titik panas memiliki kemungkinan untuk menggerombol dalam ruang
secara alami mengikuti hukum Geografi 1 Tobbler yaitu semuanya terkait dengan
segala sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal
yang jauh (Miller 2004). Dengan mengetahui persebaran pengelompokkan titik
panas, maka dapat diketahui wilayah yang memiliki kepadatan titik panas
sehingga dapat dilakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut sejak
dini.
Data mining sesuai untuk diterapkan dalam proses analisis data persebaran
titik panas berukuran besar. Salah satu penerapan metode data mining untuk
menganalisis data spasial adalah clustering. Clustering merupakan proses
pengelompokkan kumpulan objek ke dalam kelas-kelas (clusters) sehingga objekobjek dalam satu cluster memiliki kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip
terhadap objek dari cluster lain (Han et al. 2012). Density-Based Spatial
Clustering Algorithm with Noise (DBSCAN) merupakan algoritme clustering
berbasis densitas yang populer dan efisien dalam melakukan clustering terhadap
data yang memiliki ukuran yang besar dan bentuk yang berbeda serta tahan
terhadap titik noise (Patil & Vaidya 2012).
Penelitian ini menerapkan teknik clustering untuk mengelompokkan data
titik panas kebakaran hutan dan lahan gambut di pulau Sumatera pada tahun 2002
dan 2013. Clustering akan menghasilkan pengelompokkan terhadap daerah yang
berpotensi terjadinya kebakaran. Analisis hasil clustering dilakukan berdasarkan
karakteristik fisikal dari lahan gambut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
membentuk cluster titik panas menggunakan algoritme DBSCAN dan melakukan

2
analisis hasil clustering berdasarkan karakteristik fisikal dari lahan gambut di
pulau Sumatera.
Perumusan Masalah
Penyediaan informasi tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan sejak
dini merupakan salah satu upaya penting yang perlu dilakukan untuk mengetahui
ancaman kebakaran serta sarana untuk membantu proses pengendalian kebakaran.
Data persebaran titik panas yang terdeteksi oleh satelit penginderaan jauh
merupakan indikator kebakaran hutan dan lahan sehingga analisis terhadap
sebaran data tersebut perlu dilakukan. Pada umumnya, menemukan pola data
spasial lebih komplek daripada data numerik dan data kategori sehubungan dengan
kompleksitas tipe data spasial, ukuran yang lebih besar, dan waktu, sehingga
teknik analisis spasial tradisional seperti spatial statistics akan memiliki beban
komputasi yang tinggi dan akan kesulitan menemukan pola, kecenderungan dan
keterkaitan yang terdapat dalam data spasial yang sangat besar dan beragam (Tan
et al. 2006).
Beberapa penelitian terkini telah mengintegrasikan teknik-teknik canggih
penginderaan jauh, spatial data mining, sistem informasi geografis, dan algoritmealgoritme baru untuk mengolah dan menganalisis data spasial seperti data titik
panas dan data pendukung lainnya sehingga dapat diperoleh model spasial yang
dapat mendeteksi, memetakan, serta memprediksi tingkat kerentanan terjadinya
kebakaran hutan dan lahan dengan lebih baik dan cepat. Data spasial berukuran
besar dapat dianalisis menggunakan teknik spatial data mining. Beberapa
penelitian terkait telah menerapkan pendekatan clustering pada data mining untuk
melakukan clustering pada data spasial titik panas berukuran besar.
Penelitian ini menggunakan algoritme DBSCAN yang merupakan algoritme
berdasarkan metode clustering berbasis densitas untuk diterapkan pada data
kebakaran hutan dan lahan gambut di pulau Sumatera. Algoritme ini diharapkan
dapat bekerja dengan baik dalam membentuk cluster titik panas sehingga
memudahkan untuk mengetahui persebaran titik panas di areal gambut pulau
Sumatera.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Membentuk cluster titik panas menggunakan algoritme Density-Based Spatial
Clustering Algorithm with Noise (DBSCAN).
2. Melakukan analisis hasil clustering berdasarkan karakteristik fisikal dari lahan
gambut di pulau Sumatera.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengelompokan titik
panas dapat membantu penguatan implementasi kebijakan dalam pencegahan
kebakaran hutan dan lahan.

