Autekologi dan Kesesuaian Habitat Langkap (Arenga obtusifolia Mart.) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Jawa Barat

AUTEKOLOGI DAN KESESUAIAN HABITAT LANGKAP
(Arenga obtusifolia Mart.) DI CAGAR ALAM
LEUWEUNG SANCANG, JAWA BARAT

DIDI USMADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul autekologi dan
kesesuaian habitat langkap (Arenga obtusifolia Mart.) di Cagar Alam Leuweung
Sancang, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Didi Usmadi
NIM E351120141

RINGKASAN
DIDI USMADI. Autekologi dan Kesesuaian Habitat Langkap (Arenga obtusifolia
Mart.) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Jawa Barat. Dibimbing oleh AGUS
HIKMAT, JOKO RIDHO WITONO dan LILIK BUDI PRASETYO.
Langkap (Arenga obtusifolia) merupakan salah satu spesies tumbuhan dari
suku Arecaceae yang pemanfaatannya masih relatif terbatas, namun
perkembangbiakan dan regenerasi di habitat alaminya sangat cepat serta
cenderung bersifat invasif. Usaha domestikasi dan pengendalian penyebaran
langkap di habitat alaminya diperlukan penelitian tentang autekologi dan
kesesuaian habitat langkap dengan lokasi penelitian di Cagar Alam Leuweung
Sancang. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kelimpahan dan struktur
populasi langkap, menganalisis pola sebaran langkap, menganalisis asosiasi
langkap dengan spesies lainnya, menganalisis karakteristik komponen habitat dan
pengaruhnya terhadap populasi langkap dan membangun model spasial
kesesuaian habitat langkap di Cagar Alam Leuweung Sancang. Pengambilan data

dilakukan menggunakan metode jalur berpetak dengan sistematik sampling.
Langkap merupakan spesies yang dominan di Cagar Alam Leuweung
Sancang pada tingkat pancang dan tiang. Struktur populasi langkap menunjukkan
struktur populasi tumbuhan yang normal, sehingga diperkirakan dapat
mempertahankan keberadaan populasinya di Cagar Alam Leuweung Sancang.
Pola sebaran langkap pada semua tingkat pertumbuhan mengikuti pola
penyebaran populasi mengelompok dan mempunyai asosiasi dengan 13 spesies
tumbuhan lain dengan tingkat asosiasi sangat lemah. Faktor habitat yang
memengaruhi kelimpahan langkap berupa faktor vegetasi (kerapatan pancang,
kerapatan tiang, kerapatan pohon, luas bidang dasar/ LBDS tiang, LBDS pohon
dan naungan), faktor fisik (jarak dari sungai), faktor iklim mikro (suhu udara,
kelembapan udara dan intensitas penyinaran), faktor gangguan manusia (jarak dari
jalan dan jarak dari kebun) dan faktor edafis (liat, pasir, C organik, rasio C/N dan
kalsium). Analisis permodelan spasial kesesuaian habitat langkap melalui regresi
logistik biner dengan peubah bebas berupa Forest Canopy Density (FCD),
kelerengan, jarak dari sungai dan Normalized Difference Moisture Index (NDMI)
telah mampu memprediksi kesesuaian habitat langkap di Cagar Alam Leuweung
Sancang.
Kata kunci: autekologi, kesesuaian habitat, langkap, Arenga obtusifolia,
permodelan spasial, Cagar Alam Leuweung Sancang


SUMMARY
DIDI USMADI. Autecology and Habitat Suitability of Langkap (Arenga
obtusifolia Mart.) in Leuweung Sancang Nature Reserve, West Java. Supervised
by AGUS HIKMAT, JOKO RIDHO WITONO and LILIK BUDI PRASETYO.
Langkap (Arenga obtusifolia) is one species of the Arecaceae. Its utilization
limited, compared with their fast growth and regeneration in their natural habitat
and this species tend to be invasive. Autecology and habitat suitability research is
needed for domestication and control of langkap in the Leuweung Sancang Nature
Reserve. The aim this study was to analyze the abundance and population
structure, distribution pattern, the associations of langkap with other species, the
characteristics of the habitat components and their effects on it populations and
build spatial models of habitat suitability in the Leuweung Sancang Nature
Reserve. Data collected was performed by using strip transect method with
systematic sampling.
Langkap has become the dominant species in Leuweung Sancang Nature
Reserve on saplings and pole level. Langkap population structure shows normal
structure population and expected to maintain their population in Leuweung
Sancang Nature Reserve. The distribution pattern of langkap in all level of growth
followed clumped pattern. Langkap has low association level with 13 other plant

species. The vegetation factors (saplings density, pole density, tree density, basal
area of poles, basal area of trees and shade), topography factors (distance from the
river), micro-climate factors (temperature, humidity, and radiation intensity),
human disturbance factors (distance from the road and the distance from the
garden) and edaphic factors (clay content, sand content, C organic, C/N ratio, and
calcium) were found to be affecting the abundance of langkap. Analysis of spatial
modeling habitat suitability of langkap through binary logistic regression with
independent variables in the form of the Forest Canopy Density (FCD), slope,
distance from the river and Normalized Difference Moisture Index (NDMI) have
been able to predict habitat suitability of langkap in Leuweung Sancang Nature
Reserve.
Keywords: autecology, habitat suitability, langkap, Arenga obtusifolia, spatial
modeling, Leuweung Sancang Nature Reserve

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AUTEKOLOGI DAN KESESUAIAN HABITAT LANGKAP
(Arenga obtusifolia Mart.) DI CAGAR ALAM
LEUWEUNG SANCANG, JAWA BARAT

DIDI USMADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Iwan Hilwan, MS

Judul Tesis : Autekologi dan Kesesuaian Habitat Langkap (Arenga obtusifolia
Mart.) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Jawa Barat
Nama
: Didi Usmadi
NIM
: E351120141

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop
Ketua

Dr Ir Joko RidhoWitono, MSi
Anggota

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 April 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian adalah bidang ekologi, dengan judul autekologi dan
kesesuaian habitat langkap (Arenga obtusifolia Mart.) di Cagar Alam Leuweung
Sancang, Jawa Barat.
Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus
Hikmat, MScFTrop, Bapak Dr Ir Joko Ridho Witono, MSi dan Bapak Prof Dr Ir
Lilik Budi Prasetyo, MSc yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga berterima kasih
kepada:
1. Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa sehingga
penulis dapat melakukan melanjutkan studi melalui program Karya Siswa
Ristek Tahun 2012.
2. Dr Ir Iwan Hilwan, MS selaku dosen penguji pada ujian tesis yang telah
memberikan masukan terhadap tesis ini.
3. Dr Didik Widyatmoko, MSc selaku Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan
Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan
pengarahan dan motivasi untuk menyelesaikan studi.
4. Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian dan staf resort Cagar Alam
Leuweung Sancang yang telah membantu dalam melakukan penelitian.
Terima kasih secara khusus penulis ucapkan kepada Ayahanda Mukim,