3
Ruang Lingkup Penelitian
1. Teknik yang digunakan dalam membentuk clustering titik panas adalah
DBSCAN.
2. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data titik panas kebakaran
hutan di Indonesia tahun 2002 dan 2013 yang bersumber dari Departemen
Kehutanan Republik Indonesia dan peta digital sebaran gambut di pulau
Sumatera yang bersumber dari Wetlands International Program Indonesia.
3. Karakteristik fisikal lahan gambut mencakup tipe, kedalaman dan tutupan
lahan gambut.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Gambut di Sumatera
Lahan gambut merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai
fungsi hidrologi dan fungsi lingkungan lain yang penting bagi kehidupan dan
penghidupan manusia serta mahluk hidup lainnya (Wahyunto et al. 2005). Gambut
terbentuk dari bahan-bahan organik, seperti dedaunan, batang dan cabang serta
akar tumbuhan, yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air,
sangat sedikit oksigen, keasaman tinggi dan terbentuk di suatu lokasi dalam jangka
waktu geologis yang lama serta tersusun berlapis membentuk susunan hingga
ketebalan belasan meter (CKPP 2008). Lahan gambut memiliki manfaat
diantaranya sebagai penyimpan air, penyangga lingkungan, lahan pertanian,
habitat flora dan fauna, bahan baku briket arang maupun media tumbuh tanaman,
dan memiliki kemampuan untuk menyimpan dan menyerap karbon dalam jumlah
cukup besar sehingga dapat membatasi lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer
(Adinugroho et al. 2005). Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 20.6 juta ha
atau 10.8 % dari luas daratan Indonesia dan sebagian besar terdapat di tiga pulau
besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, dan Papua 30% (Wahyunto et al.
2005).
Penyebaran lahan gambut di Sumatera pada umumnya terdapat di dataran
rendah sepanjang pantai timur, yaitu propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi,
Sumatera Utara dan Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai
mencapai sekitar 50-300 km dari garis pantai. Dalam wilayah yang lebih sempit,
lahan gambut juga ditemukan di dataran pantai barat, khususnya di propinsi
Bengkulu, Sumatera Barat dan Aceh. Penyebarannya ke arah hilir sungai
umumnya mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai (Wahyunto et al. 2005).
Pada tahun 1990, luas total lahan gambut di pulau Sumatera mencapai 7.2 juta ha,
namun pada tahun 2002 telah menyusut sekitar 9.5% atau sekitar 683 ribu ha.
Berdasarkan penghitungan kandungan karbon tanah gambut yang dilakukan di
seluruh pulau Sumatera, pada tahun 1990 diperoleh sekitar 22.283 juta ton,
sedangkan pada tahun 2002, kandungan karbon berkurang sebesar 3.470 juta ton
(15.5%) sehingga tersisa sekitar 18.813 juta ton (Wahyunto et al. 2005).
Lahan gambut di pulau Sumatera mempunyai tingkat kematangan Fibrists
(belum melapuk), Hemists (setengah melapuk), Saprists (sudah melapuk) dan
campuran dari ketiganya. Fibrists merupakan jenis lahan gambut dimana terdiri

4
dari 1/3 bahan asal yang sudah terdekomposisi dan 2/3 lainnya terdiri dari bahan
asli yang bisa dilihat, saprists merupakan jenis lahan gambut dimana terdapat 2/3
bagian dalam keadaan terdekomposisi dan sisanya masih bisa diamati, hemists
merupakan jenis lahan gambut dimana komposisinya diantara fibrik dan saprik
(Syaufina 2008). Ketebalan gambut di Sumatera bervariasi mulai dari sangat
dangkal (< 50 cm) seluas 682 ribu ha, dangkal (50-100 cm) seluas 1.24 juta ha
sedang (100-200 cm) seluas 2,327 juta ha, dalam (200-400 cm) seluas 1.246 juta
ha, dan sangat dalam (400-800 cm) seluas 1.705 juta ha (Wahyunto et al. 2005).

Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kebakaran hutan merupakan suatu kejadian dimana api menjalar secara
bebas dan tidak terkendali melahap bahan bakar bervegetasi pada kawasan hutan,
sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan (Syaufina 2008).
Kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya kondisi
cuaca, kondisi fisik dan kondisi sosial ekonomi (Sitanggang et al. 2013). Salah
satu kondisi fisik yang berpengaruh pada kebakaran hutan dan lahan adalah lahan
gambut, dimana terdapat beberapa hal yang bisa digunakan sebagai indikator
terjadinya kebakaran seperti jenis, ketebalan lahan gambut.
Pembukaan lahan gambut berskala besar dengan membuat saluran drainase
telah mengakibatkan resiko terjadinya kebakaran. Pembuatan saluran telah
menyebabkan hilangnya air tanah dalam gambut sehingga gambut mengalami
kekeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar. Kebakaran di
lahan gambut secara perlahan menggerogoti materi organik di bawahnya dan gasgas yang diemisikan dari hasil pembakaran dapat memberikan kontribusi terhadap
perubahan iklim global (Adinugroho et al. 2005). Berdasarkan studi ADB,
kebakaran gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon
sebesar 156.3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu,
namun pada tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepaskan selama
terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2.6 milyar
ton (Adinugroho et al. 2005).

Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran
Data titik panas dapat dijadikan sebagai salah satu indikator terjadinya
kebakaran hutan dan lahan sehingga perlu dilakukan analisa dan pemantauan
untuk mengetahui apakah diperlukan tindakan penanggulangan dini khususnya
pada saat musim kemarau dimana penyebaran api berlangsung sangat cepat
(Adinugroho et al. 2005). Menurut Albar (2002) secara terminologi titik panas
merupakan satu piksel daerah yang memiliki suhu lebih tinggi jika dibandingkan
dengan daerah sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Data lokasi
titik panas diperoleh melalui pemantauan titik panas dengan memanfaatkan
bantuan citra satelit, teknologi komputer dan perangkat sistem informasi geografis.
Prediksi kebakaran hutan dapat dibuat berdasarkan pola penyebaran titik panas,
perubahan koordinat titik panas dan jangka waktu adanya titik panas.

5
Spatial Data Mining
Spatial data mining mengacu pada ekstraksi pengetahuan, hubungan spasial,
atau yang lain, merupakan proses untuk menemukan suatu pola non trivia yang
menarik dan berguna dari data set spasial yang besar, hubungan datanya tidak
secara eksplisit yang disimpan dalam ruang basis data (Han et al. 2012). Spatial
data mining juga merupakan proses menemukan sesuatu yang menarik yang
sebelumnya tidak diketahui, tetapi memiliki potensi yang besar dan bermanfaat
dari data spasial yang besar (Shekhar & Chawla 2003). Tujuan dari spatial data
mining adalah menemukan pola atau informasi yang tersembunyi dan berguna dari
basis data spasial (Leung 2010). Perbedaan utama antara data mining dalam bisnis
data relasional dengan data mining dalam basis data spasial adalah bahwa atribut
dari beberapa objek yang menarik dari tetangga mungkin memiliki pengaruh yang
signifikan pada objek dan area disekitarnya juga harus diperhatikan. Lokasi yang
eksplisit dan perluasan objek spasial juga mendefinisikan hubungan implisit dari
lingkungan spasial, seperti topologi, hubungan jarak dan arah yang digunakan oleh
algoritme Spatial Data Mining (Ester, et al. 1999).

Spatial Clustering
Clustering merupakan proses pengelompokkan kumpulan objek ke dalam
kelas-kelas atau cluster sehingga objek-objek dalam satu cluster memiliki
kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip terhadap objek dari cluster lain (Han et al.
2012). Spatial clustering dapat diterapkan pada sekelompok objek spasial yang
serupa secara bersama-sama, dengan asumsi implisit bahwa pola cenderung
dikelompokkan dalam ruang dibandingkan dengan pola acak. Sebagai salah satu
fungsi dari data mining, spatial clustering dapat digunakan sebagai alat yang
berdiri sendiri untuk mendapatkan wawasan tentang distribusi data, mengamati
karakteristik setiap clustering, dan fokus pada kelompok clustering tertentu untuk
analisis lebih lanjut (Han et al. 2012).
Clustering melibatkan partisi satu kumpulan data yang dipilih ke dalam
kelompok yang bermakna atau kelas. Sebelum melakukan clustering dibutuhkan
praproses dalam satu kumpulan data. Gambar 1 mengilustrasikan langkah-langkah
dasar untuk proses clustering (Fayyad et al. 1996).

Gambar 1 Tahapan proses clustering (Fayyad et al. 1996)

6
Berdasarkan Gambar 1, tahapan awal dalam clustering adalah feature
selection. Feature selection berarti mengidentifikasi subset dari features yang ada
yang paling bermakna atau berguna. Tujuan feature selection adalah untuk
meningkatkan performa dari proses clustering dan meningkatkan efisiensi
komputasi proses clustering. Tahapan selanjutnya adalah melakukan pemilihan
algoritme yang sesuai dan kemudian menggunakan algoritme tersebut untuk
menghasilkan cluster dari data yang diproses. Setelah hasil clustering diperoleh,
maka tahapan berikutnya adalah dengan melakukan evaluasi hasil clustering yang
dihasilkan. Agar hasil dari proses clustering berguna, maka hasil clustering harus
diinterpretasikan agar bermanfaat bagi pengguna dan ilmu pengetahuan.

Algoritme DBSCAN
Konsep DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996): 1)
Neighborhood yang terletak di dalam radius Eps disebut Eps-neigborhood dari
obyek data, 2) Jika Eps-neighorhood dari suatu objek berisi paling sedikit suatu
angka yang minimum, maka MinPts dari suatu objek disebut core object, 3) Suatu
titik p dikatakan directly density-reachable dari titik q, jika titik p berada di dalam
ketetanggaan titik q dengan jarak tertentu (ɛ) dan titik q merupakan titik pusat, 4)
Objek p adalah density reachable dari objek q terhadap Eps dan MinPts dalam
suatu set objek D jika terdapat rantai objek p1, p 2,…,p n, dimana p1 = q dan p n = p,
di mana p i+1 density reachable dari pi terhadap Eps dan MinPts, untuk 1  i  n, pi
anggota D, 5) Objek p adalah density-connected ke objek q terhadap Eps dan
MinPts dalam set objek D jika terdapat suatu objek o anggota D di mana p dan q
adalah density reachable dari o terhadap Eps dan MinPts. Gambar 2 menunjukkan
ilustrasi konsep Eps-neigborhood, density reachable, dan density-connected (Tan
et al. 2006)

(a) Eps-neigborhood

(b) density reachable

(c) density-connected

Gambar 2 Ilustrasi konsep Eps-neigborhood, density reachable, dan
density-connected (Tan et al. 2006)

Gambar 2 (a) menunjukkan bahwa data q menjadi inti. Pada gambar
tersebut digunakan MinPts = 5 karena jumlah tetangga dan dirinya sendiri lebih
dari 5 sehingga data q menjadi inti. Gambar 2 (b) menunjukkan hubungan q
sebagai core point dan p sebagai border point. Titik p directly density reachable
dari q sedangkan q tidak directly density reachable dari p. Gambar 2 (c)
menunjukkan bahwa q dan p adalah density reachable dari o dan o adalah density
reachable dari q sehingga dengan demikian o, q dan p adalah semuanya densityconnected.