Ibunda Ruminah, kakak dan adik, istri tercinta Kristianasari dan putra tersayang
M. Farrel Alfarizqi yang telah memberikan doa, motivasi, semangat dan dorongan
kepada penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Didi Usmadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

x


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
2
3
3
3

2 METODE
Waktu dan Lokasi
Alat dan Materi
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data


5
5
5
6
7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Komposisi Vegetasi
Keanekaragaman Vegetasi
Kemiripan Komunitas
Populasi Langkap
Struktur Populasi Langkap
Dominasi dan Invasif Langkap
Pola Penyebaran Langkap
Asosiasi Langkap dengan Spesies Tumbuhan Lain
Karakteristik Habitat Langkap
Pengaruh Habitat Terhadap Kelimpahan Langkap
Model Spasial Kesesuaian Habitat Langkap
Implikasi Model Terhadap Pengelolaan Kawasan

16
16
16
18
20
22
24
25
28
29
30
42
47
50

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

51
51
51

DAFTAR PUSTAKA

51

LAMPIRAN

56

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Kontingensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies
Peubah habitat langkap sebagai peubah penduga model
Indeks nilai penting pada berbagai tingkat pertumbuhan (5 nilai
tertinggi)
Nilai indeks keanekaragaman spesies pada berbagai tingkat
pertumbuhan di CALS
Nilai indeks kemerataan spesies pada berbagai tingkat pertumbuhan di
CALS
Indeks kemiripan komunitas di CALS
Kelimpahan langkap di CALS
Nilai indeks Morisita terstandar dan pola penyebaran langkap pada
berbagai tingkat pertumbuhan
Indeks asosiasi langkap dengan spesies tumbuhan lain
Karakteristik vegetasi, topografi, iklim mikro dan gangguan manusia
habitat langkap di CALS
Sifat fisik dan kimia tanah di CALS
Karakteristik peubah spasial habitat langkap di CALS
Korelasi peubah spasial habitat langkap
Hasil analisis regresi logistik biner

10
12
18
19
19
21
23
28
29
31
37
39
47
48

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Kerangka pemikiran penelitian
Lokasi penelitian
Skema pembuatan plot contoh
Bagan alir metode penelitian
Dendogram kemiripan lokasi penelitian berdasarkan jumlah individu
pada masing-masing tingkat pertumbuhan
Distribusi populasi langkap di CALS
Kerapatan langkap pada beberapa lokasi penelitian
Dominasi langkap pada plot penelitian
Morfologi langkap (a. pohon dewasa, b. semai, c. bunga, d. buah)
Sebaran langkap berdasarkan ketinggian di CALS
Sebaran langkap berdasarkan kelerengan di CALS
Sebaran langkap berdasarkan jarak dari sungai di CALS
Curah hujan bulanan di CALS tahun 2003-2013
Sebaran langkap berdasarkan jarak dari jalan di CALS
Kemiripan lokasi penelitian berdasarkan peubah topografi, iklim
mikro dan gangguan manusia
Sebaran langkap berdasarkan jenis tanah
Kemiripan lokasi penelitian berdasarkan karakteristik sifat fisik dan
kimia tanah
Sebaran langkap berdasarkan nilai NDVI di CALS
Sebaran langkap berdasarkan FCD di CALS
Sebaran langkap berdasarkan NDMI di CALS

4
5
6
15
22
24
25
26
27
32
32
33
34
35
35
36
38
40
41
42

21
22
23

Interaksi peubah vegetasi, topografi, iklim mikro dan gangguan
manusia dalam habitat langkap di CALS
Interaksi peubah tanah dalam habitat langkap di CALS
Kesesuaian habitat langkap di CALS

43
46
49

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Spesies tumbuhan pada semua tingkat pertumbuhan yang ditemukan di
CALS
Hasil analisis vegetasi di kawasan CALS (10 nilai INP tertinggi)
Analisis komponen utama faktor vegetasi, topografi, iklim mikro dan
gangguan manusia
Matriks korelasi antar peubah faktor vegetasi, topografi, iklim mikro
dan gangguan manusia
Analisis faktor komponen utama faktor edafis
Matrik korelasi antar peubah faktor edafis

56
62
64
66
67
68

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suku palem-paleman (Arecaceae) merupakan salah satu kelompok
tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan telah lama
dimanfaatkan oleh masyarakat dunia dalam berbagai keperluan. Pemanfaatan
spesies-spesies dari suku tersebut diantaranya sebagai bahan makanan, minuman,
bahan bangunan, obat dan tanaman hias. Arecaceae memiliki jumlah spesies yang
sangat banyak yaitu sebanyak 2 364 spesies dari 190 marga (Govaerts dan
Dransfield 2005). Salah satu marga dari suku Arecaceae adalah Arenga. Marga
Arenga terdiri dari 20 spesies (Govaerts dan Dransfield 2005), dimana 10 spesies
diantaranya merupakan spesies endemik (Mogea 1991).
Langkap (Arenga obtusifolia Mart.) merupakan salah satu spesies dari
marga Arenga. Langkap memiliki nama sinonim yaitu Saguerus langbak Blume
(Mogea 1991) dan Gomutus obtusifolius Blume (Govaerts dan Dransfield 2005).
Penyebaran langkap meliputi Thailand, Kamboja, Semenanjung Malaysia,
Sumatera dan Jawa (Mogea dan Siemonsma 1996). Di Indonesia spesies ini
dikenal dengan nama daerah diantaranya langkap, bolangan, kawung gumpul dan
langko (Sastrapradja et al. 1978; Mogea 1991, Mogea dan Siemonsma 1996).
Habitus langkap berupa pohon berumpun dengan tinggi mencapai 20 m. Jumlah
daun pada batang sebanyak delapan dengan anak daun berbentuk pita, permukaan
daun kasar dan bagian tepi bergerigi (Mogea 1991). Perbungaan langkap terletak
pada ketiak dari daun-daun tua atau yang telah gugur. Bunga menggantung dalam
malai dan yang tertua tumbuh di ujung batang (Haryanto dan Siswoyo 1997).
Buah langkap berbentuk bulat lonjong atau bulat telur sungsang. Buah muda
berwarna hijau dan masak berwarna merah tua serta setiap buah memiliki biji
sebanyak tiga buah (Mogea 1991).
Pemanfaatan langkap oleh masyarakat relatif terbatas diantaranya nira untuk
dibuat minuman, batang digunakan sebagai pondasi di air payau, daun untuk atap
rumah, umbut sebagai sayuran dan biji sebagai makanan serta berpotensi sebagai
tanaman hias (Mogea dan Siemonsma 1996; Sastrapradja et al. 1978;
Pongsattayapipat dan Barfod 2005; Johnson 1992). Langkap berpotensi sebagai
tanaman alternatif penghasil gula melalui nira yang dihasilkannya. Menurut
Heyne (1987) nira langkap mempunyai aroma yang harum dan lebih manis
dibandingkan nira aren (Arenga pinnata). Namun volume nira yang dihasilkan
oleh langkap lebih sedikit dibandingkan nira dari aren (Sastrapradja et al. 1978).
Oleh karena itu perlu adanya kegiatan domestikasi langkap, sehingga langkap
dapat dikembangkan sebagai tumbuhan alternatif penghasil gula dan dapat
memenuhi kebutuhan gula di Indonesia yang terus meningkat tiap tahunnya.
Perkembangbiakan dan regenerasi langkap di habitat alaminya sangat cepat
dan menjadi spesies yang dominan serta kecenderungan menguasai sumberdaya
(ruang tumbuh, hara, CO2, air dan cahaya matahari), sehingga cenderung bersifat
invasif di beberapa kawasan konservasi diantaranya Taman Nasional Ujung Kulon
(Haryanto 1997) dan Cagar Alam Nusakambangan (Robiansyah 2011). Invasi
langkap di kawasan konservasi mengakibatkan dampak negatif diantaranya
penurunan keanekaragaman hayati baik satwa maupun tumbuhan, produktivitas

2
hutan menurun dan degradasi lingkungan (Haryanto 1997; Fei et al. 2009). Oleh
karena itu perlu adanya kontrol dan pengendalian yang efektif dan efisien dalam
rangka mengurangi dampak yang diakibatkan oleh spesies invasif (Denslow 2007).
Upaya domestikasi, pengelolaan kawasan konservasi dan pengendalian
penyebaran langkap perlu didukung dengan pemahaman tentang aspek ekologi
langkap diantaranya mengenai kelimpahan, struktur populasi, pola sebaran,
distribusi, habitat, interaksi dengan komponen habitat, asosiasi, distribusi dan
kesesuaian habitat spesies tersebut. Kegiatan pencegahan, pengendalian
penyebaran langkap dan konservasi kawasan dari invasi langkap perlu didukung
dengan adanya peta kesesuaian habitat langkap yang akurat. Pembuatan peta
kesesuaian habitat langkap dapat dilakukan melalui model spasial kesesuaian
habitat langkap dengan pendekatan model berbasis Sistem Informasi Geografis
(SIG) menggunakan data-data penginderaan jauh. Penginderaan jauh dapat
digunakan dalam mendeteksi dan mengetahui distribusi dari tumbuhan invasif
(Shouse et al. 2013).

Perumusan Masalah
Cagar Alam Leuweung Sancang (CALS) merupakan salah satu ekosistem
hutan dipterocarpa dataran rendah di Pulau Jawa yang masih tersisa (Sidiyasa et al.
1985). Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Menteri
Pertanian No. 370/Kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni 1978 dengan luas
2 517 ha
(BBKSDA Jawa Barat 2015). Keanekaragaman tumbuhan di Cagar Alam
Leuweung Sancang pada tahun sebelum 1990 pada vegetasi hutan dipterocarpa
didominasi oleh Dipterocarpus hasseltii (Sidiyasa et al. 1985), sedangkan di luar
vegetasi hutan dipterocarpa didominasi oleh Shorea javanica, Drypetes ovalis dan
Eugenia jamboloides (Kalima et al. 1988).
Tekanan penduduk yang sangat tinggi di sekitar CALS mengakibatkan
semakin meningkatnya penebangan liar dan aktivitas manusia di CALS. Hal
tersebut menimbulkan kerusakan kawasan dan dapat berpengaruh terhadap
keanekaragaman spesies serta perkembangbiakan suatu spesies tumbuhan tertentu.
Penebangan liar dan perambahan hutan secara besar-besaran pada tahun 1998–
2002 mengakibatkan CALS mengalami kerusakan hutan yang parah. Menurut
Konus (2007) dalam Suwartini et al. (2008), 1 000 ha atau setengah dari luas
Cagar Alam Leuweung Sancang menjadi lahan terbuka. Kerusakan kawasan hutan
tersebut juga mengakibatkan perubahan komposisi vegetasi dimana saat ini lebih
didominasi oleh Ficus altissima dan Terminalia catappa (Suwartini et al. 2008).
Kerusakan hutan tersebut juga dapat berdampak pada perkembangbiakan dan
penyebaran langkap di kawasan tersebut.
Langkap mempunyai kemampuan adaptasi terhadap kondisi habitat yang
tinggi dan mempuyai kecenderungan bersifat invasif. Oleh karena itu penelitian
untuk memahami kondisi populasi yang meliputi kelimpahan, struktur populasi,
pola sebaran, asosiasi, karakteristik habitat, interaksi spesies dengan komponen
habitat sangat diperlukan. Saat ini masih sangat sedikit data dan informasi tentang
ekologi langkap di CALS dan belum adanya penelitian tentang kesesuian habitat
langkap secara spasial.

3
CALS cocok sebagai lokasi penelitian karena lokasi tersebut merupakan
salah satu habitat alami dari langkap, belum ada penelitian autekologi langkap di
kawasan tersebut dan mulai terjadinya kecenderungan invasif langkap. Berkaitan
dengan pengelolaan kawasan konservasi, maka perlu dilakukan pembangunan
model kesesuaian habitat bagi langkap.
Permasalahan yang menjadi kajian penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kelimpahan dan struktur populasi langkap di CALS?
2. Bagaimana pola sebaran langkap di CALS?
3. Bagaimana asosiasi langkap dengan spesies lainnya?
4. Bagaimana karakteristik komponen habitat dan pengaruhnya terhadap
kelimpahan populasi langkap?
5. Bagaimana kesesuaian habitat langkap di CALS secara spasial?

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.
5.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
Menganalisis kelimpahan dan struktur populasi langkap di CALS.
Menganalisis pola sebaran langkap di CALS.
Menganalisis asosiasi langkap dengan spesies lainnya.
Menganalisis karakteristik komponen habitat dan pengaruhnya terhadap
kelimpahan populasi langkap.
Membangun model spasial kesesuaian habitat langkap di CALS .

Manfaat Penelitian
Informasi autekologi langkap diharapkan dapat mendorong upaya
pengenalan, pengembangan, domestikasi dan budidaya langkap. Hasil penelitian
juga diharapkan dapat memberikan informasi dasar bagi pengelola CALS dalam
kegiatan pengelolaan kawasan, sehingga program pengelolaan, pencegahan dan
pengendalian langkap di CALS dapat berjalan lebih terfokus, efektif dan efisien.

Kerangka Pemikiran
Beberapa kajian tentang langkap diantaranya aspek taksonomi dan pertelaan
langkap (Mogea 1991; Pongsattayapipat dan Barfod 2005). Pongsattayapipat dan
Barfod 2005) melakukan penelitian berupa identifikasi karakteristik vegetatif dan
reproduktif langkap yang tumbuh di Thailand. Haryanto dan Siswoyo (1997)
mendeskripsikan sifat morfologis dan anatomis langkap yang tumbuh di Taman
Nasional Ujung Kulon diantaranya karakteristik daun, batang, akar, bunga, buah
dan biji. Zakaria et al. (2000) melakukan penelitian tentang aspek pertumbuhan
langkap, pada fase semai langkap menghasilkan 0.5 daun per tahun, fase juvenile
menghasilkan 0.8 daun per tahun dan fase dewasa menghasilkan 1.2 daun per
tahun.
Aspek dampak invasi langkap terhadap keanekaragaman tumbuhan telah
diteliti oleh Haryanto (1997). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa invasi
langkap di Taman Nasional Ujung Kulon menyebabkan penurunan