7
Algoritme DBSCAN mengharuskan pembacaan setiap data untuk mencari
tetangganya. Secara rinci algoritme DBSCAN ditunjukkan dalam bentuk
pseudocode berikut (Ester et al. 1996):
Algoritme 1 Algoritme DBSCAN
DBSCAN(D, eps, MinPts)
C=0
for each unvisited point P in dataset D
mark P as visited
NeighborPts = regionQuery(P, eps)
if sizeof(NeighborPts) < MinPts
mark P as NOISE
else
C = next cluster
expandCluster(P, NeighborPts, C, eps, MinPts)
expandCluster(P, NeighborPts, C, eps, MinPts)
add P to cluster C
for each point P' in NeighborPts
if P' is not visited
mark P' as visited
NeighborPts' = regionQuery(P', eps)
if sizeof(NeighborPts') >= MinPts
NeighborPts = NeighborPts joined with NeighborPts'
if P' is not yet member of any cluster
add P' to cluster C
regionQuery(P, eps)
return all points within P's eps-neighborhood (including P)
Berdasarkan pseudocode di atas, algoritme DBSCAN membutuhkan dua
parameter penting, yaitu Eps (ɛ) dan jumlah data tetangga minimal untuk
membentuk kelompok (MinPts). Algoritme dimulai dari sembarang data yang
belum dikunjungi. Data ini kemudian dibaca jumlah tetangganya pada radius ɛ.
Jika jumlah datanya lebih dari atau sama dengan ɛ, data akan ditandai sebagai inti
dan tetangganya sebagai batas (selain dari yang sudah ditandai sebagai inti),
kemudian akan terbentuk sebuah kelompok baru. Jika data tidak mencukupi, maka
akan ditandai sebagai noise. Data tersebut ditandai sebagai data yang sudah
dikunjungi. Langkah tersebut dilakukan secara rekursif pada setiap data yang
menjadi tetangganya dan belum dikunjungi (Prasetyo 2012).
Kompleksitas algoritme DBSCAN
Dalam Han et al. (2012) kompleksitas dari algoritme DBSCAN adalah O(n
log n), dimana n adalah jumlah data. Tanpa modifikasi apapun, kompleksitasnya
menjadi O(n 2). Untuk mengurangi waktu komputasi, biasanya jarak antar data juga
disimpan dalam matriks berukuran n(n-1)/2.

8

3 METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Juli 2014,
bertempat di bagian Komputasi Terapan, Departemen Ilmu Komputer, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Data penelitian yang digunakan meliputi data titik panas kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia tahun 2002 dan 2013 yang bersumber dari Departemen
Kehutanan Republik Indonesia dan data sebaran lahan gambut di pulau Sumatera
yang bersumber dari Wetlands International Program Indonesia. Keseluruhan data
spasial tersebut menggunakan sistem referensi spasial WGS84. Atribut yang
dipilih dan dianalisa pada data sebaran lahan gambut di pulau Sumatera adalah
berupa jenis, ketebalan dan penutupan lahan gambut.
Perangkat lunak dan perangkat keras yang digunakan untuk
mengembangkan sistem adalah sebagai berikut:
1 Perangkat lunak:
a. Sistem operasi : Windows 7 Ultimate
b. Weka 3.6 untuk praproses data
c. R untuk clustering data
d. Quantum GIS 2.0.1 Dufour untuk pengolahan data spasial
2

Perangkat keras yaitu komputer personal dengan spesifikasi sebagai berikut:
a. Processor: Intel® Core(TM)2 Duo CPU T6600 @ 2.20 GHz
b. Memory 2 GB
c. Monitor dengan resolusi 1024 768 pixel
d. Harddisk 1 Terabyte
e. Mouse dan keyboard
Area Studi

Penelitian ini melakukan clustering data titik panas di areal lahan gambut
pulau Sumatera. Berdasarkan data hasil deteksi satelit NOAA, terdapat 91 324 titik
panas di Indonesia pada tahun 2002 dan 20 440 titik panas yang terdeteksi
sepanjang tahun 2013. Berdasarkan sebaran lahan gambut tahun 2002, Indonesia
memiliki luas lahan gambut sekitar 20.6 juta ha, dimana 35% diantaranya terdapat
di pulau Sumatera. Luas lahan gambut diurutkan dari yang terluas di pulau
Sumatera tahun 2002 adalah sebagai berikut: 1) Riau: 4.044 juta ha (56.1 % dari
luas total lahan gambut), 2) Sumatera Selatan 1.484 juta ha (20.6%), 3) Jambi:
0.717 juta ha (9.95%), 4) Sumatera Utara: 0.325 juta ha (4.5 %), 5) Aceh: 0.274
juta ha (3.8 %), 6) Sumatera Barat: 0.210 juta ha (2.9%), 7) Lampung: 0.088 juta
ha (1.2 %), dan 8) Bengkulu: 0.063 juta ha (0.88 %) (Wahyunto et al. 2005).

9
Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan. Gambar 3 menunjukkan
tahapan dari metode penelitian.