4
keanekaragaman tumbuhan dan satwa liar. Aspek kemungkinan adanya allelopati
langkap dan pengaruhnya terhadap semai tumbuhan lain telah diteliti oleh
Supriatin (2000). Hasil penelitian tersebut esktrak daun segar, serasah dan buah
langkap berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tinggi, berat basah dan berat
kering semai Pterospermum javanicum, namun tidak berpengaruh terhadap semai
langkap.
Kajian tentang autekologi dari langkap tersebut belum ada penelitian yang
dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu studi tentang autekologi untuk
memahami kondisi populasi langkap yang meliputi kelimpahan, struktur populasi,
asosiasi, pola sebaran, karakteristik habitat di suatu kawasan konservasi dan
pengaruh karakteristik habitat (vegetasi, topografi, iklim mikro, gangguan
manusia dan edafis) terhadap kelimpahan populasi langkap. Kajian tentang
distribusi spasial dan kesesuaian habitat langkap juga belum ada penelitian yang
dilakukan. Data kehadiran dan ketidakhadiran langkap serta pemanfaatan data
citra satelit dan Sistem Informasi Geografis (GIS) dapat digunakan untuk
mengetahui distribusi spasial langkap pada suatu kawasan konservasi. Sketsa
kerangka pemikiran penelitian tersaji dalam Gambar 1.

Konservasi langkap

Autekologi

Populasi

Habitat












Kelimpahan
Stuktur populasi
Pola sebaran
Asosiasi

Invasif

Vegetasi
Topografi
Iklim mikro
Gangguan manusia
Edafis

Preferensi habitat

 Pengelolaan kawasan
 Pencegahan dan pengendalian
invasif

Distribusi spasial dan
kesesuaian habitat

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

5

2 METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juli 2014 di Kawasan Cagar Alam
Leuweung Sancang yang termasuk dalam pengelolaan Balai Besar Konservasi
Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Bidang Konservasi Sumber Daya
Alam Wilayah III Ciamis, Seksi Konservasi Wilayah VII Sancang. CALS secara
administratif terletak di wilayah Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut, Provinsi
Jawa Barat (Gambar 2). Analisis contoh tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah
Bogor.

Gambar 2 Lokasi penelitian

Alat dan Materi
Peralatan lapangan yang digunakan yaitu: kamera dengan lensa fisheye,
Global Positioning System (GPS), pita ukur diameter, digital lightmeter,
thermohigrometer dan kompas. Peralatan perangkat lunak komputer berupa:
Hemiview 2.1, SPSS Statistics 19, Minitab 14, Arc GIS 9.3, FCD Mapper dan
Erdas Imagine 9.1.
Materi yang digunakan di lapangan berupa langkap dan tegakan vegetasi
lain di lokasi penelitian. Bahan yang digunakan dalam analisis spasial meliputi:
citra LANDSAT 8/OLI-TIRS (Onboard Operational Land Imager-Thermal
Infrared Sensor) path/row 121/65 akuisisi 30 Maret 2014, Citra ASTER Global

6
Digital Elevation Model (GDEM), peta batas kawasan CALS, peta jaringan
sungai, peta jaringan jalan dan peta jenis tanah.

Metode Pengumpulan Data
Analisis vegetasi
Pengambilan data populasi langkap dan struktur komunitas di lokasi
penelitian dilakukan dengan menggunakan metode garis transek berpetak dengan
sistematik sampling. Garis transek dibuat memotong garis kontur dan memanjang
dari selatan (pantai) ke utara sampai batas kawasan. Jumlah garis transek yang
dibuat sebanyak 5 buah dengan panjang ± 2 000 m, jarak antar plot contoh sebesar
80 m dan jarak antar garis transek sebesar ± 1 000 m. Hasil penempatan jalur
diperoleh lokasi pengambilan data terletak di blok Cipalawah, Sakad, Cipunaga,
Cibako dan Ciporeang. Total plot contoh yang dibuat sebanyak 99 buah sehingga
luas plot contoh seluas 3.96 ha.
Pengambilan data populasi vegetasi pada tingkat semai dan tumbuhan
bawah menggunakan plot berukuran 2 m x 2 m, tingkat pancang menggunakan
plot berukuran 5 m x 5 m, tingkat tiang menggunakan plot berukuran 10 m x 10 m
dan tingkat pohon menggunakan plot berukuran 20 m x 20 m (Gambar 3).
Definisi untuk masing-masing tingkat pertumbuhan pohon adalah sebagai berikut:
(1) semai adalah regenerasi awal pohon dengan ukuran tinggi kurang dari 1.5 m,
(2) pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1.5 m dan
diameter batang kurang dari 10 cm, (3) tiang adalah regenerasi pohon dengan
diameter 10–20 cm, dan (4) pohon adalah tumbuhan berkayu dengan diameter
batang > 20 cm (Soerianegara dan Indrawan 1998).
80 m
20 m
arah rintisan
20 m
1000 m

Gambar 3 Skema pembuatan plot contoh
Pengukuran karakteristik habitat
Pengukuran karakteristik habitat dilakukan terhadap kondisi habitat langkap
yaitu faktor vegetasi, topografi, iklim mikro, gangguan manusia dan edafis. Faktor
vegetasi meliputi: kerapatan semai, kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan
pohon, LBDS tiang, LBDS pohon dan naungan. Faktor topografi yang diukur
meliputi ketinggian, kelerengan, arah lereng dan jarak dari sungai. Faktor iklim

7
mikro diantaranya suhu udara, kelembapan udara, intensitas penyinaran dan curah
hujan, faktor gangguan manusia diantaranya jarak dari jalan patroli/setapak dan
jarak dari kebun/perkebunan serta faktor edafis berupa sifat fisika dan kimia tanah.
Naungan dianalisis dari foto tutupan tajuk menggunakan kamera digital
berlensa fisheye. Pengukuran ketinggian tempat tumbuh langkap dilakukan
dengan menggunakan altimeter dan GPS. Pengukuran kelerengan dilakukan
dengan menganalisis data ASTER GDEM, arah kelerengan diukur dengan
menggunakan kompas. Pengukuran intensitas penyinaran dilakukan dengan
menggunakan digital lightmeter. Suhu dan kelembapan udara diukur dengan
menggunakan termohigrometer digital serta data curah hujan berupa data
sekunder hasil pengukuran curah hujan Perkebunan Miramare PTPN VIII. Data
jarak dengan jaringan sungai, jalan patroli dan kebun dilakukan dengan
menggunakan analisis spasial dengan metode teknik Euclidean distance.
Pengambilan contoh tanah dilakukan sebanyak 2 plot setiap jalur yaitu plot
contoh ukuran 20 x 20 m pertama dan keempat ditemukan langkap. Pengambilan
contoh tanah dilakukan pada kedalaman 0–20 cm dan > 20 cm masing-masing
sebanyak 0.5 kg dan dicampur rata (komposit), sehingga jumlah contoh tanah
yang diambil sebanyak 10 contoh tanah. Contoh tanah selanjutnya dianalisis
faktor fisika berupa tekstur tanah (pasir, debu dan liat) dan faktor kimia berupa pH,
kandungan C, N, rasio C/N, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kandungan unsur
makro tanah (K, Ca, Mg dan Na).
Model spasial kesesuaian habitat
Data yang diperlukan dalam pembuatan model spasial kesesuaian habitat
berupa data kehadiran dan ketidakhadiran langkap dan peubah spasial habitat
langkap. Identifikasi kehadiran dan ketidakhadiran langkap dilakukan pada plot
contoh ukuran 20 x 20 m. Peubah habitat langkap yang digunakan berupa:
penutupan vegetasi, ketinggian, kelerengan, arah lereng, suhu permukaan
vegetasi, kelembapan vegetasi, jarak terdekat dari jaringan sungai, jarak dari jalan
dan jarak dari kebun.