 

Mulai

Selesai

Pra-proses data

Analisis hasil
clustering

Clustering data titik panas
menggunakan algoritme DBSCAN

Evaluasi hasil
clustering

Cluster titik
panas

Gambar 3 Tahapan penelitian

Praproses Data
1. Praproses data titik panas
Pada tahapan ini dilakukan pemrosesan terhadap 91 324 record data titik
panas di Indonesia pada tahun 2002 dan 20 440 data titik panas pada tahun 2013
untuk memperoleh data atribut lokasi lintang dan bujur serta waktu kemunculan
titik panas di areal lahan gambut pulau Sumatera. Keseluruhan data tersebut
selanjutnya dikurangi dan dibersihkan, sehingga hanya menyisakan data lokasi
lintang dan bujur titik panas di areal lahan gambut di pulau Sumatera. Tahapan
pemilihan data dilakukan untuk mendapatkan atribut yang akan digunakan. Atribut
lokasi (longitude dan latitude) dan tanggal munculnya titik panas merupakan
atribut yang digunakan dalam penelitian. Atribut longitude (bujur) dan latitude
(lintang) diperlukan untuk mengetahui lokasi dari titik panas pada wilayah tertentu.
2. Praproses data lahan gambut
Atribut yang dianalisa berupa jenis, ketebalan dan penutupan lahan gambut.
Atribut yang dipilih dan dianalisa pada data sebaran lahan gambut di pulau
Sumatera adalah berupa jenis, ketebalan dan tutupan lahan gambut. Luas total
lahan gambut di pulau Sumatera pada tahun 2002 berdasarkan jenis dan ketebalan
gambut adalah sekitar 7.20 juta ha, atau 14.90% dari luas seluruh daratan di pulau
Sumatera yang luasnya sekitar 48.24 juta ha (Wahyunto et al. 2005). Pemrosesan
data spasial dilakukan terhadap data peta digital sebaran lahan gambut dengan
memanfaatkan beberapa fungsi diantaranya fungsi clip yang berguna untuk
memotong unsur-unsur spasial (input) yang akan di overlay nantinya dengan
menggunakan unsur-unsur spasial yang lain, dan fungsi merge yang digunakan
untuk menggabungkan layer-layer yang sebelumnya terpisah berdasarkan tingkat
provinsi menjadi satu layer utuh areal pulau Sumatera. Dilakukan pula proses
proyeksi peta untuk mendefinisikan sistem koordinat baru terhadap peta sebaran
lahan gambut pulau Sumatera dikarenakan tidak tersedianya metadata pada data
frame yang memberikan informasi koordinat-koordinat unsur-unsur spasialnya.
Tahapan praproses memanfaatkan PostgreSQL 9.1 untuk manajemen basis data
dengan ekstensi PostGIS untuk mengolah data spasial dan Quantum GIS 2.0.1
Dufour untuk pemrosesan data spasial.

10

Pembentukan Data set untuk Proses Clustering
Dataset yang digunakan dalam pembentukan cluster adalah data titik panas
yang tersebar di dalam areal lahan gambut di seluruh pulau Sumatera pada tahun
2002 dan 2013 serta data jenis, ketebalan dan tutupan lahan gambut. Untuk
memperoleh keseluruhan dataset, maka dilakukan operasi overlay antara data titik
panas dan data lahan gambut. Berdasarkan hasil analisis kueri, diperoleh 13 253
titik panas yang tersebar di areal lahan gambut pulau Sumatera tahun 2002 dan
3335 titik panas di areal lahan gambut pulau Sumatera tahun 2013. Keseluruhan
data titik panas tersebut adalah dataset yang digunakan untuk proses clustering.

Clustering Data Titik Panas menggunakan algoritme DBSCAN
Data hasil praproses dikelompokkan menggunakan algoritme DBSCAN.
DBSCAN merupakan algoritme pengelompokan yang didasarkan pada kepadatan
(density) data, yaitu jika jumlah data yang berada dalam radius Eps lebih dari atau
sama dengan Minpts (jumlah minimal data dalam radius Eps), maka data tersebut
termasuk dalam kategori kepadatan yang diinginkan, dimana jumlah data dalam
radius tersebut termasuk data itu sendiri. DBSCAN menggunakan konsep titik
pusat (core point), titik batas (border point), dan noise. Titik yang memiliki
sejumlah titik tetangga dan memenuhi jumlah titik minimum disebut sebagai titik
pusat, sedangkan titik batas memiliki jumlah titik tetangga namun tidak memenuhi
jumlah titik minimum. Titik batas merupakan titik di dalam ketetanggaan dari titik
pusat. Kriteria suatu titik dikatakan sebagai noise yaitu pada saat titik tersebut tidak
termasuk titik pusat maupun titik batas, selain itu titik tersebut tidak memenuhi
konsep directly density-reachable dari suatu titik pusat (Ester et al. 1996)
Tahapan awal yang dilakukan adalah melakukan penentuan nilai Eps dan
MinPts yang akan digunakan sebagai titik dalam sebuah cluster, sehingga Epsneigborhood secara kasar memiliki jarak yang sama serta titik noise memiliki jarak
terjauh dari Eps-neigborhood sehingga dilakukan plot jarak secara terurut pada
setiap titik pada Eps-neigborhood. Cluster dapat diidentifikasi terbaik jika Epsneigborhood memiliki jarak yang mirip dengan titik yang lain atau memiliki jarak
yang sama.
Setelah diperoleh dan ditentukan nilai Eps dan MinPts yang sesuai, maka
selanjutnya dilakukan prosedur-prosedur yang meliputi: 1) melakukan clustering
pada titik yang tersisa dengan cara menghubungkan semua titik inti (core) dengan
jarak yang kurang dari Eps satu sama lain, 2) membuat setiap kelompok dari titik
inti yang terhubung menjadi clustering yang terpisah, dan 3) menetapkan setiap
titik perbatasan ke salah satu clustering terdekat pada kelompoknya. Proses
clustering dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak statistika R 3.1.