Metode Analisis Data
Analisis keanekaragaman spesies
Analisis keanekaragaman spesies dilakukan dengan menggunakan nilai
Indeks Keanekaragaman Shannon-Weiner (Ludwig dan Reynolds 1988; Krebs
1989) dengan persamaan sebagai berikut:
H’ = - Σ pi ln pi
pi = ni / N
Dimana: H’ = Indeks Keanekaragaman spesies, pi = proporsi spesies i terhadap
keseluruhan jumlah spesies yang dijumpai dalam plot contoh di lokasi penelitian,
ni = jumlah individu spesies i, dan N = jumlah individu seluruh spesies yang
ditemukan dalam plot pengamatan. Kategori tingkat keanekaragaman spesies
yaitu rendah nilai H’ sebesar 0–1, kategori sedang nilai H’ sebesar 1–3 dan
kategori tinggi nilai H’ > 3 (Ludwig dan Reynolds 1988).

8
Indeks kemerataan
Indeks kemerataan komunitas vegetasi dilakukan dengan menggunakan nilai
Indeks Evennes (Odum 1996) dihitung dengan menggunakan persamaan:
E=

H
ln

Dimanaμ E = Indeks kemerataan, H’= Indeks keanekaragaman Shannon –
Wienner, S = Jumlah spesies.
Kategori tingkat kemerataan komunitas yaitu rendah nilai E sebesar < 0.4,
kategori sedang nilai E sebesar 0.4–0.6 dan kategori tinggi nilai E > 0.6.
Indeks kemiripan komunitas
Tingkat kemiripan komunitas ditentukan berdasarkan Indeks Similaritas (IS)
(Bray dan Curtis 1957). Indeks Similaritas dihitung dengan menggunakan
persamaan:
I =

2
+B

x 100

Dimana: IS = Indeks Similaritas, W = jumlah individu yang lebih rendah atau
sama dari pasangan spesies yang dibandingan pada komunitas j dan komunitas k,
A = jumlah individu semua spesies ditemukan pada komunitas j, B = jumlah
individu semua spesies ditemukan pada komunitas k.
Komposisi dan struktur vegetasi
Penghitungan data kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif,
dominansi, dominansi relatif serta indeks nilai penting dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 1998):
Kerapatan (individu/ha) =
erapatan elatif
Dominansi (m2/ha) =
Dominansi elatif
Frekuensi =

Jumlah dari suatu spesies
Luas plot ontoh

Kerapatan dari suatu spesies
x 100
Kerapatan seluruh spesies

=

Jumlah idang dasar dari suatu spesies
Luas plot ontoh
=

Dominansi dari suatu spesies
x 100
Dominansi seluruh spesies

Jumlah plot ditemukannya suatu spesies
Jumlah seluruh plot ontoh

Frekuensi elatif

=

Frekuensi dari suatu spesies
x 100
Frekuensi seluruh spesies

9
IN

= Kerapatan elatif + Dominansi elatif + Frekuensi elatif

Analisis pola sebaran
Pola penyebaran populasi langkap menggunakan Indeks Morisita yang
terstandar (standardized Morisita’s index) (Morisita 1962 dalam Krebs 1989).
Indeks tersebut dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
∑ x2 - ∑ x
Id = n [
]
∑x 2 - ∑x

Dimana: Id = indeks dispersi Morisita, n = jumlah plot, x = jumlah individu yang
ditemukan pada setiap plot
Indeks Morisita yang diperoleh selanjutnya dicari dua titik kritisnya yaitu
indeks Mu (Uniform Indeks) dan Mc (Clumped Indeks) melalui uji χ2 untuk
mencari derajat pengelompokannya. Mc atau Mu dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut:
Mu =
M=

2
0.λ75

– n + ∑ xi
∑ xi – 1

2
0.025

– n + ∑ xi
∑ xi – 1

Dimana: X0.975 = nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 97.5 % area ke
sebelah kanan kurva, X0.025 = nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 2.5 %
area ke sebelah kanan kurva, ΣXi = jumlah spesies dalam kuadrat i (i = 1,...n), n =
jumlah kuadrat.
Indeks Morisita terstandar (IP) dihitung berdasarkan salah satu dari empat
persamaan berikut:
1. Jika Id ≥ Mc > 1,0 :
Id - M
Ip = 0.5 + 0.5 (
)
n-M

2. Jika Mc > Id ≥ 0 μ
Ip = 0.5 (

Id - 1
)
Mu - 1

3. Jika 1,0 > Id > Mu :
Id - 1
Ip = -0.5 (
)
Mu - 1

4. Jika 1,0 > Mu > Id :

10
Id - Mu
Ip = -0.5 + 0.5 (
)
Mu

Indeks Morisita yang terstandar (IP) ini berkisar antara -1.0 hingga +1.0. Jika IP =
0 pola penyebaran acak, IP < 0 pola penyebaran seragam dan IP > 0 pola
penyebaran mengelompok.
Asosiasi langkap dengan spesies tumbuhan lain
Asosiasi antara langkap dengan spesies tumbuhan lain dilakukan dengan
menggunakan tabel kontingensi 2 x 2 untuk setiap pasangan spesies (Tabel 1)
Tabel 1 Kontingensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies

Langkap

Ada
Tidak ada

Ada
a
c
r=a+c

Spesies A
Tidak ada
b
d

m=a+b
n=c+d

s=b+d

Dimana: a = jumlah plot pengamatan ditemukannya langkap dan spesies A,
b = jumlah plot pengamatan ditemukannya langkap, namun tidak spesies A,
c = jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies A, namun tidak langkap,
d = jumlah plot pengamatan tidak ditemukan kedua spesies.
Selanjutnya diuji dengan menggunakan uji Chi-Square (Ludwig dan
Reynolds 1988) yaitu:
[F
2
hitung =

x -E x ]2
E x

Dimana: F(x) = nilai pengamatan, E (x) = nilai harapan.
Sifat asosiasi diketahui dengan membandingkan antara nilai pengamatan
untuk x (F(x)) dengan nilai harapan (E(x)). Jika F(x) > E(x), maka asosiasi
bersifat positif. Jika F(x) < E(x), maka asosiasi bersifat negatif (Ludwig dan
Reynolds 1998). Sedangkan nilai besarnya asosiasi antara langkap dengan spesies
tumbuhan lainnya dihitung dengan menggunakan Indeks Jaccard dengan
persamaan sebagai berikut (Ludwig dan Reynolds 1988):
JI =

a
a+ +

Dimana: JI = Indeks Jaccard, a = jumlah plot pengamatan ditemukannya langkap
dan spesies A, b = jumlah plot pengamatan ditemukannya langkap, namun tidak
spesies A, c = jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies A, namun tidak
langkap.