Evaluasi Hasil Clustering
Sebagian besar proses clustering berlangsung tanpa pengawasan
(unsupervised), sehingga proses evaluasi clustering sangat penting untuk
dilakukan. Dalam proses clustering tidak ada standar kelas tertentu, sehingga sulit

11
untuk menemukan metrik yang tepat untuk mengukur apakah konfigurasi cluster
yang ditemukan dapat diterima atau tidak (Halkidi et al. 2002). Proses evaluasi
hasil algoritme clustering disebut juga pengkajian validitas cluster. Evaluasi
clustering pada penelitian ini menggunakan metode Sum Square Error (SSE)
untuk memperoleh jumlah cluster yang meminimalkan total square error (Tan et
al. 2006).
k

SSE  

2

 d  p, m 
i

i 1 pC i

dengan, p ∈ Ci adalah setiap data titik pada cluster i, mi adalah centroid dari cluster
i, dan d adalah jarak terdekat pada masing-masing cluster i.
Analisis Cluster
Analisis cluster dilakukan berdasarkan karakteristik fisikal dari lahan gambut
untuk memperoleh informasi titik panas yang terdapat di dalam areal lahan gambut.
Karakteristik fisikal lahan gambut mencakup tipe, kedalaman dan tutupan lahan
gambut.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan proses kueri spasial memanfaatkan PostgreSQL dan PostGIS
pada data sebaran titik panas dan lahan gambut, diperoleh 91 323 titik panas yang
tersebar di Indonesia pada tahun 2002, dimana 26 460 diantaranya terdapat di
pulau Sumatera. Sedangkan pada tahun 2013 diperoleh 20 440 titik panas yang
tersebar di Indonesia dan 10 806 diantaranya terdapat di pulau Sumatera. Gambar
4 menunjukkan jumlah titik panas di areal gambut dan non gambut pulau Sumatera
tahun 2002 dan 2013.

(a) Jumlah titik panas di areal
gambut dan non gambut
pulau sumatera tahun 2002

(b) Jumlah titik panas di areal
gambut dan non gambut
pulau sumatera tahun 2013

Gambar 4 Jumlah titik panas di areal gambut dan non gambut pulau sumatera
tahun 2002 dan 2013

12
Berdasarkan Gambar 4, dari 26 460 titik panas yang tersebar di pulau
Sumatera pada tahun 2002, 13 253 diantaranya menyebar di areal gambut dan 13
207 di areal non gambut. Sedangkan pada tahun 2013, dari 10 806 titik panas yang
tersebar di pulau Sumatera terdapat 3335 titik panas yang tersebar di areal gambut
dan 7471 di areal non gambut.
Jenis lahan gambut di pulau Sumatera dikategorikan berdasarkan tingkat
kematangan Fibrists (belum melapuk), Hemists (setengah melapuk), Saprists
(sudah melapuk) dan campuran salah satu dari ketiganya. Tabel 1 dan 2
menunjukkan sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di pulau
Sumatera tahun 2002 dan 2013.
Tabel 1 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di pulau
Sumatera tahun 2002
Jenis Lahan Gambut
Hemists/Saprists (60/40), dangkal
Hemists/min (30/70), dangkal
Hemists/min (50/50), dangkal
Hemists/min (90/10), dangkal
Saprists/min (50/50), dangkal
Fibrists/Saprists (60/40), sedang
Hemists(100), sedang
Hemists/Saprists (60/40), sedang
Hemists/min (30/70), sedang
Hemists/min (70/30), sedang
Hemists/min (90/10), sedang
Saprists(100), sedang
Saprists/Hemists (60/40), sedang
Saprists/min (30/70), sedang
Saprists/min (50/50), sedang
Saprists/min (90/10), sedang
Hemist(100), dalam
Hemists/Saprists (60/40),dalam
Saprists(100), dalam
Saprists/Hemists (60/40), dalam
Saprists/min (30/70), dalam
Saprists/min (50/50), dalam
Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam
Hemists/min (90/10), sangat dalam
Saprists/Hemists (60/40), sangat dalam
Total titik panas yang terdeteksi

Titik Panas yang Terdeteksi
5
139
7
16
3
5
293
2336
395
195
3489
249
505
0
197
239
0
1047
73
881
0
5
2036
28
794
12937

13
Tabel 2 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di pulau
Sumatera tahun 2013
Jenis Lahan Gambut
Fibrists/Saprists (60/40),sedang
Hemists (100),dalam
Hemists (100),sedang
Hemists/min (30/70),dangkal
Hemists/min (30/70),sedang
Hemists/min (70/30),sedang
Hemists/min (90/10),dangkal
Hemists/min (90/10),sangat dalam
Hemists/min (90/10),sedang
Hemists/Saprists (60/40),dalam
Hemists/Saprists (60/40),dangkal
Hemists/Saprists (60/40),sangat dalam
Hemists/Saprists (60/40),sedang
Saprists (100),dalam
Saprists (100),sedang
Saprists/Hemists (60/40),dalam
Saprists/Hemists (60/40),sangat dalam
Saprists/Hemists (60/40),sedang
Saprists/min (30/70),dalam
Saprists/min (50/50),dangkal
Saprists/min (50/50),sedang
Saprists/min (90/10),sedang
Fibrists/Saprists (60/40),sedang
Hemists (100),dalam
Hemists (100),sedang
Total titik panas yang terdeteksi

Titik Panas yang Terdeteksi
2
1
6
63
27
6
1
8
45
321
4
1266
511
18
15
271
403
129
1
40
97
120
2
1
6
3355

Kategori jenis lahan gambut pada Tabel 1 dan 2 mendeskripsikan informasi
jenis gambut dan ketebalannya. Misalkan “Hemists/Saprists (60/40), dangkal”
menyatakan bahwa Hemists/Saprists adalah jenis lahan gambut. Nilai (60/40)
menunjukkan areal tersebut meliputi 60% Hemists dan 40% Saprists. Dangkal
merupakan kategori ketebalan gambut dengan ketebalan 50-100 cm.
Berdasarkan ketebalan gambut, lahan gambut yang dianalisa dapat
digolongkan pada: 1) Ketebalan gambut sangat dangkal (memiliki ketebalan < 50
cm): tipe gambut Hemists/Saprists, Hemists/mineral dan Saprists/Hemists, 2)
Ketebalan gambut dangkal (50-100 cm): tipe gambut Fibrists/Saprists,
Hemists/Saprists, Hemists/mineral, Saprists/Hemists dan Saprists/mineral, 3)
Ketebalan gambut sedang (100-200 cm): tipe gambut Hemists/Saprists,
Hemists/mineral, Saprists, Saprists/Hemists dan Saprists/mineral, 4) Ketebalan
gambut dalam (200-400 cm): tipe gambut Hemists/Saprists, Saprists dan
Saprists/Hemists, 5) Ketebalan gambut sangat dalam (400-800 cm): tipe gambut
Hemists/Saprists dan Saprists/Hemists (Wahyunto et al. 2005). Gambar 4 dan 5

14
menunjukkan sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di pulau
Sumatera berturut-turut pada tahun 2002 dan 2013.

Jumlah Titik Panas

Jumlah Titik Panas Berdasarkan Ketebalan Gambut Pulau Sumatera Tahun 2002 
8000
6000
4000
2000
0

6252
2176

1932

1928

649
Sangat
Dangkal/Tipis: Sedang : 100‐200 Dalam/Tebal:
Sangat
Dangkal/Sangat 50‐100 cm  (D1)
cm (D2)
200‐400 cm  (D3) Dalam/Sangat
Tipis:  400 cm
(D0)
(D4)
Tipe Ketebalan Gambut

Gambar 5 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan gambut pulau Sumatera
tahun 2002

Jumlah Titik Panas

Jumlah Titik Panas Berdasarkan Ketebalan Gambut Pulau Sumatera Tahun 2013 

1500

1201
850

1000
500

88

945

271

0
Sangat
Dangkal/Tipis: 50‐ Sedang: 100‐200 Dalam/Tebal: 200‐
Dangkal/Sangat
100 cm (D1)
cm (D2)
400 cm (D3)
Tipis: 400 cm
(D4)

Tipe Ketebalan Gambut

Gambar 6 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan gambut pulau
Sumatera tahun 2013
Berdasarkan Gambar 5, sebaran titik panas di lahan gambut pulau Sumatera
pada tahun 2002 didominasi lahan gambut dengan ketebalan sedang (D2). Gambut
sedang didominasi oleh jenis gambut Hemists/mineral, dan juga berasosisasi
dengan tanah mineral bergambut. Gambar 6 menunjukkan lahan gambut dengan
ketebalan sangat dalam (D4) menjadi areal yang memiliki sebaran titik panas
tertinggi pada tahun 2013 di pulau Sumatera.
Terdapat 25 jenis penutupan lahan yang terdeteksi di areal gambut pulau
Sumatera. Pada tahun 2002, terdapat 18 jenis areal penutupan lahan gambut
dimana titik panas terdeteksi didalamnya dan pada tahun 2013 terdapat 19 jenis
penutupan lahan dimana titik panas terdeteksi. Gambar 7 dan 8 menunjukkan
jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut di pulau Sumatera tahun 2002
dan 2013.