11
Analisis faktor habitat
Analisis faktor habitat dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor habitat
terhadap keberadaan langkap. Data habitat dianalisis dengan analisis cluster
(kelompok), Principle Component Analysis (PCA) dan model regresi komponen
utama. Analisis cluster dilakukan untuk mengetahui kemiripan kondisi habitat
tempat tumbuh langkap pada beberapa lokasi penelitian. Analisis komponen
utama dilakukan untuk melihat secara serentak keseluruhan interaksi antara
populasi langkap dengan komponen habitat. Analisis regresi komponen utama
digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor habitat terhadap populasi langkap.
Faktor vegetasi, topografi, iklim mikro, gangguan manusia dan edafis dijadikan
sebagai peubah bebas (X), sedangkan peubah tak bebas (Y) berupa kelimpahan
populasi langkap. Persamaan regresi komponen utama sebagai berikut (Gaspersz
1995):
Y = w0 + w1K1 + w2K2 + w3K3 + ... + wmKm + v
Dimana: Y = peubah tak bebas, w0 = konstanta, wj = peubah model regresi
(koefisien regresi) (j = 1, 2, …, m), Kj = peubah bebas komponen utama yang
merupakan kom inasi linier dari semua peu ah aku Z (j = 1, 2, …, m), v =
bentuk gangguan/galat.
Pengolahan regresi komponen utama dilakukan dengan cara melakukan
transformasi peubah bebas kedalam peubah baku Z. Transformasi data ini
diperlukan karena terdapat perbedaan skala pengukuran diantara peubah bebas
yang digunakan. Persamaan yang digunakan dalam transformasi data sebagai
berikut:
Zi =

xi - x̅
si

Dimana: Zi = peubah bebas ke-i dalam bentuk baku Z, xi = peubah bebas ke-i
dalam bentuk asli x, x̅ = nilai rata-rata dari peubah bebas xi, Si = simpangan baku
dari xi.
Persamaan regresi komponen utama yang terbentuk dengan peubah bebas
dalam bentuk baku Z, selanjutnya dilakukan pengembalian dalam bentuk peubah
asli x. Persamaan regresi komponen utama dalam bentuk peubah asli x sebagai
berikut :
Y = b0 + b1x1 + b2x2 + b3x3 + ... + apxp + έ
Dimana: Y = peubah tak bebas, b0 = konstanta (intersep), bi = koefisien regresi
dari peubah ke-i, i = 1, 2, …, p, xi = peubah bebas ke-i yang dispesifikasikan sejak
awal, i = 1, 2,, …, p.
Model spasial kesesuaian habitat
Data kehadiran dan ketidakhadiran langkap yang digunakan dalam
penyusunan model spasial kesesuaian habitat sebanyak 70%, sedangkan 30%
digunakan sebagai pengujian validasi model. Peubah spasial habitat langkap yang

12
digunakan dalam pembuatan model spasial kesesuaian habitat langkap disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Peubah habitat langkap sebagai peubah penduga model
No.

eu ah

epresentasi

atuan

1

NDVI

Vegetasi

Indeks

2

FCD

Vegetasi

3

Ketinggian

Topografi

4

Kelerengan

Topografi

5

rah lereng

Topografi

ersen
( )
Meter
(mdpl)
ersen
( )
Derajat
(0)
Meter

6

Jarak dari sungai

Topografi

7

Iklim mikro

8

uhu permukaan
vegetasi
NDMI

λ

Jarak dari jalan

10

Jarak dari ke un

Gangguan
manusia
Gangguan
manusia

Iklim mikro

Derajat
(0)
Meter
Meter

Teknik
Ekstraksi
Citra
Modeling
Landsat 8 NDVI
Citra
ersamaan
Landsat 8 FCD
DEM
Analisis
topografi
DEM
nalisis
topografi
DEM
nalisis
topografi
eta jarak Euclidean
dari sungai Distance
Citra
Modeling suhu
Landsat 8
Citra
Modelling
Landsat 8
NDMI
eta jarak Euclidean
dari jalan
Distance
eta jarak Euclidean
dari ke un Distance
um er

Faktor vegetasi berupa penutupan vegetasi dan naungan. Penutupan vegetasi
didekati dengan Normalization Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI
dihitung mengggunakan Landsat Image band Near Infra Red (band 5) dan band
Visible Red (band 4) dengan persamaan (USGS 2014):

Dimana: NDVI = Normalized Difference Vegetation Index, NIR = Near Infra Red
(band 5), VIS = Visible Red (band 4).
Naungan vegetasi didekati dengan nilai Forest Canopy Density (FCD). FCD
ini dibangun oleh empat faktor seperti vegetasi, tanah kosong, panas, dan
bayangan (Rikimaru et al. 2002). Tahapan dalam menghitung FCD sebagai
berikut (Rikimaru et al. 2002):
1. Mentransformasi nilai Digital Number (DN) dari setip band Landsat 8 yang
mempunyai nilai rentang DN sebesar 12 bit menjadi 8 bit.
2. Menghitung nilai Advanced Vegetation Index (AVI) dengan menggunakan
persamaan:

13
B1-B7: OLI Band 1-7 data
B54 = B5 – B4 setelah normalisasi kisaran data
Jika B54 < 0 maka AVI = 0, dan
[
Jika B54 > 0 maka

]

3.

Menghitung nilai Bare Soil Index (BI) dengan menggunakan persamaan:

4.

Menghitung nilai Vegetation Density (VD)
VD merupakan prosedur untuk menggabungkan antara AVI dengan BI
menggunakan Principal Component Analysis (PCA), selanjutnya ditentukan
titik 0% dan titik 100% untuk menghasilkan citra VD.
Menghitung nilai Shadow Index (SI) dengan menggunakan persamaan:

5.

6.

7.
8.

[

]

Menghitung nilai Thermal Index (TI) dengan menggunakan saluran
inframerah termal pada citra Landsat yang di transformasi nilai digital ke
informasi nilai radiansi.
Menghitung nilai Scaled Shadow Index (SSI) merupakan prosedur untuk
menggabungkan antara SI dengan TI sehingga terbentuk citra SSI.
Menghitung nilai Forest Canopy Density (FCD) dengan menggunakan
persamaan:
[

]

Faktor topografi berupa: ketinggian, kelerengan, arah lereng dan jarak dari
sungai. Data ketinggian, kelerengan dan arah lereng diperoleh dari pemanfaatan
langsung data digital ASTER GDEM. Sedangkan data jarak dari jaringan sungai
diperoleh dari hasil analisis spasial menggunakan teknik Euclidean distance.
Faktor iklim mikro berupa: suhu permukaan vegetasi dan Normalized
Difference Moisture Index (NDMI). Data suhu permukaan vegetasi diperoleh dari
data Landsat Image band 10 dengan menggunakan persamaan berikut (USGS
2014) :
Lλ = ML Qcal + AL
T=

K2
Ln

K1
L

+1

Dimana: L = Radiasi spektral (Watts/( m2 *srad * m)), ML = Multiplicative
rescaling factor band 10, AL = Additive rescaling factor band 10, Qcal = nilai
piksel terkalibrasi yang telah dikuantifikasi ke dalam digital number (DN), T =
Suhu (0K), L = Radiasi spektral (Watts/(m2*srad* m)), K1 = konstanta kalibrasi
1, K2 = konstanta kalibrasi 2.

14
Data kelembapan vegetasi menggunakan NDMI yang dihitung dengan
persamaan berikut (USGS 2014):
NDMI =

NI - MI
(NI + MI )

Dimana NDMI = Normalized Difference Moisture Index, NIR = Near Infra Red
(band 5), MIR = Mid Infra Red (band 6).
Faktor gangguan manusia berupa jarak dari jalan dan jarak dari kebun diperoleh
dari hasil analisis spasial menggunakan teknik Euclidean distance.
Data hasil analisis spasial dilakukan pengujian ada atau tidaknya
multikolinearitas antar peubah bebas dengan menggunakan analisis peubah
bebas/Variance Inflation Factor (VIF). Batasan nilai VIF adalah 10, apabila nilai
VIF < 10, maka tidak ada multikolinearitas antar peubah bebas, sedangkan nilai
VIF ≥ 10, maka terjadi multikolinearitas antar peu ah e as ( antoso 2000)
Model kesesuaian habitat menggunakan model regresi logistik biner.
Kehadiran langkap pada plot contoh maka peluang kehadirannya adalah satu,
sedangkan ketidakhadiran langkap pada plot contoh maka peluang kehadirannya
adalah nol. Model regresi logistik biner kesesuaian habitat langkap dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut:
=

0

+ 1 x1 + 2 x2 + …… + n xn
+ 1 x1 + 2 x2 + …… + n xn
0

Dimana: P = peluang kesesuaian habitat langkap untuk titik observasi ke-i, exp. =
ilangan natural (2.72), 0 = intersep atau konstanta persamaan, n = koefisien
dari peubah penduga ke-n, xn = peubah penduga ke-n, i = titik observasi ke-i.
Kesesuaian habitat langkap dibagi menjadi 2 kategori yaitu sesuai (peluang
kehadiran > 0.5) dan tidak sesuai (peluang kehadiran < 0.5) (Hosmer dan Stanley
2000). Model yang telah terbentuk selanjutnya diuji berupa kelayakan,
keterhandalan dan validasi model. Kelayakan model merupakan tingkat kedekatan
nilai prediksi model dengan nilai pengamatan. Uji kelayakan model dilakukan
dengan menggunakan uji Hosmer-Lemeshow dan melihat penurunan nilai dari -2
Log Likelihood. Model yang telah dibangun layak apabila signifikansi penurunan
nilai -2 Log Likelihood kurang dari 0.05 dan dinyatakan valid apabila signifikansi
uji Hosmer-Lemeshow di atas 0.05.
Keterhandalan peubah bebas dalam model dalam menduga kesesuaian
habitat langkap ditunjukkan oleh nilai Negelkerke R2, semakin tinggi nilai
Negelkerke R2 maka semakin handal model yang dibuat. Validasi model
dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi klasifikasi kesesuaian habitat. Data yang
dipergunakan untuk validasi model adalah sebesar 30% dari jumlah keseluruhan
data kehadiran dan ketidakhadiran langkap. Validasi model menggunakan nilai
APER (Apparent Error Rate), nilai APER mendekati 1 maka semakin valid model
yang dihasilkan. Persamaan APER sebagai berikut (Johnson dan Dean 2007) :
E =

n12 + n21
n11 + n12 +n21 + n22

15
Dimana: APER = Apparent Error Rate, n11 = banyaknya kejadian tidak hadir dan
diprediksikan sebagai kejadian tidak hadir, n12 = banyaknya kejadian tidak hadir
dan diprediksikan sebagai kejadian hadir, n21 = banyaknya kejadian hadir dan
diprediksikan sebagai kejadian tidak hadir, n22 = banyaknya kejadian hadir dan
diprediksikan sebagai kejadian hadir.
Mulai

Struktur dan
Populasi
Vegetasi
-

Kelimpahan
Kemiripan
komunitas
Struktur
Pola sebaran
Asosiasi

Koleksi Data

Habitat

Kehadiran dan
Ketidakhadiran

Ketinggian

Vegetasi
- Kerapatan
- LBDS
- Naungan

Kelerengan
Aspect

Topografi
- Ketinggian
- Kelerengan
- Arah lereng
- Jarak dari sungai
Struktur dan
populasi
langkap

Preferensi
Habitat

Spasial

NDVI
Suhu
NDMI

Gangguan manusia
- Jarak dari jalan
- Jarak dari kebun

FCD
Jarak dari
sungai

Iklim mikro
- Suhu udara
- Kelembapan
udara
- Curah hujan

Jarak dari
jalan
Jarak dari
kebun

Edafis
- Sifat fisik
- Sifat kimia

Model kesesuaian habitat

Uji kelayakan model

Validasi

model

Peta kesesuaian
habitat langkap

Selesai
Gambar 4 Bagan alir metode penelitian

16

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Cagar Alam Leuweung Sancang (CALS) ditetapkan sebagai cagar alam
berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 370/Kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni 1978
dengan luas 2 517 ha (BBKSDA Jawa Barat 2015). CALS merupakan kawasan
hutan dibawah pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Jawa Barat, Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III Ciamis, Seksi
Konservasi Wilayah VII Sancang. Kawasan CALS secara administratif terletak di
Desa Karyamukti, Mekarsari, Sancang, Sagara dan Simpang, dimana desa-desa
tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut, Provinsi
Jawa Barat.
CALS se ara geografis terletak antara 7°40‟44” – 7°44‟28” L dan
107°48‟17” – 107°54‟44” BT. Kawasan C L se elah utara berbatasan dengan
perkebunan Miramare dan kebun masyarakat, batas sebelah timur adalah Sungai
Cikaengan, batas sebelah selatan adalah Samudera Hindia dan sebelah barat
berbatasan dengan sungai Samudera Hindia dan Sungai Cisanggiri. Kondisi
topografi CALS bagian barat relatif landai, sedangkan bagian timur relatif
berbukit-bukit dengan ketingian tempat antara 0–224 m dpl dan kelerengan
0–90.49%. Suhu udara di kawasan CALS berkisar antara 17–33 0C dengan
kelembapan udara 60–95%. Keadaan iklim di kawasan menurut klasifikasi dari
Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe iklim B yaitu tipe basah dengan curah hujan
rataan sebesar 4 009 mm/tahun.