15
Jumlah Titik Panas  pada Areal Penutupan Lahan Tahun 2002
6000

5311

5000
4000
3000
2000

1749

1434

1035

1000

8 167

207 47 158

79

696
38

495

451

17

944
53

2

0

Tipe Penutupan Lahan

Gambar 7 Jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut pulau
Sumatera tahun 2002
Jumlah Titik Panas  pada Areal Penutupan Lahan Tahun 2013
2327

Jumlah Titik Panas

2500
2000
1500
1000
318

500
2

1

40

163

292
15

46 11

6

44

3

19

1

22 39

3

3

0

Jenis Tutupan Lahan

Gambar 8 Jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut pulau
Sumatera tahun 2013
Gambar 7 dan 8 menunjukkan bahwa sebaran titik panas di areal tutupan
lahan gambut pulau Sumatera pada tahun 2002 dan 2013 sebagian besar terdapat

16
di areal hutan rawa gambut. Pada sebaran gambut tahun 2002, sebaran titik panas
di areal jenis “Hemists/Saprists (60/40), sedang” sebagian besar terdapat di areal
penutupan lahan hutan rawa dan belukar rawa, sedangkan di areal jenis
“Hemists/mineral (90/10), sedang” didominasi oleh sawah intensif (padipalawija/bera) dan jeruk dan sebaran titik panas di areal jenis “Hemists/Saprists
(60/40), sedang”, sebagian besar terdapat di areal penutupan lahan kelapa sawit
bekas hutan rawa > 5 tahun serta hutan dan belukar rawa.

Pembentukan Cluster Data Sebaran Titik Panas Tahun 2002
Pada penelitian ini dilakukan percobaan untuk memperoleh hasil clustering
yang optimal. Tabel 3 menunjukkan perolehan jumlah cluster dan evaluasi hasil
cluster pada data sebaran titik panas tahun 2002.
Tabel 3 Jumlah cluster dan evaluasi hasil cluster data sebaran
titik panas tahun 2002
Jumlah
Jumlah
Noise SSE
Eps Minpts
Noise SSE Eps Minpts
Cluster
Cluster
0.01
1
2809
0 0.038 0.04
4
191
431 0.121
0.01
2
1253 1556 0.052 0.04
5
166
572 0.122
0.01
3
589 2882 0.086 0.04
6
156
684 0.106
0.01
4
427 3751 0.117 0.05
1
326
0 0.126
0.01
5
282 4762 0.165 0.05
2
241
84 0.126
0.01
6
192 5590 0.205 0.05
3
184
200 0.127
0.02
1
1103
0 0.062 0.05
4
159
297 0.127
0.02
2
691
412 0.063 0.05
5
141
394 0.127
0.02
3
452
890 0.066 0.05
6
127
488 0.127
0.02
4
362 1245 0.071 0.06
1
253
0 0.129
0.02
5
287 1708 0.078 0.06
2
195
58 0.129
0.02
6
242 2088 0.086 0.06
3
148
154 0.129
0.03
1
648
0 0.075 0.06
4
127
224 0.129
0.03
2
436
212 0.075 0.06
5
115
302 0.129
0.03
3
304
476 0.076 0.06
6
107
371 0.129
0.03
4
256
663 0.076 0.1
1
100
0 0.261
0.03
5
214
883 0.077 0.1
2
77
23 0.261
0.03
6
195 1061 0.079 0.1
3
68
41 0.261
0.04
1
444
0 0.12 0.1
4
63
58 0.261
0.04
2
314
130 0.12 0.1
5
56
90 0.261
0.04
3
226
308 0.121 0.1
6
52
100 0.26
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai cluster dan titik noise yang relatif kecil
diperoleh pada Eps = 0.1 dan Minpts 6, dimana terbentuk 53 cluster yang tersebar
di areal lahan gambut. Tabel 4 menunjukkan jumlah titik panas pada setiap cluster
sebagai hasil clustering dengan jumlah cluster sebanyak 53.

17
Tabel 4 Jumlah titik panas tahun 2002 pada setiap cluster
cluster
hotspot
%
cluster hotspot
%
0
92
0.71
27
125
0.97
1
580
4.48
28
2
0.02
2
116
0.90
29
14
0.11
3
74
0.57
30
6
0.05
4
6
0.05
31
87
0.67
5
105
0.81
32
12
0.09
6
4818
37.24
33
35
0.27
7
16
0.12
34
13
0.10
8
23
0.18
35
5
0.04
9
427
3.30
36
6
0.05
10
300
2.32
37
0
0.00
11
139
1.07
38
7
0.05
12
6
0.05
39
0
0.00
13
25
0.19
40
15
0.12
14
11
0.09
41
0
0.00
15
96
0.74
42
21
0.16
16
29
0.22
43
10
0.08
17
216
1.67
44
0
0.00
18
17
0.13
45
16
0.12
19
82
0.63
46
8
0.06
20
31
0.24
47
0
0.00
21
554
4.28
48
9
0.07
22
64
0.49
49
6
0.05
23
1
0.01
50
24
0.19
24
4617
35.69
51
20
0.15
25
7
0.05
52
7
0.05
26
37
0.29
Berdasarkan Tabel 4, areal dengan kepadatan titik panas tertinggi terdapat
pada cluster 6 dan 24. Nilai densitas titik panas cluster 6 mencapai 0.226 km2 dan
pada cluster 24 mencapai 0.201 km2. Gambar 8 menunjukkan sebaran titik panas
pada cluster 6 dan 24.

18

(a) Titik panas pada cluster 6

(b) Titik panas pada cluster 24

Gambar 9 Sebaran titik panas pada cluster 6 dan 24
Berdasarkan Gambar 9, beberapa kabupaten di provinsi Riau termasuk
dalam areal cluster 6, sedangkan areal cluster 24 terdapat di Sum