Komposisi Vegetasi
Hasil pengamatan diketahui bahwa CALS memiliki 3 tipe vegetasi yaitu
hutan mangrove, hutan pantai dan hutan dataran rendah. Vegetasi mangrove di
kawasan tersebut umumnya tersebar pada muara sungai Cikolomberan sampai
dengan muara sungai Cipalawah dan muara sungai Cibako. Spesies tumbuhan
yang dijumpai pada vegetasi hutan mangrove diantaranya Rhizophora apiculata,
R. mucronata, Avicennia marina, Sonneratia alba, Aegiceras corniculatum,
Ceriops tagal dan Bruguiera gymnorrhiza (Avianto 2013). Vegetasi hutan pantai
umumnya mempunyai lebar 20–100 m, hutan pantai merupakan daerah ekoton
antara hutan mangrove atau pantai dengan hutan dataran rendah. Spesies
tumbuhan yang banyak dijumpai pada hutan pantai diantaranya Barringtonia
asiatica, Terminalia catappa, Hernandia peltata, Hibiscus tiliaceus dan
H. decaspermus. Hutan dataran rendah merupakan tipe hutan yang dominan di
kawasan tersebut dengan spesies tumbuhan diantaranya Neolitsea cassia,
Dipterocarpus hasseltii, Ficus fistulosa, Ryparosa sumatrana dan Artocarpus
elasticus.
Hasil analisis vegetasi dari semua tingkat pertumbuhan di CALS ditemukan
188 spesies dari 160 marga dan 67 suku (Lampiran 1). Spesies-spesies tumbuhan
di lokasi tersebut didominasi oleh spesies-spesies yang berperawakan pohon
(62.23%), herba (19.15%), perdu (11.70%) dan liana (6.91%). Suku yang
mempunyai anggota spesies yang terbanyak yaitu Leguminosae (17 spesies)

17
diikuti oleh Moraceae (11 spesies) dan Arecaceae (9 spesies). Spesies dari suku
Leguminosae diantaranya Mucuna gigantea, Moghania macrophylla, Albizia
procera, Senna timoriensis dan Parkia intermedia. Spesies dari suku Moraceae
diantaranya Artocarpus elasticus, Ficus fistulosa dan Ficus elastica, sedangkan
spesies dari suku Arecaceae diantaranya Arenga obtusifolia, Corypha utan dan
Daemonorops oblonga.
Keanekaragaman suku di CALS pada saat penelitian dilakukan sedikit
berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Pada tahun 1985–1988 di CALS
didominasi oleh suku Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Moraceae dan Arecaeae
(Sidiyasa et al. 1985; Kalima et al. 1988). Suku Dipterocarpaceae yang dulu
merupakan salah satu suku yang dominan di CALS namun pada saat dilakukan
penelitian ini hanya ditemukan dua spesies yaitu Dipterocarpus hasseltii dan
Shorea javanica. Dipterocarpus hasseltii banyak di temukan pada lokasi Cibako,
Cipunaga dan Sakad, sedangkan Shorea javanica hanya ditemukan satu individu
di lokasi Cipalawah. Spesies-spesies dari suku Dipterocarpaceae umumnya
mempunyai nilai ekomomi kayu yang tinggi sehingga banyak yang ditebang
melalui aktifitas pembalakan liar oleh masyarakat sekitar CALS. Tingginya
pembalakan liar dan kerusakan habitat mengakibatkan regenerasi spesies dari
suku Dipterocarpaceae menjadi terhambat bahkan tidak dapat tumbuh atau tidak
bisa beradaptasi pada kondisi kerusakan habitat tersebut.
Hasil analisis vegetasi diketahui bahwa pada tingkai semai dan tumbuhan
bawah di CALS ditemukan 104 spesies dari 98 marga dan 54 suku dengan spesies
yang dominan yaitu Imperata cylindrica (alang-alang) dengan nilai INP 25.57%
diikuti dengan spesies Averrhoa carambola (INP = 9.92%) dan Daemonorops
oblonga (INP = 9.85%) (Tabel 3). Imperata cylindrica merupakan spesies yang
suka terhadap cahaya matahari dan mempunyai tingkat perkembangbiakan
vegetatif yang cepat. Spesies ini banyak ditemukan pada lokasi Cibako, Ciporeang
dan Cipunaga bagian utara kawasan atau dekat dengan perkebunan/kebun
penduduk dengan jumlah yang sangat banyak sehingga membentuk padang alangalang.
Pada tingkat pohon ditemukan 82 spesies dari 65 marga dan 35 suku dengan
spesies yang mendominasi di CALS adalah Neolitsea cassia (Huru) dengan INP
32.99% diikuti dengan Artocarpus elasticus (INP = 21.92%) dan Dipterocarpus
hasseltii (INP = 20.83%). Neolitsea cassia ditemukan merata pada semua lokasi
dan umumnya memiliki diameter batang yang besar (> 40 cm).
Keanekaragaman jenis pada tingkat pohon pada penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan Sidiyasa et al. (1985) dan Kalima et al. (1988). Hasil penelitian
Sidiyasa et al. (1985) ditemukan 72 spesies 61 marga dan 28 suku yang
didominasi oleh Dipterocarpus hasseltii, diikuti dengan spesies Dillenia obovata,
Macaranga subfalcataria dan Dipterocarpus gracilis, sedangkan pada penelitian
Kalima et al. (1988) ditemukan 78 spesies 61 marga dan 35 suku.
Keanekaragaman spesies tingkat pohon di CALS juga lebih tinggi dibandingkan
dengan hutan dataran rendah lain di Jawa Barat diantaranya Cagar Alam
Pananjung Pangandaran ditemukan 51 spesies pohon dari 29 suku (Kurniawan
dan Parikesit 2008).
Pada kawasan CALS ditemukan 6 spesies yang termasuk tumbuhan langka
dan sulit ditemukan di lokasi lain. Beberapa spesies tumbuhan langka tersebut
yaitu Dipterocarpus hasseltii (palahlar) dengani status berdasarkan International

18
Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN 2014) yaitu
kritis (Critically Endangered). Palahlar banyak dijumpai pada hutan dataran
rendah pada lokasi Cipunaga, Sakad, Cipalawah namun tidak ditemukan lokasi
Cibako dan Ciporeang. Spesies langka lainnya yaitu Myristica guatteriifolia,
Pongamia pinnata, Podocarpus neriifolius, Alstonia scholaris dan Calophyllum
inophyllum dengan status beresiko rendah (Lower Risk/Least Concern).
Tabel 3 Indeks nilai penting pada berbagai tingkat pertumbuhan (5 nilai tertinggi)
No
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5

Nama Spesies
Suku
Semai dan tumbuhan bawah
Imperata cylindrica
Poaceae
Averrhoa carambola.
Oxalidaceae
Daemonorops oblonga
Arecaceae
Mucuna sp.
Leguminosae
Tetracera scandens
Dilleniaceae
Pancang
Arenga obtusifolia
Arecaceae
Moghania macrophylla
Leguminosae
Pternandra azurea
Melastomataceae
Ryparosa sumatrana
Flacourtiaceae
Diospyros pilosanthera
Ebenaceae
Tiang
Arenga obtusifolia
Arecaceae
Neolitsea cassia
Lauraceae
Vitex pinnata
Lamiaceae
Ficus hispida
Moraceae
Cratoxylum sumatranum
Hypericaceae
Pohon
Neolitsea cassia
Lauraceae
Artocarpus elasticus
Moraceae
D